Dadanya berdegup dengan kencang, nafasnyapun memburu cepat, saat melihat Gianira dan sahabatnya berbincang dengan saling melempar senyum. Riza memandang penuh marah, entah kepada siapa, karena dirinya pun sadar jika Gianira bukanlah miliknya, tidak seharusnya dia merasakan hal seperti itu, namun hatinya tidak bisa berbohong, dia tidak menyukai pemandangan saat Gia dan Dhanis berbincang santai.Riza merasa cemburu, karena selama ngobrol dengannya, Gia tidak pernah sekalipun menampakan ekspresi santai seperti saat dia berbicara dengan sahabatnya.=====================================================Gianira tampak kewalahan menghadapi banyaknya pembeli, sungguh, dirinya tidak menyangka jika usaha bubur yang baru digelutinya selama dua hari ini menarik antusiasme warga desa dengan cukup tinggi. Suara denting karena terpantulnya sendok dengan mangkuk dari pembeli yang memakan bubur ditempatnya, membuat senyum Gianira tidak berhenti berkembang, walaupun lelah, namun kalimat syukur senan
“Nanti sore bikinin saya kopi susu, ya! Saya mau minum kopi susu sambil nikmatin ombak,”“Kok kopi susu, bukannya enakan minum air kelapa muda kalau di pantai gini?”“Boleh aja, sih, tapi kamu temenin, yah!”“Emooohh!!”“Ha ha ha,”=====================================================Gianira keluar cottage untuk memanggil Rosmalia dan anak-anak serta cucunya, untuk segera makan siang karena makanan sudah tersedia di atas meja makan. Lagi-lagi senyum Gianira berkembang lebar, dadanya sesak penuh haru saat melihat kebahagiaan yang tengah anak-anaknya rasakan.Pasalnya ini adalah pertama kalinya Langit dan Bumi pergi berlibur, bukan hanya ke pantai, namun juga untuk berlibur, karena selama ini uang yang ayahnya berikan kepada Gianira hanya cukup untuk makan dan membayar kontrakan saja, sehingga jangankan liburan jauh, bahkan untuk sekedar ke pasar malampun mereka belum pernah.Kini, saat melihat kedua putranya berlari berkerjaran dengan gembira bersama Riza dan Rima, membuatnya bersyuku
“Berarti kalau proses cerainya sudah selesai mau dong suka-sukaan? Maunya sama mas Dhanis apa mas Riza?”“Ah mbak Rima ngaco aja, siapa juga yang mau sama janda miskin kayak saya, Mbak, punya anak dua lagi,” sahutku mencoba untuk menghentikan pembicaraan yang kurang nyaman ini.“Kalau saya mau gimana, Gi?” tiba-tiba sebuah suara terdengar yakin hingga membuatku terkejut.=====================================================Aku dan Rima terkejut saat mendengar suara, yang mengatakan jika dirinya bersedia untuk menikahiku, setelah proses cerai dan masa iddahku selesai. Sebuah suara baritone yang beberapa hari ini cukup akrab di telingaku. Seorang pria yang ku ketahui selain sebagai seorang pengacara, juga berprofesi sebagai seorang dosen di kampus tempat Rima mengajar.Mas Adhanis, pria yang baru tiga hari ini hadir dalam kehidupanku, karena dia yang akan menggantikan mas Riza dalam membantu mendampingiku selama proses perceraian. Pria cerdas, humoris nan santun namun bergaya seperti
