“Jangan lupa jika Cinta adalah perempuan yang telah membuat Rama kehilangan arah!”“Tentu tidak,” sahut Arman dengan sorot mata yang tajam. “Tapi jangan kau kira aku tidak tahu alasan Cinta melakukan semua itu.”Widya memalingkan muka. tatap mata suaminya terasa seperti sebuah intimidasi. Tetapi ego dalam hatinya tetap membuat Widya tidak mau mengalah. “Semua yang aku lakukan demi kebaikan keluarga kita. Kehormatan dan harga diri kita.”“Tapi kau tahu sendiri, bagaimana akibatnya kepada anak kita.”Widya menggeleng pelan, menolak dengan hati yang masih ragu. “Tapi sekaran dia sudah janda, Pa… kita punya nama baik yang harus kita jaga.”“Justru karena itu,” sahut Arman tegas. “Cinta sudah melalui luka, sama seperti Rama. Kalau mereka bisa saling menyembuhkan, kenapa tidak kita beri mereka kesempatan? Kita orang tua, bukan penguasa hidup anak kita. Dan Rama… dia terlalu keras untuk dibenturkan terus-menerus.”Suasana hening. Widya memejamkan mata sesaat, lalu menatap suaminya yang kini
Renovasi di kafe Nectar & Aroma sudah selesai, itu berarti tiba waktunya bagi Cinta untuk menjemput Chiara. Tidak mungkin dia terus merepotkan Bunda Aminah dengan menitipkan Chiara yang sampai saat ini kakinya belum pulih sepenuhnya.Langit terlihat cerah, sinar matahari memancar hangat di atas bangunan panti asuhan yang sederhana namun penuh kasih. Di halaman depan, sebuah mobil yang dicarter Cinta sudah terparkir, siap membawa Cinta dan Chiara menuju kehidupan baru mereka.Sebelum Cinta dan Chiara meninggalkan panti asuhan, tampaknya ada hal penting yang ingin dibicarakan oleh Bunda Aminah. Sehingga Bunda Aminah mengajak Cinta berbicara sebentar di ruangannya. Sementara itu Chiara sedang berpamitan dengan teman-temannya.Di sofa yang berada di ruangan itu, Cinta duduk berdampingan dengan Bunda Aminah. Perempuan paruh baya itu menggenggam tangan Cinta, bukan hanya untuk menunjukkan dukungan tetapi juga kasih sayang yang tulus."Cinta... sebelum kamu pergi, ada satu hal yang harus ka
Dengan berat hati Cinta menggelengkan kepala, lalu dia berucap dengan suara serak, "Maaf, Sayang... Papa masih sibuk bekerja."Chiara mengangguk kecil, meski wajahnya jelas menunjukkan rasa kecewa yang mendalam. Ia melempar pandang ke luar jendela, menatap pohon-pohon yang berderet di tepi jalan. Sorot matanya suram, dan jemarinya memainkan telinga bonekanya.Cinta hanya bisa menatap ke depan, menahan tangis. Ia tahu, penjelasan seperti itu tak kan selamanya bisa diterima. Tapi untuk saat ini, itu adalah kalimat paling halus yang bisa ia ucapkan. Cinta sadar, kelak Chiara akan melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih sulit untuk dijawab.***Sementara itu, di tempat yang berbeda, tepatnya di halaman panti asuhan yang baru saja kembali sepi, sebuah mobil lain melaju perlahan, lalu berhenti tepat di depan gerbang. Bunda Aminah yang belum sempat masuk kembali ke ruangannya, menghentikan langkahnya dan menoleh.Tatap matanya menajam. Mobil itu sangat ia kenal.Hatinya bergetar, ada y
