Kapokmu Kapan, Mas? (33)Kukumpulkan semua informasi tentang Bang Robi dari menguping pembicaraan karyawan kantor saat aku sedang menjalankan pekerjaan. Bang Robi begini. Bang Robi begitu. Semua kucatat dalam ingatan. Rupanya tak terlalu banyak perubahan pada diri Bang Robi selepas tiga bulan kami tak bersama.Bulan pertama aku bekerja di kantor Bang Robi, aku belum juga bisa mencari celah untuk masuk ke ruang kerjanya. Ruang kerja Bang Robi selama ini hanya boleh dimasuki orang-orang tertentu. Bahkan, office boy atau cleaning servisnya pun ada orang khusus. Jadi, ya, wajar bila aku agak kesulitan menjamah tempat itu. Terlebih, aku adalah karyawan baru di perusahaan itu.Satu bulan kerja di kota, aku sudah dua kali pulang ke rumah Emak. Beliau dan Nining selalu menelepon menanyakan kabar. Hal itu membuatku merasa tersentuh dan ingin cepat-cepat bertemu mereka setiap libur tiba. Kebetulan, setiap dua minggu sekali aku diberi jatah libur tiga hari. Jadi aku memanfaatkannya untuk melepas
Kapokmu Kapan, Mas? (34)Aku benar-benar penasaran dengan acara di masjid sorenya itu. Jadi, setelah selesai makan, aku segera pamit pulang. Aku ingin bersiap-siap untuk melakukan pengintaian lebih lanjut."Terima kasih banyak, Bu. Saya pamit dulu," ucapku saat Kak Elfa mengantar sampai depan pintu."Hati-hati, ya, Mbak.""Iya, Bu. Permisi."Aku berlalu dari rumah itu dengan perasaan tak menentu.Dari sana, aku langsung pulang ke indekos. Aku segera mengganti penampilan untuk melakukan pengintaian selanjutnya. Kalau benar apa yang kuduga tentang Bang Robi dan Miska, aku akan memberi pelajaran untuk mereka saat itu juga!Aku berganti pakaian dan riasan. Lantas bergegas menuju masjid yang letaknya tak jauh dari rumahku tadi. Aku yakin acara yang Kak Elfa maksud adalah di masjid itu. Sebelum pulang, aku sempat melihat beberapa orang sibuk memasang tiang-tiang tenda.Aku sampai di masjid tepat saat azan Ashar berkumandang. Karena aku sedang berhalangan, aku menunggu di luar masjid sambil
Kapokmu Kapan, Mas? (35)Ira. Betul itu Ira! Aku yakin seratus persen bahwa wanita yang sedang berjalan berbelok ke arah toilet bioskop itu Ira."Pak, saya izin ke toilet sebentar, boleh, kan? Bapak antri sendiri dulu, gak papa, kan, Pak?" Aku bertanya ragu-ragu pada Pak Arsyad.Berkali-kali aku membuang pandang pada arah kepergian Ira dengan cemas. Ini kesempatan emasku. Tidak boleh aku sia-siakan begitu saja!"Boleh, dong, Ning. Silakan aja, saya tunggu di sini, ya. Atau nanti kalau udah selesai antri, saya tunggu depan toilet. Biar gak ilang." Seperti biasa, Pak Arsyad selalu melontarkan senyum ramahnya setiap kali berbicara denganku."Iya, Pak. Permisi."Aku langsung berjalan cepat menuju toilet bioskop tempat tadi kulihat Ira memasukinya. Semoga saja aku tidak bersisian dengannya.Aku langsung masuk ke toilet dan mendapati tempat itu penuh sesak oleh beberapa wanita yang sedang mengantre bilik toilet di dalam ruangan itu. Tak kulihat Ira di antara orang-orang yang sedang mengantr
