"Istirahat woy, jangan kerja mulu," Tiba tiba suara Fida mengganggu konsentrasiku.
"Duh. Apa sih! Aku jadi buyar nih semuanya," jawabku sedikit kesal. Karena memang kalian tahu sendiri, jika sedikit saja hilang konsentrasi maka laporan keuangan yang kita buat bisa saja fatal. "Hehe, maaf dong, Re. kan aku cuma bercanda doang," jawabnya sedikit cengengesan."Huh kamu. Dikit lagi kelar nih, jadi ngulang dari awal kan," jawabku bete."Nggak papa, biar tambah mahir nanti. Pak Rendi juga nggak bakalan marah kok. Jadi santai aja kerja di sini. Jangan di jadikan sebagai beban, Re," kata Fida lagi."Ya udah deh. Nanti di cek ulang lag," kataku dengan muka bete. "Dari pada kamu bete, yuk makan dulu." Dia mengajakku untuk makan siang.Aku mengiyakan perkataannya kemudian pergi bersama dengannya menuju kantin."Biasanya aku bawa bekal, Re. Tapi hari ini aku bangun sedikit siang dari biasanya jadi nggak sempet masak deh," Fida melanjutkan."Oh, terus bagaimana suami dan anak anakmu, Da? Mereka makannya beli?""Kamu belum tau mas Sofyan sih. Dia jago masak, lebih hebat dariku malahan," jawabnya membanggakan suami. Aku hanya tersenyum mendengarkan ucapannya. Jujur aku merasa iri dengan keharmonisan keluarga Fida."Kapan-kapan aku ajak kamu ke rumah deh buat icip masakannya," lanjut Fida meneruskan."Boleh," jawabku singkat.Aku melihat kebahagiaan termpampang nyata di wajah bulat Fida. Aku kembali teringat denhan kebahagiaan yang mas Yogi berikan padaku dulu. "Sayang, aku pulang," ucap mas Yogi yang baru pulang dari kantornya.Dia membawakanku seikat bunga mawar merah nan indah dan langsung berlutut di depanku."Happy anniversary yang pertama. Semoga kedepannya kita semakin harmonis, cepet dapet momongan ya, Sayang," kata romantis keluar dari mulutnya.Aku merasa girang mendapat kejutan ini. Baru sekali ini dia bisa seromantis Majnun dalam buka Layla Majnun. Sayangnya kami bisa bersatu, sedangkan Laila dan Majnun dalam kisahnya tidak bisa bersatu.Kupeluk suamiku itu dengan erat. Tak terasa air mata menetes karena bahagia. Dia mencium keningku seraya berkata, "Aku mencintaimu Reina. Kamulah satu-satunya orang yang akan selalu aku cintai sampai kita tua nanti." Walaupun saat itu kami belum diberi titipan oleh sang Kuasa, namun kebahagiaan kami tidak pernah terasa kurang. Kehanggatan sikap mas Yogi membuatku merasa sangat beruntung mempunyai seorang suami yang bisa membuat hati istrinya damai. Sikapnya yang lembut dan tidak pernah marah semakin membuat aku jatuh cinta padanya."Re, kamu pesen makan apa? Biar aku pesenin sekalian," Tiba tiba Fida membuyarkan lamunan tentang kisah masa laluku."Em, itu... sama sepertimu saja," jawabku sedikit kaget."Aku mau nasi dengan ayam saja nih, kamu mau tambah sayur nggak?""Boleh lah, Da. terserah kamu, aku ikut saja." Fida segera pergi untuk memesan makanan. Aku kembali sedih ketika teringat semua kenangan itu. Ternyata semua kebahagiaan itu sekarang telah pergi dari hidupku. Mas Yogi yang dulu sangat lembut, pengertian dan juga mengerti aku sepenuhnya, kini sudah menjadi orang lain. Orang yang paling ku benci. Tak lama menunggu, Fida sudah kembali dengan membawa dua piring yang berisi nasi berserta lauknya."Ternyata gak ada ayam, Re, jadi kuambilkan lele sjja. Nggak papa kan? Lelenya juga enak kok," katanya."Iya nggak papa, aku doyan semuanya," jawabku membuat muka Fida terlihat lega."Oh ya, gimana tadi menurutmu pak Rendi? Tipe setiap wanita banget kan ya," sambung Fida yang masih saja terus memuji manajer kantor itu."Isssh, apaan sih kamu. Masih aja ngomongin laki-laki, kamu tuh udah ber anak dua, Da. Ingat dong," kataku dengan nada sedikit kesal."Ya kan cuma buat iseng-iseng. Cuci maya gitu, Re. Lagian mana mau pak Rendi sama aku," kata Fida sembari memasukkan sendok berisi nasi ke dalam mulutnya.Aku melonggo mendengar jawaban darinya."Memangnya jika dia mau sama kamu, kamu mau gitu selingkuh sama dia?" "Ya bisa jadi. Wanita mana coba yang bisa menolaknya," jawabnya lagi-lagi membuatku membulatkan mataku dan menatapnya dengan tajam. Fida bisa dengan mudah menjawab pertanyaanku dengan jawaban seeperti itu.Mungkin inilah jawaban dari pertanyaanku. Setelah aku mendengar jawaban dari Fida, aku bisa menyimpulkan, mungkin seperti ini kelakuan mas Yogi di kantor. Pasti ada orang yang dianggapnya sempurna, lebih baik dariku. Dan karena orang tersebut dia siap meninggalkanku kapan saja, seperti apa kata Fida tadi.Melihatku terdiam membuat Fida kemudian bertanya, "Kamu kenapa sih? Syok ya dengar jawabanku tadi?"Aku menganggukkan kepalaku membuatnya kemudian membuka suaranya kembali.
"Ya kali pak Rendi mau sama aku, itu adalah hal yang sangat mustahil. Makanya aku berani ngomong gitu karena hal itu tidak akan mungkin pernah terjadi," lanjutnya.Pikiranku belum sepenuhnya kembali, aku masih menerka-nerka tentang mas Yogi dan keputusannya."Sudah cepet habiskan. Bentar lagi waktu istirahat selesai nih," tambah Fida yang melihatku hanya mengaduk-aduk nasi yang ada di hadapanku.Aku hanya memakan sebagian dari makanan itu. Rasanya masih tetap hambar jika makan sambil mengingat kisah pahit yang sedang kualami."Kenapa nggak dihabisin? Nggak enak lelenya?""Enak kok, cuma aku masih kenyang saja," jawabku beralasan.Fida tidak curiga sedikitpun melihat tingkahku yang mungkin bisa dibilang berbeda dari sebelumnya."Oh ya, Re, nanti pulang kamu naik taksi dulu nggak papa? Aku mendadak ada urusan nih." "Iya nggak papa, santai," jawabku. Usai makan kami pun segera beranjak dari kantin dan memutuskan untuk kembali ke ruangan masing-masing._______________"Re, tolong kamu buat laporan keuangan minggu lalu ya, dan segera bawa ke meja saya," Perintah pak Rendi yang dari tadi sudah menungguku di depan ruang kerjaku. "Oh baik, Pak." Aku segera mengambil dokumen yang diberikannya. Kulihat data pendapatan dan pengeluaran yang begitu banyak di dalamnya berkas itu."Ini dibutuhkan segera, Pak?" "Iya, kalau bisa sore ini selesai ya," katanya kemudian pergi meninggalkanku.Aku segera berlari masuk dan segera mengerjakan laporan keuangan yang diminta oleh pak Rendi.Kali ini aku harus bekerja lebih teliti dan berhati-hati. Tidak boleh ada kesalahan sedikitpun. Karena jika ada itu akan membuat fatal dan membuatku akan terlihat tidak bisa diandalkan."Duh, banyak banget lagi! Konsentrasi Re, konsentrasi!" Aku memulai memasukkan data dan membuat jurnal. Kemudian dilanjutkan dengan memasukkannya kedalam buku besar dan neraca. Setelah hampir lima jam aku baru menyelesaikannya."Hufft, akhirnya selesai juga," gumamku.Aku segera menyerahkan laporan yang baru saja selesai itu kepada pak Rendi."Ini, Pak. Coba Bapak cek dulu," kataku sambil menyodorkan dokumen itu.Pak Rendi membuka dan mengeceknya kembali."Oke Re, kamu memang bisa diandalkan, Terimakasih ya," jawabnya puas."Sama-sama, Pak. Ini memang sudah tugas saya," ujarku.
