Share

Siapa tamunya. 6

Penulis: Naimatun Niqmah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bab 6

Siapa Tamunya?

"Nek, ada tamu!" potong Farel. Seketika ucapan ini menggantung di udara. Tak terselesaikan. Kening ini melipat. Karena aku emang masih di ruang tengah dengan Emak. Rumah ini saat Abah masih ada, di renovasi oleh Mas Maftuh. Sungguh dia menantu dan suami yang sangat baik. Sungguh idaman.

"Siapa?" tanya Emak seraya menatap ke arah cucunya.

"Nggak tahu, Nek, tamunya bapak-bapak!" jawab Farel polos. Emak terlihat beranjak. Pun aku, mengikuti langkah kaki Emak dari belakang. Penasaran siapa yang bertamu sore-sore seperti ini.

Farel mendekati kakaknya lagi. Masih di ruang TV. Aku dan Emak yang menuju ke ruang tamu. Memastikan siapa yang datang bertamu.

"Kamu?" ucap Emak saat sudah sampai di ruang tamu. Mata ini membelalak saat melihat siapa yang datang. Menganga. Tamu yang sungguh tidak aku harapkan. Jangankan diharapkan, aku pikirkan saja tidak. Sudah aku anggap dia tiada selama ini.

Ya, semenjak aku menerima akta cerai, aku sudah menganggap dirinya tiada. Sudah ku kub
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Hancur hati. 7

    BAB 7Hancur HatiTanpa aku duga, hari ini aku ketemu Ratih. Mantan istriku. Sayangnya aku melihat dia seorang diri. Tak ada anakku. Padahal aku ingin sekali melihat dia bersama anak kami. Azkia. Ya, aku sangat merindukan gadis kecilku itu. Mungkin dia sekarang sudah tumbuh besar. Aku sangat ingin melihat parasnya. Pasti sangat cantik. Aku yakin dia tumbuh dengan sangat cantik. Tapi nampaknya Ratih sangat tak nyaman saat ketemu denganku tadi. Ketemu Ratih dalam keadaan kere, sebenernya aku sangat malu. Tapi mau gimana lagi, memang seperti ini keadaanku sekarang. Baju tak ada yang bagus, terlihat kucel. Sedangkan Ratih, aku melihat Ratih terlihat sangat cantik. Badannya gemuk tapi nggak gemuk banget. Pas. Sungguh sangat indah di mataku. Bahkan baju dan aksesoris yang ia gunakan juga terlihat mahal dan berkelas. Dia lepas denganku hidupnya terlihat sangat bahagia. Sedangkan aku? Lepas dari Ratih, hidupku berantakan. Masalah demi masalah datang silih berganti. Membuatku berada ditit

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Tanggapan Maftuh. 8

    Bab 8Tanggapan MaftuhAku dan anak-anak sudah sampai rumah. Mas Maftuh baru saja sampai rumah. Tapi duluan aku dan anak-anak. Segera aku persiapkan semuanya. Mulai dari air hangat untuk mandi dia, baju yang akan digunakan, makanan dan minuman hangat. Karena itu sudah menjadi rutinitasku selama ini. "Bu Putri jadi balik ke Indonesia hari ini, Mas?" tanyaku seraya aku sodorkan teh hangat. Mas Maftuh segera menerima teh hangat yang aku buatkan. Dia sudah mandi dan sudah menggunakan baju yang aku persiapkan. Badannya terlihat fresh, tapi wajahnya terlihat sangat lelah. Terlihat jelas di mataku. "Tunda, Dek. Karena ada masalah yang belum bisa beliau tinggalkan hari ini. Mungkin semingguan lagi," jawab Mas Maftuh. Mendengar Bu Putri tak jadi ke sini, hari ini terasa sesak. Karena aku memang sudah benar-benar kangen dengan beliau. Merasa sedikit kecewa, padahal sungguh aku nantikan dan harapkan. "Yah ... Padahal aku udah beli banyak stok makanan yang siap aku sajikan saat Bu Putri tib

