Selama hidupnya Nora tidak mengetahui keluarganya. Sama seperti Cinta, dia sudah berada di panti asuhan sejak bayi. Sehingga dia tidak tahu harus lari kemana dan meminta bantuan kepada siapa saat menghadapi masalah seperti ini.Tatap mata Nora beralih ke jalanan yang gelap, seperti esok hari yang tanpa kepastian. Semakin jauh perjalanan, terasa semakin terasa sunyi dan mencekam.Sopir fokus pada jalanan yang membutuhkan konsentrasi lebih di malam hari. Sementara itu Mama Lisa mulai tertidur, di hantam rasa kantuk dan Lelah.Dengan tangan gemetar Nora membuka ponselnya, lalu membuka layar pesan dan mengetik. Selain kabur, Nora mencoba cara lain untuk bisa lepas dari masalah yang menghantamnya."Tolong aku Ta, aku butuh bantuanmu. Aku tidak tahu harus minta tolong ke siapa lagi." Seperti orang yang tidak punya rasa malu, akhirnya Nora meminta bantuan pada orang yang dia ancam.Pesan itu terkirim. Nora menatap layar, menunggu balasan. Detik terasa seperti menit, dan menit terasa seperti
Dari dalam mobil, Mama Lisa menatap keluar. Bukan hanya pada polisi yang sudah berdiri di sekitar mobilnya, tetapi juga beberapa ikon kota yang memperlihatkan jika mobil yang dia tumpangi sudah melaju terlalu jauh. Karena tertidur, dia lupa memberi instruksi kepada sopir untuk berhenti di kota sebelumnya, tempat beberapa teman lama bisa memberikan bantuan dan perlindungan.Dalam situasi seperti ini Mama Lisa sadar jika dia sudah tidak bisa berkelit lagi. Akhirnya dengan tangan gemetar dia membuka pintu mobil.Lampu kamera menyala serentak saat pintu mobil terbuka. Suara klik shutter dan teriakan wartawan memecah malam yang dingin. Sungguh sesuatu yang di luar perkiraan Mama Lisa, jika berita sudah viral, tentu tidak mudah baginya untuk lepas dari jeratan hukum.“Bu Lisa! Apa benar Anda yang selama ini mengelola jaringan prostitusi kelas atas?”“Benarkah Anda terlibat dalam perdagangan manusia?”“Benarkah BLK yang Anda dirikan adalah kedok untuk merekrut gadis-gadis yang akan Anda jual
Tatap mata Tiara penuh tanya dan curiga. Ada rasa rendah diri dalam Cinta, saat aibnya harus terbongkar.“Kak… pekerjaan apa yang dulu Kak Cinta dapat dari Kak Nora?”“Tiara…” ucap Cinta hati-hati.Tiara terdiam menantikan sosok yang sudah dia anggap kakak itu memberi penjelasan. Ada sebuah penghakiman dari sorot matanya, tapi juga ada rasa kasihan karena mengingat saat itu Cinta benar-benar dalam keadaan tidak berdaya.Cinta menarik napas dalam-dalam. Pertanyaan yang Tiara lontarkan Bagai palu yang menghantam. Ia tidak pernah menyangka momen ini akan datang begitu cepat dan tiba-tiba. Ia menunduk sejenak, mencoba merangkai kalimat. Tapi sebelum sempat menjawab, ponselnya bergetar di atas meja. Nama ‘Rama’ terpampang di layar.“Sebentar ya,” ucap Cinta, mencoba tersenyum, meski getir terasa di bibirnya.Ia mengangkat panggilan itu dan berjalan beberapa langkah menjauh dari Tiara."Halo?" suaranya pelan, nyaris berbisik.Di ujung sana, suara Rama terdengar tenang tapi tegas, seperti bi