"Ya sudah sana pulang. Kasian kamu udah keliatan capek gitu," kata pak Rendi kemudian.Hari sudah sore, semua orang kantor sudah pulang. Begitu juga dengan Fida."Oh ya, tadi pagi sepertinya saya melihatmu berangkat bareng Fida?" "Iya pak, benar. Dia menjemput saya tadi pagi di rumah," jawabku jujur."Tapi barusan aku liat dia udah pulang duluan tuh. Apa kamu gak pulang bareng dia lagi?" "Enggak, Pak. Tadi Fida udah bilang kalau dia ada urusan. Jadi dia menyuruh saya naik taksi," jawabku."Oh kebetulan saya mau pulang. Rumahmu searah kan dengan rumah Fida?"Aku mengangguk. "Ya udah kalau gitu bareng saya saja, bagaimana?""Tapi, Pak?""Udah, nggak papa kok. Sana ambil tasmu, saya tunggu di bawah ya," kata pak Rendi kemudian.Sebenarnya aku tidak enak jika harus pulang bareng dengan manager perusahaan ini. Apalagi ini hari pertamaku bekerja. Takut terjadi fitnah jika ada yang melihatnya nanti."Udah sana, kok malah benggong." "I_iya, Pak." Aku pun segera melangkah keluar untuk mengambil tas di meja kerjaku._____________________"Ayo, Re," Terdengar suara pak Rendi dari dalam mobilnya."Iya, Pak." Aku segera menghampiri mobilnya dan membuka pintu belakang. Rasanya tidak enak jika harus duduk bersebelahan dengan bos kantor sendiri."Kok di belakang? Depan saja, dikira saya sopir apa?" katanya setelah aku masuk dan duduk di jok belakang."Eh maaf, Pak," ujarku. Aku pun turun kemudian pindah ke depan duduk di sebelah pak Rendi."Nah, gini kan enak," katanya kemudian melajukan mobilnya.Dalam mobil pak Rendi lebih banyak bicara dari pada aku. Aku masih merasa canggung jika harus kelihatan akrab dengannya."Oh ya Re, kamu sudah berumah tangga?" tanya pak Rendi kemudian."Sudah, Pak. Saya juga sudah punya seorang anak. Dia kelas empat," jawabku berusaha menjelaskan."Oh, terus suamimu kerja juga?"Aku mengangguk, tidak ingin rasanya untuk membahas dia lagi saat ini."Kerja di mana? Terus anakmu siapa yang urus?"Pertanyaannya kali ini membuatku akhirnya terdiam."Kenapa diam, Re? Saya salag bicara ya?"Karena terpojoknya aku dengan pertanyaan itu akhirnya aku menceritakan pada pak Rendi tentang masalah rumah tanggaku."Dasar, laki-laki tak tau di untung!! Sudah lepaskan saja laki-laki seperti itu!! Masih banyak laki-laki di luaran sana yang lebih baik, Re," ujar pak Rendi yang merasa kesal setelah mendengar ceritaku."Tapi kami punya seorang anak, Pak. Rasanya kasian saja pada anak saya jika harus melihat orang tuanya berpisah. Dia pasti yang akan jadi korbannya," jawabku selanjutnya.Pak Rendi diam sesaat kemudian melanjutkan ucapannya lagi, "Daripada kamu sakit hati terus-menerus nantinya. Akan lebih baik jika kamu berpisah saja darinya. Soal anak itu masih bisa diatur.""Tapi Suami saya membawa anak saya pergi pak.""Ya kamu harus ambil hak asuh atas anakmu, jangan berikan anakmu pada orang seperti dia!""Tapi suami saya tidak percaya jika saya bisa memberikan yang terbaik buat anak saya, Pak. Dia masih menganggap saya sebagai orang yang payah," kataku berusaha menahan air mata yang sudah berada di pelupuk mata."Sekarang kan kamu sudah bekerja. Dan kinerjamu memang saya akui bagus. Kamu akan segera naik ke level berikutnya jika kerjamu seperti ini terus. Kamu nggak usah khawatir soal anakmu lagi. Setelah karirmu sukses nanti, kamu bisa buktikan pada suamimu dan bisa mengambil lagi hak atas anakmu," kata pak Rendi meyakinkanku."Terima kasih, Pak. Saya kini lebih