Sebelum keluar dari 'tempat persembunyiannya', Adi berupaya keras menangkan debaran jantungnya. Dia membuang napas begitu banyak, berharap nanti Arumi tidak menyadari apa-apa darinya. "Eh, Mas. Kamu di sini? Ada liat Kania, nggak?" tanya Arumi begitu mendapati potret yang suami muncul. Adi mengangkat bahunya. "Nggak tuh. Kayaknya masih di kamar Azka, nggak?" jawab Adi, benar-benar berharap sang istri tidak curiga. "Duh, biasanya udah muncul tuh anak. Udah deh. Aku ke kamar Azka dulu, ya?" Adi mengangguk. "Aku buatin sarapan mau nggak?" serunya sebelum Arumi lebih menjauh. Tentu saja istrinya itu menoleh dengan pandangan yang semakin keheranan. "Kamu kenapa sih, Mas? Ada yang aneh deh dari kamu. Kamu nyembunyiiin apa dari aku?" tanggap Arumi. "Nggak." Adi menggeleng cepat. "Cuma buat sarapan masa jadi aneh sih?" "Terserah deh." Arumi benar-benar tidak percaya dan malah membuatnya jadi kebingungan sendiri. Kakinya kembali berjalan tak menjawab dulu pertanyaan Adi tadi. Setelah A
Arumi masih tidak paham siapakah orang yang dimaksud oleh pembantunya itu. Akan tetapi, karena bukan menjadi urusannya atau mungkin wewenangnya untuk mengatur kehidupan pribadi Kania, membuat Arumi banyak-banyak mengabaikan. Paling tidak untuk urusan asmara, Arumi tidak membatasi Kania sama sekali. Asalkan masih dalam tahap wajar dan tidak merugikan siapa pun."Menurut kamu Kania itu cantik nggak sih, Mas?" tanya Arumi sembarang."Uhuk." Tanpa sengaja Adi malah terbatuk. "Apaan sih? Pertanyaan kamu kayak nggak ada yang lain aja.""Lah, aku cuma nanya gitu doang. Lagian salah ya aku nanya gitu? Respons kamu aneh banget.""Ya nggak gitu. Kan ada pertanyaan lain gitu. Semisal, kapan kita pacaran lagi. Atau kapan kita mulai memikirkan masa depan?" sergah Adi berupaya untuk mengabaikan tentang Kania.Arumi seketika saja menatap sang suami yang tengah lahap menyantap roti buatan pria itu. "Membahas masa depan yang seperti apa, Mas? Emang masa depan yang kayak gimana lagi yang kamu mau? Buka
"Iya, Bu–""Kania!" tekan Adi manakala Kania menyahut suara Arumi alih-alih dirinya.Keduanya kembali bertemu tatap dengan masing-masing kejengkelan yang ada. Adi benar-benar tidak percaya kalau gadis polos ini bisa berubah sedemikian rupa. Sangat jauh berbeda dengan Kania yang sebelumnya."Kenapa, Pak? Apa yang salah? Saya cuma bantuin Bapak nyahutin suara Ibu. Bukannya Bapak pernah bilang kalau Bapak kesal Ibu marah-marah terus?" gumam Kania masih ingat betul bagaimana di berbicara tentang hal itu."Itu berbeda! Saya sayang sama istri saya, saya cinta sama dia! Saya nggak akan terima kalau ada yang mencoba merusak pernikahan saya. Apalagi kamu, Kania! Saya bisa pecat kamu sekarang juga sekiranya kamu nggak juga berhenti bersikap konyol seperti ini!" Urat-urat dileher pria itu tampak semuanya.Dia benar-benar gusar sekarang. Kalau saja tidak ada Arumi, sudah sejak tadi Adi membentak Kania atau bahkan melepas amarah dengan meratakan seluruh barang-barang yang ada seperti kebiasaannya.