Lilian melangkah perlahan di ruang tengah rumah besar milik Kevin, mengamati satu per satu foto keluarga yang berjejer rapi di atas meja konsol. Tangan Lilian menyentuh salah satu pigura yang berisi potret bahagia Kevin, Cinta, dan Chiara. Mereka tertawa bersama di pantai, mengenakan pakaian senada, mata mereka bersinar penuh cinta. Namun semua itu kini tinggal kenangan. Sisa dari kebahagiaan yang telah porak-poranda karena ego dan hawa nafsu.Helaan napas panjang yang terlihat penuh lelah keluar dari bibir Lilian. Matanya tak berkedip menatap senyum Cinta di dalam foto. Ia bukan hanya kehilangan menantu, ia kehilangan sesuatu yang lebih besar, harapan dan rencana yang telah ia susun diam-diam.Pintu utama terbuka, langkah cepat Kevin terdengar memasuki rumah. Lilian langsung mengalihkan pandangannya. Wajahnya penuh amarah, tangannya mengepal.“Ada apa Mama menghubungiku berkali-kali….”Plak!Telapak tangan Lilian mendarat dengan keras di pipi Kevin. Tubuhnya terpaku, satu tangan re
Widya menatap foto-foto itu dengan amarah yang terlihat mulai merayap di wajahnya. Jemarinya yang lentik tampak menegang, kala menggenggam kertas foto dengan kekuatan yang nyaris merobeknya. Matanya bergerak cepat dari satu foto ke foto lain, hingga akhirnya berhenti pada satu gambar yang memperlihatkan Rama sedang memeluk Cinta dari belakang kepalanya menunduk, bibirnya hampir menempel di leher perempuan itu. Dan Cinta memejamkan mata seolah menikmatinya dengan penuh gairah.Evita memperhatikan perubahan raut wajah Widya dengan tenang, meskipun ada kegelisahan yang samar di sorot matanya.“Kau yakin ini bukan rekayasa?” tanya Widya penuh keraguan dan tidak percaya.Bagaimana mungkin setelah luka yang dibolehkan oleh Cinta, Rama kembali takluk dan bertekuk lutut pada pesona Cinta.Evita menelan ludah. Napasnya tertahan sejenak. “Saya yakin, Tante,” ujarnya lirih. “Saya tidak akan datang membawa semua ini kalau saya tidak yakin. Saya tahu ini menyakitkan. Tapi… saya pikir Tante berhak
Sepulang dari pertemuannya dengan Evita, langkah Widya terlihat berat. Meski tubuhnya berada di dalam mobil mewah yang melaju nyaman menuju rumahnya, tetapi pikirannya tak henti berputar. Foto-foto itu masih membayang jelas di benaknya, kemesraan Rama dan Cinta, sorot mata anaknya yang penuh gairah dan ketertarikan yang tak terelakkan, seolah menemukan dunianya kembali. Namun bukan itu yang paling membuatnya cemas. Ucapan Evita tentang Cinta sebagai perempuan bayaran, membuat segala harapan dan keyakinannya runtuh satu demi satu. Widya merasa menjadi ibu yang gagal mendidik dan menjaga arah hidup anaknya. Dan lebih dari itu, ia merasa dikhianati oleh masa lalu yang tak pernah benar-benar selesai antara Rama dan Cinta. Sesampainya di rumah, Widya menyambut kehangatan sore yang mulai meredup. Di dalam kamar, Arman sedang duduk bersandar di ranjang. Senyumnya langsung merekah ketika melihat istrinya sudah pulang. “Kamu kelihatan lelah,” ucap Arman pelan sambil meletakkan buku yang
Mendengar perintah sang mama membuat jantung Rama seolah berhenti berdetak sejenak. Dia menduga jika pembicaraan tentang Cinta sudah berakhir, dan setelah dia menemukan perempuan pujaan hatinya restu akan segera tergapai. Ternyata semua tak semudah dugaan Rama. Sang mama masih tetap pada pendiriannya. Rama menatap wajah Widya dengan saksama, mencoba mencari gurauan di wajah itu, namun tak jua dia temukan. Hanya ketegasan bercampur amarah yang terlihat mendominasi. “Mama bilang apa?” tanya Rama pelan, dia ingin mendengar sekali lagi untuk memastikan jika telinganya tidak salah dengar.. “Lepaskan Cinta. Hentikan semua ini sebelum kamu terlanjur jauh. Cinta bukan perempuan yang tepat untukmu,” ucap Widya, nadanya dingin tapi tak bernada marah. Rama menghela napas dalam-dalam, menahan gejolak dalam dadanya. Pencariannya selama ini belum membuahkan hasil, tetapi sang mama sudah memintanya untuk melepaskan Cinta. "Ada banyak perempuan di luar sana, mengapa kau harus memilih pel*c
Suasana pagi di rumah keluarga Narendra terasa lebih hangat dari biasanya. Sinar matahari menembus tirai-tirai putih yang digantung rapi di jendela besar ruang makan. Aroma sup ayam buatan salah satu koki pribadi yang dipekerjakan di rumah mewah itu menyebar ke seluruh ruangan, menciptakan nuansa rumah yang hangat dan akrab.Arman yang baru saja keluar dari kamar, mengenakan kaus hangat dan celana panjang, mematung sesaat di ambang pintu saat melihat Rama keluar dari kamar masa kecilnya.“Rama?” ucap Arman, sedikit terkejut.Rama tersenyum kecil, langkahnya santai. “Pagi, Pa.”“Papa sempat tidak percaya saat mamamu bilang kalau kau menginap. Ternyata dia tidak berbohong.”Rama menarik kursi dan duduk. “Selama Papa belum balik ke perusahaan, aku akan menginap di sini. Biar laporannya lebih cepat. Kita bisa membicarakannya kapan saja."Mereka bertiga berkumpul di ruang makan. Widya sudah menata sarapan dengan rapi, matanya hanya melirik Rama sesekali, tanpa banyak bicara. Arman terseny
Rama menegakkan posisi duduknya. Tangannya menggenggam erat ujung meja, mencoba menenangkan diri. Terasa bagai ujian berat saat harus menahan gairah, sedangkan perempuan yang diincarnya sudah berada di hadapannya.Beberapa bulan yang lalu Rama bisa berbicara begitu arogan di hadapan Cinta. Saat itu hanya dendam yang menguasai hatinya. Tetapi saat ini terasa begitu berbeda, perasaan cintanya yang tulus membuatnya ingin memperlakukan perempuan di hadapannya dengan baik, jangan sampai melukainya. Dan itu sangat sulit, Rama sangat berhati-hati.Bagi Rama, berbicara di hadapan Cinta lebih sulit daripada bernegosiasi dengan klien, lebih sulit daripada memperoleh kontrak bernilai miliaran. Otak cerdasnya serasa buntu untuk menemukan cara mengungkapkan perasaan dan niat kedatangannya.Sementara itu, tidak beda jauh dengan Cinta. Janda beranak satu itu menunduk dan tidak berani beradu tatap. Dia sungguh menyesali bibirnya yang lancang mengeluarkan desahan."Kalian nyaman tinggal di sini?" tany
Waktu seakan berhenti. Tidak ada suara lain yang terdengar di telinga Rama, selain degup jantungnya sendiri.Ingin rasanya Rama bangkit dari tempat duduknya, berlari dan merengkuh pinggang Cinta. Ingin rasanya menculiknya dan langsung membawanya ke hotel terdekat. Rama sudah tidak sanggup menahan gairah, dia ingin mengulang saat-saat intim bersama Cinta.Tapi akal sehat Rama masih menahannya di kursi, duduk manis hanya menatap, dan menunggu reaksi pertama dari Cinta.Dan Cinta… masih berdiri di tempat. Seolah hatinya belum memutuskan apakah dia harus menghampiri Rama, atau justru kembali melangkah menjauh sebelum semuanya dimulai kembali.“Mbak, tamunya nunggu sudah lama,” ucap Rizka pelan dan ragu-ragu, karena melihat reaksi Cinta yang sangat berbeda. Sangat serius dan ada ketakutan.Cinta mengangguk pelan diikuti hembusan napas kasar. “Ya, aku akan ke sana.”Tidak ada guna lari, karena Rama akan terus mengejarnya. Seperti halnya masalah dengan Nora, dia pun akan menghadapi Rama.Di
Rama memejamkan mata sejenak. Kata demi kata yang terlontar dari bibir Arman bukan hanya restu, tapi ujian. Ujian tentang kesungguhan dan harga diri. Bukan hanya kesungguhan atas rasa cintanya, tetapi juga niatnya untuk berubah. “Terima kasih, Pa. Aku akan buktikan,” ucap Rama ketika membuka mata dan menatap sang ayah.Arman mengangguk. “Lakukan dengan tenang. Jangan gegabah. Mamamu biar papa yang urus.”Meski Arman sadar meyakinkan Widya bukanlah hal yang mudah, tetapi dia tetap mendukung putranya. Sudah terlalu lama putranya tersesat. Motivasi apa pun yang akan membawa perubahan akan dia dukung dengan sepenuh hati.***Hari yang dinantikan Rama akhirnya tiba. Dengan langkah mantap, dia melangkah keluar dari rumah.Rama mengenakan kemeja putih yang disetrika rapi, dipadukan dengan celana panjang warna abu tua. Jasnya belum dikenakan, masih disampirkan di lengan. Wajahnya bersih, segar, dan kali ini tak ada aroma parfum yang berlebihan atau gaya yang mencolok. Hanya lelaki biasa yang
Rama berdiri di ambang pintu ruang kerja ayahnya, memandangi sosok Arman Wijaya yang sedang membetulkan dasi di depan cermin. Setelan jas abu-abu gelap membungkus tubuh tegap itu, seolah menghapus bayang-bayang sakit yang sempat membuat Rama resah berminggu-minggu“Hari ini papa akan kembali ke kantor?” tanya Rama sambil menatap dengan saksama sang papa, seolah ingin memastikan jika pria di hadapannya sudah benar-benar sehat.Arman menoleh dan tersenyum kecil. “Papa sudah cukup istirahat. Perusahaan butuh orang tua seperti papa untuk mengingatkan anak muda seperti kamu agar tidak terlalu ambisius.”Meski tidak ke kantor, tetapi informasi tetap mengalir kepada Arman. Terutama proyek besar yang berhubungan dengan Narendra Green Dinamic. Selain itu juga Rama yang selalu lembur, entah karena terlalu antusias atau ada target lain yang dia kejar.Rama tertawa kecil, rasa lega menyelinap dalam dada. Ia mengangguk, “Papa tahu kan, aku tidak akan main-main dengan tanggung jawab.”“Dan Papa tah
Cinta mengepalkan tangannya di bawah meja. Dalam diam, Cinta sedang mengumpulkan keberanian untuk melawan. Janda beranak satu itu sudah siap dengan segala konsekuensinya.“Aku mengajakmu bertemu bukan untuk bilang ‘ya’,” ujar Cinta akhirnya. Suaranya yang tenang justru terasa menghujam di dada Nora.Senyum Nora menipis. Matanya menyipit karena tidak percaya melihat keberanian Cinta. “Lalu … untuk apa?”“Untuk memberitahu kamu, jika aku tidak akan goyah dengan pendirianku sekarang,” jawab Cinta pelan. “Aku tidak akan takut dengan segala ancamanmu, Nora. Kamu bisa mengatakan kepada siapa pun tentang masa laluku. Dan aku tidak akan peduli dengan penilaian mereka.”Teror tiada henti dari Nora justru semakin meyakinkan Cinta, jika niatnya untuk meninggalkan lembah hina, lebih besar dari ketakutan jika aibnya akan terbongkar.Cinta sadar, kapan pun aib itu bisa terbongkar, entah dari Nora, atau dari orang lain yang pernah melihatnya bersama Rama. Hujatan dan caci maki akan tertuju kepadanya
Sejak kehadiran Nora, hari-hari Cinta mulai terasa semakin penuh tekanan. Sejak tautan gosip itu menyebar, dia merasa seolah seluruh mata memandangnnya dengan tatapan hina.Setiap menyaksikan pelanggan yang sedang bercanda sambil menikmati hidangan, Cinta merasa seolah mereka sedang membicarakan dirinya. Kini hidup Cinta terasa tidak tenang, dipenuhi dengan berbagai kecurigaan. Cinta merasa, setiap orang yang memandangnya seolah ingin mengupas lapis demi lapis tubuh dan masa lalunya.Nora terus meneror. Kadang hanya kiriman emoji api, atau tautan komentar jahat dari netizen.Bahkan sosok yang telah menjadi teman bertumbuh sejak masa kecil itu, tidak segan mengirim pesan bernada ancaman, “Tinggal tunggu waktu sampai anakmu tahu siapa ibunya sebenarnya.”Cinta membaca setiap pesan yang dikirim oleh Nora, tetapi tidak satu pun yang dia balas.Untuk masalah yang satu ini, Cinta merasa benar-benar harus menghadapinya sendiri. Dia tidak tahu harus berbagi dengan siapa.Ini bukan tentang luk