bersemangat untuk mewujudkan semua itu.""Kamu pasti bisa!! Semangat!!" kata pak Rendi yang membuat semangatku bertambah."Di depan berhenti ya, Pak," kataku pada pak Rendi."Oh rumahmu daerah sini ya, Re?""Iya, Pak. Masih naik angkot sekali lagi sih," jawabku jujur."Saya anterin saja kamu sampai rumahmu, bagaimana?" Pak Rendi menawarkan."Nggak usah, Pak. Nanti ngerepotin. Saya naik angkot aja," jawabku tidak ingin merepotkan pak Rendi lagi."Nggak papa, ayo saya antar aja." "Beneran gak ngrepotin, Pak? Saya malah jadi merasa sungkan," ujarku."Sudah tidak usah sungkan, saya tidak merasa direpotkan kok. Saya malah akan merasa bersalah jika menurunkanmu di sini," lanjut Pak Rendi membuatku akhirnya menyetujuinya."Oh ya, Re, dulu kamu pernah kerja kantoran ya? Kok kamu langsung bisa menyesuaikan diri gitu di kantor tadi. Tidak banyak bertanya juga. Sepertinya sudah paham dengan pekerjaan yang harus kamu kerjakan.""Sebenarnya sebelum menikah saya sempat bekerja, Pak." "Oh begitu. Lalu kenapa berhenti?""Setelah menikah saya memilih menjadi ibu rumah tangga saja. Karena menurut saya suami saya adalah
"Re, itu bapakmu sudah pulang," kata ibu dari balik pintu kamar.Aku bergegas menemui bapak yang baru pulang dari Showroom."Baru pulang, Pak?" "Iya Re, kamu kapan datang?" tanya bapak."Tadi sore, Pak," jawabku lemah."Mana Reza sama Yogi? Mereka nggak ikut?"Aku terdiam, namun Ibu langsung menceritakan apa yang sebenarnya terjadi."Loh, bisa-bisanya dia bertingkah seperti itu? Apa dia nggak ingat apa yang telah kita lakukan untuknya?""Memang, Pak. Putri kita disakiti oleh pria seperti itu. Ibu sangat tidak terima, Pak," tambah Ibu."Memang apa alasan sebenarnya, Re? Kenapa dia ingin menikah lagi?"Akhirnya aku ceritakan semua tentang keinginannya memiliki istri seorang wanita karir."Dasar, lelaki macam apa itu? Hanya memandang istri dari penampilan! Dia itu sebenarnya yang kurang bersyukur bisa mendapatkan Reina," ujar ibu terlihat kesal."Sudah, Re. Kamu nggak usah mikirin dia lagi? Kamu lebih baik fokus pada hidupmu. Nggak penting mikirin lelaki yang tak punya hati seperti dia,
"Ngapain kamu di sini?" tanya mas Yogi yang masih kaget melihatku."Aku kerja. Kamu sendiri ngapain?" tanyaku balik.Mas Yogi tidak menjawab pertanyaanku. Mukanya memerah seperti ketakutan."Kenapa? Kamu juga ketemu klien di sini?" tanyaku yang membuatnya semakin gugup.Sebelum mas Yogi sempat menjawab pertanyaanku, seorang wanita datang menghampiri kami."Ada apa, Yang?" terdengar suuara wanita yang membuatku segera menoleh."Ratna???!!" ucapku terkejut saat melihat ternyata Ratna yang berbicara."Yang? Maksutnya apa ini?" tanyaku yang membuat kedua orang itu gelagapan."Oh, itu_itu_" kata Ratna terbata-bata."Jelasin apa maksut ini semua, Mas!!!" kataku dengan nada keras membuat pak Rendi melihat ke arahku."Sebenarnya_sebenarnya Ratna adalah," ucap mas Yogi gugup."Sebenarnya aku adalah pacarnya!" sahut Ratna tanpa rasa bersalah."Hah??? Kenapa harus dia Mas?! Kenapa? Bukannya kamu tau aku sama Ratna itu berteman!!!!!" seruku yang membuat semua pengunjung kafe menoleh ke arahku. A
