"Mas, dengerin aku dulu!"Adi terlalu gusar sehingga tak lagi peduli tentang ucapan sang istri. Dirinya lebih dulu menutup pintu kamar rapat-rapat, ingin menenangkan diri di dalam sana.Sial! Hari ini harinya benar-benar dibantai habis oleh keadaan dan situasi yang menjengkelkan. Baru saja diserang aroma yang menjijikkan, sekarang malah menemukan fakta kalau hadiahnya pada sang istri sudah di buang. Mana tidak pernah di kenakan. Di buang pula. Apa tidak panas hari Adi merasakannya.Di satu sisi yang lain, Arumi menghela napas besar-besar, benar-benar tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dia juga tidak pernah mengingat kalau dia pernah membuang hadiah dari suaminya itu. Tapi balik lagi, kenapa bisa ada di Kania? Apa benar Arumi sudah membuangnya?Percuma juga membentuk pintu kamar upaya meminta untuk berdamai. Suaminya pasti tidak akan mendengarkan. Apalagi mengingat tentang keadaan di kamar mereka. Pastinya tentang aroma yang tersimpan di udara itu. Sudah pasti membuat Adi le
"Kania?" gumam Arumi tidak tahan untuk tidak mengusik. Seiring dia mendekat, Arumi melihat jelas raut kekagetan di wajah pembantunya itu. "Ngapain kamu, Kania? Apa yang saya dengar barusan?"Jujur saja–mungkin dirinya sering mengancam Adi dengan melibatkan Arumi, tapi setelah keadaan ada di depan matanya, jantungnya rasanya ingin melompat dari tempat. Melihat Arumi dengan mimik wajah yang tak bersahabat, membuat Kania getir tak tertahankan. Apa Arumi mendengarnya tadi? "I-Ibu sejak kapan ada di situ?" tanya Kania alih-alih menjawab. "Jawab saya. Apa yang baru saja kamu bilang sama suami saya? Saya nggak salah dengar kan, Kania?" sergah Arumi tak ingin basa-basi. Kania meneguk ludah cukup berat. Diliriknya sekali pintu di sisi kirinya, sangat berharap kalau Adi keluar dari dalam sana. Atau kalau tidak, maka semuanya akan terkuak di sini. Bukan Kania takut akan dipecat atau apa, tapi bukan hanya kehilangan pekerjaan durinya juga akan kehilangan kesempatan bertemu dengan Adi, pujaan
Kalau saja tubuh Kania tidak segera luruh, mungkin Adi akan tetap meluapkan amarahnya atau lebih parahnya bisa membunuh membantunya itu. Dengan terjatuhnya Kania di lantai dengan keadaan terduduk bersandarkan dinding, barulah Adi sadar yang segera membuat seluruh tubuhnya bergetar. Apalagi melihat gadis itu sudah lemas dengan napas yang tampak satu-satu. "Ka-Kania," gumam Adi, mendadak getir. Kedua kakinya segera ditekuk upaya memeriksa keadaan Kania. "Kania, kamu nggak apa-apa?" Yang ditanyakan keadaannya sudah terduduk lemas tak sanggup lagi bersuara. Demi Tuhan, Kania juga sebenarnya sudah sangat cemas ketika Adi tidak juga melepas dirinya. Mungkin Tuhan masih memberikan kesempatan untuknya agar terus mengejar kebahagiaan yang telah disediakan. Itulah kenapa Tuhan membuat Adi segera menyadari kesalahannya. "Kania, ma-maafkan saya. Saya ... nggak berniat ...." "Bapak mencoba membunuh saya?" sela Kania dengan suara lemah. Matanya juga sayu-sayu menatap Adi. Lelaki itu bergegas
Sementara Adi sedang tertahan diri di dalam 'jeratan' Kania, di atas sana ada Arumi yang sudah menahan emosi sejak tadi. Dibalik emosinya, hanya rintik air mata yang bisa menceritakan betapa sakit perasaannya malam ini. Tidak pernah Arumi bayangkan akan mendapatkan kata-kata jahat seperti itu dari Adi. Dia sudah berusaha sekuat mungkin untuk berubah, tapi kenapa lantas Adi yang tampak sulit serta sukar untuk melakukan hal yang sama? Juga tentang perintahnya pada Kania. Apa sebenarnya yang dipikirkan Adi sehingga mampu bersikap setenang serta segamblang itu? Hari istri mana yang tidak terluka jika sudah begini? Lihatlah sekarang, jangankan untuk membujuk, terdengar batang hidungnya saja ada di mana Arumi tak tahu. ***Mentari sudah menyambut sejak tadi. Di tempat sana, tampak Kania juga sudah mulai terjaga. Begitu bola matanya terbuka, tak dia temukan pagi pria kekar yang sejak tadi malam ada di sisinya. Walau dengan enggan Adi menerima semua perlakuan Kania–meraba tubuh pria itu, t
Akhirnya Arumi kembali luluh pada bujuk rayu sang suami. Keduanya pun sudah kembali terlihat baik-baik saja.Begitu suami istri itu meninggalkan rumah, Kania pun usai dari aktivitas yang berpura-pura patuh pada Arumi. Dai menghela napas terasa jengah, tidak betah juga lama-lama menghadapi majikannya dengan wajah polos dan lugu.Manakala keadaan rumah sepi tanpa penghuni, Kania pun beralih menuju kamar atas, kamar majikannya. Sudah lama keinginan ini muncul di dalam hati Kania.Akan lebih nyaman jika dirinya bisa menempati kamar mewah Arumi tentunya dengan sang pujaan hatinya.Seperti biasa, sepasang matanya pasti akan menyapa bingkai besar di atas ranjang. Apa lagi kalau bukan potret pernikahan Adi dan Arumi. Tampak begitu serasi. Adi yang kekar, serta Arumi yang tinggi jenjang.Satu sudut bibirnya terangkat membentuk seringaian. Tampak sekali raut wajah yang tak suka.Melupakan tentang foto, Kania berjalan menuju lemari pakaian Arumi. Ada banyak sekali pakaian-pakaian yang sangat men
Aida mendengus gusar akan perkataan Kania barusan padanya. Padahal jika dilihat-lihat lagi, Kania memiliki wajah yang polos dan sangat cocok dalam peran protagonis di drama-drama. Tapi balik lagi, penampilan memang tidak akan pernah bisa menjadi patokan utama dalam menilai watak seseorang."Jangan lancang kamu ya. Kamu siapa sih di rumah ini? Art, bukan?" sembur Aida.Kania tertohok seketika. Wajahnya berubah kalut, tak berpikir kalau perempuan yang dia anggap pengemis itu satu jurus bisa menebak siapa dirinya.Apa penampilannya saat ini masih bisa mengklaim bahwa dia adalah seorang pembantu. Padahal sudah sebaik mungkin dirinya mengubah penampilan, tapi kenapa masih ada yang tidak beranggapan kalau dia adalah nyonya rumah?"Apa? Art? Kamu ini buta atau apa? Nggak liat saya secantik apa? Emang ada pembantu yang pake pakaian mahal kayak gini? Mikir dong!" cerca Kania tak terima."Saya tahu siapa pemilik rumah ini! Jangan main-main kamu ya! Lagian juga, saya kenal kok baju yang kamu pak
"Mama kok nggak nelpon dulu sih? Kan bisa Arumi jemput ke bandara," ucap Arumi, sedikit bersalah karena membiarkan sang ibu datang tanpa sambutan."Udahlah. Lagian Mama juga nggak kah ganggu waktu kalian. Kamu bilang lagi sama suami kamu, kan? Masa iya Mama jadi nyamuk gangguin orang pacaran," sahut sang ibu.Saat Arumi tersenyum kecil, Kania malah tersenyum semu. Kata-kata Aida sangat ampuh membuat hatinya terbakar. Memang perempuan sialan!Begitu selesai Aida melepas rindunya dengan sang cucu, barulah sang putri ditatap penuh, seolah mencurahkan segala rindu yang sudah bersarang di dalam hatinya.Pahatan wajah Arumi ini sangat mirip dengan sang ayah. Itulah kenapa saat melihat putrinya sendiri, Aida merasa kehadiran suaminya yang sudah dua tahun wafat sebab sakit parah.Tahu kalau sang mertua ingin memeluk Arumi, Adi pun sigap mengambil alih Azka sehingga pelukan penuh rindu itu kini terlepas. Arumi tak tahan membendung air matanya, hingga pipinya akhirnya basah."Apa kabar kamu, Sa
