Kapokmu Kapan, Mas? (42)Aku benar-benar syok saat melihat kobaran api itu. Kedua lututku melemas. Tubuhku seperti tak bertulang. Aku luruh terduduk lemas di lantai. Mataku nanar menatap kobaran api di depan.Kulihat Mbok Mina keluar dari kamarnya yang terletak tak jauh dari kobaran api itu."Astaghfirullah ...," teriaknya setelah keluar kamar. Mata wanita itu bergantian melihat ke kobaran api di depannya dan ke arahku.Mbok Mina berjalan mendekatiku dan berjongkok di hadapanku."Bu ... ayo kita pergi!" ajaknya.Aku bergeming meski berulang kali tubuhku diguncangnya setelah Mbok Mina mengucapkan kalimat itu."Bu! Ayo pergi dari sini!" Mbok Mina membentak. Aku akhirnya tersadar dari lamunan kosong dan trauma yang kualami.Tangan Mbok Mina menarikku hingga berdiri. Kami lantas mencoba menyelamatkan diri bersama dan lari dari rumah itu sebelum kobaran api kian membesar.Untunglah kunci pintu rumah tergantung tak jauh dari pintu. Jadi, kami punya kesempatan untuk melarikan diri. Akan tet
Kapokmu Kapan, Mas? (42b)"Bapak minta saya berhenti kerja, Bu.""Itu aja, Mbok?"Mbok Mina mengangguk."Iya, Bu. Katanya nanti pesangon saya nyusul ditransfer.""Terus, sekarang Bapak ke mana lagi, Mbok?""Lagi ke rumah sama polisi, Bu. Buat nyelidikin apa penyebab kebakarannya.""Terus sekarang rencananya Mbok mau ke mana?""Saya juga belum tau, Bu. Nunggu Wisnu datang dulu. Mungkin sementara ikut saudara dulu. Ibu sendiri?""Saya juga belum tau, Mbok. Lihat nanti saja."Setelahnya, kami beristirahat untuk mengganti waktu tidur yang terganggu akibat peristiwa malamnya. Kami hanya tidur kurang lebih dua jam karena terbangun ketika mendengar ketukan di pintu kamar. Asisten rumah tangga Pak RT memberitahu bahwa ada orang yang mencari kami.Ternyata, yang datang adalah Mas Wisnu. Anak Mbok Mina itu datang membawa tas milikku yang dimasukkannya ke dalam sebuah tas lainnya. Tas itu diserahkannya langsung kepadaku."Silakan dicek lagi, Mbak. Jangan sampai ada yang kurang," kata Mas Wisnu s
Kapokmu Kapan, Mas? (43)Entah dengan siapa Emak dan Nining pergi. Tiba-tiba perasaanku menjadi tak enak. Menurut penuturan tetangga Emak, ada beberapa orang yang menjemput Emak dan Nining. Sementara selama ini yang tahu alamat Emak hanya Pak Arsyad. Apakah dia yang menyuruh orang membawa Emak dan Nining? Kalau iya, untuk apa?Aku bingung. Entah harus ke mana aku pergi mencari Emak dan Nining. Aku benar-benar mencemaskan mereka. Aku takut mereka berada dalam bahaya.Malam itu, aku terpaksa memutuskan kembali ke rumah Bude Ningsih. Beruntung, aku masih bisa mendapatkan angkutan karena memang belum terlalu larut. Meski agak takut berjalan seorang diri di tengah malam, aku mencoba memberanikan diri. Akhirnya aku sampai juga di rumah Bude Ningsih pada pagi harinya."Loh, cepat sekali baliknya, Nduk?" tanya Bude Ningsih saat membukakan pintu untukku di Subuh itu.Aku tak langsung menjawab pertanyaannya."Boleh aku istirahat dulu, Bude? Capek banget."Syukurlah, Bude Ningsih bisa memaklumik
