Share

Bab 38a

Penulis: Aisyah Nur Permata
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Kapokmu Kapan, Mas? (38)

Suara itu milik Bang Anton, kakak kandung Bang Robi. Apakah mereka terlibat dalam kematian kedua orang tuaku? Siapa lagi yang terlibat selain mereka? Apakah keluarga Bang Robi terlibat juga? Kak Elfa ... apakah termasuk ke dalamnya?

Kucoba redam detak tak beraturan di dada dengan berkali-kali melafazkan istighfar. Barulah setelah aku bisa tenang, kulanjutkan membuka satu demi satu file bukti yang diberikan Ira. Sebagian besar isi file itu berupa pesan chat antara Bang Robi dengan beberapa orang. Di antaranya Bang Anton.

Emosiku semakin menjadi-jadi saat mengetahui fakta sebenarnya. Kecelakaan yang terjadi pada kedua orang tuaku, dikarenakan ulah Bang Robi dan komplotannya. Hanya karena proyek kerja, keluargaku dibunuh dengan begitu sadis. Lalu, agar tak ketahuan, Bang Robi sengaja mendekatiku yang rapuh. Ya Allah ... jahat sekali mereka.

Falshdisk kedua yang kubuka isinya tak kalah mencengangkan. Isinya adalah bukti Bang Robi menyuruh orang menghabisi nyawaku.
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 38b

    Kapokmu Kapan, Mas? (38b)Saat mata kami bertemu, aku bisa melihat wajanya merah padam."Maaf, saya refleks karena khawatir," ucapnya seraya memalingkan wajah."Iya ...." Hanya itu yang bisa kujawab.Pak Arsyad kembali menoleh ke arahku."Kamu sudah makan?" tanyanya.Aku menggeleng."Sedang tidak selera," jawabku acuh.Tanpa pikir panjang, Pak Arsyad langsung menarik tanganku keluar."Mau ngapain, Mas?""Makan! Kita cari makan. Saya gak mau kamu sakit."Pak Arsyad membuka pintu mobilnya dan mempersilakan aku naik. Setelahnya, dia menutup pintu mobil sisi penumpang bagian depan itu. Lalu berjalan untuk naik di sisi kemudi."Kita mau ke mana, Mas?" tanyaku setelah mobil Pak Arsyad melaju."Ke mana saja yang penting cari makan buat kamu." Pak Arsyad bicara sambil fokus dengan jalanan di depannya. Dia sama sekali tidak menoleh ke arahku sejak naik mobil tadi."Tapi saya gak laper, Mas."Tepat saat aku mengatakan itu, mobil Pak Arsyad berhenti karena antrian lampu lalu lintas."Gak ada tap

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 39a

    Kapokmu Kapan, Mas? (39)Aku terperanjat melihat kedatangan Pak Arsyad secara tiba-tiba di ruang kerja Bang Robi."Kamu lagi ngapain di situ, Ning?" tanyanya.Aku yang salah tingkah langsung berdiri dari kursi kerja Bang Robi dan berpura-pura membersihkan meja kerja itu."Saya gantiin tugas teman, Pak," jawabku. Aku berusaha mengatur diri setenang mungkin. Padahal, degub jantungku sedang berlarian."Oh ... ya sudah. Lanjutin kerjaan kamu. Setelah itu ke ruangan saya, ya!" Setelah mengatakan itu, Pak Arsyad berbalik arah dan keluar dari ruang kerja Bang Robi.Aku menarik napas lega setelahnya.Cepat-cepat kuselesaikan apa yang sudah kulakukan. Lalu, sesegera mungkin keluar dari ruang kerja Bang Robi. Beruntung, saat keluar aku belum melihat tanda-tanda keberadaan sekretaris Bang Robi. Jadi, semua aman menurutku.Aku berganti arah ke ruang kerja Pak Arsyad. Beliau sudah menunggu di sana. Duduk dengan posisi menopang dagu.Lantai ruang kerja yang sudah kubersihkan sebelumnya, menjadi kot

