Bab 14Siapa Mami Marka?Naluri. Itu yang di rasakan oleh Ratih. Mungkin banyak yang tak sependapat dengan keputusannya, tapi baginya itu yang terbaik untuk kebaikan anak-anaknya. Aku hanya seorang Ibu, yang berharap terbaik untuk anak-anakku. Aku juga seorang Nenek, yang menginginkan yang terbaik untuk cucu-cucuku. Masalah yang dihadapi sekarang, harus cukup jeli dan tak asal ambil keputusan. Sedikit saja salah mengambil keputusan, aku yakin ada hal fatal yang tak diinginkan. ***************************Aku lihat Lastri menelan ludah sejenak. Kemudian memejamkan matanya. Seolah sedang menata hati, untuk menyampaikan apa yang ia lihat hari ini. Cukup membuatku semakin berdegub tak menentu. "Mas Bima sedang berbincang dengan Mami Marka, sepagi itu Lo, Mak, ngapain coba? Makanya jangan pertemukan Azis dengan Mas Bima, walau dia bapaknya," jelas Lastri. Kutelan ludah ini sejenak, setelah menganga sekian detik. "Mami Marka?" aku mengulang kata itu. Lirih, tapi mungkin masih terdengar
Bab 15LanjutanAkhirnya Ratih beranjak setelah mencium punggung tanganku. Kemudian segera berlalu, melangkah keluar dari rumah ini. Ya, aku sendirian lagi. Tapi, ucapan Lastri barusan, cukup membuatku kepikiran. Kepikiran dengan Azkia dan Ratih. Mungkin Ratih kekeuh tak mau, karena naluri seorang ibu yang bekerja. Ya Allah ... padahal mereka sudah sangat bahagia, kenapa mereka sekarang Engkau uji lagi? Bima semoga kehadiranmu kembali, tak membuat sakit Ratih dan anakmu lagi.Cukuplah kamu sakiti mereka di masa lalu, tapi jangan sakiti lagi sekarang atau yang akan datang. Ya, itulah harapanku. Kutarik kuat napas ini, kemudian mengembuskan dengan kuat. Berharap rasa sesak di dalam sini, bisa sedikit saja berkurang. Inilah ujian hidup. Juga benar adanya, kalau roda kehidupan itu benar-benar berputar. Semoga bisa kuat menghadapi masalah demi masalah, yang datang terkadang secara bersamaan. Segera aku beranjak menuju ke dapur. Ingin mengisi perut dengan makanan yang dibawakan oleh L
Bab 16Pulang "Kamu masih ingat Azkia?" tanyaku kepada putraku. Gibran. Yang ditanya sedikit menyipitkan mata. Seolah dia sedang mengingat-ingat.Entah ingat atau tidak, mereka terakhir ketemu memang masih kecil. "Emm, nama itu tidak asing di telinga Gibran, Ma," jawabnya santai. Ya, gaya dia memang seperti papanya. Santai. Tapi mudah-mudahan karakternya esok tidak seperti papanya. Ya walau aku dan Ratih sering video call, tapi kami hanya asyik dengan cerita-cerita kami saja. Tanya kabar anak hanya sekedarnya. Tak ada saling mengenalkan anak di video call. Sengaja. Biar saling pangling nanti saat ketemu anak sudah pada dewasa. Aku sangat berharap, karakter Gibran sama seperti ayah sambungnya. Baik dan sangat perhatian. Selain itu juga pengertian. Alhamdulillah ... suamiku yang sekarang sangat baik. Cuma yang tak bisa diminta lebih darinya adalah waktu. Dia sangat sibuk dan aku sudah tahu itu sebelum menikah. Jadi memang sudah resikonya. Tapi Ok tak masalah. Karena ini kerja. Yan
Bab 17CemasAku sudah bersiap-siap, sudah siap menuju ke bandara dan tak sabar ingin segera tiba di Indonesia. Tapi sayang suamiku tak bisa ikut. Karena dia memang tak bisa meninggalkan pekerjaannya.Dia hanya menitip salam untuk semua keluarga yang ada di Indonesia. Memang sudah menjadi resiko. Entah sampai kapan akan seperti ini. Dia hanya bisa mengantar kami sampai Bandara saja. Tak bisa dipaksakan juga untuk ikut. Karena memang banyak projek yang sedang dia hadapi. Karena memang sudah seperti ini resiko kami. Sudah kami saling ketahui bahkan sebelum menikah. Jadi memang tak bisa protes. Mau tak mau, aku memang harus memahami itu. Sudah menjadi resiko kami. Bagaimana lagi? Aku tak bisa lagi menyanggah. Tak bisa lagi memohon. Karena proyek yang sedang dia pegang juga tak main-main. Aku tak mau mengganggu itu. Lebih tepatnya tak mau mengganggu pikiran dan konsentrasinya. Kalau dia ada waktu nanti, pasti dia akan meminta dengan sendirinya, untuk ikut pulang ke Indonesia. Untuk sek
Bab 18MenungguApa pun alasannya, pokoknya kalau menunggu itu hal yang sangat membosankan. Jarum jam seolah terasa tak berputar. Hari ini aku tau Bu Putri akan pulang. Tapi menunggu kedatangannya terasa sangat lama.Kalau ada pesan masuk atau panggilan masuk, selalu berharap Bu Putri yang menghubungiku. Aku terlalu menunggu memang. Gawai pun tak lepas dari genggamanku. Karena aku takut, kalau Bu Putri chat atau telpon aku tak tahu. Makanya ke mana-mana layar pipih milikku ini selalu aku bawa. Karena aku nggak mau Bu Putri kecewa menelponku, karena tak aku angkat. Pokoknya rumah sudah rapi, makanan dan minuman untuk menyambut Bu Putri pun sudah aku persiapkan. Sudah tak sabar ingin bertemu, banyak sekali hal yang ingin aku ceritakan. Semoga Bu Putri sampai sini dengan aman dan selamat. Aamiiin.****************************"Azkia, kamu ingat Gibran?" tanyaku kepada Azkia. Sekarang dia sudah pulang sekolah. Yang ditanya terlihat sedang mengingat-ingat. Farel aku memintanya untuk t
"Nak Putri jadi pulang ke Indonesia, kan?" tanya Emak dalam sambungan telpon. Emak yang menelponku. Mungkin Emak udah nggak sabar ingin ketemu dengan Bu Putri. Sama aku pun juga. "Iya, Mak. Insyallah. Belum ada kabar lagi dari Bu Putri," jawabku. Ya memang belum ada kabar lagi dari Bu Putri. Mungkin beliau masih melepas rindu dengan Pak Aksa. Jelas lah itu, karena tentu juga sangat rindu dengan papanya. Aku memang tak sengaja menelpon balik. Mungkin beliau masih sibuk. Sibuk dengan keluarganya terlebih dahulu. Makanya belum kepikiran untuk menghubungiku. Jadi aku sendiri juga belum bisa memastikan. Jam berapa Bu Putri akan tiba di Bandara. Sering aku bertanya, tapi tak begitu di respon oleh Bu Putri. Dia selalu mengalihkan pembicaraannya. Entahlah, apa maksudnya. Padahal niatku, kalau tahu jam berapa beliau sampai bandara, maka aku bisa menjemputnya. Tapi sayang dia tak memberikan kejelasan kapan dia berangkat dan jam berapa kira-kira dia sampai. "Insyallah jadi, Mak. Cuma memang
Bab 20Siapa yang dilihat Bu Putri?"Assalamualaikum." Tok! Tok! Tok! Ucapku seraya mengetuk pintu. Terdiam sejenak. Seolah tak ada tanggapan. Rumah ini terlihat sangat sepi sekali. Para pekerja yang ikut Papa, pada ke mana, ya? Tumben rumah ini terlihat sangat sepi. Biasanya ada satu ada dua orang yang beberes halaman rumah. "Itu ada bel rumahnya, Ma," ucap Gibran seraya menunjuk. Seketika mata ini melihat di mana arah telunjuk Gibran menunjuk. "Owh iya," balasku. Lama tak ke sini, ternyata bel rumah itu aja yang baru. Yang lain masih sama. Tak banyak yang berubah. Mungkin Papa sayang merubah bentuk rumah ini. Persudut bahkan per inci rumah ini, ada kenangannya masing-masing. Segera aku melangkah mendekat dan menekan tombol bel rumah Papa. Bersabar sebentar, untuk menunggu ada tanggapan dari dalam rumah ini. Kreekk .... Tak berselang lama setelah tombol bel rumah itu aku tekan, pintu rumah Papa terbuka. Jantung ini semakin tak karu-karuan rasanya. Saat pintu rumah itu terbuka
"Alhamdulillah sangat sehat, Bu. Tapi, Papa sekarang belum pulang, masih di kantor. Apa perlu Lita telpon, kalau anak kesayangannya udah sampai rumah? Biar Papa cepat pulang?" jawab dan tanya balik Lita. "Emmm, nggak usah. Biar Papa pulang sendiri saja. Biar semakin menjadi kejutan nantinya," balasku. Lita terlihat manggut-manggut. "Ok kalau gitu. Tapi kenapa kalian nggak ngomong kalau mau ke sini? Jadi bisa Lita jemput di bandara," tanya Lita. Ia nampaknya tak lega karena tahu-tahu kami sudah sampai rumah. "Sengaja memang Ta, sengaja nggak aku kasih tahu. Biar jadi kejutan gitu," jawabku. Lita kemudian memajukan bibirnya. "Ah ... Bu Putri harusnya kasih tahu Lita. Biar Lita bisa jemput di bandara," balasnya. "Iya, Maaf, yang penting kan saya dan Gibran sekarang sudah sampai sini dengan selamat," ucapku. "Iya, sih, Bu ... he he he," balas Lita seraya tertawa lirih. Pun aku ikut mengimbangi tawa lirih Lita. Kreeekk ....Lita membuka pintu kamarmu. Kamar ini tak banyak berubah. N
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
"Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan
"Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,
"Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda