Berbeda dengan Mas Riza, Mas Dhanis justru menyetujui agar aku mengikuti permintaan mas Jazirah untuk bertemu, apalagi, lokasi pertemuan adalah area public, yang rasanya tidak mungkin mas Jazirah akan melakukan hal yang tidak-tidak.“Mas, saya mohon, antarkan saya ke sana!” aku masi berusaha meyakinkan Mas Jazirah agar mau mengantarku ke sana.“Gimana kalau ini tipuan aja, Gi?”“Saya yakin bukan, Mas, tolong,”“Baiklah, kita kesana bersama-sama, Harsa, kamu jaga rumah!” putusnya, membuatku tersenyum penuh syukur. Langit, ibu akan jemput kamu, Nak.=====================================================Menggunakan mobil milik Mas Riza, aku, Mas Riza dan Mas Dhanis bersama-sama menuju lokasi di mana mas Jazirah dan anakku, Langit menunggu. Sudah hampir dua jam kami berkendara, namun belum juga sampai, menurut keterangan Mas Dhanis, kami masih harus melewati jalan raya yang hanya muat dua buah mobil ini, sejauh satu kilo meter lagi. Aku tidak menyangka mas Jazirah bisa membawa Langit se
"Kamu sudah dengar, kan? Sudah, kami harus pulang malam ini, karena besok pagi Gianira harus datang ke persidangan kalian, saya harap kamu tidak mempersulitnya, ayo, Gi!!” putusku, kemudian mengajak Gianira segera bangkit dari kursinya.Dari ekor mataku, aku dapat melihat jika Jazirah masih terbengong dengan apa yang ku katakan barusan, liat aja, Bro, lu akan lebih terkejut saat nanti nerima undangan pernikahan gue sama mantan istri lu ini!!=====================================================Setelah Jazirah menyelesaikan administrasi perawatan Langit, aku, Gianira dan Dhanis segera membawanya pulang ke rumah ibuku, di sana semua sudah menunggu kehadiran kami. Perjalanan akan kami tempuh kurang lebih selama dua jam, mungkin paling lama kami akan tiba pukul sebelas malam.Aku lega akhirnya Jazirah mau menyerah untuk membujuk Gianira kembali rujuk dengannya, tidak bisa kubayangkan jika akhirnya Gianira menerima ajakan Jazirah agar mereka bersama-sama lagi, bisa layu sebelum berkembang
Manusia terbaik adalah dia yang selalu bersyukur, atas segala nikmat dan rejeki yang diberikan Allah kepadanya, meskipun hanya sedikit, juga manusia yang sabar, dalam mengadapi segala permasalahan hidup.Andai kedua hal tersebut ada pada diri seorang Jazirah, bersyukur memiliki istri dan anak yang seperti Gianira dan anak-anaknya, serta sabar dalam mengais rejeki yang belum banyak di dapatnya, tentu, saat ini mereka masih menjadi keluarga yang utuh.=================================POV GianiraAku sudah bersiap untuk berangkat ke persidangan, berharap mas Jazirah mau berbesar hati menerima keputusanku untuk berpisah darinya. Sejak kemarin di rumah sakit, hingga pagi tadi, dia masih saja membujukku, untuk memikirkan kembali keputusanku mengenai perceraian. Dirinya menginginkan agar aku mau kembali kepadanya.Mungkin jika dirinya tidak melakukan hal tercela tersebut, aku masih bisa memikirkannya kembali untuk bersama, namun, yang dia lakukan sungguh fatal, aku sangat tidak menyukai
“Saya sudah lama memaafkan kyai Rahmad, jauh sebelum kyai dan keluarga ke sini,” lanjutnya lagi, membuat semua yang mendengar mengucapkan hamdallah bersamaan.“Terima kasih, Nak, benar kata Faiz, hatimu baik sekali, maaf saya sempat meragukannya kala itu,”“Iya, Kyai, tidak apa-apa,”“Gi, maaf jika saya lancang bertanya, apa benar kamu sudah resmi bercerai dari suamimu, Jazirah?” pertanyaan dari Faiz sontak membuat Riza, Gianira maupun Rosmalia terkejut.=====================================================Gianira mengangkat wajahnya, menatap tepat ke netra Faiz, membuat pria tersebut salah tingkah, tidak menyangka akan mendapat tatapan dari Gianira. Hatinya berbunga, ketika secara tidak langsung abah dan uminya memberikan restu untuknya, jika ingin menikahi wanita yang sudah lama diinginkannya. “A-abah dan umi saya sudah setuju jika saya melamar kamu saat masa iddah selesai nanti, Gi, i-itupun jika kamu berkenan menerimanya,” sambung Faiz lagi, karena Gianira tidak kunjung menjawa