Cinta berdiri di balik meja kasir, mengenakan blus putih sederhana dan celemek cokelat khas kafe miliknya. Ia menatap Hardy, barista muda yang sedang menuangkan espresso ke dalam cangkir. Pemuda itu berhenti sejenak saat menyadari Cinta melangkah menghampirinya, tampaknya ada hal penting yang ingin dia bicarakan.“Hardy!”Mendengar panggilan dari Cinta, Hardy segera meletakkan milk jug ke atas meja, lalu berbalik menghadap bos barunya.“Iya, Mbak?”Karena usia para karyawan tidak terlalu jauh dengan Cinta, mereka memanggil Cinta dengan panggilan 'Mbak' agar lebih akrab. Meski ada beberapa yang belum terbiasa, dan tetap memanggil 'bu' seperti saat bersama dengan Anisa dulu.“Terima kasih, ya,” ucap Cinta, menatap mata Hardy dengan tulus. “Kamu sudah bantu sampaikan pesanku ke Pak Davin. Aku tahu ini bukan posisi yang nyaman buat kamu, apalagi kalian masih ada hubungan kekerabatan.”Hardy tersenyum tipis, meski matanya tampak sedikit canggung. “Nggak apa-apa, Mbak. Mas Davin juga… ya,
Cinta berdiri di dekat meja kasir, menatap kosong ke arah para karyawan yang mulai merapikan kafe menjelang waktu tutup. Lantunan musik lembut masih mengalun pelan dari speaker di sudut ruangan, bercampur dengan suara kursi digeser, gelas dicuci, dan ucapan ringan antar sesama karyawan. Semuanya tampak biasa, seperti hari-hari sebelumnya. Tapi tidak dengan Cinta.Bayangan wajah Nora terus menghantui pikirannya. Senyum licik itu. Kata demi kata yang seperti racun. Ancaman yang bisa meruntuhkan semua yang selama ini dia bangun dengan susah payah.Tangannya yang menggenggam kain lap di meja mulai bergetar. Cinta berusaha tetap tegak, tersenyum kecil saat Rizka melambaikan tangan pamit. Tapi senyum itu tak sampai ke matanya. Begitu pintu kafe tertutup dan tinggal suara detik jam dinding yang terdengar jelas, Cinta menyandarkan tubuhnya ke meja, diam-diam menunduk.Air mata itu jatuh pelan. Tanpa suara. Tanpa drama. Hanya butiran kecil yang mengalir perlahan di pipinya. Ia menyekanya cep
Cinta menyandarkan punggungnya pada kursi, menatap Nora dengan sorot mata dingin, meski amarah dalam dadanya membara. Dalam diamnya, ia mengingat kembali semua luka yang sudah lama ia pendam, malam-malam panjang penuh air mata, rasa jijik yang tidak bisa hilang dari tubuhnya, dan suara erangan dan desahan Rama yang terus menghantui pikirannya. Semua itu berawal dari satu nama, Nora.“Aku tidak akan pernah lupa, Nor,” ucap Cinta akhirnya, suaranya datar namun tajam. “Nggak akan lupa dari mana uang itu berasal. Dari mana aku bisa beli kafe ini. Dan aku juga nggak akan lupa siapa sahabatku yang menjerumuskan aku ke lembah itu.”Nora tersenyum kecil, seperti tak tersentuh oleh tudingan itu. Ia menyilangkan kakinya, mengambil cangkir kopi yang tinggal setengah, lalu menyesapnya dengan santai. “Kamu harusnya berterima kasih sama aku, Cin. Bukan malah melempar kesalahan seperti ini."Cinta menyipitkan mata. “Terima kasih? Karena kamu sudah menjual aku?”Nora tertawa, pahit dan sarkastik. “O