Perkataan Aida memang sempat membuat Adi bertanya-tanya apakah ibu mertuanya itu tahu tentangnya. Akan tetapi, meski demikian, dirinya enggan untuk bercerita apa pun jika sekiranya tebakan Aida benar adanya.Karena baginya hanya dari bibirnyalah semua pengakuan itu harus terlontar pada sang istri. Jika ada yang mendahuluinya, maka Adi akan siap berbohong demi keutuhan rumah tangganya.Begitu Aida tak lagi terlihat, kontan saja mimik wajah Adi berubah drastis menatap Kania. Sosok perempuan di sana memang sangat tidak punya rasa takut. Padahal Adi sudah membuat tatapan penuh ancaman bahkan bak busur panah yang siap menusuk. Akan tetapi, alih-alih gentar, Kania malah semakin membalas tatapan pria itu tanpa takut sama sekali."Ikut saya!" tukas Adi, lalu berjalan lebih dulu.Kania tak bahkan tak peduli jika harus berhadapan dengan setan yang ada di dalam diri Adi. Baginya, pria itu adalah definisi kebahagiaan meski dalam warna apa saja. Lihatlah reaksinya yang malah tersenyum puas sambil
Si empunya nama yang berhasil mendengarkan pekikan lantang Kania kontan terlonjak kaget bukan kepalang. Aktivitasnya mendadak terhenti, lantas berlari cepat guna mencari tahu sumber suara. Apa benar yang baru saja dia dengar itu sungguh suara orang yang ada didalam tebakannya? Begitu pintu utama itu terbuka, terpampang sudah potret Kania juga istrinya yang tengah berupaya keras bangun–entah sebab apa. Buru-buru Adi menghampiri sang istri, membantunya. "Ada apa ini? Kenapa kamu, Sayang?" tanya Adi, panik. Dia terus memeriksa bagian tubuh Arumi ingin memastikan apakah ada yang terluka atau tidak. Dibalik itu, Kania lantas mendengkus menahan tawa pahit yang terus saja menggerogoti hatinya. Dia juga sakit. Pipinya panas. Tubuhnya rasanya berat sebab ada raga lain di dalam sana. Tapi kenapa dirinya tak mendapatkan perlakuan yang sama? Kenapa dia malah semakin terluka pada saat melihat Adi begitu tampak mencintai istrinya? Di sisi lain, Arumi sebenarnya gerah dan gusar akan kecurangan y
Sekitar beberapa menit menunggu, akhirnya sosok mungil Arumi kembali lagi di tatap oleh Kania. Entah kenapa kali ini sosok pembantu itu berdebar saat melihat majikannya yang sejak dulu bertingkah baik terhadapnya. Seolah akan ada bahaya yang akan dia dapatkan begitu Arumi mulai mendekat. Tidak jauh berbeda dengan Kania, Arumi pun sama halnya dengan pembantunya itu. Tadinya Arumi berpikir akan mendapatkan kejutan dari mertuanya yang akan datang berkunjung, akan tetapi malah sosok yang tidak dia inginkan yang muncul. Sejenak dirinya seperti dibekukan di tempatnya apalagi mengingat segala sesuatu yang sudah tidak lagi asing di ingatannya. Perempuan muda di depannya sana begitu mengambil penuh atensinya sehingga menyesali karena tidak bertanya siapa yang hendak dia temui. Mendadak saja rasa tidak sukanya pada Kania muncul. Tatapan malas itu terpancar jelas. Belum lagi bibirnya yang tanpa senyuman walau sudah bertatap muka dengan Kania yang katanya akan selalu dia tunggu kepulangannya.
