Aku kembali menginjakkan kaki di rumah sakit menjelang siang hari. Semenjak meninggalkan Bandung, kepala serasa mau pecah. Masih terbayang diingatan bagaimana menjadi yang terhakimi di depan kedua orang tua juga istri yang sudah menemani selama sepuluh tahun.Sungguh ini beban terberat yang harus aku pikul. Andai aku bisa meninggalkan Friska tanpa rasa bersalah dalam hati. Mungkin semua tak seperti ini. Kuhela napas berat seraya menatap pintu yang terbuka perlahan. Wajah Friska kembali muncul di sebaliknya. Dia tersenyum dan berjalan mendekat."Aku menghubungimu semenjak tadi. Tapi satu pun panggilanku kau angkat. Apa yang terjadi?""Aku mengantar Syaina ke Bandung."Friska tampak terhenyak."Dia mengadu tentang hubungan kita pada kedua orang tuamu?"Aku menggeleng."Dia meminta agar aku yang berterus terang pada Mama dan Papa.""Kamu melakukannya?""Iya.""Lalu bagaimana pendapat mereka tentangku?"Friska terlihat antusias, bagaimana jika kukatakan bahwa Mama dan papa sangat menenta
"Saya minta tolong, bantu saya Pak." Pak Fandy terhenyak, sepertinya dia sudah bisa membaca maksud perkataanku itu. Lelaki tersebut tersenyum kecil seraya menghela napas panjang. "Bagaimana bisa, Dok? Apa kurangnya Nyonya Syaina?" Pertanyaannya tak dapat kujawab, justru aku mengganti dengan jawaban yang lain. "Saya sedang menanti ijin poligami." Ternyata Pak Fandy kembali tersenyum mendengar jawabanku. "Seorang wanita cantik, sehat, berpendidikan tinggi, berasal dari keluarga berada. Saya yakin Syaina tidak akan mau dipoligami." Aku menarik napas panjang, tebakan Pak Fandy memang benar. "Saya hanya tak habis pikir, kenapa harus Friska, dok?" "Cinta tidak bisa memilih, Pak." "Cinta atau nafsu? Setahu saya Dokter Rian adalah lulusan terbaik fakultas Kedokteran UI. Kinerja dari pertama dinas sampai sudah lima belas tahun mengabdi selalu cemerlang. Bagaimana jika kejadian ini justru membuat karier dokter dengan seketika lenyap?" Aku menelan ludah, jangan sa
"Cerai? Seharusnya bukan aku yang kamu ceraikan, Mas. Tapi Syaina.""Jika itu yang kulakukan maka tamatlah riwayat kita, Fris. IDI akan memproses kasus ini, bukan saja dipecat tapi kita juga akan dikenakan sanksi pidana karena kasus perselingkuhan. Tidak ada cara lain Fris, kamu harus mengalah.""Mengalah, nggak! Aku nggak masalah karierku hancur, asalkan anak yang aku kandung ini terlahir dengan status jelas siapa ayahnya. Jika Mas tetap bersikeras meninggalkanku, maka aku nggak akan tinggal diam. Bukan IDI yang akan menghancurkan karier kita tapi aku. Aku yang akan membongkar semuanya."Kuhela napas panjang, kepala kembali terasa sakit seperti hampir pecah. Menceraikan Friska begitu saja memang bukan perkara mudah. Bahkan alasan karier tak membuatnya goyah.Mungkin harus ada kesepakatan, untuk mengelabuinya."Baiklah, begini Friska. Aku berjanji akan meninggalkan Syaina setelah masalah ini selesai. Tapi dengan satu syarat, kamu harus mundur terlebih dahulu.""Persyaratan macam apa i
"Katakan di rumah sakit mana?"Friska menyebutkan alamat sebuah rumah sakit, untuk kesekian kali aku harus pasrah pada takdir yang sudah kupilih ini. Ingin mengakhiri terasa sangat sulit. Sampai di rumah sakit yang disebutkan Friska, kaki kembali tertuju ke meja resepsionist untuk menanyakan posisi istri keduaku itu. Masih memakai masker dan topi, seorang suster membawaku ke ruangan dokter kandungan. "Silahkan masuk, Dok," persilah suster tersebut. Lalu dua netraku seketika membelalak menatap dokter cantik yang tengah duduk di depan Friska.Mira, sahabat Syaina. Aduh, kenapa Friska memilih rumah sakit ini. "Nggak papa Mas Rian, dibuka aja masker dan topi. Saya udah tahu semuanya kok dari Mbak Friska. Masuk Mas, duduk di sini. Biar saya jelaskan kondisi Mbak seperti apa."Deg.Mau seperti apapun ditutupi sebuah pengkhianatan, pasti akan tercium juga. Kubuka masker dan topi yang menutupi kepala. Sedikit canggung karena bagaimana pun Mira dan Syaina bagai pinang dibelakang dua."Usia
"Waalaikum salam. Rian?"Dua netra papa mertua membelalak tapi detik berikutnya ia memaksakan diri untuk tersenyum. Membuatku merasa deg-degan hingga akhirnya tak bisa berkata apapun."Duduklah," persilah papa mertua kemudian sembari menunjuk kursi yang ada di teras. Sangat berbeda dengan penyambutannya selama ini. Lelaki yang tetap gagah di usia enam puluhan tahun itu langsung merangkul, lalu mengajakku masuk. Tidak hanya itu, dia selalu meminta mama mertua membuatkan makanan yang aku mau. Ah, bukankah itu dulu sebelum aku menyakiti hati putrinya.Kuikuti beliau yang duduk terlebih dahulu."Bagaimana kabar Jakarta?"Beliau berbasa basi karena kami duduk dalam kebisuan hingga lima menit."Baik."Sama dengannya yang tampak kaku, akupun lebih gugup."Bagaimana kabar istri keduamu?"Deg.Mendengar pertanyaan keduanya ini membuat jantungku seolah berhenti berdetak. Wajah Papa mertua kini tertuju padaku."Kau seperti orang kena serangan jantung saat Papa menanyakan hal itu?"Aku terhenyak
Mas Rian semakin mengeratkan tangannya pada tubuhku, tapi aku terus melawan. Tak hanya dada yang terasa sesak karena tahanan kedua tangannya tapi juga bagian tubuh yang paling lembut, hati ini terasa bagai terjerat kuat. Beribu-ribu kali sakit yang kurasa karena sikapnya yang seperti ini."Mas mau ngapain, lepaskan aku!"Kubentak dia meski dengan nada kecil, seperti tersadar lelaki itu lekas melepas tangannya. Tak menunggu, aku langsung berlari ke kamar. Masih dengan perasaan campur aduk, tiba-tiba pintu kamar terketuk."Syaina, keluarlah sebentar. Ngobrol sama Pak Andre," ucap Mama tanpa membuka pintu.Kutarik napas panjang, mengatur ritme jantung yang oleh kejadian tadi serta merta menyentak kuat. Lalu perlahan kuangkat langkah berjalan membukakan pintu tersebut."Ayolah Syain, nggak enak sama Pak Andre."Aku mengangguk lalu keluar dari kamar. Kini kami berjalan berbarengan menuju ruang tamu. Dapat kulihat, Mas Rian justru memilih keluar dan duduk di teras belakang. Jujur ada rasa s
[Siapa kamu?]Kuketik pesan balasan dengan tangan gemetar, mual, jijik, rasanya ingin menghancurkan apapun yang ada di sekitarku. Namun, aku masih menahan diri, beristighfar berkali-kali meredakan degup menyetak di jantung yang seolah hampir meledak.[Siapa kamu?]Lama tak ada balasan.Aku mencoba menelpon nomor tersebut. Lagi-lagi dibiarkan sampai berhenti dengan sendirinya. Hingga lima belas menit kemudian, sebuah panggilan tertuju ke ponselku. Berasal dari nomor lain yang juga tidak tersimpan dalam ponsel. Lekas aku mengangkatnya."Hallo."Suara lelaki."Hallo, siapa kamu?""Kamu tidak perlu tahu siapa aku, yang jelas aku berniat baik untukmu. Kamu lihat video yang kukirimkan ke ponselmu? Suamimu awalnya dijebak, Friska sudah mengincar suamimu semenjak dahulu. Dia selalu meminta seseorang untuk mengatur jadwal dinas berbarengan dengan suamimu, bahkan dia juga meminta orang yang sama untuk membuat mereka sering terlibat dinas luar kota secara bersamaan. Puncaknya hari itu lima tahun
"Ini dr.Syaina, mulai hari ini beliau akan bergabung di rumah sakit ini. Mohon dibimbing untuk segala proses pendataan penambahan jumlah karyawannya."Mas Hakim mengenalkanku pada semua yang ada di ruangan administrasi. Tak hanya di sini, lelaki itu juga mengajakku ke beberapa ruangan dan melakukan hal yang sama yaitu mengenalkanku pada semua staf dan para dokter.Setelah lumayan capek berkeliling, lelaki itu mengajakku duduk di kantin. Katanya sambil nunggu jadwal dinas dibuatkan oleh staf yang bertugas mengatur jadwal piket dokter. Dia memulai percakapan."Semoga betah ya kerja di rumah sakit ini."Aku melihatnya berbeda dengan semalam yang lebih banyak diam, ternyata aslinya seorang yang ramah dan humble."In Syaa Allah Mas. Makasih banyak, ya.""Sama-sama. Oya, ini simpan nomork saya. Kalau ada apa-apa ntar bisa langsung hubungi.""Iya, Mas."Kuraih kartu nama yang diserahkan Mas Hakim lalu memasukkan ke dalam dompet. "Anakmu yang semalam udah sekolah?""Udah Mas, hari ini pertam
Satpam yang melihat gambar CCTV yang menunjukkan Kamil, ibunya serta seorang wanita menarik paksa tangan ibunda Rian tampak begitu terhenyak. Lelaki itu segera masuk ke dalam rumah untuk mengecek keadaan.Pintu kamar terbuka, menampakkan kondisi ibunda Rian yang sangat menyedihkan. Wanita itu tergeletak di atas ranjang dengan keadaan lemah. "Ibu, Ibu kenapa, Bu?"Pak Yanto segera membantu ibunda Rian untuk bisa duduk."Kamil dan Ibunya telah membuat saya seperti ini, Pak. Tolong telpon polisi. Mereka ingin menguasai rumah ini.""Ba-baik, Bu."Pak Yanto segera menelpon polisi sementara ibunda Rian menelpon anaknya sendiri. "Hallo, Ma."Suara ibunda Rian terdengar bergetar. Membuat sang anak di seberang sana menjadi khawatir."Rian.""Iya, Ma.""Maafkan Mama Rian. Melani dan keluarganya tak sebaik yang Mama pikirkan. Mereka telah membuat masalah di rumah kita.""Masalah apa, Ma? Mama baik-baik aja 'kan?""Iya, Mama baik-baik saja. Kamil dan Ibunya, mereka ingin menghancurkan keluarga
"Sedang apa kau di sini? Apa yang mau kau lakukan pada istriku? Kau menggodanya?" teriak Kamil lantang.Tak menunggu penjelasanku, dia yang tak sabaran segera melayangkan sebuah bogem ke wajah ini hingga aku tersungkur ke lantai."Mas, sudah jangan bertengkar. Mas Rian kemari karena aku yang minta. Dia ingin membenarkan channel televisi yang rusak.""Aku nggak percaya, pasti kamu diancam 'kan sama dia? Sudah ngaku aja, kalau iya dia sudah melakukan hal tidak senonoh sama kamu, kita bawa dia langsung ke kantor polisi.""Nggak Mas, Mas Rian tidak melakukan apapun padaku."Kamil masih diluar kendali, ia terus ingin menghajarku. Syukurlah Ika menahannya. Tak menunggu lama, aku segera turun ke bawah. Tidak mungkin membela diri disaat dia sedang berapi-api dan kondisikupun sangat tidak stabil. Akhirnya dengan pertolongan Ika, aku lepas dari amukan Kamil.Sampai di gundakan terakhir tangga, tampak lah di hadapan. Mama tengah berdiri dan menatap penuh tanya ke arah diri ini."Mama sudah baika
"Itu Dokter Anita bukan, Mas?" tanyaku penasaran, melihat gaya berpakaian serta cadar yang menutupi wajahnya mirip sekali dengan salah satu dokter yang dikabarkan sedang proses hijrah. "Nggak tahu, tadi sewaktu Mas buka pintu kita udah sempat tatap-tatapan tapi kemudian dia seperti enggan masuk ke rumah ini. Kamil berusaha membujuk tapi wanita itu tetap ingin pergi." "Jika benaran itu dokter Anita, jadi suami yang udah buat dia hijrah itu Mas Kamil? Tapi kenapa aku merasa nggak mungkin ya Mas?" "Sepertinya bukan Anita, mungkin orang lain yang hanya mirip saja dengannya. Apalagi kalau sudah bercadar kebanyakan wajah hampir mirip-mirip begitu. Apa mungkin karena hanya kelihatan mata doank? Ah sudahlah jika mereka tak mau masuk biarkan saja. Ayo kita masuk, Yank." Mas Rian mengajakku masuk dan kembali ke ruang makan. "Siapa Rian?" tanya mama mertua yang sudah menyelesaikan makan malamnya. "Kamil sama istrinya." "Lo, mereka sudah pulang? Kenapa tidak masuk?" tanya Bu Mel kelihatan
"Rumah? Kamu kalau minta sesuatu itu yang wajar."Suara Mas Rian terdengar sedikit meninggi."Kau kalau bicara yang sopan, aku ini Abangmu.""Sudah, sudah. Rian, jangan lagi berdebat. Begini Nak Kamil dan Ibunda, ini adalah rumah yang sudah kami tempat semenjak dahulu, semenjak pertama kali saya dan Mas Arya menikah. Jadi rumah ini punya banyak sejarah yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Mengenai hak waris, sesuai aturan semua harta peninggalan almarhum akan dikumpulkan menjadi satu lalu barulah dibagi sesuai dengan aturan pembagian hak waris menurut Islam.""Oke, saya mengerti maksud Mbak tersebut. Tapi maksud anak saya mengharap rumah ini, karena sebagai anak kandung Mas Arya, dia tak pernah mendapatkan apa yang seharusnya juga dia dapatkan seperti Rian. Tinggal di rumah mewah, disekolahkan sampai menjadi dokter, mau kemana-mana dengan mobil mewah. Padahal Kamil dan Rian statusnya sama, sama-sama anak kandung. Jadi coba Mbak bayangkan, wajar tidak jika kini Kamil menginginkan
Hari ini adalah hari paling membahagiakan, setelah tiga bulan menanti akhirnya benih yang telah bertumbuh di dalam rahim kini terlihat jelas jenis kelaminnya."Gimana Mira, laki-laki atau perempuan?" tanyaku antusias. Mas Rian hanya tersenyum, baginya perempuan atau lelaki tak masalah yang penting sehat dan lahir dengan selamat. Tapi tidak dengan diri ini, semenjak awal dinyatakan positif hamil, aku sudah mengidam-idamkan anak perempuan. Supaya Lita punya teman bermain."Masya Allah ...."Mira tersenyum menatapku. "Seperti keinginanmu Sya, perempuan," ucapnya semangat yang kusambut dengan senyum bahagia. Mas Rian ikut semang dan merangkul bahu ini."Perkembangannya gimana, Dek? Sehat 'kan?" tanya Mas Rian yang lebih mengkhawatirkan kondisi fisik bayi kami. Tersebab sudah bertahun-tahun dia mendapati kemoterapi dan sangat takut akan rusaknya gen-gen yang seharusnya menjadi pembentuk bayi kami.Awalnya Mas Rian memang melarangku hamil, dia bahkan meminta agar aku memakai spiral. Tapi a
Tangis haru mewarnai pemakaman papa pagi ini. Mama masih tak stabil, sebentar pingsan, nanti sadarkan diri kembali. Begitulah semenjak semalam. Namun, tiga jam ini keadaannya sudah lebih membaik. Lebih tiga jam sudah ia sadarkan diri.Walaupun begitu, aku tetap tak bisa mengantar jenazah Papa untuk terakhir kalinya. Sebab tak mungkin meninggalkan Mama yang tak stabil seorang diri di rumah. Meski keinginan sedemikian besar, tapi kucoba mengikhlaskan dan menyerahkan pemakaman papa sepenuhnya pada Mas Rian dan adik semata wayang, Biantara Atha Arif.Kurang lebih dua jam, semua kembali ke rumah. Arif kini mendekati Mama dan memeluk wanita itu sejenak, postur tinggi serta bentuk tubuh dan wajah yang mewarisi Papa sepenuhnya, membuatku seolah melihat papalah yang kini tengah memeluk Mama."Sudah selesai pemakaiannya?" tanya Mama dengan suara serak. "Udah, Ma.""Sekarang Papa kalian sudah sendiri, biasanya semua Mama yang ngurus. Sekarang Papa kalian gimana? Dia pasti merasa sedih."Mama ke
Sungguh terhenyak diri ini saat pintu kamar mandi terbuka, bahkan ponsel di tangan sampai jatuh ke atas ranjang."Ma, kenapa?"Mas Rian yang melihatku tiba-tiba berdiri kaku langsung mengambil ponsel dan mengecek isinya. Dia membaca pesan Friska yang belum kukeluarkan dari layar utama. Usai membaca, lelaki itu menatapku."Aamminnn, semoga doanya diijabah."Mas Rian mematikan ponsel lalu meletakkan di atas nakas. Dia kemudian berjalan mendekatiku yang nyaris tak bergerak tersebab perasaan dipenuhi tanda tanya, bagaimana Friska bisa tahu bahwa hari ini aku dan Mas Rian menikah? Lalu perihal keluhan wanita itu, sepertinya aku menangkap jika ternyata Friska telah menikah lagi dan suaminya kemungkinan selingkuh. Benarkah?"Bagamana Friska bisa tahu jika hari ini kita menikah?" tanyaku menatap Mas Rian, seketika rasa cemburu menyergap. Apakah mereka masih berkomunikasi?"Papa nggak tahu, Ma.""Kalian masih berhubungan, ya 'kan?""Demi Tuhan, nggak Ma. Jika kami masih berhubungan kenapa dia
"Boleh lebih dekat?"Mas Rian memintaku untuk lebih rapat dengannya, usai pemasangan cincin dan menerima sebuah kecupan. Kini saatnya sesi foto-foto, meski tidak berdiri di atas pelaminan dan hanya duduk di atas sebuah karpet tebal berbulu lembut, acara ini tetap sesakral pernikahan pertama kami yang dilaksanakan begitu meriah.Mas Rian menyentuh kembali jemariku lalu sebuah foto tercetak dua kali."Selanjutnya foto bareng anak-anak."Seorang fotografer meminta kedua anakku bergabung. Setelah selesai mencetak foto berempat, lelaki itu kembali meminta seluruh keluarga untuk bergabung."Oke, satu dua tiga."Blast. "Sudah cukup, seadanya saja. Karena kami masih masa berkabung," ucap mama mertua meminta fotografer tidak lagi mengambil gambar. Lelaki itupun berbicara dengan Mas Rian lalu pamit pulang. Seminggu setelah jenazah Papa mertua dikebumikan adalah waktu yang baik yang sudah ditentukan oleh dua belah keluarga untuk melangsungkan pernikahan ini. Seharusnya ini menjadi suatu hal ya
Entah kenapa di detik ini kedua netraku tiba-tiba basah, terlebih saat melihatnya memeluk Talita seraya berucap terima kasih."Terima kasih Mama. Papa janji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua yang Mama berikan ini."Lagi-lagi dia meluapkan rasa bahagia pada Lita dengan mengecup pucuk kepalanya, membuat anakku keheranan."Papa kenapa sih tiba-tiba peluk dedek?""Papa sedang terharu, Nak.""Terharu karena bahagia?""Iya.""Karena Aa hebat, ya?""Salah satunya.""Dedek juga hebat?""Iya Papa tahu, kamu pasti sehebat Mamamu," ucap Mas Rian kini seraya membawa anakku dalam pelukan.Lita pun tersenyum sembari mengeratkan pelukan papanya. Melihat pemandangan itu, wajah tertunduk sejenak. Tak ada penyesalan saat niat ini sudah mantap menerimanya kembali. Setiap manusia memang sangat mungkin berbuat kesalahan, tapi Mas Rian membuktikan bahwa dia melakukan hal yang baik dengan meninggalkan kesalahannya dan beritikad untuk kembali padaku semenjak dahulu.Maaf Mas telah membuatmu terus be