“E-eeh, Mas! Bukan begitu maksudnya, tapi . . .” ucapannya terjeda, sepertinya dia malu untuk mengakui sesuatu.“Tapi apa, Ar? Enggak perlu dipaksakan, tenang aja!”“Enggak, Mas, anu, sebenernya saya mau banget, kalau di jodohin sama Rima, Mas, sudah lama saya suka sama dia,” hah kan, terbuka juga keranmu anak muda.===================================================POV GianiraAku melihat Mas Riza selalu tersenyum, sepanjang perjalanan kami pulang dari kebun mawar, membuatku dan yang lain heran dibuatnya. Rima sampai berkali-kali meledeknya, namun seolah hanya seperti angin lalu, Mas Riza sama sekali tidak menggubris ocehan Rima yang menurutku cukup memekakkan telinga kami.Aku duduk di kursi belakang bersama ibu dan juga anak-anak, menikmati obrolan ringan dan celotehan anak-anak yang sangat senang setelah hampir seharian melakukan pemotretan di kebun mawar tadi. Aku suka sekali mendengar anak-anak bercerita, mengulangi kisah indah kami tadi. Hatiku menghangat rasanya, kebahagiaan
“Langit sama Bumi tetap mau kok punya ayah om Riza, selama ini om Riza baik terus sama kami berdua, Tiara juga baik, jadi kitakan bakal main sama-sama terus kalau ibu sama om Riza menikah,” jawaban Langit sukses membuat Mas Riza bersorak gembira, ekspresinya yang lebih mirip seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan mainan baru, membuatku ikut tertawa karenanya, melupakan kekesalanku akan dirinya mengenai insiden cctv. Semoga keputusanku untuk menikah dengannya nanti, adalah keputusan yang benar dan terbaik untuk masa depan kami semua.===================================================POV RizaBagai bunga yang bermekaran di taman, menebarkan aroma harum yang semerbak baunya, begitupula dengan hatiku, mendengar langsung jika Langit dan Bumi, tetap menginginkanku menjadi ayah mereka, walaupun tela dihasut oleh Rima adikku yang tidak berahlaq. Tidak sabar rasanya aku menunggu saat itu tiba, di mana Gianira akan resmi menjadi pendamping hidupku selamanya.Hari-hari kami selanjut s
“Baiklah, insya Allah nanti kami datang ke pernikahanmu dengan nak Riza, ya!” ucap Kyai Rahmad, mereka berdua mengantarku hingga ke depan pintu.Aku menoleh kearah belakang, bermaksud ingin salam pamit kepada kyai Rahmad dan Umi Aisyah, namun pandanganku justru bertumbuk pada pandangan sendu ustad Faiz.===================================================Setelah melihat hasil rekaman CCTV, akhirnya aku sudah memutuskan untuk memilih Vina, sebagai penanggung jawab di warung buburku nanti. Rencananya, aku akan menggunakan beberapa hari waktuku untuk memberikan sedikit pengarahan dan pembakalan untuk vina mengenai manajemen dan pengelolaan warung secara sederhana, karena jujur, aku tidak terlalu ingin membuat pusing Vina dengan melibatkannya lebih dalam.Namun, aku berusaha untuk terus membimbingnya, agar bisa menjalankan tanggung jawabnya dengan baik kedepannya. Selain mengangkat Vina sebagai penanggung jawab, aku juga merekrut dua orang pegawai baru, satu untuk pelayan dan satu lag
"Kamu buka pesan wa aku sekarang!” perintahnya, seraya menutup panggilan.Karena penasaran, aku segera membuka pesan whatsapp dari mas Riza, penasaran yang dengan apa yang dia kirimkan. Aku terkejut bukan kepalang, melihat tangkapan layar yang mas Riza kirimkan kepadaku. Dari jam nya menunjukan pukul enam sore, tandanya sudah hampir dua jam yang lalu dia mengirim pesan ini? Tapi siapa yang tega melakukan ini?===================================Aku masih menatap layar ponselku, melihat foto-foto yang mas Riza kirimkan kepadaku sore tadi, foto-foto yang membuat calon suamiku itu merajuk bagai anak remaja yang sedang dilanda cemburu buta. Setelah melihat foto ini pertama kali tadi, aku langsung menghubungi mas Riza melalui panggilan video call, yang langsung diangkatnya pada dering pertama.Nada bicaranya ketus terdengar sangat lucu di telingaku, ditambah ekspresi wajahnya yang dibuat terkesan enggan melihatku, padahal beberapa kali aku menangkap basah dirinya, mencuri pandang kepadak