Akhir pekan itu dimulai dengan cahaya matahari yang hangat menelusup ke sela tirai jendela. Di dalam kamarnya yang bersih dan hangat, Chiara sudah tampak siap sejak pagi. Rambutnya dikuncir dua, rapi dengan pita kecil berwarna pastel. Dia mengenakan kaos bergambar kelinci dan celana panjang yang nyaman.Di meja belajarnya, Chiara tengah mengatur alat melukis yang baru, kuas berbagai ukuran, cat akrilik dalam tabung warna-warni, dan sebuah kanvas kecil yang masih putih bersih. Semua perlengkapan itu adalah pemberian dari Rama, yang belakangan mulai sering hadir dalam hidupnya."Aku mau melukis taman bunga," ucap Chiara sambil menuang cat merah ke palet. "Tapi nanti aku tambahkan matahari yang senyum juga… terus ada kupu-kupunya, dua, biar nggak kesepian."Cinta, yang sedang merapikan tempat tidur Chiara, hanya tersenyum sambil melirik sekilas. Dia senang melihat putrinya sibuk dengan hal yang positif. Sejak alat melukis itu datang, Chiara mulai jarang memegang ponsel, dan lebih sering
Berulang kali Rama menatap jam mewah yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarum detik seakan berjalan lambat, padahal pembicaraan di hadapannya terus mengalir. Rama duduk dengan tegak, menyimak dengan saksama paparan dari pria paruh baya di depannya yang sedang membicarakan rancangan kerja sama dan potensi investasi jangka panjang. "…tentu kami harap, dengan reputasi dan pengalaman Pak Rama, kerja sama ini bisa memberi dampak signifikan bagi kedua belah pihak," ucap klien itu penuh semangat. Rama tersenyum kecil, menanggapi dengan anggukan dan beberapa tanggapan yang tetap sopan dan strategis. Tapi hatinya, jauh dari ruang itu. Ada sesuatu yang berdebar lebih kuat dari deru bisnis. Sesuatu yang lebih pribadi, lebih dalam dari sekadar kesepakatan kerja. Dia sudah menyelesaikan bagiannya. Mama Lisa kini sudah bukan ancaman. Nora juga tak akan kembali memburunya dengan foto-foto dan video yang bisa merusak nama baik Cinta. Semua telah dia bersihkan, diam-diam, tanpa membuat Cint
Rama tak bergerak. Ia hanya menatap Chiara, lalu perlahan mengalihkan pandangan ke arah Cinta.Cinta menunduk. Matanya tak berani menatap Rama.Senyum di wajah Rama perlahan memudar. Tangannya yang menggenggam kotak hadiah sedikit mengencang. Angin dari pendingin ruangan seakan berubah jadi dingin yang menampar harapannya.Rama merasa, kedatangannya sudah terlambat.Suasana kafe yang semula hangat kini dipenuhi ketegangan yang nyaris membeku di udara. Tawa riang Chiara seolah jadi satu-satunya suara yang masih terdengar jernih di antara tiga orang dewasa yang saling menatap tanpa kata.Cinta berdiri kaku di belakang meja kasir. Tangannya mencengkeram tumpukan buku catatan pembukuan, mencoba meredam detak jantung yang terasa menggema di dada. Di hadapannya, Kevin berdiri dengan tenang, tubuhnya tegap, wajahnya menunjukkan keterkejutan yang ia sembunyikan di balik senyum tipis yang tidak sepenuhnya tulus.Rama melangkah pelan mendekat. Setiap langkahnya seolah menambah beban di udara. I
Cinta terdiam. Pandangannya turun ke lantai, lalu ke meja, dan berakhir pada wajah tampan di hadapannya, sosok pria yang selama ini secara terang-terangan menyusun harapan untuk hidup bersamanya. “Kevin baru datang," ucap Cinta sama sekali tidak menjawab pertanyaan. "Chiara sudah lama tidak bertemu papanya, aku tidak tega merusak kebahagiaannya.” "Kau belum menjawab pertanyaanku." Tatap mata tajam dan suara bernada dingin dari Rama, membuat Cinta mengalihkan pandangannya. Sulit bagi Cinta memberi jawaban, bukan karena dia berkeinginan untuk kembali pada Kevin, tapi tidak ingin memberi harapan pada Rama. Untuk alasan, tidak bisa dia ungkap di hadapan Rama. “Jawab aku, Ta!” Lirih, tapi penuh penekanan Tak ada jawaban. Semakin dipaksa, Cinta justru semakin bungkam. Rama menyipitkan mata. “Bagaimana dengan aku?” tanyanya, nyaris berbisik. “Apa kamu juga butuh waktu untuk tahu perasaanku?” Cinta memejamkan mata sejenak. Berat. Semua ini terlalu rumit. Ada Chiara. Ada masa lalu. Ad
Langit sore mulai berubah warna, semburat jingga melapisi awan tipis yang berarak. Udara sejuk membelai kulit, dan di depan kafe yang mulai lengang, keempat orang itu keluar bersamaan.Para karyawan Cinta yang melihat kejadian itu hanya diam, tak memberi komentar. Yang mereka tahu, ada hubungan rumit di antara mereka. Dan Chiara dengan segala kepolosannya justru terlihat sangat menikmati kebersamaan yang sebenarnya penuh bara dan gemuruh di dada.Kevin menggendong Chiara, ingin menunjukkan kepada dunia jika dia adalah seorang ayah yang menyayangi anaknya, berusaha menutupi noktah dan cela yang berhasil menghancurkan keluarga bahagianya.Sesekali Kevin mencium pipi Chiara yang tergelak karena geli. Chiara memeluk leher ayah kandungnya erat. Wajahnya di penuhi binar Bahagia, kerinduan yang sudah lama dia pendam akhirnya bisa terluapkan.Sementara itu, di belakang mereka, Rama dan Cinta berjalan pelan sambil bergandengan tangan. Lebih tepatnya Rama yang menggenggam tangan Cinta dengan er
Seorang perempuan muda tampak sudah menunggu kedatangan Widya. Dia duduk manis dengan setelan semi formal berwarna pastel. Senyumnya yang ramah membuatnya terlihat semakin elegan dan berkelas.Evita tersenyum kecil, seolah sudah menduga jika Widya akan pembicaraan hal ini. Ia menegakkan tubuh, merapikan helaian rambutnya yang jatuh ke pundak."Seperti yang sudah kita bahas sebelumnya, Tante," ucap Evita tenang, suaranya terukur.Sebagai seorang calon penerus dari perusahaan Loekito Group, tentu dia tidak ingin terlihat murahan di hadapan Widya. Meski sebenarnya hati sudah ingin menjerat Rama dengan berbagai cara."Sebenarnya sampai saat ini saya masih terus mencari kesempatan. Tapi Rama terlalu fokus pada perempuan itu."Widya menyipitkan mata, lalu menghela napas keras.“Seharusnya kau bisa bergerak lebih cepat. Kau tahu, waktu kita tidak banyak. Aku sudah cukup memberikan kesempatan.”Evita tersenyum miring. "Saya tahu. Tapi menaklukkan Rama bukan perkara secepat menjentikkan jari.”
Dalam perjalanan pulang, Rama mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Sembari menyusuri jalanan kota yang mulai dipenuhi pendar sinar lampu di malam hari. Rama meraih ponselnya yang tergeletak di konsol tengah. Dengan sekali sentuhan, ia mencari nama yang tak pernah lepas dari benaknya, Cinta. Gemuruh rindu tak tertahan lagi di dada, hingga membuat Rama langsung menekan tombol panggil, dan sambil menunggu nada sambung, Rama menyandarkan tubuhnya lebih santai ke jok. Entah mengapa, hanya mendengar nada sambung saja sudah membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Penantian itu terasa begitu menyiksanya. Ketika akhirnya terdengar suara lembut di seberang, Rama tak bisa menahan senyum yang mengembang di wajahnya. "Halo..." Suara Cinta menyapa gendang telinganya, agak ragu, tapi tetap terdengar hangat. "Halo ...," sahut Rama, ingin rasanya memberikan sebutan yang romantis, tapi entah mengapa lidahnya terasa kaku, dan justru seperti malu sendiri sebelum melontarkannya. "Sedang
