Ekstra Part 3satu Tahun KemudianHidup ini memang penuh dengan lika liku. Banyak sekali cobaan. Tapi, dari cobaan itulah, kita bisa belajar arti dari sebuah kehidupan. Pengalaman adalah guru terbaik, aku menyetujui itu.Aku sempat lelah dengan hidupku, sempat lelah dengan kemelutnya rumah tanggaku di masa lalu. Cacian, makian, bentakan, tak adanya rasa pengertian, bahkan pengkhianatan dari lelaki bergelar suami, sudah semuanya aku rasakan.Sakit? Jelas! Jelas sakit sekali. Tapi, yasudahlah! Sudah menjadi jalan takdirku.Kini rasa sakit itu sudah berlalu. Sudah jauh hari aku move on dari kenangan masa laluku. Asak anak semata wayangku selalu bersama denganku, jelas aku sangat bahagia. Karena dia adalah harta terindahku yang aku punya.Tak terasa, kejadian yang cukup menggores hati itu, sudah satu tahun berlalu. Bahkan tepat hari ini, aku dan Mas Maftuh akan mengikrarkan janji suci pernikahan. Alhamdulillah akhirnya.Kala itu, ketok palu resmi untuk menyandang status janda, aku rasakan
SEASON 2BAB 1"Ratih, bangun!" Samar-samar aku mendengar suara Mas Maftuh. Suara berisik di rumah ini terdengar sangat kuat di telinga, semakin menambah rasa sesak. "Mas," lirihku. Nada suara terasa tercekat di tenggorokan. Mas Maftuh meremas pelan tangan ini. Saat mata ini benar-benar terbuka, aku melihat matanya berkaca-kaca. Tak berselang lama bergulir begitu saja. "Astagfirullah ... Abah ...." teriakku hingga seketika beranjak begitu saja. "Tenang, Dek! Tenang!" ucap Mas Maftuh, suamiku. Ia seketika memeluk badan ini. Tangisku semakin pecah. Sesenggukan aku dalam pelukan lelaki halalku ini. "Abah, Mas .. Abah! Abah mana?" teriakku begitu saja. Mas Maftuh menenggelamkan kepala ini di dadanya. Mengusap kepalaku pelan. "Sabar! Sabar! Sabar!" hanya itu yang suamiku katakan. Semakin menjadi rasa sesak di dalam sini. Sungguh sesak sekali."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un, Abah ... hu hu hu," tangisku semakin menjadi. Sungguh semakin pecah begitu saja. Mas Maftuh juga aku merasak
Season 2Bab 2Empat puluh hari kemudian. Alhamdulillah, acara empat puluh hari Abah sudah kami lewati. Berusaha move on dan melanjutkan hidup tanpa Abah memang sangatlah berat. Sungguh berat itu yang aku rasakan. Ya, Abah sudah meninggalkan kami semua selama empat puluh hari. Bahkan selamanya aku sadar, kalau mata ini tak akan melihat lagi wajah tenangnya. Terkadang saking rindunya, wajahnya yang tenang itu cukup menghantui. Rindu, aku sangat rindu dengan Abah. Sangat kangen hingga terkadang merasakan sesak. Merasakan ingin berjumpa walau tahu itu tak akan mungkin. Hanya doa yang bisa aku berikan sekarang. Tak ada lagi. Jika rindu sudah memuncak, aku hanya bisa datang ke makamnya. Membacakan Yasin untuk cinta pertamaku. Lelaki yang mencintaiku tanpa syarat. Bahkan rela melakukan apa pun demi aku. Anaknya. Pun Lastri dan Mas Budi. Mereka juga masih terlihat terpukul. Juga melakukan hal sama seperti yang aku lakukan. Tak ada yang tak merasakan kehilangan. Tak ada perpisahan yang t
Bab 3Ijin Pamit"Mak, gimana kabarnya?" tanyaku di sambungan telpon. Ya, pagi ini aku menelpon Emak. Mas Maftuh sudah berangkat kerja. Anak-anak sudah berangkat sekolah. Jadi sudah tak ada yang membuatku riweh. Tapi aku suka-suka aja dibuat mereka riweh he he he.Kerjaan rumah juga sudah selesai. Ada Mbak juga yang kerja di rumah ini. Jadi kesempatan untuk telpon Emak, karena memang belum bisa ke sana."Alhamdulillah, Emak sehat," jawab Emak. Nada suaranya yang khas, cukup membuatku lega mendengarnya."Udah sarapan?" tanyaku lagi."Sudah.""Masak apa?""Tadi diantar sayur dan lauk sama Lastri. Jadi Emak nggak ada masak," jawab Emak."Owh, syukurlah, jadi Lastri sekarang ada di situ?" tanyaku untuk lebih memastikan."Tadi di sini. Sekarang udah pulang. Kamu sendiri gimana? Udah sarapan?" jawab dan tanya balik Emak. Kuulas tipis bibir ini."Sudah, Mak," balasku."Syukurlah! Kalian sehat semua kan?" tanya Emak."Alhamdulillah, kami semua sehat," jawabku."Alhamdulillah."Ya akhirnya aku