Air mata berlinang keluar dari wajah sendu milik Gianira, tidak menyangka jika putra sulungnya akan mengingat semua peristiwa pahit yang mereka alami. Kembali terbayang, saat kedua putranya diteriaki maling karena kedapatan mengambil sebuah roti seharga dua ribu rupiah.Dua anak kecil yang tengah kelaparan harus menanggung makian dari orang-orang dewasa yang seharusnya bisa memberikan mereka perlindungan. Dirinya sungguh takut, jika kedua putranya akan hidup dengan bayang-bayang masa lalu yang kelam.=====================================================Selepas ini Gianira berjanji akan kerja lebih keras lagi agar bisa memenuhi semua kebutuhan kedua putranya. Dia tidak lagi menginginkan jika Langit dan Bumi kekurangan hiduonya, terlebih sampai kelaparan dan tidak ada makanan.Gianira juga bertekad akan selalu membahagiakan anak-anaknya agar bisa menghapus memori kelam dalam ingatan mereka. Karena sungguh, anak-anak yang tumbuh dewasa dalam bayang-bayang masalalu yang menyakitkan, akan
“So, jadi pilih apa, Bro?””Truth,” sahut Riza pelan.“Riza, jawab pertanyaan ibu, kemarin malam jadinya kamu sama Gianira tidur di mana?” seketika mata Riza membulat saat mendengar pertanyaan dari ibunya tersebut, feelingnya sudah tidak enak sejak awal Dhanis meminta bermain permainan ini, dan sekarang terbukti, hal sulit yang kemarin dia bisa lewati ternyata terulang kembali.=====================================================POV RizaDadaku berdebum begitu hebat, mengalahkan suara debur ombak yang memecah kerasnya batu karang. Bagaimana bisa ibu kembali mengulang pertanyaan yang ku anggap sudah dia lupakan. Ibuku memang sangat gigih dalam mengorek informasi apapun dari kedua anak-anaknya.Sejak ayah meninggal, ibu memiliki peran ganda dalam membesarkan aku dan juga Rima, beliau bekerja keras seperti ayah, namun juga tetap bersikap perhatian penuh kasih sayang selaiknya seorang ibu pada umumnya. Setiap harinya, ibu akan mengajak ngobrol kami berdua sebelum tidur, menanyakan apa
“So, jadi pilih apa, Bro?”Gianira membawa ibuku masuk ke kamar, saat aku ingin mengikutinya, lagi-lagi ibu melarangnya. Sungguh besar pengorbanan yang harus kulakukan untuk mendapatkan seorang sespesial Gianira.“Gue tau lu bohong, kan? Ngaku! Lu cemburu gue deketin Gianira, hah?” cecar Dhanis, saat ibuku dan Gianira sudah masuk ke dalam, menyisakan hanya kami berdua.“Buat apa gue bohong? Lu tau sendiri gue enggak akan melakukan hal yang membuat ibu gue kecewa,” elakku.“Terus apa yang lu lakuin ini, hah? Tol*l!!”“Menurut lu, cowok mana yang enggak akan tergoda kalau mendapat serangan dari cewek, hah?”“Brengs3k!!” lagi-lagi Dhanis menyerangku dengan bogemnya, ah, sakit sekali! “Pukul gue terus, Bro, sampai lu puas, tapi hal itu enggak akan merubah apapun yang sudah terjadi!”“Mas Dhanis! Tolong ibu, Mas!” Astaga, ada apa ini?=====================================================Aku dan Dhanis berlari menuju sumber suara yang berasal dari teriakan Gianira, namun karena tidak hat
Saat itu aku memang hanya tinggal berdua dengan kakek, karena nenekku sudah lebih dahulu pergi menghadap ke Allah setahun yang lalu, karena sakit liver. Hingga akhirnya aku dibawa ke sebuah panti asuhan dan tinggal hingga dewasa di sana.“Nih,” sebuah suara menyadarkan lamunanku, Mas Riza, dia memberikan sebuah sapu tangan ke arahku.“Pakai aja!” katanya lagi,“Terima kasih,” aku mengambil sapu tangan yang Mas Riza julurkan, kemudian menghapus butiran bening yang lolos begitu saja dari mataku. =====================================================Kami hanya duduk saling diam hingga hampir setengah jam lamanya, tidak ada yang mau memulai percakapan, hati dan fikiranku masih terlalu penuh akan kenangan masa lalu dengan kakek dan nenekku ketika aku masih kecil.Hingga dari ufuk timur terlihat semburat kemerahan yang semakin meninggi dan menunjukan kemegahan cahayanya. Suara deburan ombak masih terus terdengar saling berkejaran, menciptakan harmoni menenangkan sebagai pengobat rindu.“Te
“Maaf pak hakim ketua, saya menolak saran mediasi yang ketua sampaikan, keputusan saya sudah bulat, untuk tidak lagi kembali menjalin hubungan pernikahan dengan saudara Jazirah, terima kasih,” ujar Gianira menolak mentah-mentah arahan untuk rujuk.“Baiklah kalau begitu, Bu, bagaimana pak Jazirah? Bapak sudah mendengar sendiri jika bu Gianira ingin melanjutkan proses perceraiannya,”“Maaf hakim ketua, saya menolak dilanjutkannya proses cerai dan menginginkan rujuk kembali dengan istri saya,” pongah Jazirah berujar, membuat Gianira terkejut setengah mati.Benar dugaan kedua pengacara Gianira, jika Jazirah tidak akan melepaskan Gianira begitu saja.=====================================================Gianira terlihat gugup dengan keputusan yang diucapkan Jazirah barusan, jantungnya berdebar begitu kencang, egonya berkata untuk bangkit dan menampar wajah laki-laki yang sudah memberikannya dua anak tersebut, namun akal sehatnya masih bekerja, dirinya bahkan jijik jika kulitnya harus berse
Mataku membulat sempurna kala melihat pesan yang lagi-lagi dikirimkan Niryala ke ponselku. Kali ini bukan hanya pesan singkat, tetapi juga sebuah foto yang memperlihatkan bagian atas dadanya dengan sebuah teks sebagai keterangannya.[Apakah ini mirip dengan miliknya Nirmala? Atau lebih besar?]============ Aku menahan nafas demi melihat foto yang Niryala kirimkan. Bagaimana bisa dia mengirimkan foto berisi aurat tubuhnya kepada orang lain yang bukan suaminya? Baru saja ingin mengapusnya, Niryala kembali mengirimiku pesan lagi. Kali ini berisi pesan suara yang membuat jiwa kelaki-lakianku bergejolak.‘Aku akan kirim bagian yang lainnya jika kamu mau,’ tuturnya dengan nada manja dan mendesah.Aku segera menutup ponselku, beranjak dari kasur dan membuka pintu kamar mandi. Beruntung pintunya tidak terkunci sehingga aku bisa langsung masuk tanpa mengetuknya. Kuhampiri Gianira yang sedang membasuh tubuhnya dengan sabun beraroma flower. Membuka seluruh pakaian yang kugunakan, segera kude
Hingga kami selesai makan siang mas Riza masih belum juga kembali. Ke mana sebenarnya dia pergi? Tidak biasanya dia mengacuhkan ku, apalagi kami sedang ada masalah seperti ini. Kubantu Rima membereskan meja makan, kemudian menemani anak-anak membaca buku cerita yang bawa dari rumah. Aku tersenyum senang karena melihat Bumi yang semakin lancar membacanya. Untuk anak seusianya, pintar membaca dan suka membaca adalah anugerah tersendiri.Sebentar lagi dia akan masuk sekolah TK itulah mengapa Bumi semakin hari semakin giat belajarnya. Kehadiran kedua kakaknya juga sangat membantu Bumi dalam belajar, sehingga anak itu tidak harus belajar bersamaku saja.Sesekali aku menoleh pada ponsel yang kuletakan di atas nakas, berharap ada telpon ataupun sekedar chat singkat dari mas Riza yang hingga kini keberadaannya tidak kuketahui. Namun, nihil, tidak ada satupun pesannya singgah di ponselku.Jantungku mendadak berdegup cepat kala mendengar suara pintu depan dibuka. Berharap sekali jika mas Riza
Yuk boleh banget yuk kalau mau cubitin ginjalnya Riza yuk! Mumpung sudah buka puasa ✌️🤪=======[Aku sungguh merasa lega sekarang, akhirnya bertemu denganmu dan bisa mengatakan wasiat Nirmala kepadamu.Kamu tenang saja, rindumu kepada Nirmala akan terlampiaskan. Kami ini kembar identik, hampir seluruh bentuk tubuh kami sangat mirip, jadi, mungkin kau akan ‘menemukan’ Nirmala saat mengekplore diriku setelah pernikahan kita nanti, bye]==============Aku mengucap istighfar sebagai upaya untuk menetralkan isi kepalaku. Isi chat Niryala sungguh di luar batas logika. Bagaimana dia bisa menuliskan isi chat semacam itu terhadap pria yang baru saja ditemuinya?Namun, aku tidak dapat berbohong, jjka jiwa kelaki-lakianku bergejolak tatkala membacanya. Aku membayangkan kembali saat-saat aku memadu kasih bersama Nirmala, dirinya yang romantis dan seringkali meminta lebih dulu membuatku merasa dilayani dengan baik dan sempurna.Berbeda sekali dengan Gianira yang harus kupancing terlebih dahulu ba
Tahan emosii yaa...! Bulan puasa! 😆======“Gia baik-baik aja kok, Bu. Gia hanya butuh waktu untuk sendiri, Gia titip anak-anak sebentar ya, Bu!” ucapku pelan, kemudian masuk kembali ke dalam kamar dan menguncinya.Kufikir Mas Riza akan menyusulku, tapi hingga tiga puluh menit lebih dirinya tidak kunjung tiba di rumah. Kemana dia? Apa masih bersama wanita tadi? Siapa sebenarnya wanita itu? Mengapa ibu juga seperti tidak mengenalnya?================== Kuputuskan untuk pergi meninggalkan Niryala, berlama-lama dengannya hanya akan menambah pusing kepalaku. Selain itu aku perlu menjelaskan permasalahan ini kepada ibu dan Gianira. Mereka berhak tau mengenai amanah yang Nirmala katakan kepada Niryala, kembarannya.Memasuki Villa, aku dibuat heran dengan kondisi ruang tamu yang sepi, ke mana mereka semua? Apa sedang berkumpul di kamar? Segera aku mengecek ke kamar anak-anak, benar, mereka sedang berkumpul di sana, tetapi tidak kutemukan Gianira diantara mereka.Ibu dan Rima menatapku deng
Yok yok yang emosi yok lanjutin emosinya.. Ini sudah mendekati akhir Yaa cinta-cintanya akuuu ✌️🤪================ “Mas, sekarang aku sudah tidak memiliki kekasih ataupun suami, aku ingin melaksanakan pesannya Nirmala untuk menikahi suaminya. Apa kamu bersedia menikah denganku, Mas?” Membulat sempurna mataku tatkala mendengar Niryala mengatakan hal tergila yang pernah kudengar seumur hidupku. Apa dia sedang menawarkan diri untuk menjadi istriku? Tapi, aku sudah memiliki istri yang baru, Gianira. Bagaimana dengannya jika aku menikah dengan Niryala?============ Aku terdiam, masih mencerna semua pernyataan Niryala. Tidak menyangka setela tujuh tahun kepergiannya Nirmala kembali dengan pesan yang membuat dadaku sesak. Mengapa dia tidak pernah mengatakan jika memiliki seorang saudara kembar? Mengapa dia menyembunyikan rasa sakit di tubuhnya? Lalu mengapa dirinya bisa berpesan seperti itu kepada Niryala?Sepuluh menit sudah kami berdua saling terdiam, tidak ada sedikitpun perkataan yan
“Permisi, ini Mas Riza, kan?” tawaku dan Rima terhenti saat seorang wanita datang menemui kami.Bagai melihat hantu di siang bolong, aku begitu terperangah demi melihat siapa wanita yang berdiri di hadapanku dan Rima saat ini. Ini tidak mungkin, tidak mungkin terjadi.“N-nir … ma-la?” ucapku pelan karena terkejutnya.=============== Berulang kali kucoba menggosok mataku, barangkali ada kotoran mata yang menghalangi pandanganku sehingga melantur. Tapi mengapa hasilnya tetap sama? Wanita yang sejak tadi kufikirkan kini berdiri menjulang di hadapanku. Nirmala, dia benar Nirmala, istriku. Astaga, bagaimana bisa?“Nirmala? K-kamu, Nirmala?” tanyaku terbata, beranjak dari posisiku agar bisa berdiri sejajar dengannya. Ya Tuhan, benar, wajah itu, wajah yang teramat kurindukan, wajah yang bertahun-tahun membuat tidurku tidak tenang, wajah yang membuat hari-hariku murung karena kehilangan senyumnya. Ini benar-benar Nirmalaku, astaga aku tidak sedang melindur dan bermimpi, dia Nirmala.Tanp