Kapokmu Kapan, Mas? (35b)Bagaimana aku tidak tertarik akan kemunculan Ira. Selama dua bulan aku kembali ke kota, aku sama sekali tak mendapati jejaknya. Nomor ponsel dan tempat tinggalnya sudah berganti. Beberapa orang yang kuketahui berhubungan dengannya pun mengakui kehilangan jejaknya. Lalu, dengan tiba-tiba aku aku melihatnya di tengah kerumunan pengunjung bioskop. Siapa yang tidak terkejut?Kami selesai makan tepat saat azan Magrib berkumandang."Temani saya ke masjid di atas dulu, ya, Ning. Bisa, kan?" tanya Pak Arsyad."Bisa, Pak."Kebetulan, saat itu aku sedang berhalangan. Jadi aku hanya menemaninya ke masjid di atap gedung mall saja. Lagipula, aku sedang menggunakan make-up menyerupai wajah Nining. Bisa ketahuan penyamaranku kalau nantinya aku menghapus make-up untuk bersuci sebelum melakukan ibadah wajib.Sampai di atap gedung, kami berpisah. Pak Arsyad berjalan menuju tempat salat pria. Sementara aku menunggunya di deretan kursi taman di sisi lain masjid.Sedang asyik men
Kapomu Kapan, Mas? (36)Ira menatapku dengan ekspresi panik."Gimana, nih, Ti?"Aku menggeleng. Bingung harus memberi solusi apa."Tadi pas aku berangkat remnya baik-baik aja, kok," katanya lagi.Kami tidak mungkin meneruskan perjalanan dengan kondisi rem blong seperti itu.Dalam kebimbangan, aku tak henti berdoa. Lalu, tiba-tiba sebuah ide muncul begitu saja."Ra, coba masuk ke lahan parkir sana!" Aku menunjuk lahan parkir lantai bawah atap gedung. Untunglah ketahuan rem blong kami masih berada dalam lahan parkir. Entah apa jadinya kalau kami sudah berada di jalan raya ketika baru sadar rem mobil Ira blong.Ira menuruti perintahku. Kami akhirnya masuk ke lahan parkir yang agak kosong. Di sana Ira berusaha mengendalikan mobilnya dan menurunkan gas pelan-pelan sampai akhirnya mobilnya bisa berhenti dengan sempurna."Kayaknya aku masih diincer, Ti," ucap Ira saat mobil benar-benar berhenti."Maksudnya, Ra?" Aku bertanya."Kayaknya orang-orang itu masih ngincer aku, Ti. Kalau kayak gini,
Kapokmu Kapan, Mas? (37)Ira. Bagaimana keadaannya? Apakah kebakaran terjadi di unit Ira? Lututku lemas ketika membayangkannya.Aku cepat-cepat menuju bagian depan gedung. Kulihat banyak orang dievakuasi. Akan tetapi, aku tak melihat Ira maupun Pak Arsyad.Aku semakin panik. Ingin rasanya aku masuk ke dalam gedung itu untuk memeriksa keadaan mereka. Sayangnya, baru juga beberapa langkah maju, tubuhku ditahan seseorang."Mbak ... gak boleh ke sana! Bahaya," kata orang itu.Aku bergeming. Lututku semakin seperti tak bertulang saat melihat kobaran api yang semakin besar. Api yang awalnya berasal dari bagian belakang apartemen, dengan cepat merambat ke sisi depan gedung itu.Tak butuh waktu lama tim pemadam kebakaran datang. Mereka dengan sigap mengevakuasi para penghuni apartemen. Aku berusaha mencari keberadaan Ira dan Pak Arsyad di antara orang-orang yang berhasil dievakuasi. Nihil. Mereka tidak ada di sana.Malam semakin larut. Aku tidak bisa berlama-lama di lokasi apartemen Ira. Aku
Kapokmu Kapan, Mas? (37b)"Kamu ngapain di rumah sakit?" tanya Pak Arsyad ketika kami sudah di dalam mobil."Saya nyari sodara saya, Pak.""Oh ....""Tadi malam apartemen tempat sodara saya kerja kebakaran. Saya lihat di tivi. Saya takut dia kenapa-kenapa. Makanya saya langsung cari info ke sini.""Oh, saudara kamu kerja di apartemen tempat saya tinggal?"Aku menatap Pak Arsyad."Bapak tinggal di apartemen itu juga? Bapak gak kenapa-kenapa, kan?" Aku pura-pura panik. Ya ... memang aku panik tadinya."Kamu khawatirin saya?" Pak Arsyad bertanya dengan nada menggoda."Pak ... saya lagi gak bercanda, loh.""Iya, saya tinggal di sana. Semalam saya sempat pulang. Tapi langsung keluar lagi karena Mama telpon minta saya tidur di rumah beliau.""Terus, tadi Bapak kenapa tidak masuk kerja?"Pak Arsyad tak menjawab. Cukup lama pria itu diam sampai akhirnya aku mengerti. Dia marah karena aku berulang kali memanggilnya dengan panggilan seperti di kantor. Padahal berkali-kali dirinya meminta dipang
Kapokmu Kapan, Mas? (38)Suara itu milik Bang Anton, kakak kandung Bang Robi. Apakah mereka terlibat dalam kematian kedua orang tuaku? Siapa lagi yang terlibat selain mereka? Apakah keluarga Bang Robi terlibat juga? Kak Elfa ... apakah termasuk ke dalamnya?Kucoba redam detak tak beraturan di dada dengan berkali-kali melafazkan istighfar. Barulah setelah aku bisa tenang, kulanjutkan membuka satu demi satu file bukti yang diberikan Ira. Sebagian besar isi file itu berupa pesan chat antara Bang Robi dengan beberapa orang. Di antaranya Bang Anton.Emosiku semakin menjadi-jadi saat mengetahui fakta sebenarnya. Kecelakaan yang terjadi pada kedua orang tuaku, dikarenakan ulah Bang Robi dan komplotannya. Hanya karena proyek kerja, keluargaku dibunuh dengan begitu sadis. Lalu, agar tak ketahuan, Bang Robi sengaja mendekatiku yang rapuh. Ya Allah ... jahat sekali mereka.Falshdisk kedua yang kubuka isinya tak kalah mencengangkan. Isinya adalah bukti Bang Robi menyuruh orang menghabisi nyawaku.
Kapokmu Kapan, Mas? (53b)Aku masuk dan tiba-tiba pintu itu terkunci dari luar."Masuk saja. Tidak perlu takut, Dek!" perintah Bang Robi.Tangannya menunjuk sebuah sofa agar aku duduk di sana. Kuletakkan tasku di samping."Gak usah tegang gitu, Dek," kata Bang Robi saat melihatku membetulkan posisi duduk berulang kali.Aku tak menjawab kata-katanya."Aku ke sini mau to the point aja, Bang!" kataku kemudian."Kamu butuh apa memangnya?""Aku gak butuh apa-apa, Bang. Aku malah mau menyerahkan ini." Kulempar map berisi duplikat surat-surat berharga peninggalan orang tuaku ke atas meja yang menjadi pembatas aku dan Bang Robi."Silakan ambil semua itu. Itu yang Abang inginkan, kan?" tanyaku.Bukannya menjawab, Bang Robi malah tertawa."Bukan itu, Sayang! Abang gak butuh itu semua. Yang Abang butuh itu kamu!""Aku? Maksud Abang apa? Bukannya Abang niat bunuh aku?"Bang Robi kembali tertawa."Nah, itu kamu tau.""Kenapa Abang segitu jahatnya sama aku? Salah aku apa, Bang?""Salah kamu karena
Kapokmu Kapan, Mas? (53)Aku bersiap berangkat setelah Bang Robi mengirimkan pesan berisi tempat di mana kami akan bertemu. Kusiapkan apa-apa saja yang kuperlukan untuk menemui Bang Robi. Aku harus menyelesaikan semuanya.Baru saja aku memutar gagang pintu kamar, dari luar sudah didorong orang. Ternyata Pak Arsyad yang mendorong. Aku yang tadinya sudah di ambang pintu, harus mundur beberapa langkah karena Pak Arsyad yang ikut masuk ke kamarku. Tangannya lantas menutup pintu kamarku dan menguncinya dengan cepat. Lalu, kunci itu disembunyikannya di dalam saku celana yang dikenakannya."Mas ... balikin kuncinya! Saya mau pergi," pintaku.Bukannya memberikan apa yang kupinta, Pak Arsyad malah menempelkan belakangnya ke pintu. Dengan santai Pak Arsyad bersedekap dan berucap, "Kalau bisa, coba ambil sendiri!""Mas ... tolong! Saya mau pergi. Sudah ada janji.""Janji dengan Robi?"Aku mengangguk."Tidak akan saya biarkan kamu keluar dari sini, kalau begitu.""Mas ... tolong ngertiin saya kal
Kapokmu Kapan, Mas? (52b)Malam itu, aku tak dapat tidur dengan pulas. Marahnya Pak Arsyad mendominasi pikiranku. Aku tak suka dengan itu. Sungguh menyakitkan.Pagi harinya, saat sarapan, aku sengaja meminta izin kepada kedua orang tua Pak Arsyad, serta Bude Ningsih."Siang nanti Titi izin keluar, ya, Ma, Pa, Bude."Ketiganya serempak menanyakan tujuanku."Mau menyelesaikan sesuatu yang harus diselesaikan," jawabku.Pak Arsyad diam saja tak merespon apa pun. Dia juga tak melirikku barang sedikit. Ada rasa sakit kurasakan karena itu.Meskipun Pak Arsyad marah, aku sudah bertekad bulat untuk menemui Bang Robi. Aku ingin menyelesaikan semuanya. Semua upaya yang aku dan Pak Arsyad lakukan selama ini tak berdampak banyak. Jadi, ini jalan terakhir untuk mengakhiri semuanya. Setidaknya, setelah Bang Robi mendapatkan semua yang diinginkannya, aku berharap tidak ada lagi korban. Aku semakin takut menjadi sumber dosa banyak orang.Ternyata, setelah sarapan, Pak Arsyad tidak berangkat ke kantor
Kapukmu Kapan Mas? (52a)Selepas shalat, aku menyusul Pak Arsyad yang telah lebih dulu menunggu di mobil."Kita pulang sekarang?" tanya Pak Arsyad setelah aku duduk di kursi samping kemudi."Memang masih ada rencana mau ke mana lagi, Mas?" Aku balik bertanya."Tidak juga. Tapi siapa tau kamu butuh pergi ke suatu tempat untuk film diri."Benar juga kata Pak Arsyad. Aku butuh tempat untuk syuting diri. Juga untuk menjernihkan pikiran."Boleh, sih, Mas. Tapi saya gak tau mau ke mana.""Gimana kalau ke pantai?""Boleh."Pak Arsyad lantas melajukan mobilnya menuju pantai. Kami lalu duduk di tepi pantai beralas tikar yang disewakan. Pak Arsyad juga memesan dua buah kelapa muda untuk kami nikmati.Cukup lama kami dalam diam menikmati semilir angin pantai yang menyejukkan. Aku sibuk dengan pikiranku tentang langkah selanjutnya yang akan kuambil. Entah dengan Pak Arsyad, apa yang dipikirkannya, aku tak bisa menebak.Seandainya waktu dapat kuputar. Aku pasti akan berusaha sebaik mungkin agar se
Kapokmu Kapan, Mas? (51c)Aku benar-benar dibuat terkejut dengan pengakuan itu. Dadaku bergemuruh. Tak pernah kusangka semua itu."Itu pun karena saya diancam. Bapak mengancam akan membunuh anak bungsu saya yang sedang berada di rumah sakit.""Mbok punya anak selain Mas Wisnu?" tanyaku heran. Pasalnya, selama ini yang kutahu Mbok Mina hanya punya satu anak."Anak saya ada dua, Bu. Wisnu anak pertama saya. Adiknya bernama Siti. Dia sedang dalam masa perawatan di rumah sakit jiwa. Pak Robi tau itu. Saya juga kurang mengerti beliau tau dari mana. Padahal saya tidak pernah bercerita. Pak Robi menggunakan Siti untuk menekan saya memberitahukan tentang kepergian Ibu. Saya terpaksa memberitahu alamat rumah di kampung."Astaghfirullah ...."Awalnya, saya pikir Bapak mau menjemput Ibu secara baik-baik. Jadi saya beri saja. Tapi ... saya malah disuruh hubungi Wisnu. Saya disuruh bohong tentang sakit dan nyuruh Wisnu nyusul ke kota. Di situ, perasaan saya sudah gak enak. Tapi saya gak bisa berbu
Kapokmu Kapan, Mas? (51b)Karena bosan tak mendapat jawaban, Mas Wisnu akhirnya kembali ke motornya dan pergi dari tempat itu. Aku dan Pak Arsyad membuntutinya. Cukup jauh perjalanan yang harus kami tempuh sampai akhirnya kami tiba di sebuah rumah. Tempat motor Mas Wisnu berhenti.Di depan rumah itu terlihat Mbok Mina keluar menyambut putranya. Tampak ibu dan anak itu saling berbincang entah apa. Mereka lalu masuk ke rumah bersama dan mengunci pintu setelahnya.Aku dan Pak Arsyad masih setia di dalam mobil. Kami menunggu kesempatan untuk dapat masuk ke rumah itu dan meminta penjelasan. Pak Arsyad yakin betul bahwa ada sesuatu keterkaitan antara mereka dan apa yang sedang terjadi kepadaku.Satu jam sudah kami menunggu di dalam mobil. Akan tetapi, Pak Arsyad belum juga mau kami turun menghampiri rumah itu. Perutku sudah perih, tetapi tak sampai hati kuutarakan."Ayo, kita turun!" Pak Arsyad memberi perintah setelah melihat Mas Wisnu keluar dari rumah itu. Sepertinya Mas Wisnu hendak sa
Kapokmu Kapan, Mas? (51)"Jadi, apa yang akan Mas lakuin selanjutnya?" Aku bertanya."Kita buntuti Wisnu.""Kita?" Aku mengernyit."Iya. Apa kamu gak mau tau apa yang sebenarnya terjadi? Saya ada feeling kuat mereka ada kaitannya dengan kasus ini.""Begitu menurut Mas?"Pak Arsyad mengangguk."Kalau begitu, saya ikut. Kapan Mas mau laksanain rencana itu?" ucapku."Kemungkinan besok sore sepulang kerja. Atau lihat besok, deh. Pokoknya kamu siap-siapa aja. Kalau saya telpon, kita siap berangkat.""Oke, Mas, kalau gitu.""Ya udah, ini udah malam. Kamu tidur, sana!""Iya, Mas. Mas juga, ya! Terima kasih udah mau saya repotin malam begini.""Santai."Kami lantas kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat.Namun, sebelum dapat terlelap, aku kembali teringat mimpi malam sebelumnya. Aku bermimpi sedang bertengkar dengan Mbok Mina dan Mas Wisnu di tepu jurang. Hampir saja kami terpeleset ke dalam jurang itu. Aku merasa itu adalah sebuah petunjuk. Semoga saja aku segera mengetahui maksud
Kapukmu Kapan Mas? (50b)"Kayaknya korban pembunuhan, Mbak."Entah mengapa, saya merasa ngeri dengan informasi itu. Apakah Mas Adam juga menjadi salah satu korban Bang Robi? Entahlah. Aku tak berani berspekulasi.Karena hari semakin petang, Pak Arsyad mengajakku untuk pulang setelah sedikit berbasa-basi dengan tetangga Mas Adam yang kami tanyai. Sepanjang perjalanan pulang, aku lebih banyak diam. Begitu juga dengan Pak Arsyad.Malamnya aku merasa gelisah. Bahkan dalam tidur pun aku jadi tidak tenang. Mataku terpejam, tapi sama sekali aku tidak merasa tidur. Pikiranku berlarian ke berbagai praduga.Barulah setelah lewat pukul dua dini hari, aku bisa terlelap. Akan tetapi, sebuah mimpi aneh muncul dalam tidurku. Aku memimpikan Mbok Mina dan Mas Wisnu.Aku terbangun tepat saat azan Subuh berkumandang. Berkali-kali aku beristighfar demi keputusan debar di dada. Apakah mimpiku adalah pertanda? Atau hanya bunga tidur semata.Sudah cukup lama aku tak mendapat kabar dari Mbok Mina dan Mas Wis
Kapokmu Kapan, Mas? (50)Aku benar-benar terkejut melihat Bang Robi menarik tanganku. Ingin rasanya kutepis dan berlari menjauh darinya. Akan tetapi, suasana di lain arah pun sedang tak kondusif.Terpaksa, aku hanya pasrah dibawanya. Kami akhirnya keluar dari gedung itu. Segera kutepis tangan Bang Robi. Dari kejauhan, terlihat Pak Arsyad. Aku segera lari menghampirinya."Kamu gak kenapa-kenapa, kan?" tanya Pak Arsyad ketika aku sampai di depannya.Belum sempat aku menjawab, Bang Robi sudah menimpali, "Cewek lo gak kenapa-kenapa, kok, Bro. Aman.""Lo yang nyelametin dia, Bi?" tanya Pak Arsyad."Iya.""Thanks, ya, Bi."Bang Robi hanya mengangguk menanggapi ucapan Pak Arsyad."Lain kali, jagain cewek lo baik-baik, Bro. Dia kayaknya sensian sama cowok." Bang Robi menyindirku.Pak Arsyad malah tertawa menanggapi perkataan Bang Robi.Pak Arsyad melihat ke arahku. Aku menggeleng sebagai isyarat tak melakukan apa pun kepadanya."Diapain emangnya lo, Bi?""Gak, kok. Dah, ya, gue duluan. Sial.