Aila dan Kania benar-benar berupaya keras mencari ke mana agaknya suami istri itu pergi. Tujuan ingin pergi ke tempat Adi bekerja ternyata tak juga membuahkan hasil. Nihil, alias benar-benar dibekukan segala akses dirinya mencari tahu tentang keberadaan pria itu. Apa ini memang sudah direncanakan oleh Adi? Pria itu tahu kalau Kania tidak akan menyerah dan terus mencarinya. Dan inikah jawabannya? Bahwa Adi pergi dengan segala tanggung jawab yang telah enyah. Janji kemarin menguap begitu saja. Tentang kalimat manisnya yang hendak menjadikan Kania sosok yang lebih dari pada seorang pelayan rumah tangga telah musnah ditelan kenyataan tentang dirinya yang melarikan diri. Sehari penuh tenaga serta energi kakak beradik itu dikuras begitu saja tanpa ada hasil sama sekali. Kini, keduanya benar-benar tak punya jalan apa-apa lagi. Semuanya buntu. Hal yang ingin dilakukan sudah dipatahkan begitu saja tanpa pertimbangan. "Sudahlah, Aila. Biarkan saja dia pergi. Lagi pula, semuanya pasti akan be
Kania benar-benar menceritakan segala hal yang dia lalui bersama dengan Adi. Tentang bagaimana dia mulai memberanikan diri untuk mengejar pria itu serta meyakinkan dirinya bahwa dia memang mencintai pria beristri tersebut. Akan tetapi, persepsi yang diberikan Kania tentang dirinya, beda pendapat dengan Aila. Sebagai anak kulihat jurusan psikologi–walau masih terdengar awam, Aila tahu bahwa ini bukanlah tentang diri sang kakak yang mencinta seperti apa katanya.Akan tetapi, ada sesuatu yang mendorong dalam diri untuk mengutarakan ketidakrelaan sehingga berniat untuk terus berurusan dengan si 'pelaku' yang telah merebut kehormatannya. Notabenenya yang terjadi pada sang kakak adalah pelecehan. Tetapi, karena kakaknya itu juga menerima begitu saja, tampaklah seperti dirinya yang mau-mau saja. Padahal, Kania hanya tidak bisa mengelak karena Adi itu adalah sosok yang dia hormati. Terlebih lagi, Adi memberikan janji-janji yang tidak pernah Kania dapatkan dari siapa pun. Sebab itu, Aila ya
Di tempat lain, keadaan Hayati semakin tak baik. Sesak napasnya sudah jauh lebih mengkhawatirkan. Lebih memprihatinkan lagi karena tidak ada satu pun tenaga kerja dari pihak rumah sakit yang mau berkontribusi untuk merawat Hayati.Katanya, harus melupakan pembayaran dengan jumlah yang fantastis. Walau pun sudah menjabarkan kartu kesehatan dari pemerintah, tetap saja ditolak dengan berbagai macam alasan yang sulit dicerna orang-orang disekitarnya.Tanpa sadar, keadaan Hayati tak lagi baik. Perempuan tua itu sudah terbaring di kasur berlapiskan kain selendang batik. Tidak ada yang bisa dilakukan. Orang-orang atau kerabatnya tidak ada yang punya nilai harta sebanyak itu sampai semuanya memilih untuk bungkam dan pasrah akan keadaan.Sementara di sisi lain, ada Kania yang terus merasa gelisah. Sejak malam itu dirinya tidak bisa berpikir jernih. Bukan hanya pikirannya yang penuh, tapi juga keadaan dirinya yang tidak seperti biasanya.Kadang sudah demam, kadang sudah menggigil. Juga terkadan