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 39b

    Kapokmu Kapan, Mas? (39b)Perusahaan dan aset-aset berharga yang tak pernah kuketahui sebelumnya, diwariskan untukku. Aku yang dibesarkan Bude Ningsih dengan kesederhanaan, tak terlalu menggubrisnya. Padahal ada orang serakah yang ingin menguasai semuanya. Orang itu adalah Bang Robi."Jadi gimana, Nduk, langkah kamu selanjutnya? Surat-surat berharga warisan orang tua kamu gimana?""Nah itu dia, Bude, masalahnya semua itu hilang.""Memang kamu simpan di mana, Nduk?""Di rumah Mbok Mina, Bude.""Rumah yang kebakaran itu?"Aku mengangguk."Berarti ikut terbakar?"Aku menggeleng."Kemungkinan enggak, Bude. Aku rasa ada yang ambil. Tapi aku gak tau itu siapa. Mau tanya Mbok Mina tapi belum ada kesempatan."Malam itu kuhabiskan dengan bertukar kisah bersama Bude Ningsih. Mendengar nasihat-nasihatnya membuat hatiku terasa damai. Semua sesak dan perih seolah sirna begitu saja.Aku bahkan tertidur di pangkuan Bude Ningsih. Lalu, baru terbangun ketika azan Subuh berkumandang. Posisi Bude Ningsi

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 40a

    Kapokmu Kapan, Mas? (40)"Apa?" Nada bicara Pak Arsyad berangsur normal."Saya melakukan itu karena memang pantas.""Maksud kamu?""Saya melakukan itu karena memang saya ingin menghancurkan Pak Robi!""Saya tidak tahu masalah kamu dengan Pak Robi. Tapi, asal kamu tau, apa yang kamu perbuat berdampak buruk bagi perusahaan!" Pak Arsyad kembali meninggikan nada bicaranya.Aku tak menjawab."Siapa kamu sebenarnya? Hah?" Pak Arsyad kembali membentakku."Siapa pun saya, bukan urusan Bapak," jawabku cuek. Aku mencoba menetralisir rasa yang entah apa. Bahagia, juga terluka. Aku bahagia karena rencanaku ternyata berjalan dengan lancar. Akan tetapi, aku juga merasa terluka akibat sikap Pak Arsyad. Terlebih ketika bentakan demi bentakan dilontarkannya kepadaku."Saya bisa saja melaporkan kamu ke kantor polisi!"Aku yang sedari tadinya menunduk, lantas menoleh ke arah Pak Arsyad.Saat mata kami bertemu, Pak Arsyad segera mengalihkan pandangannya.Entah kenapa, ada nyeri yang menjalari hatiku mend

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 40b

    Kapokmu Kapan, Mas? (40b)Aku sudah tahu hal itu pasti terjadi. Akan tetapi, tetap saja rasanya menyakitkan. Air mataku kembali luruh ketika bayangan pengusiran dari Pak Arsyad berkelebat dalam ingatan.Sampai malam menjelang, aku masih belum juga menemukan cara untuk mengembalikan laptop milik Pak Arsyad. Tak mungkin benda itu kubawa serta pulang ke kampung Emak. Aku harus mengembalikannya sebelum pulang.Aku akhirnya mendapatkan ide di pagi hari. Aku akan mencegat Bu Risa di jalan sebelum dirinya sampai ke kantor. Akan kutitipkan laptop milik Pak Arsyad kepadanya.Setelahnya, aku langsung menuju terminal dan naik bus jurusan kampung tempat tinggal Emak dan Nining. Sebelumnya, aku sudah berpamitan terlebih dulu dengan pemilik indekos dan teman-teman di sana. Berat rasanya harus pergi dari sana karena aku sudah telanjur nyaman tinggal di tempat itu.Aku sampai di rumah Emak tepat jam makan siang. Emak dan Nining sudah menyiapkan hidangan istimewa untuk menyambutku. Kami lalu makan sia

