“Apa syaratnya? Cepatlah!”“Saya akan mengganti rugi semua uang yang kamu berikan selama pernikahan kita, tapi dengan syarat, kamu kembalikan semua pelayanan yang sudah saya berikan kepadamu selama kita menikah, termasuk kembalikan keperawan*n saya, yang kamu ambil di malam pertama pernik*han kita,” tekanku di setiap kata yang kuucapkan. ===================================================Kulihat mata Mas Jazirah membulat sempurna mendengar syarat yang kuberikan kepadanya, hah, biar tau rasa kamu, Mas. Kamu fikir hidup ini gratis? Enak saja! “M-maksud kamu a-apa. Gi?” tanya Mas Jazirah tergagap, membuatku tersenyum geli dibuatnya.“Saya rasa mas paham dengan maksud yang saya inginkan, gimana?” sahutku enteng.“Aku enggak mengerti, Gi, gimana cara saya mengembalikan semua itu?”“Itu bukan urusan saya, Mas, oh, ya jangan lupa! Sekalian kamu bayar juga, jasa sewa rahim selama sembilan bulan dikalikan dua anak, beserta biaya melahirkan, saat itu saya bertaruh nyawa lho untuk melahirkan
“E-eeh, Mas! Bukan begitu maksudnya, tapi . . .” ucapannya terjeda, sepertinya dia malu untuk mengakui sesuatu.“Tapi apa, Ar? Enggak perlu dipaksakan, tenang aja!”“Enggak, Mas, anu, sebenernya saya mau banget, kalau di jodohin sama Rima, Mas, sudah lama saya suka sama dia,” hah kan, terbuka juga keranmu anak muda.===================================================POV GianiraAku melihat Mas Riza selalu tersenyum, sepanjang perjalanan kami pulang dari kebun mawar, membuatku dan yang lain heran dibuatnya. Rima sampai berkali-kali meledeknya, namun seolah hanya seperti angin lalu, Mas Riza sama sekali tidak menggubris ocehan Rima yang menurutku cukup memekakkan telinga kami.Aku duduk di kursi belakang bersama ibu dan juga anak-anak, menikmati obrolan ringan dan celotehan anak-anak yang sangat senang setelah hampir seharian melakukan pemotretan di kebun mawar tadi. Aku suka sekali mendengar anak-anak bercerita, mengulangi kisah indah kami tadi. Hatiku menghangat rasanya, kebahagiaan
“Langit sama Bumi tetap mau kok punya ayah om Riza, selama ini om Riza baik terus sama kami berdua, Tiara juga baik, jadi kitakan bakal main sama-sama terus kalau ibu sama om Riza menikah,” jawaban Langit sukses membuat Mas Riza bersorak gembira, ekspresinya yang lebih mirip seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan baru, membuatku ikut tertawa karenanya, melupakan kekesalanku akan dirinya mengenai insiden cctv. Semoga keputusanku untuk menikah dengannya nanti, adalah keputusan yang benar dan terbaik untuk masa depan kami semua.===================================================POV RizaBagai bunga yang bermekaran di taman, menebarkan aroma harum yang semerbak baunya, begitupula dengan hatiku, mendengar langsung jika Langit dan Bumi, tetap menginginkanku menjadi ayah mereka, walaupun tela dihasut oleh Rima adikku yang tidak berahlaq. Tidak sabar rasanya aku menunggu saat itu tiba, di mana Gianira akan resmi menjadi pendamping hidupku selamanya.Hari-hari kami selanjut s
“Baiklah, insya Allah nanti kami datang ke pernikahanmu dengan nak Riza, ya!” ucap Kyai Rahmad, mereka berdua mengantarku hingga ke depan pintu.Aku menoleh kearah belakang, bermaksud ingin salam pamit kepada kyai Rahmad dan Umi Aisyah, namun pandanganku justru bertumbuk pada pandangan sendu ustad Faiz.===================================================Setelah melihat hasil rekaman CCTV, akhirnya aku sudah memutuskan untuk memilih Vina, sebagai penanggung jawab di warung buburku nanti. Rencananya, aku akan menggunakan beberapa hari waktuku untuk memberikan sedikit pengarahan dan pembakalan untuk vina mengenai manajemen dan pengelolaan warung secara sederhana, karena jujur, aku tidak terlalu ingin membuat pusing Vina dengan melibatkannya lebih dalam.Namun, aku berusaha untuk terus membimbingnya, agar bisa menjalankan tanggung jawabnya dengan baik kedepannya. Selain mengangkat Vina sebagai penanggung jawab, aku juga merekrut dua orang pegawai baru, satu untuk pelayan dan satu lag
"Kamu buka pesan wa aku sekarang!” perintahnya, seraya menutup panggilan.Karena penasaran, aku segera membuka pesan whatsapp dari mas Riza, penasaran yang dengan apa yang dia kirimkan. Aku terkejut bukan kepalang, melihat tangkapan layar yang mas Riza kirimkan kepadaku. Dari jam nya menunjukan pukul enam sore, tandanya sudah hampir dua jam yang lalu dia mengirim pesan ini? Tapi siapa yang tega melakukan ini?===================================Aku masih menatap layar ponselku, melihat foto-foto yang mas Riza kirimkan kepadaku sore tadi, foto-foto yang membuat calon suamiku itu merajuk bagai anak remaja yang sedang dilanda cemburu buta. Setelah melihat foto ini pertama kali tadi, aku langsung menghubungi mas Riza melalui panggilan video call, yang langsung diangkatnya pada dering pertama.Nada bicaranya ketus terdengar sangat lucu di telingaku, ditambah ekspresi wajahnya yang dibuat terkesan enggan melihatku, padahal beberapa kali aku menangkap basah dirinya, mencuri pandang kepadak
“Ibuu!!” teriak Langit dan Bumi, berhambur turun dari gendonganku dan beralih memeluk tubuh ramping Gianira, cantik, dengan berbalut gamis bercorak hijau yang dulu ibuku berikan, Gianira tampil anggun dan mempesona. Membuatku terhipnotis untuk memeluk tubuhnya juga, namun sayang, tatapan matanya yang tajam membuatku menghentikan rentangan tanganku yang hampir mendarat ke pundaknya.===================================================POV GianiraSaat ini aku, Mas Riza dan anak-anak tengah berkendara menuju rumah Mas Riza di Jakarta, karena besok kami akan menghadiri pernikahan mas Dhanis dan mbak Tiara. Setelah sebelumnya tadi kami sempat mampir ke warungku untuk menitipkan warung kepada para karyawanku, memberitahukan kepergianku selama beberapa hari kedepan.Sepanjang perjalanan, anak - anakku terlihat begitu senang, mereka memilih bernyanyi-nyanyi bersama dengan calon ayah sambungnya, Mas Riza. Aku sangat terhibur melihat tingkah konyol Mas Riza, walaupun sambil menyetir, namun dir
Jujur saja, aku begitu menyukai Mas Riza dengan mood yang sekarang, terlihat lebih hidup dan ringan dalam menjalani hari – harinya. Senyuman selalu terukir di wajah tampannya, walau sesekali sifat ketusnya masih suka keluar, namun, versi Mas Riza saat ini, adalah versi terbaik dari dirinya dan aku sangat menyukai itu.“Andai besok itu pernikahan kita, Gi, pasti aku lebih bahagia lagi, deh! Hmm atau gimana kalau besok, kita numpang nikah aja di acaranya Dhanis sama Tiara, Gi? Pasti seru deh, jadi selesai Dhanis Tiara ijab qabul, terus kita ikutan ijab qabul juga, jdi pulang – pulang kita bisa sekamar, deh!” celetuknya, dengan ekspresi yang tidak bisa kujelaskan. Sabar Gia, jangan sampai kamu termakan hasutannya!=============================POV RizaLagi – lagi aku mendapat cubitan kepiting dari jari lentik Gianira, sungguh aku tidak pernah menyangka, jika Gianira yang begitu lemah lembut terhadap siapapun, bisa memiliki senjata andalan semenyakitkan ini buatku. Memang apa salahnya d