Kapokmu Kapan, Mas? (43b)"Halah ... si Arsyad mah susah mau sama cewek. Giliran deket, sama CS di kantor. Siapa namanya?" Bang Robi meledek Pak Arsyad. Tawanya kemudian diikuti abang dan temannya"Apaan, sih, Bro. Gak lucu!" Pak Arsyad kelihatan tak suka dengan ledekan-ledekan itu."Dih, sensi. Abis ditolak, lo, Bro?" tanya Bang Anton.Pak Arsyad cepat-cepat mengalihkan pembicaraan ke hal lain. Sepertinya pria itu benar-benar tak nyaman dengan pembahasan itu.Tak lama, mereka membubarkan diri. Aku juga ikut pergi dari restoran itu. Kembali, aku membuntuti Pak Arsyad dengan taksi online yang sebelumnya kugunakan. Aku sengaja meminta sopirnya menunggu."Kita lanjut buntutin mobil itu, ya, Pak!" perintahku setelah masuk mobil."Siap, Bu!"Kali ini mobil Pak Arsyad kembali ke rumah mewah sebelumnya. Kemungkinan besar itu rumah orang tuanya.Awalnya kupikir Pak Arsyad tidak akan keluar lagi karena hari sudah malam. Jadi, aku berniat kembali ke rumah Bude Ningsih saja. Itu pun setelah sopi
Kapokmu Kapan, Mas? (44)Siapa yang dimaksud Nining dengan temanku? Mungkinkah Ira? Kalau iya, mengapa sambungan telepon dengan Nining harus diputuskan begitu saja? Benar-benar membuatku curiga.Nomor ponsel Nining juga menjadi tidak aktif saat aku mencoba meneleponnya kembali. Aku jadi sangat kawatir karenanya. Entah siapa yang dimaksud temanku oleh Nining."Jadi gimana? Mereka di mana?" tanya Pak Arsyad setelah aku mengembalikan ponselnya.Aku menggeleng lemah."Nining cuma bilang mereka di kota dibawa teman saya. Setelah itu telepon mati. Nomornya gak bisa dihubungi lagi," jawabku.Pak Arsyad sigap menangkap tubuhku yang melemas dan menuntunku untuk duduk di bale depan rumah Emak."Kamu memangnya ada ngasih alamat sini ke siapa lagi selain sama saya?" Pak Arsyad kembali bertanya saat kami sama-sama duduk di bale itu."Tidak ada. Cuma sama Bapak saya kasih alamat sini.""Lalu siapa teman kamu yang Nining maksud itu?"Aku menggeleng lemah.Malam semakin larut. Dari kejauhan terdengar
Kapokmu Kapan, Mas? (44b)Entah bagaimana Pak Arsyad dan aku tidur malam itu, saat terbangun di pagi harinya kami sudah dalam posisi saling berpelukan. Kami sama-sama terkejut dan saling melepas diri. Aku cepat-cepat bangun dan menuju kamar mandi.Jantungku berlarian tak beraturan ketika mengingat posisi kami tadi. Aku tidak boleh terbawa perasaan! Aku yakin, Pak Arsyad juga tidak ada rasa terhadapku. Apalagi sejak aku mengakui semuanya pagi itu di dalam mobilnya. Sikapnya yang ramah berubah dingin sejak hari itu. Aku tak boleh bermain hati!Pak Arsyad bergantian denganku menggunakan kamar mandi. Setelah selesai, barulah kami keluar dari motel itu bersama. Selanjutnya kami menuju mobil untuk melanjutkan perjalanan.Namun, di parkiran tidak terdapat mobil milik Pak Arsyad. Saat kami tanyakan pihak motel tentang itu pun tak ada jawaban pasti untuk itu. Kemungkinan besar mobil Pak Arsyad dicuri saat kami terlelap."Jadi gimana, Pak? Kita ke kantor polisi untuk lapor mobil Bapak dicuri?"