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 41a

    Kapokmu Kapan, Mas? (41)Aku bimbang dengan kenyataan yang kuhadapi. Haruskah aku mempercayai apa yang dikatakan Pak Arsyad atau aku harus berusaha sendiri demi membalas dendam kepada Bang Robi? Bisa saja Pak Arsyad punya maksud lain dari ajakannya.Aku belum terlalu mengenal Pak Arsyad dengan baik. Aku juga tidak tahu apakah yang dikatakannya adalah kebenaran atau kebohongan belaka. Terutama soal hubungannya dengan ayahku.Selama ini aku tidak terlalu mengenal siapa saja orang yang bekerja dengan kedua orang tuaku. Terlebih, mereka harus meninggal tepat satu hari setelah aku menerima kabar kelulusan SMA. Jadi, aku belum sempat dikenalkan dengan dunia pekerjaan ayahku seperti janjinya. Ayahku memang sengaja tak mengenalkanku dengan siapa pun yang berkaitan dengan semua pekerjaannya. Aku hanya diminta fokus belajar agar mendapat nilai baik dan melanjutkan pendidikan untuk menungjang karirku nanti. Ayah berjanji akan mengajari dan menurunkan semua usahanya untukku setelah aku dirasa mam

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 41b

    Kapokmu Kapan, Mas? (41b)Benar saja, belum sempat aku duduk, Mbok Mina kembali muncul bersama Mas Wisnu. Pemuda itu tampak terkejut melihatku."Mbak Titi?" tanyanya.Aku memberikan anggukan sebagai jawaban.Detik berikutnya, Mas Wisnu ikut duduk di sofa setelah kupersilakan.Aku, Mbok Mina, dan Mas Wisnu mengobrol banyak hal. Mereka menanyakan ke mana saja diriku selama ini. Jadi, kujelaskan semuanya tanpa terkecuali. Juga tentang penyamaranku tempo hari sebagai seorang sales."Pantas saya kayak kenal sama Ibu waktu itu," tutur Mbok Mina."Yang bener, Mbok?""Iya, Bu. Bu Elfa juga bilang sama saya pas Ibu pulang. Katanya lihat Ibu yang jadi sales inget Bu Titi.""Terus, Bapak gimana, Mbok? Selama ini ada ngomongin saya gak?"Ah ... mengapa aku menanyakan hal itu? Jelas sudah Bang Robi pasti tidak peduli denganku. Bukannya dia yang menyuruh orang membunuhku, kata Ira."Nah itu, Bu. Beberapa hari sebelum Ibu datang sebagai sales, Bapak sering mimpiin Ibu katanya. Saya juga dengar kalau

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 42a

    Kapokmu Kapan, Mas? (42)Aku benar-benar syok saat melihat kobaran api itu. Kedua lututku melemas. Tubuhku seperti tak bertulang. Aku luruh terduduk lemas di lantai. Mataku nanar menatap kobaran api di depan.Kulihat Mbok Mina keluar dari kamarnya yang terletak tak jauh dari kobaran api itu."Astaghfirullah ...," teriaknya setelah keluar kamar. Mata wanita itu bergantian melihat ke kobaran api di depannya dan ke arahku.Mbok Mina berjalan mendekatiku dan berjongkok di hadapanku."Bu ... ayo kita pergi!" ajaknya.Aku bergeming meski berulang kali tubuhku diguncangnya setelah Mbok Mina mengucapkan kalimat itu."Bu! Ayo pergi dari sini!" Mbok Mina membentak. Aku akhirnya tersadar dari lamunan kosong dan trauma yang kualami.Tangan Mbok Mina menarikku hingga berdiri. Kami lantas mencoba menyelamatkan diri bersama dan lari dari rumah itu sebelum kobaran api kian membesar.Untunglah kunci pintu rumah tergantung tak jauh dari pintu. Jadi, kami punya kesempatan untuk melarikan diri. Akan tet