“Tapi apa?”“Tapi cintaaaaa banget!” ucapnya kalem, seraya tersenyum menghadap luasnya pantai yang gelap di malam hari. Jangan tanya bagaimana perasaanku kali ini saat mendengarnya, sungguh, rasanya aku benar – benar ingin mengangkat tubuh Gianira, untuk ku gendong dan ku bawa lari ke rumah penghulu terdekat sekarang juga.=============================“Bu kayaknya ada yang sudah enggak waras deh!” celetuk adikku Rima, di tengah – tengah perjalanan kami pulang menuju rumah.“Enggak waras apa sih, Rim?”“Itu lho, Bu, lihat aja dari tadi Mas Riza senyam senyum enggak jelas, Rima jadi ngeri duduk di sampingnya gini, ih menyeramkan banget!” “Jangan gitu mulutmu, Rim, nanti ditiru anak – anak, gimana?” tegur ibuku.“Tau nih, sirik aja kamu sama Mas, Rim,” sahutku menanggapi sindiran Rima.“Dih, sirik sama orang enggak waras, enggak banget, deh! Mbak Gia, saran Rima, mbak fikirin ulang deh buat nikah sama mas Riza, makin hari kelakuannya makin aneh, dulu dia sehat lho, enggak aneh kayak g
Mataku membulat sempurna kala melihat pesan yang lagi-lagi dikirimkan Niryala ke ponselku. Kali ini bukan hanya pesan singkat, tetapi juga sebuah foto yang memperlihatkan bagian atas dadanya dengan sebuah teks sebagai keterangannya.[Apakah ini mirip dengan miliknya Nirmala? Atau lebih besar?]============ Aku menahan nafas demi melihat foto yang Niryala kirimkan. Bagaimana bisa dia mengirimkan foto berisi aurat tubuhnya kepada orang lain yang bukan suaminya? Baru saja ingin mengapusnya, Niryala kembali mengirimiku pesan lagi. Kali ini berisi pesan suara yang membuat jiwa kelaki-lakianku bergejolak.‘Aku akan kirim bagian yang lainnya jika kamu mau,’ tuturnya dengan nada manja dan mendesah.Aku segera menutup ponselku, beranjak dari kasur dan membuka pintu kamar mandi. Beruntung pintunya tidak terkunci sehingga aku bisa langsung masuk tanpa mengetuknya. Kuhampiri Gianira yang sedang membasuh tubuhnya dengan sabun beraroma flower. Membuka seluruh pakaian yang kugunakan, segera kude
Hingga kami selesai makan siang mas Riza masih belum juga kembali. Ke mana sebenarnya dia pergi? Tidak biasanya dia mengacuhkan ku, apalagi kami sedang ada masalah seperti ini. Kubantu Rima membereskan meja makan, kemudian menemani anak-anak membaca buku cerita yang bawa dari rumah. Aku tersenyum senang karena melihat Bumi yang semakin lancar membacanya. Untuk anak seusianya, pintar membaca dan suka membaca adalah anugerah tersendiri.Sebentar lagi dia akan masuk sekolah TK itulah mengapa Bumi semakin hari semakin giat belajarnya. Kehadiran kedua kakaknya juga sangat membantu Bumi dalam belajar, sehingga anak itu tidak harus belajar bersamaku saja.Sesekali aku menoleh pada ponsel yang kuletakan di atas nakas, berharap ada telpon ataupun sekedar chat singkat dari mas Riza yang hingga kini keberadaannya tidak kuketahui. Namun, nihil, tidak ada satupun pesannya singgah di ponselku.Jantungku mendadak berdegup cepat kala mendengar suara pintu depan dibuka. Berharap sekali jika mas Riza
Yuk boleh banget yuk kalau mau cubitin ginjalnya Riza yuk! Mumpung sudah buka puasa ✌️🤪=======[Aku sungguh merasa lega sekarang, akhirnya bertemu denganmu dan bisa mengatakan wasiat Nirmala kepadamu.Kamu tenang saja, rindumu kepada Nirmala akan terlampiaskan. Kami ini kembar identik, hampir seluruh bentuk tubuh kami sangat mirip, jadi, mungkin kau akan ‘menemukan’ Nirmala saat mengekplore diriku setelah pernikahan kita nanti, bye]==============Aku mengucap istighfar sebagai upaya untuk menetralkan isi kepalaku. Isi chat Niryala sungguh di luar batas logika. Bagaimana dia bisa menuliskan isi chat semacam itu terhadap pria yang baru saja ditemuinya?Namun, aku tidak dapat berbohong, jjka jiwa kelaki-lakianku bergejolak tatkala membacanya. Aku membayangkan kembali saat-saat aku memadu kasih bersama Nirmala, dirinya yang romantis dan seringkali meminta lebih dulu membuatku merasa dilayani dengan baik dan sempurna.Berbeda sekali dengan Gianira yang harus kupancing terlebih dahulu ba
Tahan emosii yaa...! Bulan puasa! 😆======“Gia baik-baik aja kok, Bu. Gia hanya butuh waktu untuk sendiri, Gia titip anak-anak sebentar ya, Bu!” ucapku pelan, kemudian masuk kembali ke dalam kamar dan menguncinya.Kufikir Mas Riza akan menyusulku, tapi hingga tiga puluh menit lebih dirinya tidak kunjung tiba di rumah. Kemana dia? Apa masih bersama wanita tadi? Siapa sebenarnya wanita itu? Mengapa ibu juga seperti tidak mengenalnya?================== Kuputuskan untuk pergi meninggalkan Niryala, berlama-lama dengannya hanya akan menambah pusing kepalaku. Selain itu aku perlu menjelaskan permasalahan ini kepada ibu dan Gianira. Mereka berhak tau mengenai amanah yang Nirmala katakan kepada Niryala, kembarannya.Memasuki Villa, aku dibuat heran dengan kondisi ruang tamu yang sepi, ke mana mereka semua? Apa sedang berkumpul di kamar? Segera aku mengecek ke kamar anak-anak, benar, mereka sedang berkumpul di sana, tetapi tidak kutemukan Gianira diantara mereka.Ibu dan Rima menatapku deng
Yok yok yang emosi yok lanjutin emosinya.. Ini sudah mendekati akhir Yaa cinta-cintanya akuuu ✌️🤪================ “Mas, sekarang aku sudah tidak memiliki kekasih ataupun suami, aku ingin melaksanakan pesannya Nirmala untuk menikahi suaminya. Apa kamu bersedia menikah denganku, Mas?” Membulat sempurna mataku tatkala mendengar Niryala mengatakan hal tergila yang pernah kudengar seumur hidupku. Apa dia sedang menawarkan diri untuk menjadi istriku? Tapi, aku sudah memiliki istri yang baru, Gianira. Bagaimana dengannya jika aku menikah dengan Niryala?============ Aku terdiam, masih mencerna semua pernyataan Niryala. Tidak menyangka setela tujuh tahun kepergiannya Nirmala kembali dengan pesan yang membuat dadaku sesak. Mengapa dia tidak pernah mengatakan jika memiliki seorang saudara kembar? Mengapa dia menyembunyikan rasa sakit di tubuhnya? Lalu mengapa dirinya bisa berpesan seperti itu kepada Niryala?Sepuluh menit sudah kami berdua saling terdiam, tidak ada sedikitpun perkataan yan
“Permisi, ini Mas Riza, kan?” tawaku dan Rima terhenti saat seorang wanita datang menemui kami.Bagai melihat hantu di siang bolong, aku begitu terperangah demi melihat siapa wanita yang berdiri di hadapanku dan Rima saat ini. Ini tidak mungkin, tidak mungkin terjadi.“N-nir … ma-la?” ucapku pelan karena terkejutnya.=============== Berulang kali kucoba menggosok mataku, barangkali ada kotoran mata yang menghalangi pandanganku sehingga melantur. Tapi mengapa hasilnya tetap sama? Wanita yang sejak tadi kufikirkan kini berdiri menjulang di hadapanku. Nirmala, dia benar Nirmala, istriku. Astaga, bagaimana bisa?“Nirmala? K-kamu, Nirmala?” tanyaku terbata, beranjak dari posisiku agar bisa berdiri sejajar dengannya. Ya Tuhan, benar, wajah itu, wajah yang teramat kurindukan, wajah yang bertahun-tahun membuat tidurku tidak tenang, wajah yang membuat hari-hariku murung karena kehilangan senyumnya. Ini benar-benar Nirmalaku, astaga aku tidak sedang melindur dan bermimpi, dia Nirmala.Tanp