Kriiinnnnggggggggggg, tiba-tiba ponselku berbunyi saat aku hendak tidur. Aku mengambilnya kemudian kulihat siapa yang menelepon. Betapa kagetnya aku ternyata itu nomer mas Yogi. Apa sekarang dia sudah tidak memblokir nomerku lagi?"Mau apa lagi kamu?" kataku setelah mengangkatnya."Aku mau kita bercerai. Tadinya kupikir aku merasa kasihan sama Reza. Tapi sekarang sudah tidak lagi.""Baik jika itu maumu!" "Aku tidak menyangka kamu secepat itu menemukan penggantiku," katanya yang ternyata salah paham.Karena aku tidak ingin terlihat masih mengharapkannya, aku tidak mengatakan kebenarannya. "Baik. Kapan kita sidang?""Nanti ku kabari lagi," katanya kemudian menutup telepon sebelum aku sempat bertanya keadaan Reza.Jika memang ini yang kamu inginkan, aku akan terima. Aku tidak ingin menjadi wanita payah yang menangisi kepergian suami brengseknya."Kita buktikan, Mas. Siapa yang akan menang!" kataku malam itu. Aku sudah tidak peduli dengannya. Sekarang lebih baik memang kita berpisah. "
"Sepertinya besok saya tidak bisa masuk kerja, Pak. Apa boleh saya ijin satu hari?" kataku meminta ijin pada pak Rendi."Memangnya ada apa, Re? Kenapa mendadak kamu minta cuti?" tanya pak Rendi."Besok sidang perceraian pertama saya, Pak," jawabku jujur.Pak Rendi diam sejenak, tak lama setelah itu kemudian dia kembali berbicara."Kamu masuk aja ya, Re. Sayang kalau kamu harus cuti, gajimu akan terpotong nanti. Lagian kamu masih karyawan baru juga. Tidak baik jika saya memberimu cuti, Re," lanjutnya."Terus sebaiknya bagaimana, Pak? Soalnya saya harus datang ke pengadilan besok. Kalau saya tidak datang pasti mas Yogi mengira saya masih belum bisa menerima keputusannya ini," jelasku."Kamu berangkat habis sidang saja ngggak papa, Re. Bisakan?""Oh, baiklah kalau begitu, Pak." Akhirnya aku memutuskan untuk menerima saran dari pak Rendi. Aku kembali ke ruanganku setelah itu.Jam sudah menunjukkan waktunya pulang. Fida menghampiriku kemudian berkata."Pulang sendiri ngggak papa kan, Re?"
Ibu meneleponku ketika aku sedang berjalan Pulang. Suaranya terdengar cemas."Re, kamu bisa ke rumah sekarang?" kata Ibu di ujung telepon."Ada apa, Bu? Kenapa Ibu terlihat cemas begitu?" "Nanti Ibu ceritakan. Sekarang kamu ke sini dulu ya," suruh Ibu kemudian dia menutup telponnya.Tanpa berpikir panjang aku segera memberi tahu pak sopir agar mengantarku ke rumah Ibu."Bu," sapaku setelah sampai di rumah."Akhirnya Kamu datang juga, Re," kata Ibu segera menggandeng tanganku kemudian membawaku masuk."Ada apa, Bu? Ibu terlihat khawatir begitu?""Adikmu itu, Re. Tadi ada telepon dari kampus, katanya dia sudah beberapa hari bolos kuliah. Kemana dia sebenarnya?""Memangnya Diki sekarang nggak di rumah, Bu?""Lha wong tiap hari aja minta uang saku sama Ibu. Ibu mikirnya dia pasti kuliah."Aku belum mengatakan soal kejadian kemarin pada Ibu. Akan ku selidiki dulu masalah ini sebenarnya sebelum kuberi tahukan pada Ibu."Ibu sudah coba telepon Diki?""Udah, tapi nggak diangkat. Ibu sudah m
"ini Ratna siapa?" Tanyaku terkejut melihat nama yang tertulis diponsel itu."Gak perlu tau kak." Jawab Diki sewot.Apa hanya pikiranku yang merasa cemas jika itu adalah Ratna Pacar Yogi? Ah mungkin Ratna yang lain. Banyak orang yang memiliki kesamaan nama di negara Ini, pikirku."Kamu gak pacaran dengan orang yang lebih tua darimu kan?" Tanyaku serius."Apa itu penting juga buat kakak? Ini hidupku, aku yang jalani. Kakak Gak perlu ikut campur!!" Katanya dengan nada kesal. "Udah turun sana!" Usir Diki selanjutnya."Awas kamu ya jika sampai kakak tau!!" Kataku kemudian turun dari mobilnya.Usia ku dan Diki berbeda tiga belas tahun. Sekarang aku berumur 34 tahun, sedangkan dia baru berumur 21 tahun."Kakak percaya kamu tidak akan macarin orang seumuran Kakak." Kataku membuat wajahnya sedikit kaget.Aku turun dari mobilnya kemudian melangkah menuju kantor. Dalam perjalanan, pikiranku masih tertuju pada adikku satu satunya itu."Jangan sampai! Jangan sampai deh!!" Ucapku sendiri."Amin
Aku merasa sakit hati ketika satu satunya orang yang aku cintai malah mencintai orang lain. "Kamu tau gak Rat, ada seorang wanita yang sedang aku cintai lo." Katanya ketika kami sedang makan bakso bersama. Jantungku tiba tiba berdegup kencang mendengar Andra berkata demikian. Aku yakin bahwa orang yang dia maksud adalah aku. Aku tersenyum sambil mendengar semua perkataannya. Namun tiba tiba dia menyebut nama orang yang dicintainya, Reina."Aku sudah lama naksir Reina lo Rat, gimana menurutmu?" Tanya Andra.Wajah bahagiaku seketika hilang. Aku merasa dia sudah mempermainkanku. Selama ini kami selalu bersama. Kemana mana bersama. Aku pikir itu semua karena dia menyukaiku, tapi ternyata firasatku salah. "Gimana menurutmu Reina? Dia anak yang baik kan?? Apa lagi kamu juga berteman dengannya kan?" Tanya Andra lagi.Aku hanya mengangguk kemudian senyum dengan terpaksa."Ya udah, besuk aku akan menembaknya Rat. Doain aku ya." Katanya kemudian berlari meninggalkanku.Sejak saat itu aku be
Beberapa bulan setelah itu buku ketiga mas Candra pun terbit. Buku yang menjadi inspirasi banyak orang ternyata. Kisah seorang ayah yang rela berkorban melakukan apapun itu demi pengobatan anaknya yang menderita gagal ginjal. "Selamat atas realisnya buku ketigamu, Mas. Semoga semakin sukses untuk ke depannya," kataku pada mas Candra. "Terimakasih juga, Sayang. Semua ini terjadi juga karena adanya kamu. Aku percaya jika aku bisa seperti ini karena dukungan penuh darimu. Terimakasih sekali lagi sudah mau menjadi pendamping hidupku yang selalu mendukung apapun keputusanku," kata mas Candra. "Aku bangga padamu, Mas," balasku. Mas Candra kemudian naik ke panggung setelah pembawa acara mempersilahkannya. "Saya mengucapkan terimakasih banyak untuk semua yang sudah meluangkan waktunya. Hari ini secara resmi, buku ketiga saya telah diterbitkan. Buku ini mengisahkan tentang pengorbanan seorang ayah. Kalian mungkin bertanya-tanya, siapakah sosok dibalik tokoh yang menjadi inspirasi saya da
"Ndra," terdengar suara seorang perempuan memanggil nama suamiku saat kita sedang berjalan menuju ke mobil."Oliv?" kataku saat melihat ternyata dia yang memanggil mas Candra tadi."Ada apa?" tanya mas Candra kemudian."Aku mau bicara sama kamu, bisa?" kata Oliv kemudian.Mas Candra malah menoleh ke arahku tanpa menjawab perkataan Oliv. "Iya silahkan bicara di sini saja," kata mas Candra. Sepertinya dia ingin menjaga perasaanku."Aku mau bicara empat mata saja. Bisakah?" tambah Oliv."Kenapa nggak di sini saja? Sama saja kan?" kata mas Candra lagi."Boleh aku pinjam Candranya sebentar, Re. Janji deh hanya lima menitan saja," kata Oliv padaku setelah itu."Oh iya, silahkan bawa saja," jawabku.Mas Candra pun kemudian mengikuti kemana Oliv pergi. Dari jauh aku memperhatikan gerak-gerik mereka. Mereka terlihat membicarakan hal yanh serius berdua.Lima menit kemudian mas Candra kembali menghampiriku begitu juga dengan Oliv."Makasih ya, Re. Ini aku kembalikan lagi Candra untukmu," kata O
Mas Candra akhirnya menjadikan pak Sapto sebagai sosok inspirasi untuk buku ke tiganya. Dia juga mendapatkan penghargaan atas apa yang dia lakukan pada pak Sapto.Ternyata pak kepala desa yang mengetahui kebaikan mas Candra kepada pak Sapto menceritakannya pada bapak wali kota. Secepat ini balasan yang Allah berikan kepada orang yang ikhlas membantu orang lain ternyata. "Jadi hari ini berangkat jam berapa, Mas?" tannyaku pada mas Candra. Hari ini dia akan datang ke acara launching buku salah satu teman penulisnya."Sebentar lagi. Kamu ikut kan?" tanya mas Candra. "Raiqa bagaimana?" tanyaku."Ajak aja Raiqa. Dia pasti seneng kan diajak jalan-jalan naik mobil," balas mas Candra. "Kamu yakin? Di sana pasti banyak orang kan?" "Nggak papa, Sayang. Raiqa pasti senang," kata mas Candra kemudian. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu dan tanpa terasa kini putri kecilku sudah berusia tiga bulan. "Ya sudah deh. Aku siap-siap dulu kalau begitu," kataku.Saat aku sedang bersiap tiba-tiba s
"Ini hadiah buat Mela. Mela semangat ya. Tidak boleh malas jika di suruh melakukan HD," kataku saat kita sudah sampai di rumah sakit lagi. "Asyik, makasih ya, Tante.""Sama-sama, Sayang. Kalau begitu Tante keluar ya. Mela ditungguin Ibu sekarang," lanjutku."Iya, Tante. Makasih ya. Mela akan selalu semangat menjalani HD agar cepat sembuh," jawab Mela.Aku segera memeluk Mela. Tak terasa air mata ini pun jatuh begitu saja."Tante kenapa menangis?" tanya anak kecil itu."Nggak papa, Sayang. Tante cuma bangga saja padamu," jawabku seraya menyeka air mataku yang baru saja tumpah."Aku hebat ya?""Iya, kamu anak yang hebat. Teruslah seperti ini ya, Sayang," tambahku.Setelah hampir setengah jam aku di dalam bersama dengan Mela, akhirnya aku pun keluar. Mela meneruskan melakukan cuci darahnya. "Sudah?" tanya mas Candra yang saat ini sedang menggendong Raiqa."Sudah, Mas.""Pergi sekarang?""Semua sudah kamu selesaikan?""Sudah, Sayang," jawab mas Candra. "Ya sudah kalau begitu. Ayo pulan
"Mulai hari ini setiap kamu mau HD, kamu perginya ke sini ya, Mel. Tidak perlu ke rumah sakit yang di luar kota," kata mas Candra."Kenapa di sini, Om? Mela kan udah betah dan nyaman HD di rumah sakit yang kemarin. Perawatnya juga baik-baik banget pada Mela," jawab Mela. "Mela mau cepet sembuh kan? Rumah sakit ini lebih baik dari rumah sakit sebelumnya. Jadi di rumah sakit ini juga nantinya Mela bakalan dapat perawatan dan pengobatan yang baik. Mela mau sembuh kan?" kata mas Candra selanjutnya. "Mela ingin sekali sembuh, Om. Tapi kata ibu, Mela ini anak istimewa. Jadi sewaktu-waktu kalau Tuhan udah sayang sama Mela, Mela harus siap untuk dipanggil Tuhan," jawab Mela. Kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan air mataku. Aku langsung pergi sebentar agar Mela tidak melihat air mataku keluar."Re," kata mas Candra yang tiba-tiba menyusulku. "Mas," ujarku yang kemudian langsung memeluknya."Nggak papa. Dia anak yang kuat. Dia pasti bisa melewati ini semua. Kita akan membantunya. Kita
"Di mana pak Sapto?" taya bapak kepala desa pada seorang perempuan yang duduk di ruang tunggu bersama seorang anak perempuan."Pak Lurah, tolong suami saya, Pak. Dia sedang di interogasi di dalam," kata perempuan tadi."Bagaimana ini, Mbak? Apa kita harus masuk?" tanya bapak kepala desa padaku. "Sebentar, Pak. Saya telepon suami saya dulu," sambungku.Aku menghubungi mas Candra setelah itu. Dia pasti bisa memberi pengertian kepada polisi agar polisi membebaskan pak Sapto."Jadi kamu di kantor polisi sekarang, Re?""Iya, Mas. Mas Candra bisa datang sekarang nggak? Sudah selesai belum di sana?" tanyaku."Iya aku akan langsung ke kantor polisi setelah ini. Urusanku di sini juga sudah selesai," kata mas Candra kemudian."Buruan ya, Mas. Aku bingung harus bagaimana ini," ucapku."Iya, Re. Aku segera datang."Setelah menghubungi mas Candra, aku kemudian mendekati istri pak Sapto dan anaknya. Aku yakin jika anak yang dimaksud pak Sapto adalah anak ini."Bu," sapaku."Iya, Mbak. Apakah mbakn