Di kantor Narendra Group, suasana ruang rapat masih terasa berat setelah pertemuan panjang membahas strategi pengembangan anak usaha mereka, Narendra Green Dynamics. Rapat itu penting, membahas langkah ekspansi baru di bidang energi terbarukan, sebuah proyek ambisius yang membutuhkan ketelitian di setiap tahap. Rama duduk di kursinya yang menghadap ke jendela, memandang ke luar sejenak sambil melepas dasinya sedikit. Satu per satu peserta rapat mulai meninggalkan ruangan, menyisakan hanya Dion yang masih sibuk membereskan dokumen-dokumen di meja. "Dion," panggil Rama, nada suaranya santai tapi terdengar serius. "Ada hal penting yang ingin aku bicarakan." Dion menoleh, mengangkat alis penasaran. "Apa, Bos?" Rama menghela napas, lalu dengan nada seolah bercanda tapi matanya serius, ia bertanya, "Bagaimana caranya... menundukan hati perempuan?" Dion tertegun, lalu tertawa pendek. "Gampang-gampang susah, Bos. Perempuan itu suka belanja dan dimanja. Beri saja hadiah mewah,
Pagi itu langit terlihat begitu cerah, berbanding terbalik dengan suasana hati Rama yang sedang muram. Pewaris tunggal Narendra Group itu mengemudi tanpa tujuan pasti, membiarkan mobilnya melaju membelah jalanan kota yang mulai dipadati oleh kendaraan. Dadanya masih penuh sesak. Ia memikirkan wajah Papa yang tadi kesakitan, memikirkan kata-kata keras Mama yang terus saja mengusik. Semuanya berputar dalam pikirannya, membuat hatinya seperti terhimpit batu berat.Tangan Rama mencengkeram erat setir. Ia tahu, kalau bukan karena Papa, ia sudah membalas keras semua kata-kata Mama. Tapi ia tak bisa, ia tak ingin membuat Papa tambah menderita.Saat itu ponselnya yang tergeletak di kursi sebelah bergetar pelan, disusul bunyi notifikasi.Dengan satu tangan, Rama meraih ponsel itu. Ada sebuah pesan baru masuk. Ia sempat ragu membukanya, tapi akhirnya ia menyeret layarnya. Sebuah foto muncul.Rama membeku.Foto itu menunjukkan Cinta dan Chiara sedang tersenyum bahagia di depan kafe mereka. Di
Widya Narendra adalah sosok perempuan yang keras kepala dan teguh pendirian. Ia dibesarkan dalam keluarga terpandang, dibentuk oleh nilai-nilai tentang kehormatan, garis keturunan, dan kemurnian nama baik. Dalam hidupnya, keputusan bukan soal perasaan, tapi soal logika dan konsekuensi. Sekali ia menetapkan pendirian, tak banyak yang bisa menggoyahkan. Bahkan suaminya, Arman Narendra, lebih dari sekali menyarankan agar ia belajar sedikit saja melunak. Tapi Widya tahu, dunia tempat mereka berpijak tak pernah memberi ruang bagi mereka yang lemah. Malam itu, setelah diam-diam mendengarkan percakapan Rama dan Arman, Widya masuk ke kamarnya. Ia membuka sebuah laci, mengeluarkan amplop coklat besar yang cukup tebal, lalu duduk dengan napas tertahan. Pikirannya berperang, tapi nalurinya sebagai seorang istri dan ibu tetap satu, melindungi keluarga. Keesokan harinya, saat Rama turun dari kamar, mereka akhirnya bertemu di ruang tengah. Tak ada senyum. Hanya mata yang saling mengukur, se
Mobil hitam elegan itu meluncur perlahan melewati gerbang utama rumah keluarga Narendra. Lampu taman menyinari jalan setapak menuju teras depan, membentuk bayangan panjang dari pepohonan dan patung batu yang berdiri anggun di halaman. Begitu mobil berhenti, pintu depan terbuka dan Arman Narendra keluar, senyum lebar menyambut kedatangan putra semata wayangnya.“Rama,” sapa Arman hangat, menepuk bahu putranya ketika turun dari mobil. “Bagaimana hasil perjalanan bisnis kali ini? Kudengar beberapa investor cukup tertarik.”Rama mengangguk, menyambut pelukan ringan dari ayahnya. “Ada beberapa hal positif, Pa. Tapi... ada juga yang perlu kita bicarakan lebih dalam. Bisa kita bicara di ruang kerja, sekarang?”Arman sedikit mengerutkan dahi, tapi ia mengangguk. “Tentu. Ayo.”Keduanya berjalan masuk ke dalam rumah, melewati ruang tamu besar yang didekorasi dengan elegan dan penuh rasa prestise. Mereka kemudian menuju ruang kerja Arman, ruangan yang hanya digunakan untuk diskusi penting dalam