“Bagun, yuk! Sholat subuh dulu!” ucapku lagi masih mengusap-usap kepala mereka satu persatu.“Ibu, tadi malam ibu menangis, ya? Langit dengar suara tangisan ibu di kamar mandi, pas ibu sholat juga ibu menangis, ibu kenapa?” Degh, bagaimana bisa Langit mendengar suara tangisku? Padahal saat di kamar mandi aku sudah menyalakan keran air untuk menyamarkan suaraku.============= Aku masih diam tidak tau harus memberika jawaban apa untuk pertanyaan anakku Langit. Kufikir tidak ada yang mendengarku menangis tadi, karena sebisa mungkin kutahan tangisku agar tidak mengeluarkan suara yang jelas. Namun, ternyata Langitku mendengarnya, dia tau kalau aku menangis, tapi, mengapa dia tidak mendatangiku? “Ibu, ibu kok diam?” tanyanya lagi, mungkin masih penasaran karena aku tidak menjawab pertanyaanku.“Ibu tidak apa-apa, Sayang. Ibu tadi menangis bahagia karena kalian datang ke sini nyusulin ibu sama ayah,” sahutku sama seperti jawaban yang kuberikan pada ibu tadi. Lagipula ini tidak sepenuhnya d
Mendengar penjelasan Harsa rasanya sangat kecil kemungkinan Jazirah untuk dapat menerobos masuk ke dalam rumahku dan membuat keonaran. Semoga saja segala antisipasi yang sudah Harsa lakukan bisa mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Pantas saja sejak tadi aku tidak dapat memejamkan mata, rupa ada kabar yang tidak mengenakan yang kudengar dari Harsa malam ini.=============== Setelah berdiskusi seputar rencana selanjutnya, aku memutuskan untuk melanjutkan tujuan awalku ke dapur untuk mengambil air minum. Rasa haus bercampur rasa khawatir akan hal yang akan dilakukan Jazirah terhadap keluargaku seketika hilang saat kuteguk segelas air putih dingin yang kuambil dari kulkas.Setidaknya aku masih bisa cukup tenang karena penjagaan dari Harsa dan teman-temannya. Walaupun aku belum mengetahui apa motif yang membuat Jazirah kembali mengganggu hidup kami. Kufikir ucapan telak yang Gianira arahkan untuknya saat itu mampu membuatnya malu untuk mengganggu hidup kami, tapi nyatanya sifat Jazi
“Apa, lho Dhan, kamu datang-datang sudah membuat harapan palsu untuk anak-anak, kalau benar produksi langsung berhasil, kalau bibitnya gagal dulu gimana? Bisa kecewa cucu-cucu ibu, Dhan, Dhan,” ucap Ibu yang sontak membuatku dan Mas Riza membulatkan mata bersamaan.“Ha … ha … ha, kena kau, Za, Za! Sana ngebibit yang benar makanya biar enggak gagal!” tawa Mas Dhanis menguar, membuat yang lain pun ikut tertawa.=========== Pembahasan yang sudah tidak sehat ini membuatku menarik paksa Dhanis untuk keluar dari Villa menuju kolam renang, tidak bisa kubayangkan jika pembahasan ini terus menerus dilakukan di depan ketiga anak-anakku, bisa rusak otak mereka semua, sebagai ayah tentu aku tidak menginginkan hal tersebut.Aku ingin anakku tumbuh menjadi anak baik, sopan dan bertutur kata yang baik, cerdas bisa di asah, tapi masalah adab dan sopan santun itu harus ditanamkan sejak dini, jangan sampai rusak fitrah mereka karena teracuni obrolan kotor orang dewasa di sekitarnya.Aku memang belum