Rasa pening luar biasa menghampiri Savana saat ia membuka matanya. Jelas ia tau apa penyebabnya. Matanya sedikit buram dengan pencahayaan minim, harusnya dia berada di kamarnya... tapi,
"Aku dimana?"
Savana tersadar bahwa ia sedang tidak di kamarnya, dan dia juga bukan hanya pening tapi badannya remuk juga, tapi itu hal biasa karena dia sering jatuh ke lantai jika tidur di kasur yang tinggi, terlebih saat mabuk.
Saat menoleh ke arah ranjang Savana melihat punggung seseorang yang sudah di pastikan pria.
Tunggu! Tunggu! Dia tidak melakukan hal bodoh kan saat mabuk? Savana melihat ke seluruh badannya yang masih terpasang dress hitam semalam, itu sedikit membuatnya tenang.
Dia tidak bodoh dengan berteriak dan langsung menyalahkan pria yang tengah tidur itu seperti di flm-flm. Mungkin pria itu menolongnya, sebagai ucapan terimakasih.... apakah Savana harus membuatkannya sarapan?
"Okey.... mari kita bergelut dengan dapur!" Serunya tanpa ragu dan bersemangat, entahlah Savana juga tidak tau apa yang dirinya lakukan.
Saat sampai dapur Savana menatap horor semua peralatan yang tertata rapih itu, jujur terakhir kali dia masak gadis itu hampir membakar dapur di mansionnya. Tapi Savana yakin ia bisa sekedar membuat telor mata sapi.
Langkah pertama Savana mengambil dua butir telur, lalu ia pecahkan dengan teplon yang sudah berisikan minyak dan.... sedikit mengebul. Suara percikan minyak membuat Savana kaget dan sedikit menjauh, dengan tangan yang memegang tutup panci untuk menghalangi cipratan minyak ke wajahnya, sedangkan yang satunya lagi terulur untuk mematikan kompor.
Saat di angkat.... ternyata gosong.
"Ini baru percobaan pertama." Ucap Savana meyakinkan dirinya bahwa ia bisa memasak telor mata sapi.
Percobaan kedua, Savana mengambil telur yang satunya dan memecahkannya di teplon, kali ini ia sengaja tidak menyalakan kompor dulu dan dalam keadaan minyak dingin, mungkin itu akan lebih baik. Dan langkah selanjutnya ia menyalakan kompor lagi tapi kali ini dengan api sangat kecil.
"YEAYY!!! Aku bisa membuat telor mata sapi!!" Pekiknya girang karena akhirnya berhasil juga.
Untung saja ia memiliki otak pintar jadi seenggaknya ia berfikir dan hanya gagal sekali, sungguh Savana merasa memenangkan Award dengan nominasi fantasis. Toh di kalangan seumurannya dan teman-temannya sangat tidak aneh bahwa tidak bisa memasak, dan ini bisa di pamerkan saat nanti mereka bertemu.
Setelah menaruhnya di piring Savana memberi lada dan garam sedikit, lalu menyiaplannya di meja makan lalu ia menuangkan susu putih ke dalam gelas dan menaruhnya di meja.
"Selesai!!" Savana menepuk-nepuk tangannya bangga.
Saat dia berbalik ke dapur dia menutup mulutnya lebay, itu.... sangat berantakan. Baiklah ia harus merapihkannya, entahlah ia sangat anti dengan pekerjaan rumah ataupun memasak tapi kali ini, seperti ada yang menggeraknnya bahkan ia bisa tidak bisa dia paksakan untuk bisa.
Savana tidak mencuci piring hanya menumpuknya saja di wastafel, seenggaknya dapurnya tidak terlalu berantakan. Matanya teralihkan dengan telur mata sapi pertama yang gagal, "sayang sekali kalo di buang." Savana memperhatikannya lamat-lamat hingga akhirnya menyuapkannya ke dalam mulutnya.
"Not bad." Seru Savana dengan raut wajah bangga, tidak pahit sama sekali di bagian yang gosoang hanya saja pinggirannya sangat garing.
"Ekhem..." Savana langsung berbalik badan saat mendengar dehaman seseorang.