Setelah pintu tertutup dan langkah kaki Bu Widya menjauh, Bunda Aminah masih berdiri mematung di ruang tamu. Matanya menatap kosong ke arah pintu yang kini hening. Napasnya terasa berat. Bayang-bayang percakapan barusan masih menggema di telinganya.Suara tawa anak-anak dari halaman kembali terdengar, seolah tidak ada yang berubah. Tapi di hati Bunda, segalanya terasa berbeda.Ia melangkah pelan ke ambang jendela, menatap anak-anak yang bermain. Tawa ceria, langkah kecil berlarian, tangan-tangan mungil saling menggandeng. Dan di antara semua wajah itu, Bunda seolah melihat sosok kecil Cinta bertahun-tahun lalu, gadis remaja yang selalu menjaga adik-adiknya, selalu mengalah, selalu menjadi dewasa sebelum waktunya.Hatinya perih. Ketakutan Cinta yang dulu pernah ia ceritakan dengan mata berkaca-kaca kini benar-benar terwujud. Cinta sudah berusaha menjauh, sudah mencoba membangun hidupnya sendiri tanpa merepotkan siapa pun.Bunda Aminah ingin menghubungi Cinta, ingin mengatakan segalanya
Sore itu langit berwarna kelabu, dan udara terasa lembab seperti habis diguyur hujan sebentar. Di halaman panti asuhan sederhana yang dikelilingi pagar hijau tua, suara tawa anak-anak terdengar dari arah belakang bangunan. Bunda Aminah tengah merapikan berkas donatur saat tatap matanya teralihkan ke mobil mewah yang memasuki halaman panti asuhan.Meski sudah lama tidak datang, tapi Bunda Aminah masih sangat mengenali mobil tersebut. Jenis mobil yang tidak pasaran dan sangat jarang dia lihat.Bunda Aminah bangkit dari duduknya, Bersiap menyambut tamu agung yang datang. Ada senyum santun di wajah tenangnya, menutupi gejolak lain di dadanya.Pintu mobil terbuka perlahan. Sosok perempuan yang berpenampilan elegan turun dari mobil. Rambutnya tersisir rapi, blus krem mahal membalut tubuhnya yang masih terlihat bugar meski usia tidak lagi muda. Aroma parfum mahal samar tercium di udara, meski jarak mereka masih jauh.“Selamat datang bu Widya.” Dengan ramah dan santun Bunda Aminah menyapa tam
Ruang kerja Cinta yang berada di lantai dua menjadi tempat yang dipilih Rama untuk bicara berdua dengan Cinta.Cinta berdiri membelakangi jendela, sinar matahari menyinari sebagian wajahnya, memperjelas sorot mata yang sendu tapi mantap. Rama maju selangkah, ingin rasanya memeluknya dari belakang mencium harum aroma tubuhnya. Tapi Rama berusaha mengendalikan diri, dan hanya menggenggam tangan Cinta.“Cinta…” ucap Rama pelan, tapi tegas, “aku ingin kau jadi istriku. Menjadi ibu untuk anakku, untuk Chiara juga. Aku bersungguh-sungguh dengan segenap hatiku.”Cinta diam beberapa saat. Matanya tertuju ke luar jendela, melihat gedung-gedung lain di hadapannya. Lalu perlahan ia menarik tangannya dari genggaman Rama.“Maaf, Rama…” ucap Cinta lirih, “aku nggak bisa menerima lamaranmu.”Rama terdiam. Seolah angin pun berhenti bergerak. Dadanya terasa sesak.Setelah penantian yang begitu lama, dan segala pengorbanan yang dia berikan, ternyata tidak bisa meluluhkan hati perempuan pujaan hatinya.