Sekitar satu jam lamanya Arumi menunggu k datangan sang suami dan Kania yang pergi membeli makanan. Agak lebih lama sebenarnya dari perkiraannya. Tiada pikirkan buruk yang tumbuh di dalam kepala Arumi, tapi tidak dengan sang ibu. Semenjak dia bertemu dengan Kania, ada perasaan aneh yang muncul. Salah satunya, bagaimana bisa ada seorang pembantu yang tidak punya rasa takut serta hormat seperti yang Aida tahu. Art yang ini seperti lain dari yang lain. Belum lagi kalau sedang berdebat atau apa, selalu saja ada menantunya yang akan datang dan berujung membela pembantu itu. "Ini udah satu jam lebih lho, Arumi. Kok mereka belum balik sih? Kayak pergi ke Hongkong aja beli makanan doang," ujar Aida. Sedang yang ditanya tengah sibuk dengan layar laptop di depannya. "Sabar dong, Ma. Mungkin ada kendala atau apa. Jangan negatif thinking mulu sama orang. Nggak baik lho." Ck! Aida berdecak, tak setuju. Entah kenapa dirinya jadi menyesal karena tidak mengajarkan putrinya ini untuk selalu b
"Innalillahi." Arumi jadi kaget. "Kok kamu baru bilang sih, Kania? Terus kamu nggak datang waktu Bapak kamu di makamin?" Dengan samar Kania menggelengkan kepala. Binar matanya dibuat sesedih mungkin untuk menegaskan pada Arumi bahwa dirinya sangat membutuhkan izin tersebut. "Ya Allah, kenapa nggak bilang dari awal? Kan saya bisa ngasih izin kamu pergi waktu itu?" "Maaf, Bu. Tadinya saya pikir Ibu sama Bapak pasti membutuhkan saya. Apalagi waktu itu kan Ibu sama Bapak lagi nggak baik. Takutnya juga nggak ada yang jagain Azka." Tak bisa dipungkiri kalau saat ini hati Arumi terenyuh mendengarnya. Betapa tulus dan perhatian gadis yang dia pekerjakan selama dua tahun terakhir ini. Padahal kalau diingat-ingat lagi, Arumi dulunya sangat egois dan banyak maunya. Belum lagi cerewet dan penuh dengan perintah yang menyebalkan. Arumi jadi merasa bersalah. "Ya ampun, kalau kamu bilang itu alasannya, mana mungkin saya ngekang kamu, Kania. Ini masalah kemanusiaan lho. Dan saya masih punya hati
Kania sudah berlalu untuk melakukan tugasnya, sementara Adi izin pada Arumi untuk membujuk sang ibu mertua, sementara perempuan itu sendiri tengah sibuk berkutat di dapur. Seperti yang terdengar, kalau Kania akan mengambil cuti. Maka mau tak mau, bukan juga merasa terpaksa, Arumi pun mulai menjalani tugas-tugas seorang perempuan yang kata suaminya lebih baik dari pada ikut-ikutan bersaing mencari pundi-pundi rupiah. Perempuan usia 26 tahun itu masih terlihat tidak lugas. Masih banyak yang perlu dia pelajari, terutama mencuci piring. Entah kapan agaknya Arumi terakhir melakukan pekerjaan itu. Maklum saja, Arumi itu putri tunggal dari orangtua uang berpunya. Sebelum ayahnya wafat dulu, hanya bekal berbisnis yang didapatinya alih-alih menjadi sosok perempuan yang dimau suaminya. Itulah kenapa saat ini dirinya jadi bingung sendiri bagaimana dan apa yang harus dilakukan di area dapur. Jadi benar-benar sangat sulit. Ditempat lain, terlihat Adi sedang berdiri di dekat Aida yang tengah me