Di sinilah aku sekarang, setelah satu tahun resmi bercerai dari mas Jazirah, aku masih konsisten dengan keputusanku untuk tidak menikah lagi. Aku memutuskan untuk fokus pada anak—anak dan juga usahaku. Walau sudah memiliki warung sendiri, bu Rosmalia melarangku untuk pindah dari rumahnya, menurut beliau, hitung-hitung ada yang menjaga rumahnya agar tetap bersih dan terawat.Ya, setelah kelulusan Rima enam bulan lalu, bu Rosmalia dan Tiara memutuskan untuk ikut Rima dan mas Riza pindah ke Jakarta, karena mas Riza membuka kantor Firma mandirinya di sana. Sedangkan aku, memilih untuk tetap tinggal di sini, di rumah yang sudah banyak memberikanku kenangan sebagai tempat berteduh.Jangan tanya bagaimana hubunganku dengan dua bersahabat itu, karena setelah masa iddaku selesai, mas Riza mengajakku makan malam di luar, tentu aku menolaknya, karena aku tidak ingin menjadi fitnah dan digunjingkan oleh warga, karena pergi hanya berdua dengan pria yang bukan mahramku di malam hari pula.Namun, en
Aku sangat menikmati di mana moment Mas Dhanis salah tingkah seperti ini, karena biasanya dia yang selalu membuatku mati kutu di hadapannya. Pernah suatu kali dia membawa papa dan mamanya makan bubur di sini, kemudian dengan gayanya yang pecicilan, dia memujiku secara berlebihan di hadapan kedua orangtuanya, membuatku tidak bisa berkutik dan menahan malu.“Kenapa kamu ngeliatin saya sambil senyum-senyum? Ganteng, ya?” nah kan, baru ku bilang, sudah mulai pecicilan dia.===================================================“GR mu kapan sembuhnya, Mas? Masih aja, sudah mau nikah besok pun masih ganjen aja! Saya laporin ke mbak Tiara tau rasa biarin!” kataku mengancam, ya, Mas Dhanis akhirnya bisa menerima keputusanku untuk tidak bisa menerima lamarannya, karena bagaimanapun, ada hati Rima yang mesti kujaga, lagipula, aku merasa lebih nyaman jika hanya berteman dengan Mas Dhanis, level kami terlalu jauh, walaupun keluarga Mas Dhanis seakan tidak keberatan, aku hanya tidak ingin terlalu lu
Sebelum ini, mereka juga sempat menaruh belatung ke dandang bubur jualanku, sehingga banyak pembeli yang complain dan enggak balik lagi untuk membeli. Kufikir setelah aku memaafkan dengan bersyarat tidak diulangi lagi saat itu, mereka sudah kapok, ternyata kini mereka berani berulah lagi.Kali ini aku tidak akan diam lagi, ibu mana yang mau dipisahkan dari anak kandungnya, padahal secara resmi pengadilan sudah memberikan hak asuh anak-anak kepadaku. Aku harus membahas hal serius ini kepada mas Jazirah, agar dia bisa mengurus keluarganya agar tidak selalu menggangguku dan anak-anak.===================================================Mas Jazirah mengangkat telponku, kali ini aku mendengar ada yang berbeda dari nada bicaranya yang pertama, seperti orang yang kelelahan, entahlah, atau hanya perasaanku saja, yang jelas aku sudah menginterogasinya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar yang Langit adukan kepadaku. Aku sungguh tidak keberatan jika pada akhirnya mas Jazi menikah lagi, namun ya
“Ini bude uangnya,” kataku seraya menyerahkan uang kertas berwarna merah satu lembar.”“Eh, Gi, kata mantan mertuamu, emang kamu ngerebut semua harta yang Jazirah punya ya? Makanya kamu bisa bikin warung bubur besar begitu?” tanya Bude Rum, seraya memberikan uang kembalian kepadaku. Berita apa lagi ini?===================================================“Bu Sunarni bilang begitu, Bude?” tanyaku memastikan.“Iya, dia sendiri yang bilang begitu di depan para ibu-ibu pas lagi pada belanja di sini,” Astaghfirullah, ibunya mas Jazirah benar-benar keterlaluan, sepertinya mereka tidak ada kapoknya dalam mengusik hidupku. Seenaknya menyebar fitnah.“Gini ya, Bude. Bude sendiri kan tau, waktu saya masih jadi istri mas Jazirah, hidup kami itu pas-pasan. Saya sampai sering ngutang bahan makanan di warung Bude itu karena apa? Karena uang yang mantan suami saya berikan tidak cukup jika harus melebihi batas kepulanganya, jadi sehari saja dia telat pulang, maka bisa dipastikan saya dan anak-anak ak