Bab terbaru

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 53b

    Kapokmu Kapan, Mas? (53b)Aku masuk dan tiba-tiba pintu itu terkunci dari luar."Masuk saja. Tidak perlu takut, Dek!" perintah Bang Robi.Tangannya menunjuk sebuah sofa agar aku duduk di sana. Kuletakkan tasku di samping."Gak usah tegang gitu, Dek," kata Bang Robi saat melihatku membetulkan posisi duduk berulang kali.Aku tak menjawab kata-katanya."Aku ke sini mau to the point aja, Bang!" kataku kemudian."Kamu butuh apa memangnya?""Aku gak butuh apa-apa, Bang. Aku malah mau menyerahkan ini." Kulempar map berisi duplikat surat-surat berharga peninggalan orang tuaku ke atas meja yang menjadi pembatas aku dan Bang Robi."Silakan ambil semua itu. Itu yang Abang inginkan, kan?" tanyaku.Bukannya menjawab, Bang Robi malah tertawa."Bukan itu, Sayang! Abang gak butuh itu semua. Yang Abang butuh itu kamu!""Aku? Maksud Abang apa? Bukannya Abang niat bunuh aku?"Bang Robi kembali tertawa."Nah, itu kamu tau.""Kenapa Abang segitu jahatnya sama aku? Salah aku apa, Bang?""Salah kamu karena

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 53a

    Kapokmu Kapan, Mas? (53)Aku bersiap berangkat setelah Bang Robi mengirimkan pesan berisi tempat di mana kami akan bertemu. Kusiapkan apa-apa saja yang kuperlukan untuk menemui Bang Robi. Aku harus menyelesaikan semuanya.Baru saja aku memutar gagang pintu kamar, dari luar sudah didorong orang. Ternyata Pak Arsyad yang mendorong. Aku yang tadinya sudah di ambang pintu, harus mundur beberapa langkah karena Pak Arsyad yang ikut masuk ke kamarku. Tangannya lantas menutup pintu kamarku dan menguncinya dengan cepat. Lalu, kunci itu disembunyikannya di dalam saku celana yang dikenakannya."Mas ... balikin kuncinya! Saya mau pergi," pintaku.Bukannya memberikan apa yang kupinta, Pak Arsyad malah menempelkan belakangnya ke pintu. Dengan santai Pak Arsyad bersedekap dan berucap, "Kalau bisa, coba ambil sendiri!""Mas ... tolong! Saya mau pergi. Sudah ada janji.""Janji dengan Robi?"Aku mengangguk."Tidak akan saya biarkan kamu keluar dari sini, kalau begitu.""Mas ... tolong ngertiin saya kal

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 52b

    Kapokmu Kapan, Mas? (52b)Malam itu, aku tak dapat tidur dengan pulas. Marahnya Pak Arsyad mendominasi pikiranku. Aku tak suka dengan itu. Sungguh menyakitkan.Pagi harinya, saat sarapan, aku sengaja meminta izin kepada kedua orang tua Pak Arsyad, serta Bude Ningsih."Siang nanti Titi izin keluar, ya, Ma, Pa, Bude."Ketiganya serempak menanyakan tujuanku."Mau menyelesaikan sesuatu yang harus diselesaikan," jawabku.Pak Arsyad diam saja tak merespon apa pun. Dia juga tak melirikku barang sedikit. Ada rasa sakit kurasakan karena itu.Meskipun Pak Arsyad marah, aku sudah bertekad bulat untuk menemui Bang Robi. Aku ingin menyelesaikan semuanya. Semua upaya yang aku dan Pak Arsyad lakukan selama ini tak berdampak banyak. Jadi, ini jalan terakhir untuk mengakhiri semuanya. Setidaknya, setelah Bang Robi mendapatkan semua yang diinginkannya, aku berharap tidak ada lagi korban. Aku semakin takut menjadi sumber dosa banyak orang.Ternyata, setelah sarapan, Pak Arsyad tidak berangkat ke kantor

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 52a

    Kapukmu Kapan Mas? (52a)Selepas shalat, aku menyusul Pak Arsyad yang telah lebih dulu menunggu di mobil."Kita pulang sekarang?" tanya Pak Arsyad setelah aku duduk di kursi samping kemudi."Memang masih ada rencana mau ke mana lagi, Mas?" Aku balik bertanya."Tidak juga. Tapi siapa tau kamu butuh pergi ke suatu tempat untuk film diri."Benar juga kata Pak Arsyad. Aku butuh tempat untuk syuting diri. Juga untuk menjernihkan pikiran."Boleh, sih, Mas. Tapi saya gak tau mau ke mana.""Gimana kalau ke pantai?""Boleh."Pak Arsyad lantas melajukan mobilnya menuju pantai. Kami lalu duduk di tepi pantai beralas tikar yang disewakan. Pak Arsyad juga memesan dua buah kelapa muda untuk kami nikmati.Cukup lama kami dalam diam menikmati semilir angin pantai yang menyejukkan. Aku sibuk dengan pikiranku tentang langkah selanjutnya yang akan kuambil. Entah dengan Pak Arsyad, apa yang dipikirkannya, aku tak bisa menebak.Seandainya waktu dapat kuputar. Aku pasti akan berusaha sebaik mungkin agar se

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 51c

    Kapokmu Kapan, Mas? (51c)Aku benar-benar dibuat terkejut dengan pengakuan itu. Dadaku bergemuruh. Tak pernah kusangka semua itu."Itu pun karena saya diancam. Bapak mengancam akan membunuh anak bungsu saya yang sedang berada di rumah sakit.""Mbok punya anak selain Mas Wisnu?" tanyaku heran. Pasalnya, selama ini yang kutahu Mbok Mina hanya punya satu anak."Anak saya ada dua, Bu. Wisnu anak pertama saya. Adiknya bernama Siti. Dia sedang dalam masa perawatan di rumah sakit jiwa. Pak Robi tau itu. Saya juga kurang mengerti beliau tau dari mana. Padahal saya tidak pernah bercerita. Pak Robi menggunakan Siti untuk menekan saya memberitahukan tentang kepergian Ibu. Saya terpaksa memberitahu alamat rumah di kampung."Astaghfirullah ...."Awalnya, saya pikir Bapak mau menjemput Ibu secara baik-baik. Jadi saya beri saja. Tapi ... saya malah disuruh hubungi Wisnu. Saya disuruh bohong tentang sakit dan nyuruh Wisnu nyusul ke kota. Di situ, perasaan saya sudah gak enak. Tapi saya gak bisa berbu

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 51b

    Kapokmu Kapan, Mas? (51b)Karena bosan tak mendapat jawaban, Mas Wisnu akhirnya kembali ke motornya dan pergi dari tempat itu. Aku dan Pak Arsyad membuntutinya. Cukup jauh perjalanan yang harus kami tempuh sampai akhirnya kami tiba di sebuah rumah. Tempat motor Mas Wisnu berhenti.Di depan rumah itu terlihat Mbok Mina keluar menyambut putranya. Tampak ibu dan anak itu saling berbincang entah apa. Mereka lalu masuk ke rumah bersama dan mengunci pintu setelahnya.Aku dan Pak Arsyad masih setia di dalam mobil. Kami menunggu kesempatan untuk dapat masuk ke rumah itu dan meminta penjelasan. Pak Arsyad yakin betul bahwa ada sesuatu keterkaitan antara mereka dan apa yang sedang terjadi kepadaku.Satu jam sudah kami menunggu di dalam mobil. Akan tetapi, Pak Arsyad belum juga mau kami turun menghampiri rumah itu. Perutku sudah perih, tetapi tak sampai hati kuutarakan."Ayo, kita turun!" Pak Arsyad memberi perintah setelah melihat Mas Wisnu keluar dari rumah itu. Sepertinya Mas Wisnu hendak sa

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 51a

    Kapokmu Kapan, Mas? (51)"Jadi, apa yang akan Mas lakuin selanjutnya?" Aku bertanya."Kita buntuti Wisnu.""Kita?" Aku mengernyit."Iya. Apa kamu gak mau tau apa yang sebenarnya terjadi? Saya ada feeling kuat mereka ada kaitannya dengan kasus ini.""Begitu menurut Mas?"Pak Arsyad mengangguk."Kalau begitu, saya ikut. Kapan Mas mau laksanain rencana itu?" ucapku."Kemungkinan besok sore sepulang kerja. Atau lihat besok, deh. Pokoknya kamu siap-siapa aja. Kalau saya telpon, kita siap berangkat.""Oke, Mas, kalau gitu.""Ya udah, ini udah malam. Kamu tidur, sana!""Iya, Mas. Mas juga, ya! Terima kasih udah mau saya repotin malam begini.""Santai."Kami lantas kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat.Namun, sebelum dapat terlelap, aku kembali teringat mimpi malam sebelumnya. Aku bermimpi sedang bertengkar dengan Mbok Mina dan Mas Wisnu di tepu jurang. Hampir saja kami terpeleset ke dalam jurang itu. Aku merasa itu adalah sebuah petunjuk. Semoga saja aku segera mengetahui maksud

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 50b

    Kapukmu Kapan Mas? (50b)"Kayaknya korban pembunuhan, Mbak."Entah mengapa, saya merasa ngeri dengan informasi itu. Apakah Mas Adam juga menjadi salah satu korban Bang Robi? Entahlah. Aku tak berani berspekulasi.Karena hari semakin petang, Pak Arsyad mengajakku untuk pulang setelah sedikit berbasa-basi dengan tetangga Mas Adam yang kami tanyai. Sepanjang perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Begitu juga dengan Pak Arsyad.Malamnya aku merasa gelisah. Bahkan dalam tidur pun aku jadi tidak tenang. Mataku terpejam, tapi sama sekali aku tidak merasa tidur. Pikiranku berlarian ke berbagai praduga.Barulah setelah lewat pukul dua dini hari, aku bisa terlelap. Akan tetapi, sebuah mimpi aneh muncul dalam tidurku. Aku memimpikan Mbok Mina dan Mas Wisnu.Aku terbangun tepat saat azan Subuh berkumandang. Berkali-kali aku beristighfar demi keputusan debar di dada. Apakah mimpiku adalah pertanda? Atau hanya bunga tidur semata.Sudah cukup lama aku tak mendapat kabar dari Mbok Mina dan Mas Wis

  • Kapokmu Kapan, Mas?   Bab 50a

    Kapokmu Kapan, Mas? (50)Aku benar-benar terkejut melihat Bang Robi menarik tanganku. Ingin rasanya kutepis dan berlari menjauh darinya. Akan tetapi, suasana di lain arah pun sedang tak kondusif.Terpaksa, aku hanya pasrah dibawanya. Kami akhirnya keluar dari gedung itu. Segera kutepis tangan Bang Robi. Dari kejauhan, terlihat Pak Arsyad. Aku segera lari menghampirinya."Kamu gak kenapa-kenapa, kan?" tanya Pak Arsyad ketika aku sampai di depannya.Belum sempat aku menjawab, Bang Robi sudah menimpali, "Cewek lo gak kenapa-kenapa, kok, Bro. Aman.""Lo yang nyelametin dia, Bi?" tanya Pak Arsyad."Iya.""Thanks, ya, Bi."Bang Robi hanya mengangguk menanggapi ucapan Pak Arsyad."Lain kali, jagain cewek lo baik-baik, Bro. Dia kayaknya sensian sama cowok." Bang Robi menyindirku.Pak Arsyad malah tertawa menanggapi perkataan Bang Robi.Pak Arsyad melihat ke arahku. Aku menggeleng sebagai isyarat tak melakukan apa pun kepadanya."Diapain emangnya lo, Bi?""Gak, kok. Dah, ya, gue duluan. Sial.

DMCA.com Protection Status