Dengan perasaan berbunga-bunga bak taman bunga nusantara, Kania tersu saja berjalan menuju kamarnya. Sekitar satu kali Uda puluh empat jam, dia akan mulai memiliki Adi tanpa bayang-bayang Arumi.Sungguh, semuanya tampak berjalan dengan apa yang dia inginkan. Kania pun jadi berpikir, mungkin inilah alasan kenapa dia mengiyakan pada Tuhan untuk dilahirkan. Ternyata ada kebahagiaan yang tidak ada lagi bandingannya yang akan ditunjukkan untuknya.Suara senandung dari bibirnya seketika terjeda bersamaan dengan langkah kakinya, begitu mendapati Aida sudah ada di depan mata. Perempuan tua itu tengah menatapnya cukup lekat dengan kilat selidik di pancaran matanya."Eh, Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya kemudian, dengan senang hati.Aida tak langsung menjawab. Dia lebih dulu mengikis jarak sampai matanya benar-benar menatap Kania lebih dekat. Hanya jarak dua langkah. "Kenapa kamu pandai sekali bersilat lidah? Kamu mau memanfaatkan kebaikan anak saya rupanya?"Kania kontan saja menghe
"Ma!" tegur Arumi. Sejak tadi lain dia sudah misuh-misuh hanya karena ucapan sang ibu yang terlalu melantur. Apalagi mendengar kalimat lirih dari Kania yang semakin membakar jiwa Arumi tak tahan melihat kesedihan yang dirasakan gadis lebih mudah darinya itu. "Mama ini kenapa sih, Ma? Bukannya Mas Adi udah bujuk Mama tadi? Harusnya Mama udah ngerti dong. Bukannya malah menjadi-jadi kayak gini!" imbuhnya memarahi sang ibu. Tepat sasaran! Begitulah kira-kira perasaan Kania yang bak memanah. Bidikannya seolah tak melesat jauh. Reaksi Arumi ini sudah dia baca sejak tadi, dan akan lebih keruh lagi jika sekiranya Aida tidak berhenti. "Arumi, dengerin Mama baik-baik! Buka mata kamu! Kamu lagi ditusuk, Nak. Kebaikan kamu sedang di manfaatkan sama kedua orang gila ini!" gertak Aida dengan sekuat tenaga agar putrinya itu percaya. "Tusuk apa sih, Ma? Orang gila mana? Mama jangan asal ngomong dong." Arumi masih kukuh sama pendiriannya. "Udah-udah, Arumi. Jangan diladeni lagi. Mungkin Mama
"Apa nggak sebaiknya lupain aja, Arumi. Nggak perlu bersikap keras sama Mama. Jangan jadi anak yang durhaka nantinya," cegah Adi, berharap kalau semua ini segera berakhir. "Nggak usah buat pembelaan apa pun, Adi. Saya nggak butuh validasi dari kamu!" tegas Aida justru menolak bala bantuan yang coba Adi berikan. "Ma, astaga!" gertak Arumi. "Niat Mas Adi baik, Ma. Kenapa sih Mama ini?" "Baik? Itu menurut kamu, Arumi. Sebelum Adi benar-benar mengakui segala kesalahannya, jangan harap Mama bakalan anggap dia sebagai menantu lagi. Mama udah muak!" Aida segera melengos pergi melewati anak dan menantunya. Sementara itu, Arumi lagi-lagi membuang napas jengah, benar-benar sudah di tahap capek mengurus tingkah sang ibu. Apalagi mengingat tentang tudingan yang dilayangkan pada suaminya, membuat Arumi jadi segan menatap mata sang suami. "Mas ... aku minta maaf, ya? Aku nggak tahu kalau Mama bakal sampai sejauh ini bersikap. Aku bahkan nggak tahu apa sih alasan Mama bisa sampai menuduh kamu s
Pagi-pagi buta sekali Kania sudah terjaga, ralat! Tidak tertidur sama sekali hanya karena menahan rasa sakit akibat 'ulah' Adi yang terang-terangan 'menyakitinya' dengan memberikan yang seharusnya dia miliki pada wanita lain. Tampak kedua mata tanpa maskara itu sembab memerah. Semalaman air matanya tak berhenti mengalir bahkan kamarnya masih berantakan seperti apa yang dia lakukan tadi malam. Tadinya Kania enggan melakukan tugasnya, tapi apa daya? Walau dia merasa sudah berkuasa di rumah ini, yang namanya kewajiban tetap harus dia lakukan. Setelah memeriksa keadaan Azka–yang ternyata masih tertidur pulas, Kania pun berjalan ke arah dapur. Tugas-tugas sudah menanti di sana. Membersihkan dapur, memasak, serta membuatkan beberapa hal-hal dasar yang menjadi tuntutan personal dari majikannya. Dengan perasaan yang kacau, Kania melakukan pekerjaannya. Sampai seseorang datang meluapkan angan-angan yang sedari tadi terekam jelas di dalam kepalanya."Kania? Kamu udah buat kopi Bapak?" tanya
Langkah indah yang Kania jalani menuju kamar Adi, begitu terlihat penuh semangat dan keindahan yang dibantu imajinasi yang sudah berlayar mesra di dalam bayangannya. Tak jarang senyumnya luntur hanya karena membayangkan interaksi antara dirinya dan Adi nanti. Setibanya di depan pintu kamar, sengaja Kania tidak mengetuk sebelum masuk. Karena dia tahu, pasti Adi akan terusik dan buru-buru menyuruhnya keluar. Dari pada hal tidak diingatkan terjadi, lebih baik Kania mencari jalan aman. Tanpa basa-basi tangannya membuka pintu kamar lantas melengos masuk ke dalam sana. Dari jaraknya kini, tampak sudah punggung tegap milik Adi yang saat ini membelakanginya. Laki-laki itu hanya di balut selimut putih. Apa Adi sedang tidak mengenakan baju juga? Pikirnya. "Kamu dari mana aja sih, Sayang? Padahal kita belum selesai," gumam Adi. Berpikir kalau yang baru saja masuk ke kamar adalah istrinya.Ucapan itu lantas membuat Kania merasa bimbang serta bingung. Ingin dia senang, tapi tahu kalau ucapan it
Si empunya nama yang berhasil mendengarkan pekikan lantang Kania kontan terlonjak kaget bukan kepalang. Aktivitasnya mendadak terhenti, lantas berlari cepat guna mencari tahu sumber suara. Apa benar yang baru saja dia dengar itu sungguh suara orang yang ada didalam tebakannya? Begitu pintu utama itu terbuka, terpampang sudah potret Kania juga istrinya yang tengah berupaya keras bangun–entah sebab apa. Buru-buru Adi menghampiri sang istri, membantunya. "Ada apa ini? Kenapa kamu, Sayang?" tanya Adi, panik. Dia terus memeriksa bagian tubuh Arumi ingin memastikan apakah ada yang terluka atau tidak. Dibalik itu, Kania lantas mendengkus menahan tawa pahit yang terus saja menggerogoti hatinya. Dia juga sakit. Pipinya panas. Tubuhnya rasanya berat sebab ada raga lain di dalam sana. Tapi kenapa dirinya tak mendapatkan perlakuan yang sama? Kenapa dia malah semakin terluka pada saat melihat Adi begitu tampak mencintai istrinya? Di sisi lain, Arumi sebenarnya gerah dan gusar akan kecurangan y
Sekitar beberapa menit menunggu, akhirnya sosok mungil Arumi kembali lagi di tatap oleh Kania. Entah kenapa kali ini sosok pembantu itu berdebar saat melihat majikannya yang sejak dulu bertingkah baik terhadapnya. Seolah akan ada bahaya yang akan dia dapatkan begitu Arumi mulai mendekat. Tidak jauh berbeda dengan Kania, Arumi pun sama halnya dengan pembantunya itu. Tadinya Arumi berpikir akan mendapatkan kejutan dari mertuanya yang akan datang berkunjung, akan tetapi malah sosok yang tidak dia inginkan yang muncul. Sejenak dirinya seperti dibekukan di tempatnya apalagi mengingat segala sesuatu yang sudah tidak lagi asing di ingatannya. Perempuan muda di depannya sana begitu mengambil penuh atensinya sehingga menyesali karena tidak bertanya siapa yang hendak dia temui. Mendadak saja rasa tidak sukanya pada Kania muncul. Tatapan malas itu terpancar jelas. Belum lagi bibirnya yang tanpa senyuman walau sudah bertatap muka dengan Kania yang katanya akan selalu dia tunggu kepulangannya.