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Ada benarnya. 9

    Bab 9Ada Benarnya"Jadi Bima sudah keluar dari penjara, Mak?" ucap Budi meyakinkan setelah mendengar apa yang baru saja aku katakan. "Astaga ...." sahut Luna. Ya mereka ada di sini sekarang. Aku sudah menceritakan kepada mereka akan kabar dari Bima yang sudah keluar dari penjara. Biar mereka pada tahu. Tinggal Lastri dan suaminya yang belum aku kasih tahu. "Iya, dia menginginkan ketemu Azkia. Tapi tak diijinkan oleh Ratih," jelasku. Budi terlihat menghela napas berat. Dia anak sulungku. Luna sekarang sudah jauh lebih baik. Cukup membuatku sangat bersyukur akan hal ini. "Wajar sih, Mak, jika Ratih tak mengijinkan jika Bima ketemu sama Azkia. Aku juga perempuan, saat masih kecil disia-siakan, saat besar mau diambil gitu saja. Kalau aku jadi Ratih, juga tak semudah itu melupakan," balas Luna. Kutelan ludah ini sejenak. Memahami apa yang Luna katakan. Karena aku juga perempuan. Tapi, aku memposisikan sebagai orang tua. Berusaha untuk bijak. Berat, ya aku rasakan sangat berat. Kalau d

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Keputusan diambil. 10

    Bab 10Keputusan diambilYa mulai pagi ini aku antar jemput sekolah anak-anak. Biarlah yang penting aku tenang. Memang menyita waktu, tapi tak masalah. Yang penting tenang. Percuma banyak waktu di rumah, tapi hati ini tak tenang. Mas Maftuh pun akhirnya mengijinkan keputusanku. Awalnya dia tak membolehkan, tak setuju, tapi karena aku kekeuh ingin tetap antar jemput mereka akhirnya dia luluh juga. Bukan hanya Azkia yang aku pikirkan. Aku tahu yang diinginkan Mas Bima adalah Azkia. Tapi tak menutup kemungkinan dia juga mengincar Farel untuk dia jadikan senjata. Entahlah, pikiranku udah sampai mana-mana pokoknya. Bahkan pikiran terjelek pun sudah aku pikirkan. Mas Maftuh menyanggupi untuk membelikan mobil baru, khusus untuk antar jemput mereka. Karena katanya dia tak tega melihat aku antar jemput pakai motor. Ya, aku bisa mengendarai mobil. Maka dari itu, kata Mas Maftuh mending beli mobil, khusus untuk antar jemput anak-anak sekolah. Karena kalau naik motor, dia tak tega.Mobil cum

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Apa yang diketahui Lastri? 11

    Bab 11Apa yang diketahui Lastri"Bima memang sudah keluar dari penjara," balasku. Lastri menganga mendengarnya. Matanya terlihat membulat. Nampak sekali kalau dia sedang terkejut. "Hah? Serius?" Lastri meyakinkan, apa yang baru dia dengar. "Iya, kemarin sore dia datang ke sini," balasku. Lastri terdiam sejenak. Mengigit bibir bawah ini. "Astaga ... berarti tadi memang Mas Bima," ucap Lastri dengan nada terkejut. Kemudian telapak tangannya menutup mulutnya. "Iya, Bima memang sudah keluar dari penjara. Dia ingin ketemu dengan Azkia, tapi kakakmu tak mengijinkan," jelasku. "Jangan, Mak! Bagus banget keputusan Mbak Ratih!" sergah Ratih cepat. Cukup membuatku menganga. Kenapa Ratih ngomong seperti itu. Aku terdiam sejenak. Memahami."Kenapa?" tanyaku biar rasa penasaran ini terjawab. Ratih terlihat mengatur napasnya perlahan. "Karena aku tadi melihat Mas Bima sedang ....""Assalamualaikum," terdengar suara salam. Karena mendengar suara salam itulah, aku segera menoleh ke arah pintu.

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Kabar yang dinanti. 12

    Bab 12Kabar Yang dinanti"Jadi Bima ke sini?" tanya Mas Maftuh memastikan, kuanggukan kepala ini sejenak. Terus kuatur napas ini. Masih terasa tak nyaman, masih terasa tak tenang.Lebay? Biarlah orang menganggapku lebay, karena yang merasakan aku, bukan mereka yang melihat."Iya, Mas, sebelum aku berangkat jemput sekolah Farel. Dia ke sini. Tapi nggak aku persilahkan masuk kok. Hanya di luar, aku benar-benar nggak nyaman. Kenapa aku harus ketemu dia lagi?" jelasku.Ya, sengaja aku ceritakan ke Mas Maftuh. Biar rasa sesak di dalam sini bisa sedikit tenang. Entah sudah berapa kali aku membuang napas dengan kasar. Tapi tetap saja merasa sesak.Mas Bima terlihat mengusap wajahnya pelan. Terlihat sedang memikirkan sesuatu."Berani juga dia ke sini," ucapnya. Kutanggapi dengan anggukan. Ya, dia memang sangat berani. Entahlah. Bisa kubilang muka tembok dan nggak punya malu. Itu yang aku nilai dari mantan suamiku."Iya, aku yakin dia tetap melakukan segala cara, agar bisa menemui Azkia," jel

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Lanjutan Menanti Kabar. 13

    Bab 13Lanjutan Menanti Kabar"Ratih, aku ganggu nggak ini?" tanya Bu Putri dari sambungan WA. Ya Bu Putri menelponku via WA. Jelas lebih hemat. Karena kami sudah berbeda Negara."Nggak, Bu, sama sekali nggak ganggu," jawabku. Ya walau sebenarnya mata ini sudah hampir saja terpejam, akhirnya terbangun karena ada suara dering WA. Kalau dari Bu Putri, jelas sangat ada waktu untuknya.Mas Maftuh pun aku lihat membukakan kelopak matanya. Dia pun mungkin sama denganku. Udah hampir terpejam, tapi terbangun mendengar suara dering gawai.Karena sudah tahu dari Bu Putri, akhirnya dia memejamkan mata lagi. Ya seperti itulah Mas Maftuh. Mungkin dia sengaja memejamkan mata lagi, agar aku bisa leluasa berbincang dengan Bu Putri."Emm, kayaknya besok saya pulang ke Indonesia, mah di bawain oleh-oleh apa?" ucap dan tanya balik Bu Putri, cukup membuat mata ini melebar mendengarnya. Senang banget dengar kabar ini."Serius?" tanyaku untuk lebih memastikan. Rasa ngantuk seketika menghilang."Iya, aku ud

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Siapa Mami Marka. 14

    Bab 14Siapa Mami Marka?Naluri. Itu yang di rasakan oleh Ratih. Mungkin banyak yang tak sependapat dengan keputusannya, tapi baginya itu yang terbaik untuk kebaikan anak-anaknya. Aku hanya seorang Ibu, yang berharap terbaik untuk anak-anakku. Aku juga seorang Nenek, yang menginginkan yang terbaik untuk cucu-cucuku. Masalah yang dihadapi sekarang, harus cukup jeli dan tak asal ambil keputusan. Sedikit saja salah mengambil keputusan, aku yakin ada hal fatal yang tak diinginkan. ***************************Aku lihat Lastri menelan ludah sejenak. Kemudian memejamkan matanya. Seolah sedang menata hati, untuk menyampaikan apa yang ia lihat hari ini. Cukup membuatku semakin berdegub tak menentu. "Mas Bima sedang berbincang dengan Mami Marka, sepagi itu Lo, Mak, ngapain coba? Makanya jangan pertemukan Azis dengan Mas Bima, walau dia bapaknya," jelas Lastri. Kutelan ludah ini sejenak, setelah menganga sekian detik. "Mami Marka?" aku mengulang kata itu. Lirih, tapi mungkin masih terdengar

Bab terbaru

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   TAMAT

    "Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 41

    "Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 40

    Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 39

    Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 38

    "Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 37

    "Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 36

    "Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 35

    "Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 34

    "Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda

DMCA.com Protection Status