“Bagun, yuk! Sholat subuh dulu!” ucapku lagi masih mengusap-usap kepala mereka satu persatu.“Ibu, tadi malam ibu menangis, ya? Langit dengar suara tangisan ibu di kamar mandi, pas ibu sholat juga ibu menangis, ibu kenapa?” Degh, bagaimana bisa Langit mendengar suara tangisku? Padahal saat di kamar mandi aku sudah menyalakan keran air untuk menyamarkan suaraku.============= Aku masih diam tidak tau harus memberika jawaban apa untuk pertanyaan anakku Langit. Kufikir tidak ada yang mendengarku menangis tadi, karena sebisa mungkin kutahan tangisku agar tidak mengeluarkan suara yang jelas. Namun, ternyata Langitku mendengarnya, dia tau kalau aku menangis, tapi, mengapa dia tidak mendatangiku? “Ibu, ibu kok diam?” tanyanya lagi, mungkin masih penasaran karena aku tidak menjawab pertanyaanku.“Ibu tidak apa-apa, Sayang. Ibu tadi menangis bahagia karena kalian datang ke sini nyusulin ibu sama ayah,” sahutku sama seperti jawaban yang kuberikan pada ibu tadi. Lagipula ini tidak sepenuhnya d
Mendengar penjelasan Harsa rasanya sangat kecil kemungkinan Jazirah untuk dapat menerobos masuk ke dalam rumahku dan membuat keonaran. Semoga saja segala antisipasi yang sudah Harsa lakukan bisa mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Pantas saja sejak tadi aku tidak dapat memejamkan mata, rupa ada kabar yang tidak mengenakan yang kudengar dari Harsa malam ini.=============== Setelah berdiskusi seputar rencana selanjutnya, aku memutuskan untuk melanjutkan tujuan awalku ke dapur untuk mengambil air minum. Rasa haus bercampur rasa khawatir akan hal yang akan dilakukan Jazirah terhadap keluargaku seketika hilang saat kuteguk segelas air putih dingin yang kuambil dari kulkas.Setidaknya aku masih bisa cukup tenang karena penjagaan dari Harsa dan teman-temannya. Walaupun aku belum mengetahui apa motif yang membuat Jazirah kembali mengganggu hidup kami. Kufikir ucapan telak yang Gianira arahkan untuknya saat itu mampu membuatnya malu untuk mengganggu hidup kami, tapi nyatanya sifat Jazi
“Apa, lho Dhan, kamu datang-datang sudah membuat harapan palsu untuk anak-anak, kalau benar produksi langsung berhasil, kalau bibitnya gagal dulu gimana? Bisa kecewa cucu-cucu ibu, Dhan, Dhan,” ucap Ibu yang sontak membuatku dan Mas Riza membulatkan mata bersamaan.“Ha … ha … ha, kena kau, Za, Za! Sana ngebibit yang benar makanya biar enggak gagal!” tawa Mas Dhanis menguar, membuat yang lain pun ikut tertawa.=========== Pembahasan yang sudah tidak sehat ini membuatku menarik paksa Dhanis untuk keluar dari Villa menuju kolam renang, tidak bisa kubayangkan jika pembahasan ini terus menerus dilakukan di depan ketiga anak-anakku, bisa rusak otak mereka semua, sebagai ayah tentu aku tidak menginginkan hal tersebut.Aku ingin anakku tumbuh menjadi anak baik, sopan dan bertutur kata yang baik, cerdas bisa di asah, tapi masalah adab dan sopan santun itu harus ditanamkan sejak dini, jangan sampai rusak fitrah mereka karena teracuni obrolan kotor orang dewasa di sekitarnya.Aku memang belum