Hari ini hari pertama aku akan memulai bekerja. Ini adalah jalan yang tepat untukku menjadi wanita hebat.
Usai mandi, aku bergegas bersiap-siap. Menyiapkan barang-barang yang mungkin saja kubutuhkan nanti. Kubawa bolpoin, kalkulator serta beberapa kertas kosong yang mungkin nanti akan berguna. Kuambil ponsel yang sejak tadi ku charge kemudian ku tekan nomer telepon Fida yang kemarin sempat ia berikan.Tak berapa lama kemudian Fida langsung menjawab telepon dariku."Gimana, Re? Udah siap?" tanya Fida dari ujung telepon."Udah nih, jadi jemput kan?" "Iya, aku otewe sekarang ya," jawabnya kemudian segera menutup teleponnya kembali.Kemarin aku sempat menanyakan alamat kantornya, namun dia berkata bahwa dia akan menjemputku saja hari ini.Dia teman baikku ketika kami kuliah dulu. Dulu dia menjadi satu-satunya temanku yang paling kesulitan dalam membayar uang semester, dia hampir memutuskan untuk menyudahi kuliahnya itu karena hambatan biaya. Nasib baik aku selalu mendapat kiriman uang dari bapak lebih tiap bulannya, jadi karena merasa kasian dengannya aku selalu membantunya. Mungkin dia teringat masa-masa kuliah dulu. Akulah yang menjadi pahlawannya. Hingga sekarang dia sudah sukses dalam karirnya, dia pun tidak melupankanku. Setelah dua puluh menit aku menunggu, akhirnya Fida datang juga. "Re, ayo!" katanya sembari membuka kaca mobilnya.Aku segera berlari menghampirinya."Wih, keren!!! Udah terlihat berwibawa ini ibu Accounting," ledek Fida yang melihatku mengenakan kemeja berwarna putih dan rok hitam selutut serta sepatu fantauvel yang ber hak lima cm."Apa sih, bisa aja deh kamu," jawabku."Beneran keren ih, terlihat masih single. Padahal udah punya buntut," Fida menggodaku lagi."Husssss, kamu gak berubah ya. Sukanya bercandain orang mulu dari dulu," jawabku kemudian masuk ke dalam mobilnya.Di dalam mobil Fida terus saja mengatakan bahwa Managernya itu sangat baik. Selain baik dia juga tampan. "Dia masih singel lo, Re," katanya kemudian terkikik."Dasar, ingat anak ingat suami! Anak udah dua masih juga ganjen." "Yey, biarin. Kan cuma buat cuci mata doang. Kalau masalah hati mah hanya untuk mas Sofyan seorang," katanya mulai bucin.Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Dasar Fida, masih sama aja kaya dulu, selalu saja diperbudak cinta."Oh ya. Tadi rumah kayaknya sepi, Reza udah berangkat sekolah ya? Tumben awal?" tanya Fida yang memang tidak tau sedikitpun masalah keluargaku."Em, iya," jawabku masih berusaha menutupinya. Bagaimanapun rasa sakit yang kurasakan, tapi aku masih berusaha untuk menutup aib keluargaku."Mas Yogi masih kerja di Telkom?"Aku hanya mengangguk. Tidak ingin dia bertanya lebih lanjut."Oh ya, Da. Apa aku langsung mulai kerja hari ini ya? Atau cuma wawancara doang?""Ya langsung kerja dong. Kan kantorku memang butuh staff akuntansi, Re, gimana sih? Kalau cuma wawancara ya mungkin pak Rendi gak menyuruhku buru-buru nyari orang dong," katanya sambil tetap fokus menyetir."Dia menyuruhku karena dia percaya padaku. Aku pasti bawa orang yang benar-benar kompeten, benar-benar bisa diandalkan," sambungnya.Aku mangut-mangut seraya mengeluarkan map coklat yang berisi dataku pribadiku untuk melamar pekerjaan."Buat apaan?" Tanya Fida lagi."Ya buat lamaran. Ini CV ku," jawabku."Kan udah kubilang. Itu gak perlu! Pak Rendi udah percaya sama aku." "Ya buat jaga-jaga aja. Takut nanti ditanyain," jelasku.Mobil kemudian membawaku menuju kantor tempatnya bekerja. Mobil berhenti tepat di depan pintu masuk."Turun dulu, aku parkirin mobil sebentar. Jangan kemana-mana, masuknya bareng aku," perintahnya bertubi-tubi."Siap boss," kataku sambil mengangkat tanganku, seperti melakukan hormat pada bendera.Aku turun kemudian Fida mengendarai mobilnya ke parkiran. Selang lima menit dia sudah kembali."Yuk masuk," ajaknya kemudian.Kuikuti langkahnya menuju ruangan yang bisa terbilang besar itu."Ini ruangan pak Rendi. Jangan terpesona jika melihatnya nanti," katanya cengengesan."Takut ada saingan ya?" Kini giliran aku yang menggodanya.
Dia tidak menggubris omonganku lalu pergi meninggalkanku untuk kembali ke ruangannya.Aku menunggu hampir lima belas menit. Namun pak Rendi itu belum juga kelihatan.Setelah menunggu sedikit lama akhirnya datang seorang pemuda tampan dengan jas hitam menutupi kemeja putihnya yang masih kelihatan. Dasi berwarna biru melingkah di lehernya membuatnya terlihat lebih gagah."Kamu Reina bukan?" "Iya benar, Pak," jawabku dengan sedikit gugup."Saya Rendi. Saya Manager disini,x lanjutnya."Fida sudah menceritakan banyak tentang kamu. Saya pikir kamu tepat mengisi jabatan ini," Dia meneruskan."Kamu langsung kerja saja ya, Selamat bergabung di perusahaan kami," lanjutnya tanpa meminta berkas lamaran yang sudah kubawa."Terima kasih, Pak," jawabku.Pak Rendi segera mengantarku ke sebuah ruangan yang akan menjadi ruangan untukku."Ini ruanganmu ya," ujarnya."Baik, Pak." Setelah mengantarku, dia segera kembali lagi ke ruangannya. Ternyata apa kata Fida tadi benar. Selain tampan pak Rendi juga baik. Sepertinya aku akan betah kerja disini.____________"Re," panggil suara itu."Oalah kamu toh, kupikir siapa," kataku yang melihat ternyata Fida yang datang menghampiri ke ruanganku."Gimana kamu seneng dengan ruanganmu?""Iya lah. Beneran terasa jika aku kerja di kantoran loh," kataku kemudian tertawa.Fida hanya tersenyum mendengar perkataanku.
"Makasih ya Da, kamu sudah menjadi jalanku untuk bisa bekerja disini," kataku melanjutkan."Sama-sama. Dulu kamu juga sering bantuin aku kok pas kuliah, aku ingat betul. Kamu lah pahlawanku, Re," jawabnya sambil memelukku."Udah sana kembali kerja. Nanti dimarahi bos loh," tuturku."Bos di sini nggak pernah marah, Re. Kamu udah lihat sendiri kan pak Rendi. Dia baik kan?" "Iya dia baik.""Ganteng juga ya," katanya mulai genit."Ihhh kamu tu, dasar." Tak disangka pak Rendi ternyata sudah berdiri di depan pintu, sepertinya dia berniat memberiku pekerjaan pertama. "Fidaaa, Kembali," katanya dengan nada lembut."Hehe siap, Pak," jawabnya sambil cengengesan.Fida kemudian kembali ke ruangannya sedangkan pak Rendi mulai memberi tahuku apa saja tugasku."Ini tugasmu yang pertama ya, Re. kamu di sini yang bertugas untuk mencatat semua keuangan. Baik itu pengeluaran maupun pendapatan." "Baik, Pak.""Ini komputermu, di sini sudah ada data keuangan kantor kita yang sebelumnya sudah dikerjakan oleh staff accounting yang dulu. Kamu tinggal nerusin saja jika ada laporan masuk.""Baik, Pak.""Coba kamu kerjakan pekerjaan pertamamu ini. Setelah selesai bawa ke meja saya ya," lanjutnya seraya memberikan sebuah map yang di dalamnya terdapat beberapa dokumen."Baik, Pak."Setelah menjelaskan pak Rendi kembali meninggalkanku. Aku paham jika harus mengerjakan laporan keuangan. Itu adalah makananku sehari-hari ketika aku kuliah dulu.Aku mengerjakan tugas pertama yang diberikan pak Rendi tadi dengan sangat teliti.Setelah hampir satu setengah jam ku kerjakan akhirnya pekerjaanku selesai juga. Kutemukan laba bersih dari perusahaan. Dengan percaya diri aku segera menyerahkan pekerjaan pertamaku pada pak Rendi. "Ini, Pak. Sudah selesai saya kerjakan," kataku sembari menyerahkan dokumen yang sudah selesai kukerjakan."Cepat sekali, Re. Kamu cekatan banget ya. Baru juga satu setengah jam sudah selesai," ucapnya memujiku."Coba Bapak cek dulu, siapa tahu ada yang salah," jawabku.Pak Rendi kemudian membuka dokumen yang baru saja kuberikan. Dia tersenyum dan kagum dengan dokumen yang baru saja kuselesaikan itu."Memang Fida gak salah memilih kamu. Good job, Reina." Aku bahagia bisa membuat kesan baik di hari pertamaku bekerja. "Ya sudah saya kembali bekerja lagi kalau begitu. Masih ada dokumen yang harus saya kerjakan," kataku kemudian."Baiklah silahkan," jawab pak Rendi yang masih tersenyum sendiri.Aku kembali ke ruanganku dengan hati bahagia. Inilah awal dari kesuksesanku, pikirku."Istirahat woy, jangan kerja mulu," Tiba tiba suara Fida mengganggu konsentrasiku. "Duh. Apa sih! Aku jadi buyar nih semuanya," jawabku sedikit kesal. Karena memang kalian tahu sendiri, jika sedikit saja hilang konsentrasi maka laporan keuangan yang kita buat bisa saja fatal. "Hehe, maaf dong, Re. kan aku cuma bercanda doang," jawabnya sedikit cengengesan."Huh kamu. Dikit lagi kelar nih, jadi ngulang dari awal kan," jawabku bete."Nggak papa, biar tambah mahir nanti. Pak Rendi juga nggak bakalan marah kok. Jadi santai aja kerja di sini. Jangan di jadikan sebagai beban, Re," kata Fida lagi."Ya udah deh. Nanti di cek ulang lag," kataku dengan muka bete. "Dari pada kamu bete, yuk makan dulu." Dia mengajakku untuk makan siang.Aku mengiyakan perkataannya kemudian pergi bersama dengannya menuju kantin."Biasanya aku bawa bekal, Re. Tapi hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya jadi nggak sempet masak deh," Fida melanjutkan."Oh, terus bagaimana suami dan anak anakmu, Da? Mere
"Di depan berhenti ya, Pak," kataku pada pak Rendi."Oh rumahmu daerah sini ya, Re?""Iya, Pak. Masih naik angkot sekali lagi sih," jawabku jujur."Saya anterin saja kamu sampai rumahmu, bagaimana?" Pak Rendi menawarkan."Nggak usah, Pak. Nanti ngerepotin. Saya naik angkot aja," jawabku tidak ingin merepotkan pak Rendi lagi."Nggak papa, ayo saya antar aja." "Beneran gak ngrepotin, Pak? Saya malah jadi merasa sungkan," ujarku."Sudah tidak usah sungkan, saya tidak merasa direpotkan kok. Saya malah akan merasa bersalah jika menurunkanmu di sini," lanjut Pak Rendi membuatku akhirnya menyetujuinya."Oh ya, Re, dulu kamu pernah kerja kantoran ya? Kok kamu langsung bisa menyesuaikan diri gitu di kantor tadi. Tidak banyak bertanya juga. Sepertinya sudah paham dengan pekerjaan yang harus kamu kerjakan.""Sebenarnya sebelum menikah saya sempat bekerja, Pak." "Oh begitu. Lalu kenapa berhenti?""Setelah menikah saya memilih menjadi ibu rumah tangga saja. Karena menurut saya suami saya adalah
"Re, itu bapakmu sudah pulang," kata ibu dari balik pintu kamar.Aku bergegas menemui bapak yang baru pulang dari Showroom."Baru pulang, Pak?" "Iya Re, kamu kapan datang?" tanya bapak."Tadi sore, Pak," jawabku lemah."Mana Reza sama Yogi? Mereka nggak ikut?"Aku terdiam, namun Ibu langsung menceritakan apa yang sebenarnya terjadi."Loh, bisa-bisanya dia bertingkah seperti itu? Apa dia nggak ingat apa yang telah kita lakukan untuknya?""Memang, Pak. Putri kita disakiti oleh pria seperti itu. Ibu sangat tidak terima, Pak," tambah Ibu."Memang apa alasan sebenarnya, Re? Kenapa dia ingin menikah lagi?"Akhirnya aku ceritakan semua tentang keinginannya memiliki istri seorang wanita karir."Dasar, lelaki macam apa itu? Hanya memandang istri dari penampilan! Dia itu sebenarnya yang kurang bersyukur bisa mendapatkan Reina," ujar ibu terlihat kesal."Sudah, Re. Kamu nggak usah mikirin dia lagi? Kamu lebih baik fokus pada hidupmu. Nggak penting mikirin lelaki yang tak punya hati seperti dia,
"Ngapain kamu di sini?" tanya mas Yogi yang masih kaget melihatku."Aku kerja. Kamu sendiri ngapain?" tanyaku balik.Mas Yogi tidak menjawab pertanyaanku. Mukanya memerah seperti ketakutan."Kenapa? Kamu juga ketemu klien di sini?" tanyaku yang membuatnya semakin gugup.Sebelum mas Yogi sempat menjawab pertanyaanku, seorang wanita datang menghampiri kami."Ada apa, Yang?" terdengar suuara wanita yang membuatku segera menoleh."Ratna???!!" ucapku terkejut saat melihat ternyata Ratna yang berbicara."Yang? Maksutnya apa ini?" tanyaku yang membuat kedua orang itu gelagapan."Oh, itu_itu_" kata Ratna terbata-bata."Jelasin apa maksut ini semua, Mas!!!" kataku dengan nada keras membuat pak Rendi melihat ke arahku."Sebenarnya_sebenarnya Ratna adalah," ucap mas Yogi gugup."Sebenarnya aku adalah pacarnya!" sahut Ratna tanpa rasa bersalah."Hah??? Kenapa harus dia Mas?! Kenapa? Bukannya kamu tau aku sama Ratna itu berteman!!!!!" seruku yang membuat semua pengunjung kafe menoleh ke arahku. A
Kriiinnnnggggggggggg, tiba-tiba ponselku berbunyi saat aku hendak tidur. Aku mengambilnya kemudian kulihat siapa yang menelepon. Betapa kagetnya aku ternyata itu nomer mas Yogi. Apa sekarang dia sudah tidak memblokir nomerku lagi?"Mau apa lagi kamu?" kataku setelah mengangkatnya."Aku mau kita bercerai. Tadinya kupikir aku merasa kasihan sama Reza. Tapi sekarang sudah tidak lagi.""Baik jika itu maumu!" "Aku tidak menyangka kamu secepat itu menemukan penggantiku," katanya yang ternyata salah paham.Karena aku tidak ingin terlihat masih mengharapkannya, aku tidak mengatakan kebenarannya. "Baik. Kapan kita sidang?""Nanti ku kabari lagi," katanya kemudian menutup telepon sebelum aku sempat bertanya keadaan Reza.Jika memang ini yang kamu inginkan, aku akan terima. Aku tidak ingin menjadi wanita payah yang menangisi kepergian suami brengseknya."Kita buktikan, Mas. Siapa yang akan menang!" kataku malam itu. Aku sudah tidak peduli dengannya. Sekarang lebih baik memang kita berpisah. "
"Sepertinya besok saya tidak bisa masuk kerja, Pak. Apa boleh saya ijin satu hari?" kataku meminta ijin pada pak Rendi."Memangnya ada apa, Re? Kenapa mendadak kamu minta cuti?" tanya pak Rendi."Besok sidang perceraian pertama saya, Pak," jawabku jujur.Pak Rendi diam sejenak, tak lama setelah itu kemudian dia kembali berbicara."Kamu masuk aja ya, Re. Sayang kalau kamu harus cuti, gajimu akan terpotong nanti. Lagian kamu masih karyawan baru juga. Tidak baik jika saya memberimu cuti, Re," lanjutnya."Terus sebaiknya bagaimana, Pak? Soalnya saya harus datang ke pengadilan besok. Kalau saya tidak datang pasti mas Yogi mengira saya masih belum bisa menerima keputusannya ini," jelasku."Kamu berangkat habis sidang saja ngggak papa, Re. Bisakan?""Oh, baiklah kalau begitu, Pak." Akhirnya aku memutuskan untuk menerima saran dari pak Rendi. Aku kembali ke ruanganku setelah itu.Jam sudah menunjukkan waktunya pulang. Fida menghampiriku kemudian berkata."Pulang sendiri ngggak papa kan, Re?"
Ibu meneleponku ketika aku sedang berjalan Pulang. Suaranya terdengar cemas."Re, kamu bisa ke rumah sekarang?" kata Ibu di ujung telepon."Ada apa, Bu? Kenapa Ibu terlihat cemas begitu?" "Nanti Ibu ceritakan. Sekarang kamu ke sini dulu ya," suruh Ibu kemudian dia menutup telponnya.Tanpa berpikir panjang aku segera memberi tahu pak sopir agar mengantarku ke rumah Ibu."Bu," sapaku setelah sampai di rumah."Akhirnya Kamu datang juga, Re," kata Ibu segera menggandeng tanganku kemudian membawaku masuk."Ada apa, Bu? Ibu terlihat khawatir begitu?""Adikmu itu, Re. Tadi ada telepon dari kampus, katanya dia sudah beberapa hari bolos kuliah. Kemana dia sebenarnya?""Memangnya Diki sekarang nggak di rumah, Bu?""Lha wong tiap hari aja minta uang saku sama Ibu. Ibu mikirnya dia pasti kuliah."Aku belum mengatakan soal kejadian kemarin pada Ibu. Akan ku selidiki dulu masalah ini sebenarnya sebelum kuberi tahukan pada Ibu."Ibu sudah coba telepon Diki?""Udah, tapi nggak diangkat. Ibu sudah m
"ini Ratna siapa?" Tanyaku terkejut melihat nama yang tertulis diponsel itu."Gak perlu tau kak." Jawab Diki sewot.Apa hanya pikiranku yang merasa cemas jika itu adalah Ratna Pacar Yogi? Ah mungkin Ratna yang lain. Banyak orang yang memiliki kesamaan nama di negara Ini, pikirku."Kamu gak pacaran dengan orang yang lebih tua darimu kan?" Tanyaku serius."Apa itu penting juga buat kakak? Ini hidupku, aku yang jalani. Kakak Gak perlu ikut campur!!" Katanya dengan nada kesal. "Udah turun sana!" Usir Diki selanjutnya."Awas kamu ya jika sampai kakak tau!!" Kataku kemudian turun dari mobilnya.Usia ku dan Diki berbeda tiga belas tahun. Sekarang aku berumur 34 tahun, sedangkan dia baru berumur 21 tahun."Kakak percaya kamu tidak akan macarin orang seumuran Kakak." Kataku membuat wajahnya sedikit kaget.Aku turun dari mobilnya kemudian melangkah menuju kantor. Dalam perjalanan, pikiranku masih tertuju pada adikku satu satunya itu."Jangan sampai! Jangan sampai deh!!" Ucapku sendiri."Amin
Beberapa bulan setelah itu buku ketiga mas Candra pun terbit. Buku yang menjadi inspirasi banyak orang ternyata. Kisah seorang ayah yang rela berkorban melakukan apapun itu demi pengobatan anaknya yang menderita gagal ginjal. "Selamat atas realisnya buku ketigamu, Mas. Semoga semakin sukses untuk ke depannya," kataku pada mas Candra. "Terimakasih juga, Sayang. Semua ini terjadi juga karena adanya kamu. Aku percaya jika aku bisa seperti ini karena dukungan penuh darimu. Terimakasih sekali lagi sudah mau menjadi pendamping hidupku yang selalu mendukung apapun keputusanku," kata mas Candra. "Aku bangga padamu, Mas," balasku. Mas Candra kemudian naik ke panggung setelah pembawa acara mempersilahkannya. "Saya mengucapkan terimakasih banyak untuk semua yang sudah meluangkan waktunya. Hari ini secara resmi, buku ketiga saya telah diterbitkan. Buku ini mengisahkan tentang pengorbanan seorang ayah. Kalian mungkin bertanya-tanya, siapakah sosok dibalik tokoh yang menjadi inspirasi saya da
"Ndra," terdengar suara seorang perempuan memanggil nama suamiku saat kita sedang berjalan menuju ke mobil."Oliv?" kataku saat melihat ternyata dia yang memanggil mas Candra tadi."Ada apa?" tanya mas Candra kemudian."Aku mau bicara sama kamu, bisa?" kata Oliv kemudian.Mas Candra malah menoleh ke arahku tanpa menjawab perkataan Oliv. "Iya silahkan bicara di sini saja," kata mas Candra. Sepertinya dia ingin menjaga perasaanku."Aku mau bicara empat mata saja. Bisakah?" tambah Oliv."Kenapa nggak di sini saja? Sama saja kan?" kata mas Candra lagi."Boleh aku pinjam Candranya sebentar, Re. Janji deh hanya lima menitan saja," kata Oliv padaku setelah itu."Oh iya, silahkan bawa saja," jawabku.Mas Candra pun kemudian mengikuti kemana Oliv pergi. Dari jauh aku memperhatikan gerak-gerik mereka. Mereka terlihat membicarakan hal yanh serius berdua.Lima menit kemudian mas Candra kembali menghampiriku begitu juga dengan Oliv."Makasih ya, Re. Ini aku kembalikan lagi Candra untukmu," kata O
Mas Candra akhirnya menjadikan pak Sapto sebagai sosok inspirasi untuk buku ke tiganya. Dia juga mendapatkan penghargaan atas apa yang dia lakukan pada pak Sapto.Ternyata pak kepala desa yang mengetahui kebaikan mas Candra kepada pak Sapto menceritakannya pada bapak wali kota. Secepat ini balasan yang Allah berikan kepada orang yang ikhlas membantu orang lain ternyata. "Jadi hari ini berangkat jam berapa, Mas?" tannyaku pada mas Candra. Hari ini dia akan datang ke acara launching buku salah satu teman penulisnya."Sebentar lagi. Kamu ikut kan?" tanya mas Candra. "Raiqa bagaimana?" tanyaku."Ajak aja Raiqa. Dia pasti seneng kan diajak jalan-jalan naik mobil," balas mas Candra. "Kamu yakin? Di sana pasti banyak orang kan?" "Nggak papa, Sayang. Raiqa pasti senang," kata mas Candra kemudian. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu dan tanpa terasa kini putri kecilku sudah berusia tiga bulan. "Ya sudah deh. Aku siap-siap dulu kalau begitu," kataku.Saat aku sedang bersiap tiba-tiba s
"Ini hadiah buat Mela. Mela semangat ya. Tidak boleh malas jika di suruh melakukan HD," kataku saat kita sudah sampai di rumah sakit lagi. "Asyik, makasih ya, Tante.""Sama-sama, Sayang. Kalau begitu Tante keluar ya. Mela ditungguin Ibu sekarang," lanjutku."Iya, Tante. Makasih ya. Mela akan selalu semangat menjalani HD agar cepat sembuh," jawab Mela.Aku segera memeluk Mela. Tak terasa air mata ini pun jatuh begitu saja."Tante kenapa menangis?" tanya anak kecil itu."Nggak papa, Sayang. Tante cuma bangga saja padamu," jawabku seraya menyeka air mataku yang baru saja tumpah."Aku hebat ya?""Iya, kamu anak yang hebat. Teruslah seperti ini ya, Sayang," tambahku.Setelah hampir setengah jam aku di dalam bersama dengan Mela, akhirnya aku pun keluar. Mela meneruskan melakukan cuci darahnya. "Sudah?" tanya mas Candra yang saat ini sedang menggendong Raiqa."Sudah, Mas.""Pergi sekarang?""Semua sudah kamu selesaikan?""Sudah, Sayang," jawab mas Candra. "Ya sudah kalau begitu. Ayo pulan
"Mulai hari ini setiap kamu mau HD, kamu perginya ke sini ya, Mel. Tidak perlu ke rumah sakit yang di luar kota," kata mas Candra."Kenapa di sini, Om? Mela kan udah betah dan nyaman HD di rumah sakit yang kemarin. Perawatnya juga baik-baik banget pada Mela," jawab Mela. "Mela mau cepet sembuh kan? Rumah sakit ini lebih baik dari rumah sakit sebelumnya. Jadi di rumah sakit ini juga nantinya Mela bakalan dapat perawatan dan pengobatan yang baik. Mela mau sembuh kan?" kata mas Candra selanjutnya. "Mela ingin sekali sembuh, Om. Tapi kata ibu, Mela ini anak istimewa. Jadi sewaktu-waktu kalau Tuhan udah sayang sama Mela, Mela harus siap untuk dipanggil Tuhan," jawab Mela. Kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku. Aku langsung pergi sebentar agar Mela tidak melihat air mataku keluar."Re," kata mas Candra yang tiba-tiba menyusulku. "Mas," ujarku yang kemudian langsung memeluknya."Nggak papa. Dia anak yang kuat. Dia pasti bisa melewati ini semua. Kita akan membantunya. Kita
"Di mana pak Sapto?" taya bapak kepala desa pada seorang perempuan yang duduk di ruang tunggu bersama seorang anak perempuan."Pak Lurah, tolong suami saya, Pak. Dia sedang di interogasi di dalam," kata perempuan tadi."Bagaimana ini, Mbak? Apa kita harus masuk?" tanya bapak kepala desa padaku. "Sebentar, Pak. Saya telepon suami saya dulu," sambungku.Aku menghubungi mas Candra setelah itu. Dia pasti bisa memberi pengertian kepada polisi agar polisi membebaskan pak Sapto."Jadi kamu di kantor polisi sekarang, Re?""Iya, Mas. Mas Candra bisa datang sekarang nggak? Sudah selesai belum di sana?" tanyaku."Iya aku akan langsung ke kantor polisi setelah ini. Urusanku di sini juga sudah selesai," kata mas Candra kemudian."Buruan ya, Mas. Aku bingung harus bagaimana ini," ucapku."Iya, Re. Aku segera datang."Setelah menghubungi mas Candra, aku kemudian mendekati istri pak Sapto dan anaknya. Aku yakin jika anak yang dimaksud pak Sapto adalah anak ini."Bu," sapaku."Iya, Mbak. Apakah mbakn
Ponsel mas Candra berdering saat kita sedang sarapan bersama. Dia lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja dan langsung melihat siapa yang meneleponnya. "Halo," ujar mas Candra."Oh iya, Pak. Apa sudah sampai di rumah sekarang?" tanya mas Candra kemudian."Baik, Pak. Hari ini saya ke rumah ya. Saya hubungi dulu teman saya di rumah sakit," sambung mas Candra."Sama-sama, Pak. Tunggu saya datang. Sebentar lagi saya ke sana," lanjut mas Candra.Setelah mas Candra mengakhiri panggilannya dia lalu bergegas bangkit dari meja makan."Mau berangkat sekarang? Pak Sapto sudah sampai di rumah ya, Mas?" tanyaku yang tahu jika itu panggilan dari pak Sapto."Iya, Sayang. Aku langsung ke sana sekarang ya. Kamu mau ikut nggak?" tanya mas Candra kemudian."Aku di rumah saja ya, Mas. Kasihan Raiqa," jawabku."Ya sudah kalau begitu. Aku sendiri saja nggak papa. Aku siap-siap dulu ya," kata mas Candra selanjutnya. "Iya, Mas. Oh iya, Mas. Bukankah hari ini kamu ada janji ketemuan sama produ
"Jadi begitu ceritanya? Kasihan banget pak Sapto itu. Dia rela melakukan penipuan seperti itu demi membiayai pengobatan anaknya," kata Ibu saat aku dan mas Candra menceritakan soal kejujuran pak Sapto. "Iya benar, Bu. Sebuah pengorbanan seorang ayah untuk anaknya," balasku. "Ya begitulah, Re. Jadi kalian berniat untuk membantunya?""Iya, Bu. Mas Candra mau membantu pengobatan anak pak Sapto," ujarku."Benar begitu, nak Candra?""Iya, Bu. Aku merasa harus membantu bapak ini. Rejeki yang selama ini aku dapat sebenarnya juga rejeki pak Sapto ini. Diki menabraknya juga bukan sebuah kebetulan semata. Semua ini sudah kehendak Allah.""Nak Candra benar. Dalam rejeki kita ada rejeki orang lain juga. Semoga rejeki kalian makin berkah kedepannya," lanjut Ibu."Amin," balasku dan Mas Candra secara bersamaan. "Dan untuk Diki, ibu minta maaf. Ibu tidak pernah berniat atau pun bermaksud untuk membuatmu sakit hati. Ibu hanya berusaha menasehati mu. Ibu menghawatirkanmu," sambung Ibu."Maafkan Dik
"Iya begitulah, Mbak," jawab pak Sapto. Aku tahu jika saat ini dia sedang berkata jujur. "Kenapa bapak memilih untuk melakukan pekerjaan ini?" tanya mas Candra."Saya terpaksa, Mas. Seandainya ada pekerjaan lain yang bisa mendapatkan uang dengan cepat pasti saya akan melakukannya. Apapun itu pekerjaannya. Saya pernah mau menjual ginjal saya juga untuk pengobatan anak saya, tapi istri melarang saya. Saya tidak ada pilihan lain, Mas." "Apakah istri dan anak bapak tahu akan hal ini?" tanya mas Candra lagi."Istri tahu, anak yang tidak tahu. Jadi setiap kali saya di tangkap dan masuk polisi istri selalu bilang jika saya lagi bekerja keluar kota. Berusaha untuk membuat anak saya percaya," jawab pak Sapto sembari menyeka air matanya."Apa polisi tidak pernah menanyakan alasan bapak melakukan ini semua? Bukankah sudah hampir tiap kali di tangkap pasti melakukan hal yang sama?" tanyaku."Tidak ada yang peduli, Mas. Polisi juga yang penting memenjarakan saya. Mereka tidak pernah bertanya ken