“Saya sudah lama memaafkan kyai Rahmad, jauh sebelum kyai dan keluarga ke sini,” lanjutnya lagi, membuat semua yang mendengar mengucapkan hamdallah bersamaan.“Terima kasih, Nak, benar kata Faiz, hatimu baik sekali, maaf saya sempat meragukannya kala itu,”“Iya, Kyai, tidak apa-apa,”“Gi, maaf jika saya lancang bertanya, apa benar kamu sudah resmi bercerai dari suamimu, Jazirah?” pertanyaan dari Faiz sontak membuat Riza, Gianira maupun Rosmalia terkejut.=====================================================Gianira mengangkat wajahnya, menatap tepat ke netra Faiz, membuat pria tersebut salah tingkah, tidak menyangka akan mendapat tatapan dari Gianira. Hatinya berbunga, ketika secara tidak langsung abah dan uminya memberikan restu untuknya, jika ingin menikahi wanita yang sudah lama diinginkannya. “A-abah dan umi saya sudah setuju jika saya melamar kamu saat masa iddah selesai nanti, Gi, i-itupun jika kamu berkenan menerimanya,” sambung Faiz lagi, karena Gianira tidak kunjung menjawa
Di sinilah aku sekarang, setelah satu tahun resmi bercerai dari mas Jazirah, aku masih konsisten dengan keputusanku untuk tidak menikah lagi. Aku memutuskan untuk fokus pada anak—anak dan juga usahaku. Walau sudah memiliki warung sendiri, bu Rosmalia melarangku untuk pindah dari rumahnya, menurut beliau, hitung-hitung ada yang menjaga rumahnya agar tetap bersih dan terawat.Ya, setelah kelulusan Rima enam bulan lalu, bu Rosmalia dan Tiara memutuskan untuk ikut Rima dan mas Riza pindah ke Jakarta, karena mas Riza membuka kantor Firma mandirinya di sana. Sedangkan aku, memilih untuk tetap tinggal di sini, di rumah yang sudah banyak memberikanku kenangan sebagai tempat berteduh.Jangan tanya bagaimana hubunganku dengan dua bersahabat itu, karena setelah masa iddaku selesai, mas Riza mengajakku makan malam di luar, tentu aku menolaknya, karena aku tidak ingin menjadi fitnah dan digunjingkan oleh warga, karena pergi hanya berdua dengan pria yang bukan mahramku di malam hari pula.Namun, en
Aku sangat menikmati di mana moment Mas Dhanis salah tingkah seperti ini, karena biasanya dia yang selalu membuatku mati kutu di hadapannya. Pernah suatu kali dia membawa papa dan mamanya makan bubur di sini, kemudian dengan gayanya yang pecicilan, dia memujiku secara berlebihan di hadapan kedua orangtuanya, membuatku tidak bisa berkutik dan menahan malu.“Kenapa kamu ngeliatin saya sambil senyum-senyum? Ganteng, ya?” nah kan, baru ku bilang, sudah mulai pecicilan dia.===================================================“GR mu kapan sembuhnya, Mas? Masih aja, sudah mau nikah besok pun masih ganjen aja! Saya laporin ke mbak Tiara tau rasa biarin!” kataku mengancam, ya, Mas Dhanis akhirnya bisa menerima keputusanku untuk tidak bisa menerima lamarannya, karena bagaimanapun, ada hati Rima yang mesti kujaga, lagipula, aku merasa lebih nyaman jika hanya berteman dengan Mas Dhanis, level kami terlalu jauh, walaupun keluarga Mas Dhanis seakan tidak keberatan, aku hanya tidak ingin terlalu lu
Sebelum ini, mereka juga sempat menaruh belatung ke dandang bubur jualanku, sehingga banyak pembeli yang complain dan enggak balik lagi untuk membeli. Kufikir setelah aku memaafkan dengan bersyarat tidak diulangi lagi saat itu, mereka sudah kapok, ternyata kini mereka berani berulah lagi.Kali ini aku tidak akan diam lagi, ibu mana yang mau dipisahkan dari anak kandungnya, padahal secara resmi pengadilan sudah memberikan hak asuh anak-anak kepadaku. Aku harus membahas hal serius ini kepada mas Jazirah, agar dia bisa mengurus keluarganya agar tidak selalu menggangguku dan anak-anak.===================================================Mas Jazirah mengangkat telponku, kali ini aku mendengar ada yang berbeda dari nada bicaranya yang pertama, seperti orang yang kelelahan, entahlah, atau hanya perasaanku saja, yang jelas aku sudah menginterogasinya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar yang Langit adukan kepadaku. Aku sungguh tidak keberatan jika pada akhirnya mas Jazi menikah lagi, namun ya