“Ibuu!!” teriak Langit dan Bumi, berhambur turun dari gendonganku dan beralih memeluk tubuh ramping Gianira, cantik, dengan berbalut gamis bercorak hijau yang dulu ibuku berikan, Gianira tampil anggun dan mempesona. Membuatku terhipnotis untuk memeluk tubuhnya juga, namun sayang, tatapan matanya yang tajam membuatku menghentikan rentangan tanganku yang hampir mendarat ke pundaknya.===================================================POV GianiraSaat ini aku, Mas Riza dan anak-anak tengah berkendara menuju rumah Mas Riza di Jakarta, karena besok kami akan menghadiri pernikahan mas Dhanis dan mbak Tiara. Setelah sebelumnya tadi kami sempat mampir ke warungku untuk menitipkan warung kepada para karyawanku, memberitahukan kepergianku selama beberapa hari kedepan.Sepanjang perjalanan, anak - anakku terlihat begitu senang, mereka memilih bernyanyi-nyanyi bersama dengan calon ayah sambungnya, Mas Riza. Aku sangat terhibur melihat tingkah konyol Mas Riza, walaupun sambil menyetir, namun dir
Jujur saja, aku begitu menyukai Mas Riza dengan mood yang sekarang, terlihat lebih hidup dan ringan dalam menjalani hari – harinya. Senyuman selalu terukir di wajah tampannya, walau sesekali sifat ketusnya masih suka keluar, namun, versi Mas Riza saat ini, adalah versi terbaik dari dirinya dan aku sangat menyukai itu.“Andai besok itu pernikahan kita, Gi, pasti aku lebih bahagia lagi, deh! Hmm atau gimana kalau besok, kita numpang nikah aja di acaranya Dhanis sama Tiara, Gi? Pasti seru deh, jadi selesai Dhanis Tiara ijab qabul, terus kita ikutan ijab qabul juga, jdi pulang – pulang kita bisa sekamar, deh!” celetuknya, dengan ekspresi yang tidak bisa kujelaskan. Sabar Gia, jangan sampai kamu termakan hasutannya!=============================POV RizaLagi – lagi aku mendapat cubitan kepiting dari jari lentik Gianira, sungguh aku tidak pernah menyangka, jika Gianira yang begitu lemah lembut terhadap siapapun, bisa memiliki senjata andalan semenyakitkan ini buatku. Memang apa salahnya d
“Tapi apa?”“Tapi cintaaaaa banget!” ucapnya kalem, seraya tersenyum menghadap luasnya pantai yang gelap di malam hari. Jangan tanya bagaimana perasaanku kali ini saat mendengarnya, sungguh, rasanya aku benar – benar ingin mengangkat tubuh Gianira, untuk ku gendong dan ku bawa lari ke rumah penghulu terdekat sekarang juga.=============================“Bu kayaknya ada yang sudah enggak waras deh!” celetuk adikku Rima, di tengah – tengah perjalanan kami pulang menuju rumah.“Enggak waras apa sih, Rim?”“Itu lho, Bu, lihat aja dari tadi Mas Riza senyam senyum enggak jelas, Rima jadi ngeri duduk di sampingnya gini, ih menyeramkan banget!” “Jangan gitu mulutmu, Rim, nanti ditiru anak – anak, gimana?” tegur ibuku.“Tau nih, sirik aja kamu sama Mas, Rim,” sahutku menanggapi sindiran Rima.“Dih, sirik sama orang enggak waras, enggak banget, deh! Mbak Gia, saran Rima, mbak fikirin ulang deh buat nikah sama mas Riza, makin hari kelakuannya makin aneh, dulu dia sehat lho, enggak aneh kayak g
Foto yang menampakan wajahku yang tengah tertawa lepas, dengan latar pantai santolo, aku tidak menyadari jika saat itu mas Riza memotretku, saat kami sekeluarga berlibur ke pantai untuk pertama kalinya.Ada sebuah tulisan tangan di bawah fotonya, yang membuat hatiku tersipu, “Calon bidadariku dan malaikat bagi anak – anakku.”=============================POV RizaAku cukup lega karena akhirnya benar – benar tiba, hari yang sangat kunantikan dalam hidupku, yaitu hari di mana pernikahanku dan Gianira akan berlangsung. Setelah keributan besar kami dua hari lalu, yang hampir saja menggagalkan rencana pernikahan yang sudah kami nanti – nantikan.Ku fikir setelah peringatanku tempo hari, mengenai jangan pernah mengusik hidup Gianira dan anak – anaknya lagi, Faiz akan sadar diri dan malu, namun rasanya semua ucapanku hanya dianggap angin lalu. Karena dua hari lalu, tepat saat kedatanganku ke rumah ibu, aku mendapati Gianira tengah berduaan dengan Faiz.Emosi yang tersulut karena cemburu, me