'God! Apa dia bukan manusia? Jika bukan mengapa dari ujung kepala hingga kaki pria yang berjarak beberapa meter dariku sangat sempurna.' Pekik hatinnya meronta. Memang Savana sangat lemah dengan spesies yang namanya cogan.
Mungkin kalian akan berfikir bahwa wanita itu berlebihan, tapi sungguh pria di depannya ini telah berhasil mencuri perhatiannya.
"Apa yang kau lakukan disana?" Savana mengerjap beberapa kali untuk menyadarkan dirinya, bahkan ia tak sadar bahwa pria itu sudah berada di dekatnya.
"A-aku membuatkan mu sarapan.... ekhem! Anggap saja itu ucapan terimakasih ku karena kau membantu ku semalam." Seru Savana dengan gugup dan malu-malu ia merasa terintimidasi dengan tatapan pria itu.
"Terimakasih kembali. Jujur saja kau sangat merepotkan dan sangat tak tahu malu." Ucap Aiden santai ia duduk dan menatap sarapannya.
Disisi lain Savana mengepalkan tangannya, kesal melihat pria di depannya itu terlihat santai padahal ia rasa ia sudah cukup baik memperlakukannya sedari tadi.
Sabar, tahan emosi. Ia harus ingat bahwa pria itu sudah membantunya.
Mereka memakan sarapannya dalam diam. Aiden tidak suka kebisingan sedangkan Savana malas bicara karena Aiden ternyata sangat membosankan. Percuma tampan, tapi minus di kenyamanan.
Kriet.
Savana mendorong kursi ke belakang, Aiden meliriknya sebentar. Hanya sekilas setelah itu ia kembali memakan sarapannya.
"Aku sudah selesai sarapan. Sekali lagi terimakasih sudah berbaik hati membantu ku semalam, dan maaf karena telah merepotkan mu. Di lain waktu jika kau merasa kesusahan boleh meminta bantuan ku." Savana menunduk kecil dengan sopan. Lalu ia beranjak dari meja pantry tanpa menunggu jawaban Aiden.
"Ekhem. Aku tidak punya nomor ponsel mu, if you know." Savana menoleh saat lawan bicaranya itu bersuara. Ia kira akan tetap diam hingga dunia runtuh.
Savana mendengus kecil, lalu merogoh tasnya mencari sesuatu. "Ini kartu nama saya. Pak Penolong bisa hubungi saya kapan saja. Sekian, terima kasih." Savana sedikit menekan setiap katanya sembari menyerahkan kartu kecil. Kartu namanya.
Tak ingin berlama-lama dengan manusia yang sok dingin itu, Savana beranjak cepat sebelum manusia itu bersuara lagi.
****
Ting!
Pintu lift terbuka, Savana sedikit membenarkan syal berbulunya. Kacamata hitam bertengger di hidung mancungnya. Muka tanpa polesan make up ia biarkan begitu saja. Bukan ingin menunjukan bahwa dirinya sedang dalam keadaan tidak baik, hanya saja terlalu malas untuk mandi dan ber- make up.
Ia butuh ketenangan tanpa beban apapun.
"Dia Savana Valerie itu kan, yang sedang ramai di berita."
Savana sedikit melirik ke arah dua orang perempuan dengan seragam rapih. Sepertinya mereka pekerja kantoran. Jelas ia mendengar apa yang dia katakan barusan.
"Benar Saya Savana Valerie, ada masalah dengan saya?" Savana sedikit menurunkan kacamata hitamnya.
Dua perempuan itu sedikit kaget saat melihat Savana yang mereka bicarakan ada disana.
"Maaf aku hanya bicara so'al berita di televisi yang tadi aku lihat." Ujar wanita berbaju pink dengan raut wajah tak enak.
Savana sedikit mengernyit bingung, "saya? Di televisi? Berita? Kenapa saya ada di berita?" Tanya Savana beruntun.
Mereka berdua gelagapan takut salah bicara, mereka tau Savana Valerie itu siapa, apalagi mengingat marganya yang jarang sekali wanita itu tambahkan tapi tetap saja mereka tau bahwa wanita di depannya itu putri tunggal keluarga Akcrecama.
"Maaf sepertinya anda harus mengaktifkan ponsel." Seru perempuan yang memakai baju biru.
"Ah... ya aku belum melihat ponsel sedari semalam." Seru Savana, ia malas menyentuhnya, karena isi ponselanya banyak sekali kenangan dengan Arka.
Dua perempuan itu menjerit dalam hati, 'pantas saja tak tau apa-apa'.
*****
Savana membelokan matanya terkejut. Bahkan topik utamanya, tentang dia yang di campakan gara-gara Arka lebih memilih Jenni pun belum selesai. Dan sekarang bertambah lagi.Ternyata orang yang membantunya itu bukan orang biasa. Dia cukup terkenal di public.Savana mengacak rambutnya frustasi dan beteriak di kamarnya, "Arghhh!!! Menyebalkan! Kenapa harus pria itu? Ck!" Bukannya apa, ia terlalu malas untuk bertemu pak Penolong yang sok cool itu.Meskipun kesal tangan Savana terus men-scroll kebawah mencari tahu beritanya sampai mana. Ia menajamkan tatapannya saat melihat poto dirinya saat di gendong oleh pria itu, juga ada poto saat dirinya memeluk pria itu di Club."What!? Kenapa aku tidak mengingatnya!!" Pekik Savana sembari memukul-mukul kepalanya.Drrrttttt....Dengan kesal Savana menekan icon hijau."Hmm..."'Dimana kau sekarang hah?! Perusahaan membutuhkan mu bodoh!' Teriak seorang pria di sebrang sana.Savana sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga, teriakannya tak main-main. "Ka
Aiden menarik tengkuk Savana pelan. Bibir mereka bertemu. Tanpa memperdulikan pekikan sekitar Savana sibuk menetralisir degup jantungnya. Ini terlalu tiba-tiba, dan sedikit mengagetkan. Dan ingat, selama berpacaran dengan siapapun ia tak pernah berciuman. Paling jauh ya hanya pegangan tangan. Bukan masalah pemikiran kolot, hanya tak ingin saja. Buktinya ia tak menolak saat Aiden menciumnnya.Benar, Aiden mengambil first kiss-nya. Tapi di dalam dirinya sama sekali tidak ada rasa marah. Aneh."Umhh... begitu ya? Ternyata hanya aku yang terus berharap. Maaf dan terimakasih sudah melupakan ku." Suara Arka menyadarkannya, bahkan ia sempat ingin menoleh. Tapi Aiden menahannya."Kau ingin melupakannya bukan?" Bisik Aiden. Savana hanya mengangguk ragu. Benar, ia ingin melupakan pria itu, tapi kenapa saat Arka mengatakan itu, rasanya berat sekali. Rasanya ia ingin berbalik dan mengatakan hal sebaliknya.Setelah kepergian Arka, Aiden melepaskan pangutannya. Ia memberi jarak dianataranya. Dan
"Bagaimana rasanya bibir milik seorang Aiden Faeyza huh? Kau tau, kau adalah satu-satunya wanita yang di perlakukan oleh Aiden istimewa." Savana yang tadinya menghiraukan ucapan Megan- sepupunya, memfokuskan sebentar saat mendengar kata istimewa.Benarkah?Isi kepalanya semakin penuh dengan dukungan bahwa pria itu menyukainya. "Aku tak peduli." Bohong, jelas Savana berbohong.Mega berdecak kesal, "kau ingin melupakan Arka bukan?" Savana mengangguk kecil. "Mulai dari Aiden, lihat pria itu. Buat dia sejatuh mungkin ke dalam pesonama mu." Megan sangat mengebu menghasut Savana."Tidak, aku tak ingin memanfaatkan orang lain demi kepuasan ku." Benar ia tak akan melakukan itu, tapi ia ingin mencobanya. Tapi bukan memanfaatkannya. Melainkan mencoba untuk menerimannya.Mungkin ia akan melupakan Arka, si mantan yang berhasil mengobrak-abrik hidupnya... juga hatinya."Dasar wanita bodoh! Pantas saja sahabat mu dengan mudah menikung tunangan mu!" Megan kesal karena Savana mengabaikan sarannya."B
"Kau tak mau menurutinya huh? Ini permintaan anak mu kalo kau lupa!" Sentak Jenni, merenggut kesal ke arah Arka.Pria yang berstatus suaminya itu menghela nafas kasar, kepalanya rasanya ingin pecah seharian di rumah meladeni wanita hamil ini. Niat ingin menghindari wartawan, eh... ternyata di rumah lebih membuatnya pusing."Mau apa?" Tanya Arka pada akhirnya ia akan menuruti wanita hamil ini agar diam.Jenni mendengus kecil, pria di depannya ini tetap tidak bisa bersikap sewajarnya. Irit bicara dan bermuka datar. "Ck! Aku tadi melihat di televisi anak kecil tengah memakan ice cream." Meskipun masih kesal tapi Jenni tetap mengutarakan keinginannya."Lalu?" Ucapan Jenni terlalu berbelit Arka kurang menangkap maksudnya."Aku ingin menyentuh pipi gembul anak itu!!" Pekik Jenni dengan rengekan. Arka melongo di tempat."K-kau tak ingin ice creamnya saja?" Tawar Arka. Ayolah... anak kecil yang Jenni maksud itu seorang artis cilik yang sekarang tengah berlibur di Jepang. Kenapa ia tau? Jela
Setelah menerima telfon dari Aiden yang bertanya tentang ia bekerja, lalu setelah Savana menjawab 'iya' pria itu langsung mematikkan sambungannya. Awalnya Savana menggerutu kesal karena Aiden hanya berbasa-basi dan tak bertanya banyak hal seperti biasa.Tepat setelah Savana selesai mengatai Aiden Ben masuk dengan senyum menggodanya."Ekhem! Perjanjian dengan klien kali ini termasuk strategi si pria untuk bisa terus dekat dengan si wanita ya." Ucap Ben seolah dia tengah bercerita.Savana mengernyit mendengar itu. "Maksud mu apa? Jika tidak penting kau tau pintu keluar dimana kan?" Sungguh mood Savana sedang kesal gara-gara telfon sialan dari Aiden.Pria itu telah membawanya terbang dengan harapan tinggi, dan menjatuhkannya dengan harapan palsu.Menyebalkan.Bukannya takut mendengar usiran penuh penekanan dari Savana, Ben malah terus berjalan mendekat dengan senyum mengejek. Setelah itu ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan ponselnya tepat di wajah Savana.Di ponsel Ben Savana melih
Savana duduk di sofa yang ada di ruangan Aiden. Badannya bersandar di sandaran sofa. Emosinya masih belum stabil, nafas Savana masih memburu. Ia kesal, ia ingin marah. "Maafkan Diana, dia memang aku suruh untuk tidak membiarkan orang sembarangan masuk ke ruangan ku." Ujar Aiden. Ia tau wanita di depannya ini tengah kesal. Emosi Savana perlahan luruh. Kenapa barusan ia marah seperti layaknya seorang kekasih yang ingin di bujuk. Apa yang dia lakukan barusan! Savana menegakkan badannya. Dan duduk dengan benar, "Tidak. Itu salah ku. Ah ya, aku kesini membawa ini." Savana menyodorkan dokumen biru yang memerlukan tanda tangan pria itu. "Sebentar," sebelum mengambil dokumen yang Savana sodorkan, Aiden beranjak ke arah mejanya. Mungkin saja membawa pulpen. Ternyata bukan. Aiden kembali dengan Jas pria itu. "Pakai ini untuk menutupi paha mu nona." Savana menerima Jas milik Aiden. Ia sedikit salah tingkah dengan perhatian kecil Aiden. Ia kira pria itu akan mengatakan yang tidak-tidak men
Sejak dimana Savana mengantarkan dokumen biru, dan berakhir dengan mood buruk. Savana menjauhi Aiden sejak hari itu, ia harus mengantisipasi perasaannya yang berbahaya. Beruntung tidak ada yang perlu di bahas dengan pria itu. Jadi Savana menjalani hari-harinya dengan tenang. Dan sejak itu juga Aiden tak menemuinya, padahal mereka tidak janjian untuk saling jauh-jauhan. Tapi tak apa, menurut Savana itu semua adalah keberuntungan baginya. "Ben, apakah aku harus datang nanti malam?" Tanya Savana di tengah lamunannya. Ben yang tengah fokus menge- cek dokumen menoleh sekilas ke arah Savana, "ini jam kerja kalo anda lupa." Seru Ben kembali fokus dengan pekerjaannya. "Ck! Apa susahnya tinggal jawab, toh aku sendiri yang memulai!" Begini nih yang Savana kesal mengenai kesepakatan tentang teman dan kerja. Ia tak bisa leluasa berbicara santai dengan Ben. "Saya banyak pekerjaan nona, dan saya tak ada waktu untuk menemani galau- mu." Seru Ben, setelah itu ia keluar meninggalkan Savana yang
"Ambil saja nona." Savana menyerahkan dress yang Jenni inginkan dengan sedikit kasar. "And... saya bukan sahabat mu, atau teman mu atau apapun itu. So? Jangan sok dekat ya." Ucap Savana tenang, tangannya merapikan dress wanita itu yang sedikit kusut. Bahkan Ben yang notabenenya seorang pria beringsut takut melihat sikap tenang Savana, yang berkali-kali lipat lebih menakutkan daripada wanita itu meneriakinya dengn raut wajah marah. Jenni tersenyum kecil, "uhh... aku menyukai Savana yang sekarang." Setelah mengatakan itu ia beranjak pergi dengan dress pilihan Savana. "Saya memilih yang ini! Bungkuskan cepat!" Ujar Savana dingin, wajahnya datar tanpa exspresi, ia memilih dress yang pertama di rekomendasikan oleh karyawati. Ekor mata Savana tak lepas dari pergerakan Jenni yang tengah membayar hingga keluar dari butik tantenya. "Ahrggghhhhh... WANITA ITU!! Kenapa harus bertemu disini." Pekik Savana kesal yang di akhiri lirihan frustasi. Kalo sudah begini Ben tidak takut lagi, ia mende
Prita menatap layar monitor yang menampilkan seluruh ruangan pesta yang di datangi oleh Aiden. Matanya menajam- berkilat marah saat Aiden dengan mesra mengajak Savana berdansa.Tangannya mengepal. Puk!Dengan kasar Prita menutup laptopnya. Ini tak bisa di biarkan. Ia harus bergerak cepat. Sebelum benar-benar pergi dari kamar hotelnya. Prita membawa buku catatannya.Sembari berjalan, Prita membuka bukunya. Membaca deretan nama dan juga profile yang di sertakan.Telunjuknya mengarah ke salah satu foto, sekertaris ya?? Menarik. Prita menutup bukunya dengan seringaian di wajahnya. Tangan yang satunya merogoh ponselnya dan mendial nomor seseorang."Diego Dwinarta. Cari apapun yang berkaitan dengannya. Secepatnya!"'Laksanakan!' Balas seseorang di sebrang sana.Setelah masuk lift, Prita menatap pantulannya di cermin yang menjadi salah satu tembok lift. Penampilannya agak berantakan. Untuk kali ini-- ia akan menjadi seorang pelayan cantik, sexy dan mempesona. Jelas itu untuk menarik perhat
Pesta mewah di gelar untuk merayakan ulang tahun Tuan Willson-- salah satu rekan kerja Aiden. Ia di undang langsung oleh Tuan Willson. Jelas ia harus datang.Tapi--Harus bersama Savana. Jika tidak Aiden tak mau datang. Terserah orang lain mengatakannya kekanakan dan semcamnya. Aiden tak peduli. Yang ia pedulikan hanya Savana seorang."Sudah ku bilang! Kau ini sudah dalam kategori pembodohan yang kau namakan CINTA itu!" Digo terus mengomeli teman satu-satunya ini. "Ayolah.... Tuan Willson itu penting dalam perusahaan mu Aiden!!" Digo nyaris memohon agar Aiden menghadiri pesta itu.Sang pelaku tak bergeming. Tetap santai dengan wajah datarnya. Jangan lupakan piyama tidur dan sebuah buku melekat di tangannya. Ingin rasanya Digo melempar temannya ini ke bulan, tapi ia urungkan karena masih membutuhkannya. Otaknya tak sepintar milik Aiden.Jelas alasannya sang pujaan hati yang tengah merajuk dan tak ingin ikut kepada pesta malam ini. Bagi yang tahu-tahu saja, Savana merajuk karena kejadi
Savana menatap pantulan dirinya di cermin, dress yang ia kenakan saat ini bergaya sabrina. Memamerkan pundak mulusnya dan leher jenjangnya. Savana menyatukan seluruh rambutnya yang menjuntai dan menggelungnya ke atas."Perfact." Savana tersenyum puas saat melihat hasil pilihannya.Dress bergaya sabrina berwarna biru dongker yang panjangnya di atas lutut. Savana memilih ini.Dari lima dress pilihannya yang ini paling memikat dan cocok dengan seleranya.Persetan Aiden menunggunya lama. Sengaja Savana ingin membuat pria itu kesal. "Apa kau tertidur An?" Savana berdecak kesal, pasalnya Aiden menggunakan nama panggilan orang-orang terdekatnya."IYA!" Kesalnya.Sebenarnya hal yang membuat Savana malas jika membeli baju itu adalah berganti baju. Baiklah... karena malas Savana memilih memakai dress yang ia kenakan.Sret!Savana menarik tirai itu. Ia mendapati Aiden yang tengah bersandar di samping pintu masuk menuju ruang ganti."Bayar yang ini." Seru Savana membuat badan Aiden menegak.Ia t
Di balik pintu keluar itu, seorang wanita dengan tubuh tinggi dan badan ramping bak seorang model, menggeram kesal dengan kedua tangan mengepal."Kali ini tidak berhasil... tapi tidak untuk lain kali." Desis wanita itu. Memilih pergi dari pemandangan yang menyesakan itu.Kesialan begitu setia kepadanya hari ini. Rencana dari jauh-jauh hari harus gagal seketika. Harusnnya-- ia tetap menjadi bagian penting disini, lalu menjebak Savana dan mendapatkan Aiden!Itu tujuannya!Dan malah sebaliknya. Itu semua bertolak belakang dengan kenyataannya.Wanita tadi-- Prita Adisson sudah sampai di apartemennya beberapa menit yang lalau. Ia melempar semua barang bawaannya asal, dengan segera ia melangkah menuju kamarnya."Aku pulang sayang!" Pekiknya seolah ada orang lain di apartemennya selain dirinya. Aslinya ia tinggal sendiri.Prita menatap kagum semua foto-- bahkan poster besar di setiap inci ding-ding kamarnya. Dari Aiden di nobatkan menjadi CEO Faeyza hingga Aiden yang baru keluar dari bandar
Sejak pagi tadi Savana sudah di sibukan dengan berbagai macam rangkaian shooting sebuah iklan. Usai dengan berbagai macam foto beberapa BA- nya, di karenakan sukses besar... kali ini ia mengambil project besar yang di tuangkan di sebuah iklan.Tentu main utamanya tak lain Kalea Faeyza, awalnya hanya dia seorang yang mengiklankan dengan sebuah foto dan di pajang di berbgai macam bentuk. Majalah, papan reklame, poster dan lain sebagainya. Setelah Kalea, tim pemasaran membuka luas Talent untuk di jadikan BA. Dari artis yang sedang naik daun hingga selebgram.Dan sekarang... ia akan mengambil project iklan yang resmi. Iklan ini di kontrak sekitar 3 tahun di berbagai macam stasiun televisi.Hari ini, kami semua sudah berjalan setengah jalan. Dan sekarang, semua orang sedang istirahat. Tapi tidak bagi Savana.Ia sibuk memeriksa semua vidio yang baru di ambil beberapa saat yang lalu."Talent C ini menurut ku kurang bersemangat, tak sesuai dengan skrip yang kita buat." Savana menunjuk salah s
Semua orang itu hidup dengan rencananya masing-masing, dengan kesulitan dan kebahagiaan yang sudah di atur oleh tuhan. Entah itu turunan atau sebagainya, ibunya Megan menikahi ayahnya karena di jodohkan-- lalu datanglah ia ke dunia yang rumit ini. Setelah itu tepat saat dirinya lahir, ayahnya juga datang dengan seorang wanita yang membawa seorang bayi. Benar sekali, ayahnya main belakang dari ibunya. Bahkan ayahnya jarang sekali pulang ke rumah dan lebih sering pulang kepada selingkuhannya. Alasannya-- karena tidak mencintai ibunya.Brengsek! Bajingan! Segala umpatan Megan arahkan hanya untuk pria yang katanya menyandang status sebagai ayah itu. Ia mengetahui kenyataan itu saat dia memasuki Sekolah Menengah Pertama.Dan saat ia mendengar Ben-- pria yang berhasil meluluhkan hatinya, ada wanita dan seorang bayi yang mencari pria itu, jelas Megan langsung marah. Ia tak menerima apapun alasan untuk kata Perselingkuhan!"Maafkan aku... ku mohon jangan menangis seperti ini lagi... aku tak
Seluruh karyawan Val's Corp tengah ramai membicarakan Ben yang sudah memiliki seorang anak. Mereka semua merasa kasihan terhadap Megan yang telah di khianati."Waktu itu Nona Savana, sekarang sepupunya! Apakah semua keluarga Valerie akan di khianati!! Oh tuhan!! Takdir mcam apa ini." Mita sang promotor yang paling heboh membicarakan tentang rumor Ben itu."Kasihan sekali!""Ku kira menjadi keluarga Valerie mimpi indah... ternyata... semengerikan itu ya!" "Benar. Aku selalu iri terhadap Nona Savana, tapi setelah tau takdirnya.... ternyata lebih baik hidup hidup kita di banding mereka.""EKHEM!!"Semua karyawan wanita yang tengah bergosip bubar seketika. Mereka tak ingin terkena amuk Nona Megan yang siap melahap siapa saja. Merea tau tabiat Nona Megan jika sedang marah. Melebihi bos mereka Nona Valerie.Wajah Megan mengetat marah, ia tengah merancang sebuah baju, tiba-tiba saja seseorang mengirim pesan kepadanya dan mengatakan bahwa ada wanita dan juga seorang bayi yang mengaku sebagai
Negri yang sering di sebut Negri sakura ini tengah berganti musim menjadi musim gugur. Sayangnya Jenni harus melewatkan pergantian musim kali ini, ia mendorong strolernya."Neyy siap ketemu Aunty Vana??" Seru sang ibu menatap hangat kepada putrinya yang tengah tersenyum lebar."Nanana... nanan blweeee." Balas Zuney dengan bahasanya. Memang di usianya sekarang 6 bulan ini, sedang senang-senangnya mengoceh. Dan itu sudah seperti hiburan gratis bagi Jenni setelah kehadirannya. Ia jadi tak kesepian dengan ocehan sang putri.Jenni tertawa gemas mendengarnya, "baiklah... mari kita temui Aunty sombong itu!!" Jenni sedikit kesal karena Savana sudah sangat jarang menghubunginya. Padahalkan menelfonnya tak akan membutuhkan waktu yang lama. Bahkan mengerimi pesan pun tidak!Awas saja! Nanti Jenni eksekusi saat sudah sampai Indonesia."Berjanjilah... Neya tak boleh rewel selama di peswat... okey!" Zunay mengerjap bingung mengenai perkataan sang ibu.Karena kasihan melihat sang putri kebingungan,
"Maaf kami datang terlambat..." semua atensi di ruang VVIP itu menoleh ke sumber suara."Senang menunggu mu Tuan Melvino. Silahkan duduk." Dengan sopan Savana mempersilahkahkan Kei duduk.Savana melihat ada bayangan lain di belakang Kei. Seakan mengerti ia menarik wanita di belakangnya agar terlihat jelas. "Perkenalkan diri mu." Bisik Kei sembari sedikit mendorong punggung Clarissa."Saya Clarissa, sekertaris Keeno." Dengan wajah seramah mungkin Clarissa memperkenalkan dirinya.Savana menatap Clarissa sedikit terkejut, ia jadi teringat saat kematian ayahnya dan juga saat Clarissa yang mencium Aiden... Savana ingin melupakan itu. Sekarang... kenapa dia menjadi sekertaris Tuan Melvino. Seingatnya Clarissa juga mempunyai perusahaan."Baiklah... karena semua sudah berkumpul, mari kita mulai rapatnya." Savana yang memulai rapatnya.Ia mengambil beberapa dokumen dari tasnya, Ben membantunya untuk membagikan dokumen itu. Mereka semua menerimanya dengan baik, "silahkan baca baik-baik." Sava