Kapokmu Kapan, Mas? (45)Aku memandangi Ira dan Pak Arsyad secara bergantian. Apakah mereka saling kenal? Di mana dan bagaimana?"Kalian saling kenal?" tanyaku pada akhirnya.Bukannya menjawab, Ira dan Pak Arsyad malah saling melempar tawa. Aku jadi bingung dibuatnya. Apa sebenarnya hubungan mereka?"Udah, ayo masuk dulu!" ajak Ira.Kami lantas duduk di ruang tamu rumah nenek Ira. Emak dan Nining datang membawakan minuman dan camilan. Mereka juga ikut duduk setelahnya."Kalian saling kenal?" Aku kembali menanyakan status hubungan Ira dengan Pak Arsyad."Banget, Ti!" jawab Ira."Di mana? Gimana?" Entah mengapa aku sangat penasaran dengan kedekatan mereka."Ehm. Ada yang cemburu." Celetukan Ira membuat Pak Arsyad yang sedang menyesap tehnya jadi tersedak.Dengan sigap aku menyodorkan air mineral dari dalam tasku."Apaan, sih, Ra. Gak lucu!" Aku mencebik."Aku sama Mas Yayat ini tetanggaan dulu waktu di kampung, Ti. Gak usah cemburu gitu, dong." Ira terus saja menggodaku."Siapa yang cem
Kapokmu Kapan, Mas? (45b)Setelah semua selesai didiskusikan, aku pamit pulang ke rumah Bude Ningsih. Kubiarkan Emak dan Nining tinggal bersama Ira dulu. Pak Arsyad juga ikut pamit pulang.Pak Arsyad memesan dua taksi online untuk aku dan dirinya. Arah kami berlawanan. Jadi, tidak memungkinkan kami menumpang satu mobil yang sama. Kami berpisah saat taksi online pesanan kami datang.Aku berjanji akan menghubungi Ira dan Pak Arsyad begitu diriku sampai di rumah Bude Ningsih. Mereka berdua begitu mencemaskanku. Begitu juga dengan Emak dan Nining.Dalam perjalanan pulang ke rumah Bude Ningsih, entah mengapa aku menjadi gelisah. Aku seperti mendapat firasat buruk. Berulang kali aku beristigfar dan memohon perlindungan Allah.Macet panjang semakin membuatku gelisah."Kok, macet di sini, ya, Pak? Biasanya jalur sini bebas macet, loh," ucapku ke sopir taksi onile."Wah, gak tau juga saya, Bu. Tapi ini panjang banget kayaknya macetnya. Gak bergerak sama sekali juga mobil-mobil di depan."Hampi
Kapokmu Kapan, Mas? (53b)Aku masuk dan tiba-tiba pintu itu terkunci dari luar."Masuk saja. Tidak perlu takut, Dek!" perintah Bang Robi.Tangannya menunjuk sebuah sofa agar aku duduk di sana. Kuletakkan tasku di samping."Gak usah tegang gitu, Dek," kata Bang Robi saat melihatku membetulkan posisi duduk berulang kali.Aku tak menjawab kata-katanya."Aku ke sini mau to the point aja, Bang!" kataku kemudian."Kamu butuh apa memangnya?""Aku gak butuh apa-apa, Bang. Aku malah mau menyerahkan ini." Kulempar map berisi duplikat surat-surat berharga peninggalan orang tuaku ke atas meja yang menjadi pembatas aku dan Bang Robi."Silakan ambil semua itu. Itu yang Abang inginkan, kan?" tanyaku.Bukannya menjawab, Bang Robi malah tertawa."Bukan itu, Sayang! Abang gak butuh itu semua. Yang Abang butuh itu kamu!""Aku? Maksud Abang apa? Bukannya Abang niat bunuh aku?"Bang Robi kembali tertawa."Nah, itu kamu tau.""Kenapa Abang segitu jahatnya sama aku? Salah aku apa, Bang?""Salah kamu karena
Kapokmu Kapan, Mas? (53)Aku bersiap berangkat setelah Bang Robi mengirimkan pesan berisi tempat di mana kami akan bertemu. Kusiapkan apa-apa saja yang kuperlukan untuk menemui Bang Robi. Aku harus menyelesaikan semuanya.Baru saja aku memutar gagang pintu kamar, dari luar sudah didorong orang. Ternyata Pak Arsyad yang mendorong. Aku yang tadinya sudah di ambang pintu, harus mundur beberapa langkah karena Pak Arsyad yang ikut masuk ke kamarku. Tangannya lantas menutup pintu kamarku dan menguncinya dengan cepat. Lalu, kunci itu disembunyikannya di dalam saku celana yang dikenakannya."Mas ... balikin kuncinya! Saya mau pergi," pintaku.Bukannya memberikan apa yang kupinta, Pak Arsyad malah menempelkan belakangnya ke pintu. Dengan santai Pak Arsyad bersedekap dan berucap, "Kalau bisa, coba ambil sendiri!""Mas ... tolong! Saya mau pergi. Sudah ada janji.""Janji dengan Robi?"Aku mengangguk."Tidak akan saya biarkan kamu keluar dari sini, kalau begitu.""Mas ... tolong ngertiin saya kal
Kapokmu Kapan, Mas? (52b)Malam itu, aku tak dapat tidur dengan pulas. Marahnya Pak Arsyad mendominasi pikiranku. Aku tak suka dengan itu. Sungguh menyakitkan.Pagi harinya, saat sarapan, aku sengaja meminta izin kepada kedua orang tua Pak Arsyad, serta Bude Ningsih."Siang nanti Titi izin keluar, ya, Ma, Pa, Bude."Ketiganya serempak menanyakan tujuanku."Mau menyelesaikan sesuatu yang harus diselesaikan," jawabku.Pak Arsyad diam saja tak merespon apa pun. Dia juga tak melirikku barang sedikit. Ada rasa sakit kurasakan karena itu.Meskipun Pak Arsyad marah, aku sudah bertekad bulat untuk menemui Bang Robi. Aku ingin menyelesaikan semuanya. Semua upaya yang aku dan Pak Arsyad lakukan selama ini tak berdampak banyak. Jadi, ini jalan terakhir untuk mengakhiri semuanya. Setidaknya, setelah Bang Robi mendapatkan semua yang diinginkannya, aku berharap tidak ada lagi korban. Aku semakin takut menjadi sumber dosa banyak orang.Ternyata, setelah sarapan, Pak Arsyad tidak berangkat ke kantor
Kapukmu Kapan Mas? (52a)Selepas shalat, aku menyusul Pak Arsyad yang telah lebih dulu menunggu di mobil."Kita pulang sekarang?" tanya Pak Arsyad setelah aku duduk di kursi samping kemudi."Memang masih ada rencana mau ke mana lagi, Mas?" Aku balik bertanya."Tidak juga. Tapi siapa tau kamu butuh pergi ke suatu tempat untuk film diri."Benar juga kata Pak Arsyad. Aku butuh tempat untuk syuting diri. Juga untuk menjernihkan pikiran."Boleh, sih, Mas. Tapi saya gak tau mau ke mana.""Gimana kalau ke pantai?""Boleh."Pak Arsyad lantas melajukan mobilnya menuju pantai. Kami lalu duduk di tepi pantai beralas tikar yang disewakan. Pak Arsyad juga memesan dua buah kelapa muda untuk kami nikmati.Cukup lama kami dalam diam menikmati semilir angin pantai yang menyejukkan. Aku sibuk dengan pikiranku tentang langkah selanjutnya yang akan kuambil. Entah dengan Pak Arsyad, apa yang dipikirkannya, aku tak bisa menebak.Seandainya waktu dapat kuputar. Aku pasti akan berusaha sebaik mungkin agar se
Kapokmu Kapan, Mas? (51c)Aku benar-benar dibuat terkejut dengan pengakuan itu. Dadaku bergemuruh. Tak pernah kusangka semua itu."Itu pun karena saya diancam. Bapak mengancam akan membunuh anak bungsu saya yang sedang berada di rumah sakit.""Mbok punya anak selain Mas Wisnu?" tanyaku heran. Pasalnya, selama ini yang kutahu Mbok Mina hanya punya satu anak."Anak saya ada dua, Bu. Wisnu anak pertama saya. Adiknya bernama Siti. Dia sedang dalam masa perawatan di rumah sakit jiwa. Pak Robi tau itu. Saya juga kurang mengerti beliau tau dari mana. Padahal saya tidak pernah bercerita. Pak Robi menggunakan Siti untuk menekan saya memberitahukan tentang kepergian Ibu. Saya terpaksa memberitahu alamat rumah di kampung."Astaghfirullah ...."Awalnya, saya pikir Bapak mau menjemput Ibu secara baik-baik. Jadi saya beri saja. Tapi ... saya malah disuruh hubungi Wisnu. Saya disuruh bohong tentang sakit dan nyuruh Wisnu nyusul ke kota. Di situ, perasaan saya sudah gak enak. Tapi saya gak bisa berbu