Perasaan bersalah semakin menjalar didalam hati Aditama Atmaja, pria yang sudah mencurangi istrinya itu. Pikiran positif sang istri benar-benar ampuh mengoyak hatinya sampai merasa kalau menatap mata Arumi saja dirinya seperti sudah tidak pantas. "Hua ... cilup ... ba!" Arumi terdengar bercanda dengan sang buah hati. Begitu terlihat aura seorang ibu yang baik dari pancaran sinar wajah wanita cantik itu. Azka cekikikan sebab guyonan sang ibu yang super menggelitik. Jika saja bayi mungil itu bisa berbicara, pastinya dirinya ingin mengatakan pada sang ini untuk menjadi perempuan yang kuat dan hebat. Karena pada dasarnya, Azka mengetahui semua perbuatan ayahnya dan ibu asuhnya itu. Pancaran mata yang benar-benar tulus, terpapar jelas dari kedua mata sang buah hati. Sayang, Arumi tidak akan tahu apa yang mencoba dijelaskan si bayi mungil itu."Kita kau ke mana nih? Keliling-keliling aja atau gimana?" tanya Adi setelah separuh perjalanan di tempuh. Arumi mengalihkan pandangannya. "Ummm,
Di sisi yang lain–sebelum Arumi mendapatkan panggilan dari Kania pada ponsel suaminya.Kania tengah sibuk merapikan rumah dengan senandung ceria dari bibirnya yang berpoles warna merah. Sesekali dia menatap diri di pantulan cermin lemari di sekitarnya, lantas senyum-senyum sendiri karena membayangkan aksinya tadi pagi dengan Adi.Dia berputar, menari sendirian dengan suasana hati yang benar-benar menyenangkan.Tak lama, dering ponsel Kania menginterupsi. Dengan decak sebal dari bibirnya, tangannya merebut benda pipih itu yang menunjukkan nama sang ibu di dalam sana.Seketika kerutan dahi Kania tercetak. Detik berikutnya, keresahan yang sempat menerpa itu langsung lepas saya ingat tentang hubungannya dengan Adi. Kali ini, apa pun yang dibutuhkan orangtuanya atau mungkin adiknya tidak akan terkendala apa pun. Semuanya akan di tanggung olehnya tentunya dengan bantuan laki-laki yang dia sematkan dalam hatinya."Halo, Buk? Ada apa? Ibu butuh uang berapa?" tanya Kania tanpa basa-basi."Halo
"Kania, tenang!" gertak sang ibu, sudah tidak tahan lagi. Reaksi Kania benar-benar diluar prediksi Hayati. Apalagi mendengar setiap kalimat yang mengudara dari lisan sang putri."Gimana Kania mau tenang, Buk!?" balas perempuan itu dengan suara yang memekik. Matanya mulai memerah, basah. Bibirnya bergetar hebat, kian sakit rasanya tatkala menatap binar mata sang ibu. "Coba katakan, Buk. Gimana caranya Kania bisa tenang di tengah semua takdir buruk ini? Padahal baru aja Kania merasa bahagia tapi kenapa Tuhan mengambil semuanya gitu aja? Kenapa!""Nggak ada yang ngambil apa pun dari kamu, Kania. Kamu yang kurang bersyukur. Harusnya bukan dengan cara ini kamu menghadapi masalah!" sergah Hayati, sudah habis kesabaran melihat putrinya. Kuat-kuat Hayati memegangi dua bahu Kania menjaga pandangan perempuan itu agar tak beralih."Sekarang Ibuk tanya, dosa apa yang udah kamu buat sehingga kamu bisa dapat ujian seberat yang kamu maksud ini? Dan ditengah dosa itu, apa Tuhan yang kamu bilang nggak