Ponsel mas Candra berdering saat kita sedang sarapan bersama. Dia lalu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja dan langsung melihat siapa yang meneleponnya. "Halo," ujar mas Candra."Oh iya, Pak. Apa sudah sampai di rumah sekarang?" tanya mas Candra kemudian."Baik, Pak. Hari ini saya ke rumah ya. Saya hubungi dulu teman saya di rumah sakit," sambung mas Candra."Sama-sama, Pak. Tunggu saya datang. Sebentar lagi saya ke sana," lanjut mas Candra.Setelah mas Candra mengakhiri panggilannya dia lalu bergegas bangkit dari meja makan."Mau berangkat sekarang? Pak Sapto sudah sampai di rumah ya, Mas?" tanyaku yang tahu jika itu panggilan dari pak Sapto."Iya, Sayang. Aku langsung ke sana sekarang ya. Kamu mau ikut nggak?" tanya mas Candra kemudian."Aku di rumah saja ya, Mas. Kasihan Raiqa," jawabku."Ya sudah kalau begitu. Aku sendiri saja nggak papa. Aku siap-siap dulu ya," kata mas Candra selanjutnya. "Iya, Mas. Oh iya, Mas. Bukankah hari ini kamu ada janji ketemuan sama produ
"Jadi begitu ceritanya? Kasihan banget pak Sapto itu. Dia rela melakukan penipuan seperti itu demi membiayai pengobatan anaknya," kata Ibu saat aku dan mas Candra menceritakan soal kejujuran pak Sapto. "Iya benar, Bu. Sebuah pengorbanan seorang ayah untuk anaknya," balasku. "Ya begitulah, Re. Jadi kalian berniat untuk membantunya?""Iya, Bu. Mas Candra mau membantu pengobatan anak pak Sapto," ujarku."Benar begitu, nak Candra?""Iya, Bu. Aku merasa harus membantu bapak ini. Rejeki yang selama ini aku dapat sebenarnya juga rejeki pak Sapto ini. Diki menabraknya juga bukan sebuah kebetulan semata. Semua ini sudah kehendak Allah.""Nak Candra benar. Dalam rejeki kita ada rejeki orang lain juga. Semoga rejeki kalian makin berkah kedepannya," lanjut Ibu."Amin," balasku dan Mas Candra secara bersamaan. "Dan untuk Diki, ibu minta maaf. Ibu tidak pernah berniat atau pun bermaksud untuk membuatmu sakit hati. Ibu hanya berusaha menasehati mu. Ibu menghawatirkanmu," sambung Ibu."Maafkan Dik
"Iya begitulah, Mbak," jawab pak Sapto. Aku tahu jika saat ini dia sedang berkata jujur. "Kenapa bapak memilih untuk melakukan pekerjaan ini?" tanya mas Candra."Saya terpaksa, Mas. Seandainya ada pekerjaan lain yang bisa mendapatkan uang dengan cepat pasti saya akan melakukannya. Apapun itu pekerjaannya. Saya pernah mau menjual ginjal saya juga untuk pengobatan anak saya, tapi istri melarang saya. Saya tidak ada pilihan lain, Mas." "Apakah istri dan anak bapak tahu akan hal ini?" tanya mas Candra lagi."Istri tahu, anak yang tidak tahu. Jadi setiap kali saya di tangkap dan masuk polisi istri selalu bilang jika saya lagi bekerja keluar kota. Berusaha untuk membuat anak saya percaya," jawab pak Sapto sembari menyeka air matanya."Apa polisi tidak pernah menanyakan alasan bapak melakukan ini semua? Bukankah sudah hampir tiap kali di tangkap pasti melakukan hal yang sama?" tanyaku."Tidak ada yang peduli, Mas. Polisi juga yang penting memenjarakan saya. Mereka tidak pernah bertanya ken