Kapokmu Kapan, Mas? (51b)Karena bosan tak mendapat jawaban, Mas Wisnu akhirnya kembali ke motornya dan pergi dari tempat itu. Aku dan Pak Arsyad membuntutinya. Cukup jauh perjalanan yang harus kami tempuh sampai akhirnya kami tiba di sebuah rumah. Tempat motor Mas Wisnu berhenti.Di depan rumah itu terlihat Mbok Mina keluar menyambut putranya. Tampak ibu dan anak itu saling berbincang entah apa. Mereka lalu masuk ke rumah bersama dan mengunci pintu setelahnya.Aku dan Pak Arsyad masih setia di dalam mobil. Kami menunggu kesempatan untuk dapat masuk ke rumah itu dan meminta penjelasan. Pak Arsyad yakin betul bahwa ada sesuatu keterkaitan antara mereka dan apa yang sedang terjadi kepadaku.Satu jam sudah kami menunggu di dalam mobil. Akan tetapi, Pak Arsyad belum juga mau kami turun menghampiri rumah itu. Perutku sudah perih, tetapi tak sampai hati kuutarakan."Ayo, kita turun!" Pak Arsyad memberi perintah setelah melihat Mas Wisnu keluar dari rumah itu. Sepertinya Mas Wisnu hendak sa
Kapokmu Kapan, Mas? (51)"Jadi, apa yang akan Mas lakuin selanjutnya?" Aku bertanya."Kita buntuti Wisnu.""Kita?" Aku mengernyit."Iya. Apa kamu gak mau tau apa yang sebenarnya terjadi? Saya ada feeling kuat mereka ada kaitannya dengan kasus ini.""Begitu menurut Mas?"Pak Arsyad mengangguk."Kalau begitu, saya ikut. Kapan Mas mau laksanain rencana itu?" ucapku."Kemungkinan besok sore sepulang kerja. Atau lihat besok, deh. Pokoknya kamu siap-siapa aja. Kalau saya telpon, kita siap berangkat.""Oke, Mas, kalau gitu.""Ya udah, ini udah malam. Kamu tidur, sana!""Iya, Mas. Mas juga, ya! Terima kasih udah mau saya repotin malam begini.""Santai."Kami lantas kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat.Namun, sebelum dapat terlelap, aku kembali teringat mimpi malam sebelumnya. Aku bermimpi sedang bertengkar dengan Mbok Mina dan Mas Wisnu di tepu jurang. Hampir saja kami terpeleset ke dalam jurang itu. Aku merasa itu adalah sebuah petunjuk. Semoga saja aku segera mengetahui maksud
Kapukmu Kapan Mas? (50b)"Kayaknya korban pembunuhan, Mbak."Entah mengapa, saya merasa ngeri dengan informasi itu. Apakah Mas Adam juga menjadi salah satu korban Bang Robi? Entahlah. Aku tak berani berspekulasi.Karena hari semakin petang, Pak Arsyad mengajakku untuk pulang setelah sedikit berbasa-basi dengan tetangga Mas Adam yang kami tanyai. Sepanjang perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Begitu juga dengan Pak Arsyad.Malamnya aku merasa gelisah. Bahkan dalam tidur pun aku jadi tidak tenang. Mataku terpejam, tapi sama sekali aku tidak merasa tidur. Pikiranku berlarian ke berbagai praduga.Barulah setelah lewat pukul dua dini hari, aku bisa terlelap. Akan tetapi, sebuah mimpi aneh muncul dalam tidurku. Aku memimpikan Mbok Mina dan Mas Wisnu.Aku terbangun tepat saat azan Subuh berkumandang. Berkali-kali aku beristighfar demi keputusan debar di dada. Apakah mimpiku adalah pertanda? Atau hanya bunga tidur semata.Sudah cukup lama aku tak mendapat kabar dari Mbok Mina dan Mas Wis
Kapokmu Kapan, Mas? (50)Aku benar-benar terkejut melihat Bang Robi menarik tanganku. Ingin rasanya kutepis dan berlari menjauh darinya. Akan tetapi, suasana di lain arah pun sedang tak kondusif.Terpaksa, aku hanya pasrah dibawanya. Kami akhirnya keluar dari gedung itu. Segera kutepis tangan Bang Robi. Dari kejauhan, terlihat Pak Arsyad. Aku segera lari menghampirinya."Kamu gak kenapa-kenapa, kan?" tanya Pak Arsyad ketika aku sampai di depannya.Belum sempat aku menjawab, Bang Robi sudah menimpali, "Cewek lo gak kenapa-kenapa, kok, Bro. Aman.""Lo yang nyelametin dia, Bi?" tanya Pak Arsyad."Iya.""Thanks, ya, Bi."Bang Robi hanya mengangguk menanggapi ucapan Pak Arsyad."Lain kali, jagain cewek lo baik-baik, Bro. Dia kayaknya sensian sama cowok." Bang Robi menyindirku.Pak Arsyad malah tertawa menanggapi perkataan Bang Robi.Pak Arsyad melihat ke arahku. Aku menggeleng sebagai isyarat tak melakukan apa pun kepadanya."Diapain emangnya lo, Bi?""Gak, kok. Dah, ya, gue duluan. Sial.