Bab 4Bertemu SiapaSetelah aku menghubungi taxi dan menunggu jemputan, aku menunggu di luar super Market. Cuaca pun tidak begitu panas, jadi sangat terasa enak sekali untuk menunggu kedatangan Taxi. Jadi tak terasa membosankan. "Ratih." tiba-tiba telinga ini mendengar suara memanggil namaku. Suara yang terasa tak asing di gendang telinga ini. Karena merasa nama di panggil, segera aku menoleh ke asal suara. Memastikan siapa yang memanggil namaku. Saat mata ini sudah melihat siapa pemilik suara itu, cukup membuatku menganga dengan mata yang melebar. Terkejut dan sedikit syok!Hah? Mata ini membelalak saat tahu siapa yang memanggil namaku. Bukan hanya mata saja yang membelalak, tapi juga bibir menganga. Terkejut sampai syok.Syok? Ya, aku sangat syok sekali. Sudah sekian purnama dan sekian gerhana tak bertemu, kenapa sekarang aku harus bertemu lagi? Padahal aku sama sekali tak pernah berharap untuk bertemu lagi dengannya. "Mas ... Bima?!" Tak percaya. Sungguh aku tak percaya jika ne
Bab 5CURHAT"Tadi aku ketemu Mas Bima, Mak," ucapku mengadu kepada Emak. Emak terlihat menganga sejenak. Mungkin bingung atau gimana. Entahlah!Ya sore ini aku ke rumah Emak. Jenuh dan tak tenang juga di rumah. Mas Maftih masih belum pulang. Azkia dan Farel aku bawa sekalian. Biar aku bisa tenang. Lagian tanpa diajak, jika tahu mau ke rumah neneknya, mereka pasti mengajukan diri untuk ikut.Aku sayang ke rumah Emak, memang sengaja ingin menceritakan ini. Kalau ada Abah, pasti aku juga akan cerita ke Abah. Tapi Abah memang sudah tiada. Aku harus mengikhlaskan itu. Mendengar laporanku, ekspresi Emak terlihat terkejut. Kemudian keningnya terlihat melipat. Ekspresinya terlihat belum percaya dengan apa yang ia dengar. "Ketemu Bima?" Emak mengulang kata itu. Pertanda ia masih antara percaya dan tidak. Aku manggut-manggut menanggapinya. Bibir Emak terlihat menganga. Pertanda dia memang terkejut mendengar ini. "Berarti dia sudah bebas," ucap Emak seolah memastikan. Kuhela panjang napas in
Bab 6Siapa Tamunya?"Nek, ada tamu!" potong Farel. Seketika ucapan ini menggantung di udara. Tak terselesaikan. Kening ini melipat. Karena aku emang masih di ruang tengah dengan Emak. Rumah ini saat Abah masih ada, di renovasi oleh Mas Maftuh. Sungguh dia menantu dan suami yang sangat baik. Sungguh idaman."Siapa?" tanya Emak seraya menatap ke arah cucunya."Nggak tahu, Nek, tamunya bapak-bapak!" jawab Farel polos. Emak terlihat beranjak. Pun aku, mengikuti langkah kaki Emak dari belakang. Penasaran siapa yang bertamu sore-sore seperti ini.Farel mendekati kakaknya lagi. Masih di ruang TV. Aku dan Emak yang menuju ke ruang tamu. Memastikan siapa yang datang bertamu."Kamu?" ucap Emak saat sudah sampai di ruang tamu. Mata ini membelalak saat melihat siapa yang datang. Menganga. Tamu yang sungguh tidak aku harapkan. Jangankan diharapkan, aku pikirkan saja tidak. Sudah aku anggap dia tiada selama ini.Ya, semenjak aku menerima akta cerai, aku sudah menganggap dirinya tiada. Sudah ku kub
BAB 7Hancur HatiTanpa aku duga, hari ini aku ketemu Ratih. Mantan istriku. Sayangnya aku melihat dia seorang diri. Tak ada anakku. Padahal aku ingin sekali melihat dia bersama anak kami. Azkia. Ya, aku sangat merindukan gadis kecilku itu. Mungkin dia sekarang sudah tumbuh besar. Aku sangat ingin melihat parasnya. Pasti sangat cantik. Aku yakin dia tumbuh dengan sangat cantik. Tapi nampaknya Ratih sangat tak nyaman saat ketemu denganku tadi. Ketemu Ratih dalam keadaan kere, sebenernya aku sangat malu. Tapi mau gimana lagi, memang seperti ini keadaanku sekarang. Baju tak ada yang bagus, terlihat kucel. Sedangkan Ratih, aku melihat Ratih terlihat sangat cantik. Badannya gemuk tapi nggak gemuk banget. Pas. Sungguh sangat indah di mataku. Bahkan baju dan aksesoris yang ia gunakan juga terlihat mahal dan berkelas. Dia lepas denganku hidupnya terlihat sangat bahagia. Sedangkan aku? Lepas dari Ratih, hidupku berantakan. Masalah demi masalah datang silih berganti. Membuatku berada ditit
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda