Adzan dzuhur berkumandang tepat saat kami menyelesaikan makan siang, segera mereka bewudhu secara bergantian, kemudian bersiap-siap untuk melaksanakan sholat dzuhur berjama’ah. Sedangkan aku yang baru saja kedatangan tamu bulanan, melanjutkan aktivitas membereskan meja makan dan mencuci piring.“Gi, bisa minta tolong buatkan saya kopi?” suara Mas Riza yang tiba-tiba membuatku terkejut hingga menjatuhkan gelas yang tengah kupegang, hingga menimbulkan suara gaduh.“Kamu kenapa, Gi? Riza! Kamu apain Gianira, sih?”=====================================================Pov RizaUdara yang panas di luar cukup membuat pekerjaanku terganggu, aku masih memaku dan membuat beberapa pola agar gerobak untuk Gianira berjualan bisa jadi dengan sempurna. Jangan tanya mengapa aku bisa menawarkan diri untuk membantunya membuat gerobak, semua ini adalah ide ibuku. Entah mengapa beliau berbaik hati sekali dalam membantu wanita beranak dua itu. Mungkin karena ada persamaan nasib yang mereka alami, sehingg
“Pokoknya nanti pas mbak Gia sudah resmi bercerai, Rima mau ajak dia ke salon untuk merawat dirinya, biar nyesel tuh Jazirah berokokok!”“Anak kecil sok tau dasar!!” godaku, membuat bibir Rima mengkrucut, lucu sekali.“Awas aja kalau nanti mbak Gia sudah perawatan dan kecantikannya yang selama ini tertutupi beneran bersinar, jangan nyesel lho! Rima mau jodohin mbak Gia sama dosen Rima yang masih muda, bye!!” Rima beranjak meninggalkanku yang masih mencerna ucapan terakhirnya. Apa katanya tadi? Dia mau menjodohkan Gianira dengan dosennya? Alamak!! Mengapa feelingku mendadak tidak enak, ya?!=====================================================Aku mengejar Rima hingga ke dalam kamarnya, entah mengapa sepertinya aku kemakan candaan satu-satunya adik yang kumiliki tersebut. Bukan, bukan karena aku cemburu, hanya saja … aku juga tidak mengerti dengan yang tengah kurasakan. Aku sangat mencintai almarhum istriku, ibunya Tiara, hanya dialah wanita yang mampu mengisi ruang kosong dihatiku,
Setelah dirasa pembicaraan selesai, Gianira memutuskan untuk undur diri dari kami, membuat hatiku sedikit tenang karena dia tidak akan jadi pusat perhatian lagi bagi Dhanis. Namun baru saja aku bernafas lega, tiba-tiba suara yang keluar dari mulut Dhanis membuatku mendadak ingin pingsan.“Rim, saya setuju di jodohkan dengan Gianira!” ucap Adhanis yang disambut senyuman lebar dari mulut adikku.=====================================================Entah perasaan apa yang tengah menimpaku, sehingga ucapan yang baru saja temanku katakan mampu membuat seluruh persendianku lemas, kepala rasanya berputar dan timbul gejolak dari perut menuju kerongkonganku. Mengapa semua terlihat seperti menjadi pertanda jika semesta mendukung adikku menjodohkan mereka sih? Apa semulus ini jalan cintanya Gianira dengan Adhanis? Ah entahlah, kurasa ini hanyalah sebuah kebetulan semata.Aku menenggak habis minuman dingin yang Gianira suguhkan tadi, tidak kusisakan setetespun, tenggorkanku benar-benar kering. R
Hingga tiba-tiba ada getaran yang kurasakan bersumber dari kantong celanaku, rupanya ponselku berdering, nama Rima Cantik terpampang di layar ponselku, jangan tanya siapa yang memberikan nama tersebut, karena sudah pasti jawabannya adalah dia sendiri yang menyimpan nomernya dengan nama itu di ponselku. Cekatan aku menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan dari adik perempuanku yang beberapa hari ini membuatku marah. Baru saja aku ingin menumpahkan kekesalanku, tiba-tiba Rima lebih dulu berujar membuat aku kehilangan kata-kata. =====================================================Aku segera memacu kendaraan roda duaku dengan perasaan kesal setengah mati, orang yang aku tunggu-tunggu di parkiran pasar hingga berpuluh menit, nyatanya sedang menikmati makan siangnya di rumah makan Bumbu Dapur. Rima tadi menelpon karena ingin menanyakan apa aku, ibu dan anak-anak mau nitip makanan juga untuk dimakan di rumah atau tidak. Tergesa aku terus melajukan motorku hingga tiba di parkiran ru
Aku pamit untuk makan di halaman belakang kepada Bu Rosmalia, yang kemudian ternyata Tiara juga ingin ikut denganku. Segera ku bimbing mereka untuk keluar dari ruang makan, namun saat aku belum sampai menghilang dari ruang makan, suara Mas Riza kembali terdengar mengatakan hal yang menyakitkan.“Makanya jangan sok ikut campur urusan orang lain!! Kamu tuh cuma bantu-bantu di rumah ini, enggak usah berlagak jadi nyonya besar!!” sentaknya keras, membuat air mataku mendadak jatuh setetes demi setetes. Ternyata rasanya sesakit ini.=====================================================POV AuthorSemua orang terkejut dengan kalimat yang baru saja Riza lontarkan, kemudian memandang penuh rasa iba ke arah Gianira yang masih berdiri mematung di depan pintu yang menghubungkan dapur dengan halaman belakang. Tubuh kurusnya bergetar, menandakan jika dia sedang menangis. Berbalik badan, Gianira yang sudah berlinang air mata perlahan menghampiri Riza yang masih duduk tenang di kursi makan. Pandanga
“Gi, minumnya mana?” ucap Riza lagi, membuat lagi-lagi Gianira menghentikan langkahnya.Sambil menarik nafas dan membuangnya dengan perlahan, Gianira kembali masuk dapur dan menyiapkan minuman untuk Riza. “Gi, temenin makan dong!” sekuat tenaga Riza menahan malu saat mengatakan hal tersebut, membuat Gianira melongo dibuatnya.=====================================================Aku tercenung mendengar ucapan konyol yang Mas Riza ucapkan, setelah dia menyakitiku dengan ucapan kasarnya, kini dengan seenaknya dia memintaku untuk menemaninya makan mie instan, malam-malam pula. Aku memilih untuk tidak menanggapi permintaan Mas Riza dan beranjak untuk pergi meninggalkannya sendiri, namun lagi-lagi suara bariton miliknya menginterupsi langkahku.“Gi, kamu enggak mau nemenin saya?” astaga, orang ini habis nelan apa sih? Kok otaknya jadi geser gini.“Saya harus tidur, Mas, besok saya harus bangun dini hari untuk memasak bubur buat jualan,” tolakku tegas, berharap dia bisa melepaskanku untu
Ya Robb, berikan kesehatan kepada bu Rosmalia beserta keluarganya, jauhkan mereka dari marabahaya, lancarkan segala hajat mereka jika itu dalam kebaikan. Lembutkanlah hati mas Riza agar mau menerima kehadiran Tiara, mau menyayangi anaknya sendiri, ya Robb.” Lirih aku mendengar suara Gianira memanjatkan doa-doanya, membuat hatiku tersentuh, karena dirinya mau repot-repot mendoakan keluargaku.Lagi-lagi benar yang Rima katakan, semua yang Gianira lakukan terhadap keluargaku adalah sebuah ketulusan dari hatinya. Sekali lagi, aku yakin jika Jazirah akan amat sangat menyesal telah melepaskan wanita terbaik dalam hidupnya.=====================================================POV GianiraAku terkejut saat masuk ke dalam dapur, karena melihat Mas Riza sedang duduk di kursi makan seraya memainkan gawainya. Segera ku hampiri dirinya dan bertanya apa ada keperluan yang dia butuhkan, bukankah tadi dia bilang akan melanjutkan tidurnya? Tapi kenapa sekarang balik lagi ke dapur? Aneh benar putra su
“Bener, Bro, masa gue salah. Eh buy the way, lu semalam tidur di mana? Kok pas gue kebangun lu enggak ada di kamar?” pertanyaan Mas Dhanis sontak membuat Mas Riza tersedak liurnya sendiri.“Iya, ibu juga semalam tidur di mana? Langit cari di kamar kok enggak ada?” astaga, kali ini aku yang tersedak karena pertanyaan Langit.Semua mata mengarah kepadaku dan Mas Riza bersamaan, membuatku juga Mas Riza seperti merasa sedang di hakimi.=====================================================Pov RizaAstaga apa yang harus aku katakan pada mereka? Masa iya mesti jawab kalau kami tidur bareng di meja dapur, enggak keren banget sih. Aku memandang Gia untuk meminta bantuan, namun sepertinya dia merasakan seperti apa yang kini tengah kurasakan, karena pandangan Gia terlihat gugup dan gesture nya seperti seseorang yang salah tingkah.Ibu memandangku dan Gia secara bergantian, seolah meminta penjelasan atas pertanyaan yang diajukan si kecut Dhanis dan si anak pintar, Langit. Aku berusaha bersikap t
Mataku membulat sempurna kala melihat pesan yang lagi-lagi dikirimkan Niryala ke ponselku. Kali ini bukan hanya pesan singkat, tetapi juga sebuah foto yang memperlihatkan bagian atas dadanya dengan sebuah teks sebagai keterangannya.[Apakah ini mirip dengan miliknya Nirmala? Atau lebih besar?]============ Aku menahan nafas demi melihat foto yang Niryala kirimkan. Bagaimana bisa dia mengirimkan foto berisi aurat tubuhnya kepada orang lain yang bukan suaminya? Baru saja ingin mengapusnya, Niryala kembali mengirimiku pesan lagi. Kali ini berisi pesan suara yang membuat jiwa kelaki-lakianku bergejolak.‘Aku akan kirim bagian yang lainnya jika kamu mau,’ tuturnya dengan nada manja dan mendesah.Aku segera menutup ponselku, beranjak dari kasur dan membuka pintu kamar mandi. Beruntung pintunya tidak terkunci sehingga aku bisa langsung masuk tanpa mengetuknya. Kuhampiri Gianira yang sedang membasuh tubuhnya dengan sabun beraroma flower. Membuka seluruh pakaian yang kugunakan, segera kude
Hingga kami selesai makan siang mas Riza masih belum juga kembali. Ke mana sebenarnya dia pergi? Tidak biasanya dia mengacuhkan ku, apalagi kami sedang ada masalah seperti ini. Kubantu Rima membereskan meja makan, kemudian menemani anak-anak membaca buku cerita yang bawa dari rumah. Aku tersenyum senang karena melihat Bumi yang semakin lancar membacanya. Untuk anak seusianya, pintar membaca dan suka membaca adalah anugerah tersendiri.Sebentar lagi dia akan masuk sekolah TK itulah mengapa Bumi semakin hari semakin giat belajarnya. Kehadiran kedua kakaknya juga sangat membantu Bumi dalam belajar, sehingga anak itu tidak harus belajar bersamaku saja.Sesekali aku menoleh pada ponsel yang kuletakan di atas nakas, berharap ada telpon ataupun sekedar chat singkat dari mas Riza yang hingga kini keberadaannya tidak kuketahui. Namun, nihil, tidak ada satupun pesannya singgah di ponselku.Jantungku mendadak berdegup cepat kala mendengar suara pintu depan dibuka. Berharap sekali jika mas Riza
Yuk boleh banget yuk kalau mau cubitin ginjalnya Riza yuk! Mumpung sudah buka puasa ✌️🤪=======[Aku sungguh merasa lega sekarang, akhirnya bertemu denganmu dan bisa mengatakan wasiat Nirmala kepadamu.Kamu tenang saja, rindumu kepada Nirmala akan terlampiaskan. Kami ini kembar identik, hampir seluruh bentuk tubuh kami sangat mirip, jadi, mungkin kau akan ‘menemukan’ Nirmala saat mengekplore diriku setelah pernikahan kita nanti, bye]==============Aku mengucap istighfar sebagai upaya untuk menetralkan isi kepalaku. Isi chat Niryala sungguh di luar batas logika. Bagaimana dia bisa menuliskan isi chat semacam itu terhadap pria yang baru saja ditemuinya?Namun, aku tidak dapat berbohong, jjka jiwa kelaki-lakianku bergejolak tatkala membacanya. Aku membayangkan kembali saat-saat aku memadu kasih bersama Nirmala, dirinya yang romantis dan seringkali meminta lebih dulu membuatku merasa dilayani dengan baik dan sempurna.Berbeda sekali dengan Gianira yang harus kupancing terlebih dahulu ba
Tahan emosii yaa...! Bulan puasa! 😆======“Gia baik-baik aja kok, Bu. Gia hanya butuh waktu untuk sendiri, Gia titip anak-anak sebentar ya, Bu!” ucapku pelan, kemudian masuk kembali ke dalam kamar dan menguncinya.Kufikir Mas Riza akan menyusulku, tapi hingga tiga puluh menit lebih dirinya tidak kunjung tiba di rumah. Kemana dia? Apa masih bersama wanita tadi? Siapa sebenarnya wanita itu? Mengapa ibu juga seperti tidak mengenalnya?================== Kuputuskan untuk pergi meninggalkan Niryala, berlama-lama dengannya hanya akan menambah pusing kepalaku. Selain itu aku perlu menjelaskan permasalahan ini kepada ibu dan Gianira. Mereka berhak tau mengenai amanah yang Nirmala katakan kepada Niryala, kembarannya.Memasuki Villa, aku dibuat heran dengan kondisi ruang tamu yang sepi, ke mana mereka semua? Apa sedang berkumpul di kamar? Segera aku mengecek ke kamar anak-anak, benar, mereka sedang berkumpul di sana, tetapi tidak kutemukan Gianira diantara mereka.Ibu dan Rima menatapku deng
Yok yok yang emosi yok lanjutin emosinya.. Ini sudah mendekati akhir Yaa cinta-cintanya akuuu ✌️🤪================ “Mas, sekarang aku sudah tidak memiliki kekasih ataupun suami, aku ingin melaksanakan pesannya Nirmala untuk menikahi suaminya. Apa kamu bersedia menikah denganku, Mas?” Membulat sempurna mataku tatkala mendengar Niryala mengatakan hal tergila yang pernah kudengar seumur hidupku. Apa dia sedang menawarkan diri untuk menjadi istriku? Tapi, aku sudah memiliki istri yang baru, Gianira. Bagaimana dengannya jika aku menikah dengan Niryala?============ Aku terdiam, masih mencerna semua pernyataan Niryala. Tidak menyangka setela tujuh tahun kepergiannya Nirmala kembali dengan pesan yang membuat dadaku sesak. Mengapa dia tidak pernah mengatakan jika memiliki seorang saudara kembar? Mengapa dia menyembunyikan rasa sakit di tubuhnya? Lalu mengapa dirinya bisa berpesan seperti itu kepada Niryala?Sepuluh menit sudah kami berdua saling terdiam, tidak ada sedikitpun perkataan yan
“Permisi, ini Mas Riza, kan?” tawaku dan Rima terhenti saat seorang wanita datang menemui kami.Bagai melihat hantu di siang bolong, aku begitu terperangah demi melihat siapa wanita yang berdiri di hadapanku dan Rima saat ini. Ini tidak mungkin, tidak mungkin terjadi.“N-nir … ma-la?” ucapku pelan karena terkejutnya.=============== Berulang kali kucoba menggosok mataku, barangkali ada kotoran mata yang menghalangi pandanganku sehingga melantur. Tapi mengapa hasilnya tetap sama? Wanita yang sejak tadi kufikirkan kini berdiri menjulang di hadapanku. Nirmala, dia benar Nirmala, istriku. Astaga, bagaimana bisa?“Nirmala? K-kamu, Nirmala?” tanyaku terbata, beranjak dari posisiku agar bisa berdiri sejajar dengannya. Ya Tuhan, benar, wajah itu, wajah yang teramat kurindukan, wajah yang bertahun-tahun membuat tidurku tidak tenang, wajah yang membuat hari-hariku murung karena kehilangan senyumnya. Ini benar-benar Nirmalaku, astaga aku tidak sedang melindur dan bermimpi, dia Nirmala.Tanp
“Bagun, yuk! Sholat subuh dulu!” ucapku lagi masih mengusap-usap kepala mereka satu persatu.“Ibu, tadi malam ibu menangis, ya? Langit dengar suara tangisan ibu di kamar mandi, pas ibu sholat juga ibu menangis, ibu kenapa?” Degh, bagaimana bisa Langit mendengar suara tangisku? Padahal saat di kamar mandi aku sudah menyalakan keran air untuk menyamarkan suaraku.============= Aku masih diam tidak tau harus memberika jawaban apa untuk pertanyaan anakku Langit. Kufikir tidak ada yang mendengarku menangis tadi, karena sebisa mungkin kutahan tangisku agar tidak mengeluarkan suara yang jelas. Namun, ternyata Langitku mendengarnya, dia tau kalau aku menangis, tapi, mengapa dia tidak mendatangiku? “Ibu, ibu kok diam?” tanyanya lagi, mungkin masih penasaran karena aku tidak menjawab pertanyaanku.“Ibu tidak apa-apa, Sayang. Ibu tadi menangis bahagia karena kalian datang ke sini nyusulin ibu sama ayah,” sahutku sama seperti jawaban yang kuberikan pada ibu tadi. Lagipula ini tidak sepenuhnya d
Mendengar penjelasan Harsa rasanya sangat kecil kemungkinan Jazirah untuk dapat menerobos masuk ke dalam rumahku dan membuat keonaran. Semoga saja segala antisipasi yang sudah Harsa lakukan bisa mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Pantas saja sejak tadi aku tidak dapat memejamkan mata, rupa ada kabar yang tidak mengenakan yang kudengar dari Harsa malam ini.=============== Setelah berdiskusi seputar rencana selanjutnya, aku memutuskan untuk melanjutkan tujuan awalku ke dapur untuk mengambil air minum. Rasa haus bercampur rasa khawatir akan hal yang akan dilakukan Jazirah terhadap keluargaku seketika hilang saat kuteguk segelas air putih dingin yang kuambil dari kulkas.Setidaknya aku masih bisa cukup tenang karena penjagaan dari Harsa dan teman-temannya. Walaupun aku belum mengetahui apa motif yang membuat Jazirah kembali mengganggu hidup kami. Kufikir ucapan telak yang Gianira arahkan untuknya saat itu mampu membuatnya malu untuk mengganggu hidup kami, tapi nyatanya sifat Jazi
“Apa, lho Dhan, kamu datang-datang sudah membuat harapan palsu untuk anak-anak, kalau benar produksi langsung berhasil, kalau bibitnya gagal dulu gimana? Bisa kecewa cucu-cucu ibu, Dhan, Dhan,” ucap Ibu yang sontak membuatku dan Mas Riza membulatkan mata bersamaan.“Ha … ha … ha, kena kau, Za, Za! Sana ngebibit yang benar makanya biar enggak gagal!” tawa Mas Dhanis menguar, membuat yang lain pun ikut tertawa.=========== Pembahasan yang sudah tidak sehat ini membuatku menarik paksa Dhanis untuk keluar dari Villa menuju kolam renang, tidak bisa kubayangkan jika pembahasan ini terus menerus dilakukan di depan ketiga anak-anakku, bisa rusak otak mereka semua, sebagai ayah tentu aku tidak menginginkan hal tersebut.Aku ingin anakku tumbuh menjadi anak baik, sopan dan bertutur kata yang baik, cerdas bisa di asah, tapi masalah adab dan sopan santun itu harus ditanamkan sejak dini, jangan sampai rusak fitrah mereka karena teracuni obrolan kotor orang dewasa di sekitarnya.Aku memang belum