“Ini bude uangnya,” kataku seraya menyerahkan uang kertas berwarna merah satu lembar.”“Eh, Gi, kata mantan mertuamu, emang kamu ngerebut semua harta yang Jazirah punya ya? Makanya kamu bisa bikin warung bubur besar begitu?” tanya Bude Rum, seraya memberikan uang kembalian kepadaku. Berita apa lagi ini?===================================================“Bu Sunarni bilang begitu, Bude?” tanyaku memastikan.“Iya, dia sendiri yang bilang begitu di depan para ibu-ibu pas lagi pada belanja di sini,” Astaghfirullah, ibunya mas Jazirah benar-benar keterlaluan, sepertinya mereka tidak ada kapoknya dalam mengusik hidupku. Seenaknya menyebar fitnah.“Gini ya, Bude. Bude sendiri kan tau, waktu saya masih jadi istri mas Jazirah, hidup kami itu pas-pasan. Saya sampai sering ngutang bahan makanan di warung Bude itu karena apa? Karena uang yang mantan suami saya berikan tidak cukup jika harus melebihi batas kepulanganya, jadi sehari saja dia telat pulang, maka bisa dipastikan saya dan anak-anak ak
“Kesempatan apa?” “Kesempatan untuk mencoba membuka hati saya, untuk menerima mas Riza terlibat dalam setiap keputusan yang saya ambil, kesempatan untuk menjadikan mas Riza sebagai tempat saya berdiskusi mengenai kehidupan saya ke depannya,” ucapku tidak yakin, jujur saja, aku tidak paham mengapa lidahku yang biasanya kelu bila berbicara dengannya, kini menjadi selancar ini.===================================================POV RizaTubuhku menegang kala mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Gianira, sungguh, aku masih tidak percaya dengan yang kudengar barusan. Dia mengatakan ingin diberikan kesempatan untuk membagikan kisahnya kepadaku. Ini luarbiasa, Gianira si wanita sholehah yang pemalu itu akhirnya mengatakannya.Aku menoleh kepadanya, melihatnya masih menunduk melihat lantai, ah, terlalu banyak harap kau, Za! Kau fikir dia akan memandangmu penuh cinta dan harap? Mimpi! “Bisa kamu ulangi sekali lagi, saya tidak jelas mendengarnya,” kataku akhirnya, mencoba untuk
“Insya Allah saya menerima niat mas Riza untuk menjadi suami saya dan juga ayah sambung untuk Langit dan Bumi,” ucapnya mantap, masih dengan menatap wajahku. Ada yang berbunga di dalam taman hati ini, mendengarnya mengatakan bersedia menjadi istriku itu, bagaikan runtuhnya gunung es yang bertahub-tahun bersemayam di dalam diriku. Aku sangat bahagia, karena akhirnya dia menerimanya, menerima diruku untuk masuk ke dalam hidupnya. Menerimaku untuk menemaninya mengabiskan hari-hari bersama dengan anak-anak kami. Tidak akan pernah ku sia-siakan kesempatan emas yang ku dapatkan ini. Akan ku balas semua dengan pengabdian yang sempurna untuk nya dan untuk keluarga kami. Selamanya.===================================================POV GianiraYa, akhirnya aku memutuskan untuk menerima Mas Riza menjadi suamiku, rasanya sudah cukup aku mencoba menahan diri, untuk berpura-pura tidak peduli dengan perasaanku dan perasaannya.Selama ini aku hanya ingin menjaga jarak dengannya, agar aku dapat mey
“Enak apanya?”Tiba-tiba Mas Riza mendekat kepadaku, menjulurkan kepalanya mendekati wajahku, aku sudah khawatir dia akan melakukan hal yang dilarang agama, namun yang dia lakukan justru membuatku terbelalak karena ucapan yang dia bisikan ke telingaku.“Enak pas bikinnya,” bisiknya pelan, kemudian pergi meninggalkanku sambil tertawa keras. Dasar otak mesum!!===================================================POV RizaHatiku sangat berbunga-bunga, membayangkan sebentar lagi aku akan melepas status dudaku dan menikah dengan Gianira. Seorang janda sholehah yang usianya lebih muda dariku, ya, usia kami terpaut lima tahun, sepertinya dia menikah muda saat bersama Jazirah dulu, pantas, mudah sekali dia menuruti keinginan Jazirah untuk menikah padahal tidak mendapatkan restu kedua orangtua Jazirah.Apa mungkin dulu Gianira terlalu cinta dengan Jazirah, sehingga rela menikah di usia belia? Aku tidak mau ambil pusing, yang jelas sebentar lagi Gianira akan menjadi milikku, tanggung jawabku un