Tak bisa membiarkan Kania pergi begitu saja dengan kenyataan bahwa gadis itu masih enggan untuk mengalah, Adi pun berlari kecil guna menghentikan kepergiannya. Secepatnya gerakan Kania yang berjalan menjauh terhenti sebab Adi menahannya di pergelangan tangan. "Kania, sudah cukup!" tekan Adi. "Kita udah sepakat, kan? Kenapa kamu sulit sekali buat mengerti? Jangan ganggu saya! Jangan halangi kebahagiaan saya!" Kania segera menarik kuat tangannya dari genggaman pria didepannya. Kilat amarah terpampang jelas dari dua bola matanya yang gelap. "Kalah gitu bertanggung jawablah, Pak. Tanggung jawab atas apa yang sudah saya terima! Bapak merebut kesucian saya dengan iming-iming membahagiakan saya! Bapak kupa itu?" Suara kania tak kalah melengking. Panik, Adi refleks menoleh ke belakang, takut kalau ada telinga yang mendengar. Beruntung kalau Hayati sedang tidak baik keadaannya sehingga orang-orang malah fokus pada perempuan tua itu. Memang salah, tapi setidaknya Adi punya kesempatan untuk m
"Bawa aku pulang, Pak. Aku nggak bisa kalau harus berpisah darimu," lirih Kania. Dia menatap lemah pada sorot mata pria di sampingnya. "Saya nggak bisa," tolak Adi. Dia sangat berharap kalau Kania mau menerima. "Tolong Kania, kamu harus bisa melupakan perasaan kamu itu. Semua itu nggak benar. Masih ada banyak laki-laki diluar sana yang mau mencintai kamu. Jangan saya." "Tapi saya cuma mau sama Bapak. Saya nggak aku sama siapapun, Pak. Jangan tinggalkan saya. Saya mohon."Dibalik percakapan kedua orang itu, diam-diam Arjuna membaca semua yang telah terjadi. Dia mencoba mencari tahu apa sebenarnya yang sudah terjadi pada perempuan yang dia kenali dengan sisi positif itu. Kenapa Kania sangat menggebu-gebu sekali? Kenapa Kania ingin sekali merebut pria yang notabenenya adalah suami orang? Ada yang salah. Tapi apa? "Jangan dengarkan omong kosongnya, Pak. Sebaiknya Anda pergi. Ini juga sudah malam. Saya nggak aku nama baik keluarga saya lebih buruk jika sampai situasi ini diketahui bany
"Ibuk nggak tahu apa-apa, Buk. Mendingan Ibuk diam aja. Yang tahu masalahku cuma aku. Jangan ikut campur!""Kania!" tegur Adi. Tak tahan dirinya mendengar segala penuturan jahat dari gadis polos itu. "Apa kamu nggak sadar? Yang kamu bentak itu Ibu kamu. Kamu nggak sakit hati mengatakan itu?"Kania langsung terdiam sembari mengalihkan pandangannya. Memang, perkataannya itu sangat menyakitkan juga keterlaluan. Tapi, hanya itulah yang bisa dia lakukan ketika semua orang menentang kebahagiaannya.Di sisi lain, orang-orang yang melihat interaksi Adi dan Kania jadi kembali berpikir, sebenarnya hubungan apa yang sudah terjalin antara dua orang ini? Dari segi pemahaman yang dijabarkan Adi, terlihat kalau lelaki itu adalah pria yang dewasa yang mungkin sangat tidak wajar jika melakukan hal senonoh seperti itu pada gadis muda seperti Kania."Sebenarnya, apa hubungan kalian? Dan apa yang kalian lakukan di dalam kamar malam-malam begini?" imbuh Pak Kades sedikit melembutkan suaranya.Adi segera m
Kania benar-benar bungkam manakala dia pria yang dia kenali membawa pergi dirinya dan Adi ke balai desa. Padahal bisa saja Kania menjelaskan apa yang terjadi, akan tetapi menurutnya keadaan ini akan lebih baik untuknya setelah mendapatkan peringatan yang tidak baik dari Adi. Kini, keduanya sudah ada di dalam kantor desa ditemani oleh sosok sepuh yang disebut Pak Kades. Karena waktu sudah tidak lazim lagi untuk berkoar-koar apalagi tentang masalah yang sensitif seperti ini, terjadilah hanya keluarga Kania yang diberitahukan serta beberapa sepuh desa yang lain. Sejak tadi–sejak dirinya di bawa ke ruangan petak yang tak cukup besar ini, Adi hanya bisa diam seribu bahasa dengan dendam yang lebih dalam pada Kania. Percuma jika dirinya berteriak atau membela diri, yang berakhir dipukuli oleh Abib atau Arjuna. Demi menjaga dirinya tetap baik-baik saja, Adi pun berupaya keras untuk memenangkan diri. Lebih runyam masalahnya jika sekiranya dia menghadapi semua ini dengan kepala panas. L