Aila dan Kania benar-benar berupaya keras mencari ke mana agaknya suami istri itu pergi. Tujuan ingin pergi ke tempat Adi bekerja ternyata tak juga membuahkan hasil. Nihil, alias benar-benar dibekukan segala akses dirinya mencari tahu tentang keberadaan pria itu. Apa ini memang sudah direncanakan oleh Adi? Pria itu tahu kalau Kania tidak akan menyerah dan terus mencarinya. Dan inikah jawabannya? Bahwa Adi pergi dengan segala tanggung jawab yang telah enyah. Janji kemarin menguap begitu saja. Tentang kalimat manisnya yang hendak menjadikan Kania sosok yang lebih dari pada seorang pelayan rumah tangga telah musnah ditelan kenyataan tentang dirinya yang melarikan diri. Sehari penuh tenaga serta energi kakak beradik itu dikuras begitu saja tanpa ada hasil sama sekali. Kini, keduanya benar-benar tak punya jalan apa-apa lagi. Semuanya buntu. Hal yang ingin dilakukan sudah dipatahkan begitu saja tanpa pertimbangan. "Sudahlah, Aila. Biarkan saja dia pergi. Lagi pula, semuanya pasti akan be
Kania benar-benar menceritakan segala hal yang dia lalui bersama dengan Adi. Tentang bagaimana dia mulai memberanikan diri untuk mengejar pria itu serta meyakinkan dirinya bahwa dia memang mencintai pria beristri tersebut. Akan tetapi, persepsi yang diberikan Kania tentang dirinya, beda pendapat dengan Aila. Sebagai anak kulihat jurusan psikologi–walau masih terdengar awam, Aila tahu bahwa ini bukanlah tentang diri sang kakak yang mencinta seperti apa katanya.Akan tetapi, ada sesuatu yang mendorong dalam diri untuk mengutarakan ketidakrelaan sehingga berniat untuk terus berurusan dengan si 'pelaku' yang telah merebut kehormatannya. Notabenenya yang terjadi pada sang kakak adalah pelecehan. Tetapi, karena kakaknya itu juga menerima begitu saja, tampaklah seperti dirinya yang mau-mau saja. Padahal, Kania hanya tidak bisa mengelak karena Adi itu adalah sosok yang dia hormati. Terlebih lagi, Adi memberikan janji-janji yang tidak pernah Kania dapatkan dari siapa pun. Sebab itu, Aila ya
Di tempat lain, keadaan Hayati semakin tak baik. Sesak napasnya sudah jauh lebih mengkhawatirkan. Lebih memprihatinkan lagi karena tidak ada satu pun tenaga kerja dari pihak rumah sakit yang mau berkontribusi untuk merawat Hayati.Katanya, harus melupakan pembayaran dengan jumlah yang fantastis. Walau pun sudah menjabarkan kartu kesehatan dari pemerintah, tetap saja ditolak dengan berbagai macam alasan yang sulit dicerna orang-orang disekitarnya.Tanpa sadar, keadaan Hayati tak lagi baik. Perempuan tua itu sudah terbaring di kasur berlapiskan kain selendang batik. Tidak ada yang bisa dilakukan. Orang-orang atau kerabatnya tidak ada yang punya nilai harta sebanyak itu sampai semuanya memilih untuk bungkam dan pasrah akan keadaan.Sementara di sisi lain, ada Kania yang terus merasa gelisah. Sejak malam itu dirinya tidak bisa berpikir jernih. Bukan hanya pikirannya yang penuh, tapi juga keadaan dirinya yang tidak seperti biasanya.Kadang sudah demam, kadang sudah menggigil. Juga terkadan
Tak bisa membiarkan Kania pergi begitu saja dengan kenyataan bahwa gadis itu masih enggan untuk mengalah, Adi pun berlari kecil guna menghentikan kepergiannya. Secepatnya gerakan Kania yang berjalan menjauh terhenti sebab Adi menahannya di pergelangan tangan. "Kania, sudah cukup!" tekan Adi. "Kita udah sepakat, kan? Kenapa kamu sulit sekali buat mengerti? Jangan ganggu saya! Jangan halangi kebahagiaan saya!" Kania segera menarik kuat tangannya dari genggaman pria didepannya. Kilat amarah terpampang jelas dari dua bola matanya yang gelap. "Kalah gitu bertanggung jawablah, Pak. Tanggung jawab atas apa yang sudah saya terima! Bapak merebut kesucian saya dengan iming-iming membahagiakan saya! Bapak kupa itu?" Suara kania tak kalah melengking. Panik, Adi refleks menoleh ke belakang, takut kalau ada telinga yang mendengar. Beruntung kalau Hayati sedang tidak baik keadaannya sehingga orang-orang malah fokus pada perempuan tua itu. Memang salah, tapi setidaknya Adi punya kesempatan untuk m
"Bawa aku pulang, Pak. Aku nggak bisa kalau harus berpisah darimu," lirih Kania. Dia menatap lemah pada sorot mata pria di sampingnya. "Saya nggak bisa," tolak Adi. Dia sangat berharap kalau Kania mau menerima. "Tolong Kania, kamu harus bisa melupakan perasaan kamu itu. Semua itu nggak benar. Masih ada banyak laki-laki diluar sana yang mau mencintai kamu. Jangan saya." "Tapi saya cuma mau sama Bapak. Saya nggak aku sama siapapun, Pak. Jangan tinggalkan saya. Saya mohon."Dibalik percakapan kedua orang itu, diam-diam Arjuna membaca semua yang telah terjadi. Dia mencoba mencari tahu apa sebenarnya yang sudah terjadi pada perempuan yang dia kenali dengan sisi positif itu. Kenapa Kania sangat menggebu-gebu sekali? Kenapa Kania ingin sekali merebut pria yang notabenenya adalah suami orang? Ada yang salah. Tapi apa? "Jangan dengarkan omong kosongnya, Pak. Sebaiknya Anda pergi. Ini juga sudah malam. Saya nggak aku nama baik keluarga saya lebih buruk jika sampai situasi ini diketahui bany
"Ibuk nggak tahu apa-apa, Buk. Mendingan Ibuk diam aja. Yang tahu masalahku cuma aku. Jangan ikut campur!""Kania!" tegur Adi. Tak tahan dirinya mendengar segala penuturan jahat dari gadis polos itu. "Apa kamu nggak sadar? Yang kamu bentak itu Ibu kamu. Kamu nggak sakit hati mengatakan itu?"Kania langsung terdiam sembari mengalihkan pandangannya. Memang, perkataannya itu sangat menyakitkan juga keterlaluan. Tapi, hanya itulah yang bisa dia lakukan ketika semua orang menentang kebahagiaannya.Di sisi lain, orang-orang yang melihat interaksi Adi dan Kania jadi kembali berpikir, sebenarnya hubungan apa yang sudah terjalin antara dua orang ini? Dari segi pemahaman yang dijabarkan Adi, terlihat kalau lelaki itu adalah pria yang dewasa yang mungkin sangat tidak wajar jika melakukan hal senonoh seperti itu pada gadis muda seperti Kania."Sebenarnya, apa hubungan kalian? Dan apa yang kalian lakukan di dalam kamar malam-malam begini?" imbuh Pak Kades sedikit melembutkan suaranya.Adi segera m
Kania benar-benar bungkam manakala dia pria yang dia kenali membawa pergi dirinya dan Adi ke balai desa. Padahal bisa saja Kania menjelaskan apa yang terjadi, akan tetapi menurutnya keadaan ini akan lebih baik untuknya setelah mendapatkan peringatan yang tidak baik dari Adi. Kini, keduanya sudah ada di dalam kantor desa ditemani oleh sosok sepuh yang disebut Pak Kades. Karena waktu sudah tidak lazim lagi untuk berkoar-koar apalagi tentang masalah yang sensitif seperti ini, terjadilah hanya keluarga Kania yang diberitahukan serta beberapa sepuh desa yang lain. Sejak tadi–sejak dirinya di bawa ke ruangan petak yang tak cukup besar ini, Adi hanya bisa diam seribu bahasa dengan dendam yang lebih dalam pada Kania. Percuma jika dirinya berteriak atau membela diri, yang berakhir dipukuli oleh Abib atau Arjuna. Demi menjaga dirinya tetap baik-baik saja, Adi pun berupaya keras untuk memenangkan diri. Lebih runyam masalahnya jika sekiranya dia menghadapi semua ini dengan kepala panas. L