Di dalam ruangan, Misella telah sadar dan Tiffany langsung memeluknya dengan perasaan cukup khawatir."Misella, apa yang kamu rasakan, Nak? Apa ada yang sakit?" Kedua netra Tiffany melihat bagian-bagian tubuh Misella, memeriksa apakah ada yang sakit atau tidak.Misella tersenyum samar. "Tidak, Ma. Semuanya baik-baik saja." Tangan kanan Misella mengusap lembut lengan mamanya."Bagaimana bisa baik-baik saja? Kamu hampir meninggalkan kami semua. Apa kamu tidak memikirkan Kayla? Dia masih membutuhkanmu, Misella."Pecah tangis Tiffany di hadapan sang putri. Emosi karena keadaan yang membuatnya tidak kuat. Melihat sang anak terbaring lemah di ranjang rumah sakit karena masalah dalam rumah tangganya. Tiffany yakin jika Misella juga menutupi apa yang sedang terjadi di dalam rumah tangganya.Misella tidak mungkin akan mengatakan apa yang sedang terjadi di dalam rumah tangganya. Dia tidak mau membuat kedua orang tuanya ikut membenci Fahmi.
Abian sangat muak dengan ucapan wanita yang ada di depannya ini. Ia tidak ingin berada di sini sebenarnya. Lebih baik makan dengan istri tercinta di rumah dibanding makan dengan wanita gila yang tidak tahu malu di restoran mewah ini."Apa saja akan aku makan. Kamu pilih saja!" jawab Abian dengan nada ketus dan wajah yang tidak enak dipandang.Melihat Wajah Abian malah membuat Adeline tersenyum. Merasa lucu dengan ekspresi yang Abian tunjukkan padanya. Meletakkan buku menu ke atas meja, Adeline langsung menumpukan kedua tangannya di atas meja dan tubuhnya sedikit condong ke arah depan."Kamu itu lucu, lho. Sangat menggemaskan dengan ekspresi seperti itu. Ekspresi marah-marahmu itu yang membuatku ingin terus bersamamu dan ingin memilikimu." Adeline menegakkan tubuhnya. Kedua tangan menyilang di depan dada. "Aku tahu sebenarnya kamu tidak segalak itu kalau sama perempuan. Kenapa sama diriku sangat galak dan terkesan jutek?"Mendapat pertanyaan itu membuat Abian menatap sinis pada Adeline
Setelah semalaman Misella memilih untuk tidur agar bisa menghindari bertemu tatap dengan sang suami, pagi ini kedua netra milik Fahmi masih terus menatapnya seolah meminta maaf yang membuat Misella merasa muak.Misella tidak peduli dengan apa yang telah laki-laki brengsek itu perbuat, dia hanya ingin pulang saat ini. "Aku ingin pulang. Aku tidak betah jika harus tiduran seperti ini terus di rumah sakit.""Sabar, Sayang. Sebentar lagi. Tunggu perintah dokter selanjutnya."Rayuan kata sayang yang Fahmi ucapkan sepertinya membuat Misella semakin merasa muak dan benci pada laki-laki yang kini duduk di samping keranjang tempat tidurnya."Jangan panggil aku sayang karena kamu tidak pantas mengucapkannya!"Gertakan itu membuat Fahmi meringsut, kedua netranya tertunduk menatap tepi ranjang."Cepat katakan pada Dokter jika aku ingin pulang. Apa harus aku yang mengatakannya sendiri?"Misella sudah akan memutus tali infusnya, tapi pergerakan tangan Fahmi tidak kalah cepat. Fahmi menghentikan apa
Miring ke kiri, miring ke kanan, dan berakhir dengan menatap langit-langit, Alia merasa gelisah. Dirinya tidak bisa memejamkan kedua netranya setiap malam. Dirinya merasa gelisah, takut akan ditinggalkan Abian seperti Alia dulu ditinggalkan oleh Fahmi.Semua pikiran itu membuat Alia merasa tidak percaya diri dalam menjalani rumah tangganya. Yang Alia pikirkan saat ini adalah menyalahkan diri sendiri akan masa lalu buruknya.Terlebih saat ini, Abian disukai oleh wanita lain di tempat kerjanya. Tahu jika Abian telah menikah tidak membuat wanita itu mundur. Wanita itu terus menggoda Abian hingga membuat Alia selalu berpikir buruk pada Abian.Tidak sampai di sana, wanita itu juga tidak mengapa jika dirinya hanya akan menjadi wanita simpanan untuk Abian. Mengetahui hal ini, membuat Alia semakin berpikiran buruk pada Abian, curiga padanya.Ketakutan-ketakutan itu membuat Alia sulit memejamkan kedua netranya. Alia bangkit dari tidurnya, melirik jam sudah
"Apa aku akan gagal lagi dalam membina rumah tangga? Aku tidak becus mengurus suami selama ini." Tangis Alia pecah. Tersedu-sedu hingga membuatnya susah untuk menarik napas. “Aku pikir akan baik-baik saja dengan masa laluku.”Abian terkejut dengan apa yang dikatakan Alia. Selama ini, Abian mengira jika Alia baik-baik saja. Bahkan, ketika mengetahui di tempat kerjanya ada wanita yang menyukainya pun Alia hanya berpesan untuk berpegang teguh pada pernikahannya."Apa yang kamu katakan? Kamu sudah menjadi istri yang sempurna untukku. Jangan berpikir seperti itu lagi!" Abian melepas pelukannya, menatap Alia dengan tatapan yang sangat sedih karena Alia menangis perihal rumah tangga mereka. Kedua tangannya memegang lengan atas Alia tidak erat."Tidak, Abian! Aku mencurigaimu, walaupun aku tahu kamu tidak berselingkuh dariku. Aku tahu, tapi ...." Alia menangis lagi. Merasa sedih dengan apa yang baru saja katakan. “Aku takut, Abian.”Abian diam seribu bahasa. Membiarkan Alia berkata sesuai isi
Abian pikir, kehadirannya bisa membuat Alia merasa bahagia dan lupa akan masa lalunya. Faktanya, yang terjadi adalah berbanding terbalik. Abian merasa terpukul."Alia, dengarkan aku!" Abian masih terus memeluk Alia. "Mungkin saja kamu belum bisa memaafkan masa lalumu, sehingga membuat masa depanmu, membuat rumah tangga kita yang kamu anggap berantakan meskipun kenyataannya tidak. Pikiran-pikiran itu hanya timbul karena kamu merasa cemas dan takut. Lepaskan perasaan itu, maafkan kesalahan mantan suamimu meskipun tidak untuk bisa kamu lupakan, setidaknya maafkan dia. Itu akan bisa membuatmu merasa lega dan bisa menerima masa depan dengan lapang."Kalimat-kalimat yang Abian ucapkan membuat Alia merasa tenang. Tangisannya sudah sedikit mereda. Dadanya sudah terasa lambat pergerakannya. Abian mengerti, jika Alia sudah merasa sedikit tenang.Alia melepaskan pelukan suami tampan nan gagahnya itu. "Aku pikir, aku sudah mencintaimu. Tapi, aku tidak bisa melupakan masa lalu rumah tanggaku yang
Kini sudah satu minggu Misella dan Fahmi pisah ranjang. Dengan terpaksa Fahmi tidur di sofa. Lelaki itu masih berpikir positif, mungkin saja istrinya sedang ingin tidak diganggu olehnya.Permintaan maaf berkali-kali dari Fahmi tidak pernah Misella respon. Fahmi bingung harus berbuat apa. Dia tidak tahan di diamkan oleh Misella selama di kamar. Fahmi memutuskan untuk menginap dua hari di rumah sahabatnya untuk menjernihkan pikiran. Ya, dia membutuhkan teman untuk mendengar keluh kesahnya.Fahmi curhat pada sahabatnya itu dengan panjang lebar. Sahabatnya mendengarkan curhatan dengan serius sampai raut wajah awalnya kasihan berubah menjadi raut wajah penuh kekecewaan.“Aku kecewa denganmu, Fahmi. Aku kira kamu akan berubah, tapi kamu sama saja seperti dulu. Kamu brengs*k. Benar-benar brengsek!” respon sahabat Fahmi dengan penuh kekecewaan dari sorot mata.“Benar!” Fahmi membenarkan kalimat sahabatnya. “Aku memang bodoh!”“Aku tidak ingin ikut campur urusan keluargamu. Sekarang pulanglah k
"Tidak, Pa. Fahmi berselingkuh dengan wanita lain yang tak aku kenal."Tangan Robert mengepal kuat."Aish ...!" Tiffany meringis sebal dan memijit pelipisnya yang terasa pusing memikirkan masalah keluarga putri keduanya. "Sudah Mama peringatkan! Jangan menikahi lelaki yang pernah berselingkuh! Selingkuh itu penyakit!" sentaknya sedikit meninggikan suara.Misella menangkup wajahnya dengan telapak tangan. Ya ... dia sangat menyesal. Pernikahan ini menjadi momok menakutkan baginya. Dulu, Misella memohon meminta restu pada kedua orang tuanya yang tidak setuju menikah dengan Fahmi. Sekarang, Misella sadar."Jadi, apa keputusanmu?" tanya Robert dengan serius dan jauh lebih tenang.Bibir Misella merapat. Diam seribu bahasa.Keputusan? Misella belum memikirkan keputusan untuk ke depan nanti. Ah ... Keputusan Itu sangat sulit baginya."Aku tidak tahu, Pa," balas Misella dengan jujur."Pikirkanlah dari sekarang! Papa sang