"Lho, kenapa ditolak, Mas? Siapa tahu Kania nelpon karena ada yang penting?" ujar Arumi ketika panggilan dari Kania ditolaknya begitu saja."Duh, palingan juga nanya tentang rumah. Nggak penting itu," sahut Adi, beruntung karena bisa langsung menolak panggilan tersebut."Siapa tahu nggak?"Adi menatap lama ponselnya. "Tuh, nggak di telpon lagi, 'kan? Berarti memang nggak penting. Lagian kalau emang penting ngapain dia nelpon aku, kan bisa ke kamu langsung."Arumi lantas mengangguk-angguk, ikut memikirkan hal yang sama. Dia juga jadi merasa aneh, kenapa Kania malah menghubungi suaminya alih-alih dirinya.Tak lamar, perjalanan yang memakan waktu hampir dua jam itu pun akhirnya usai. Kedua sudah tiba di pelataran parkir rumah Adi sebelum menikah, alias rumah orangtuanya.Tanpa basa-basi keduanya langsung masuk, yang lantas saja memuat tuan rumah kaget bukan kepalang. Karena mengingat sudah hampir satu tahun terkahir, tidak lagi pernah kedua sejoli itu mampir atau sekadar menghubungi kelu
Di tempat lain, ada Arumi yang tampak ragu-ragu ingin bercerita pada ibu mertuanya tentang prahara rumah tangganya yang saat ini sedang ada sedikit masalah. Memang, ini mungkin masih bisa dikategorikan masalah umum yang dirasakan setiap pasangan yang sudah menikah. Hanya saja, Arumi merasa kalau dirinyalah yang salah sehingga ingin meminta pencerahan dari orang yang mungkin lebih tahu. "Ma," panggil Arumi, pelan. Dia masih tampak ragu-ragu. "Hmm? Kenapa, Nak?" Arumi masih enggan bercerita. Seolah banyak pertimbangan dalam kepalanya, apakah masalah ini pantas diceritakan atau malah tampak berlebihan. "Hei? Kenapa kamu?" tegur sang ibu saat mendapati Arumi malah diam."Itu ... Arumi pengen cerita dikit sama Mama." Diyah lantas mengajak Arumi untuk duduk sebentar. Sebenarnya ibu mertuanya itu pun sudah curiga sejak awal. Seperti ada yang salah, hanya saja enggan untuk langsung bertanya. Takutnya dirinya malah dibilang ikut campur masalah rumah tangga anak. "Kenapa? Coba cerita?"
Si empunya nama yang berhasil mendengarkan pekikan lantang Kania kontan terlonjak kaget bukan kepalang. Aktivitasnya mendadak terhenti, lantas berlari cepat guna mencari tahu sumber suara. Apa benar yang baru saja dia dengar itu sungguh suara orang yang ada didalam tebakannya? Begitu pintu utama itu terbuka, terpampang sudah potret Kania juga istrinya yang tengah berupaya keras bangun–entah sebab apa. Buru-buru Adi menghampiri sang istri, membantunya. "Ada apa ini? Kenapa kamu, Sayang?" tanya Adi, panik. Dia terus memeriksa bagian tubuh Arumi ingin memastikan apakah ada yang terluka atau tidak. Dibalik itu, Kania lantas mendengkus menahan tawa pahit yang terus saja menggerogoti hatinya. Dia juga sakit. Pipinya panas. Tubuhnya rasanya berat sebab ada raga lain di dalam sana. Tapi kenapa dirinya tak mendapatkan perlakuan yang sama? Kenapa dia malah semakin terluka pada saat melihat Adi begitu tampak mencintai istrinya? Di sisi lain, Arumi sebenarnya gerah dan gusar akan kecurangan y
Sekitar beberapa menit menunggu, akhirnya sosok mungil Arumi kembali lagi di tatap oleh Kania. Entah kenapa kali ini sosok pembantu itu berdebar saat melihat majikannya yang sejak dulu bertingkah baik terhadapnya. Seolah akan ada bahaya yang akan dia dapatkan begitu Arumi mulai mendekat. Tidak jauh berbeda dengan Kania, Arumi pun sama halnya dengan pembantunya itu. Tadinya Arumi berpikir akan mendapatkan kejutan dari mertuanya yang akan datang berkunjung, akan tetapi malah sosok yang tidak dia inginkan yang muncul. Sejenak dirinya seperti dibekukan di tempatnya apalagi mengingat segala sesuatu yang sudah tidak lagi asing di ingatannya. Perempuan muda di depannya sana begitu mengambil penuh atensinya sehingga menyesali karena tidak bertanya siapa yang hendak dia temui. Mendadak saja rasa tidak sukanya pada Kania muncul. Tatapan malas itu terpancar jelas. Belum lagi bibirnya yang tanpa senyuman walau sudah bertatap muka dengan Kania yang katanya akan selalu dia tunggu kepulangannya.
Aila dan Kania benar-benar berupaya keras mencari ke mana agaknya suami istri itu pergi. Tujuan ingin pergi ke tempat Adi bekerja ternyata tak juga membuahkan hasil. Nihil, alias benar-benar dibekukan segala akses dirinya mencari tahu tentang keberadaan pria itu. Apa ini memang sudah direncanakan oleh Adi? Pria itu tahu kalau Kania tidak akan menyerah dan terus mencarinya. Dan inikah jawabannya? Bahwa Adi pergi dengan segala tanggung jawab yang telah enyah. Janji kemarin menguap begitu saja. Tentang kalimat manisnya yang hendak menjadikan Kania sosok yang lebih dari pada seorang pelayan rumah tangga telah musnah ditelan kenyataan tentang dirinya yang melarikan diri. Sehari penuh tenaga serta energi kakak beradik itu dikuras begitu saja tanpa ada hasil sama sekali. Kini, keduanya benar-benar tak punya jalan apa-apa lagi. Semuanya buntu. Hal yang ingin dilakukan sudah dipatahkan begitu saja tanpa pertimbangan. "Sudahlah, Aila. Biarkan saja dia pergi. Lagi pula, semuanya pasti akan be
Kania benar-benar menceritakan segala hal yang dia lalui bersama dengan Adi. Tentang bagaimana dia mulai memberanikan diri untuk mengejar pria itu serta meyakinkan dirinya bahwa dia memang mencintai pria beristri tersebut. Akan tetapi, persepsi yang diberikan Kania tentang dirinya, beda pendapat dengan Aila. Sebagai anak kulihat jurusan psikologi–walau masih terdengar awam, Aila tahu bahwa ini bukanlah tentang diri sang kakak yang mencinta seperti apa katanya.Akan tetapi, ada sesuatu yang mendorong dalam diri untuk mengutarakan ketidakrelaan sehingga berniat untuk terus berurusan dengan si 'pelaku' yang telah merebut kehormatannya. Notabenenya yang terjadi pada sang kakak adalah pelecehan. Tetapi, karena kakaknya itu juga menerima begitu saja, tampaklah seperti dirinya yang mau-mau saja. Padahal, Kania hanya tidak bisa mengelak karena Adi itu adalah sosok yang dia hormati. Terlebih lagi, Adi memberikan janji-janji yang tidak pernah Kania dapatkan dari siapa pun. Sebab itu, Aila ya
Di tempat lain, keadaan Hayati semakin tak baik. Sesak napasnya sudah jauh lebih mengkhawatirkan. Lebih memprihatinkan lagi karena tidak ada satu pun tenaga kerja dari pihak rumah sakit yang mau berkontribusi untuk merawat Hayati.Katanya, harus melupakan pembayaran dengan jumlah yang fantastis. Walau pun sudah menjabarkan kartu kesehatan dari pemerintah, tetap saja ditolak dengan berbagai macam alasan yang sulit dicerna orang-orang disekitarnya.Tanpa sadar, keadaan Hayati tak lagi baik. Perempuan tua itu sudah terbaring di kasur berlapiskan kain selendang batik. Tidak ada yang bisa dilakukan. Orang-orang atau kerabatnya tidak ada yang punya nilai harta sebanyak itu sampai semuanya memilih untuk bungkam dan pasrah akan keadaan.Sementara di sisi lain, ada Kania yang terus merasa gelisah. Sejak malam itu dirinya tidak bisa berpikir jernih. Bukan hanya pikirannya yang penuh, tapi juga keadaan dirinya yang tidak seperti biasanya.Kadang sudah demam, kadang sudah menggigil. Juga terkadan
Tak bisa membiarkan Kania pergi begitu saja dengan kenyataan bahwa gadis itu masih enggan untuk mengalah, Adi pun berlari kecil guna menghentikan kepergiannya. Secepatnya gerakan Kania yang berjalan menjauh terhenti sebab Adi menahannya di pergelangan tangan. "Kania, sudah cukup!" tekan Adi. "Kita udah sepakat, kan? Kenapa kamu sulit sekali buat mengerti? Jangan ganggu saya! Jangan halangi kebahagiaan saya!" Kania segera menarik kuat tangannya dari genggaman pria didepannya. Kilat amarah terpampang jelas dari dua bola matanya yang gelap. "Kalah gitu bertanggung jawablah, Pak. Tanggung jawab atas apa yang sudah saya terima! Bapak merebut kesucian saya dengan iming-iming membahagiakan saya! Bapak kupa itu?" Suara kania tak kalah melengking. Panik, Adi refleks menoleh ke belakang, takut kalau ada telinga yang mendengar. Beruntung kalau Hayati sedang tidak baik keadaannya sehingga orang-orang malah fokus pada perempuan tua itu. Memang salah, tapi setidaknya Adi punya kesempatan untuk m
"Bawa aku pulang, Pak. Aku nggak bisa kalau harus berpisah darimu," lirih Kania. Dia menatap lemah pada sorot mata pria di sampingnya. "Saya nggak bisa," tolak Adi. Dia sangat berharap kalau Kania mau menerima. "Tolong Kania, kamu harus bisa melupakan perasaan kamu itu. Semua itu nggak benar. Masih ada banyak laki-laki diluar sana yang mau mencintai kamu. Jangan saya." "Tapi saya cuma mau sama Bapak. Saya nggak aku sama siapapun, Pak. Jangan tinggalkan saya. Saya mohon."Dibalik percakapan kedua orang itu, diam-diam Arjuna membaca semua yang telah terjadi. Dia mencoba mencari tahu apa sebenarnya yang sudah terjadi pada perempuan yang dia kenali dengan sisi positif itu. Kenapa Kania sangat menggebu-gebu sekali? Kenapa Kania ingin sekali merebut pria yang notabenenya adalah suami orang? Ada yang salah. Tapi apa? "Jangan dengarkan omong kosongnya, Pak. Sebaiknya Anda pergi. Ini juga sudah malam. Saya nggak aku nama baik keluarga saya lebih buruk jika sampai situasi ini diketahui bany
"Ibuk nggak tahu apa-apa, Buk. Mendingan Ibuk diam aja. Yang tahu masalahku cuma aku. Jangan ikut campur!""Kania!" tegur Adi. Tak tahan dirinya mendengar segala penuturan jahat dari gadis polos itu. "Apa kamu nggak sadar? Yang kamu bentak itu Ibu kamu. Kamu nggak sakit hati mengatakan itu?"Kania langsung terdiam sembari mengalihkan pandangannya. Memang, perkataannya itu sangat menyakitkan juga keterlaluan. Tapi, hanya itulah yang bisa dia lakukan ketika semua orang menentang kebahagiaannya.Di sisi lain, orang-orang yang melihat interaksi Adi dan Kania jadi kembali berpikir, sebenarnya hubungan apa yang sudah terjalin antara dua orang ini? Dari segi pemahaman yang dijabarkan Adi, terlihat kalau lelaki itu adalah pria yang dewasa yang mungkin sangat tidak wajar jika melakukan hal senonoh seperti itu pada gadis muda seperti Kania."Sebenarnya, apa hubungan kalian? Dan apa yang kalian lakukan di dalam kamar malam-malam begini?" imbuh Pak Kades sedikit melembutkan suaranya.Adi segera m
Kania benar-benar bungkam manakala dia pria yang dia kenali membawa pergi dirinya dan Adi ke balai desa. Padahal bisa saja Kania menjelaskan apa yang terjadi, akan tetapi menurutnya keadaan ini akan lebih baik untuknya setelah mendapatkan peringatan yang tidak baik dari Adi. Kini, keduanya sudah ada di dalam kantor desa ditemani oleh sosok sepuh yang disebut Pak Kades. Karena waktu sudah tidak lazim lagi untuk berkoar-koar apalagi tentang masalah yang sensitif seperti ini, terjadilah hanya keluarga Kania yang diberitahukan serta beberapa sepuh desa yang lain. Sejak tadi–sejak dirinya di bawa ke ruangan petak yang tak cukup besar ini, Adi hanya bisa diam seribu bahasa dengan dendam yang lebih dalam pada Kania. Percuma jika dirinya berteriak atau membela diri, yang berakhir dipukuli oleh Abib atau Arjuna. Demi menjaga dirinya tetap baik-baik saja, Adi pun berupaya keras untuk memenangkan diri. Lebih runyam masalahnya jika sekiranya dia menghadapi semua ini dengan kepala panas. L