Savana membelokan matanya terkejut. Bahkan topik utamanya, tentang dia yang di campakan gara-gara Arka lebih memilih Jenni pun belum selesai. Dan sekarang bertambah lagi.
Ternyata orang yang membantunya itu bukan orang biasa. Dia cukup terkenal di public.
Savana mengacak rambutnya frustasi dan beteriak di kamarnya, "Arghhh!!! Menyebalkan! Kenapa harus pria itu? Ck!" Bukannya apa, ia terlalu malas untuk bertemu pak Penolong yang sok cool itu.
Meskipun kesal tangan Savana terus men-scroll kebawah mencari tahu beritanya sampai mana. Ia menajamkan tatapannya saat melihat poto dirinya saat di gendong oleh pria itu, juga ada poto saat dirinya memeluk pria itu di Club.
"What!? Kenapa aku tidak mengingatnya!!" Pekik Savana sembari memukul-mukul kepalanya.
Drrrttttt....
Dengan kesal Savana menekan icon hijau.
"Hmm..."
'Dimana kau sekarang hah?! Perusahaan membutuhkan mu bodoh!' Teriak seorang pria di sebrang sana.
Savana sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga, teriakannya tak main-main. "Kau tau aku sedang dalam masalah! dan kau masih menyuruh ku untuk pergi ke perusahaan? Waras kah?!" Teriak Savana kesal, ia sedang tak ingin di ganggu. Dan tidak mood untuk bergelut dengan berkas-berkas membosankan.
'Peduli setan dengan masalah pribadi mu! Kau punya tanggung jawab Savana! Kau tidak memikirkan karyawan mu hah? Para investor menarik ivestasinya bodoh!' Mendengar teriakan terkahir Ben di sebrang sana membuat tubuhnya tegak seketika.
"Aku segera kesana!"
Bip.
Savana langsung mematikan sambungannya sepihak. Ia semakin kalut mengobrak-abrik isi lemarinya mencari baju yang layak. Ia hanya membasuh wajahnya dengan facial foam, lalu menyikat gigi dengan cepat.
Setelah itu ia merampas kaca mata hitamnya dan memakai lipstik merah maroon, selebeihnya ia tidak menggunakan apa-apa. Wajahnya polos tanpa make up.
"Benar... aku tak bertanggung jawab." Lirihnya sembari menatap pantulan dirinya di cermin. Ia sangat egois hanya memikirkan masalah pribadinya dan melupakan tanggung jawabnnya begitu saja.
Terakhir Savana mengambil tas hitamnya dan langsung di slempangkan. Dan tangannya yang bebas menenteng tas laptop.
Ia sudah siap bertempur dengan berkas-berkasnya dan juga layar monitor.
*****
Hanya butuh waktu 30 menit dari apartemennya menuju perusahaan. Tanpa memperdulikan sekitar kini Savana sudah sibuk dengan masalah perusahaan yang tiba-tiba menurun drastis.
"Kau urus sisanya, dan untuk Investor yang ini aku akan pergi untuk menemuinya." Savana menoleh ke arah Ben yang tengah sibuk dengan telepon kantornya dengan 2 laptop menyala dan juga satu komputer.
"Terimakasih untuk kesempatannya, perusahaan kami pasti akan lebih baik lagi kedepannya."
Tlak.
Ben mengembalikan lagi telepon kantornya. Ia menoleh memfokuskan dirinya sepenuhnya terhadap Savana. "Kau akan mendatangi Faeyza Corp? Sendirian? Mau ku temani?" Tawar Ben yang sekarang sudah berdiri dari tempat duduknya.
Savana menatap pekerjaan milik Ben yang jelas sedang menumpuk, ralat semua orang yang berada di Val's Corp sedang sibuk tak ada satu pun yang tengah bersantai.
"Tidak. Kau sibuk. Semua orang sibuk, biar aku yang mengurus ini." Tegas Savana. Ia mengingat apa yang Ben katakan di ponsel tadi. Ia tak bertanggung jawab, katanya begitu. Memang, maka dari itu sekarang ia menunjukan ia bisa bertanggung jawab.
Ingat, seorang Savana Valerie sangat tidak suka di sepelekan.
"Baiklah. Kalo begitu semangat! Kau pasti akan berhasil! Kita semua bisa melewati ini!" Pekik Ben dengan bersemangat tak lupa tangannya terkepal sembari mengucapkan itu.
Seketika suana menjadi haru. Biasa perempuan, kebanyanyakan drama.
Savana berlari kecil menuju meja Ben, "huwaaa.... thanks Ben! Kau teman, rekan, sahabat, bahkan keluarga yang baik!!" Pekik Savana dengan mengeratkan pelukannya.
Ben terkekeh kecil dan mengusap punggung kecil Savana, "aku sudah berjanji bukan, akan terus menjaga mu dan menemani mu, hingga kau mendapatkan pasangan yang baik." Seru Ben lagi, saat mendengar kata pasangan Savana sedikit sensitif.
"Ck! Pasangan lagi, Bisakah kau tak membahasnya!?" Savana mendelik kesal ke arah Ben.
"Aku tidak bermaksud ke arah situ, dan kau sendiri yang berfikir demikian. Aku tak salah." Ben mengangkat tangannya dengan exspresi wajah tanpa dosanya.
Rasanya Savana ingin menggaruk wajah sok tampan milik Ben detik ini juga, "Kau merusak mood ku sialan!? Jangan menemui ku dulu sebelum aku perintah?! Ingat itu!" Marah Savana sembari beranjak dari ruangannya dengan kaki di hentak-hentakkan. Sedangkan Ben, pria itu sudah tertawa terbahak-bahak. Karena telah berhasil membuat Savana kesal.
*****
Savana menatap gedung tinggi di depannya. Benar-benar berbeda sekali dengan perusahaannya yang masih di tahap pengembangan. Ia berjanji kepada dirinya akan bekerja lebih keras lagi dan bisa se-sukses Faeyza Crop.
Suara heels hitam miliknya berirama sesuai langkahnya. Penampilannya sudah lebih segara daripada tadi yang hanya memakai lipstik saja.
Dengan anggun Savana menghampiri resepsionis. Savana mebuka kacamata hitamnya agar bisa bertatapan langsung dengan orang di depannya.
"Umh... maaf, apakah tuan Faeyza sedang sibuk? Saya ingin menemuinya." Seru Savana dengan tegas. Ia tau betul sesibuk apa orang penting, pasti setelah ini resepsionis wanita di hadapannya dengan pakaian kurang bahan ini akan bertanya,
"Apakah nona sudah membuat janji?" Kan, tebakan Savana tidak meleset. Pasti itu akan ditanyakan.
Savana menoleh ke kanan dan ke kiri. Menetralisir sekitar. Semuanya menatap ke arahnya. Why? Apakah dirinnya semenarik itu? Ah jadi terlalu percaya diri kan.
"Tidak. Tapi kami cukup dekat." Bohong, mendengar namanya saja baru sekarang. Ia sama sekali tak mengenal CEO Faeyza Corp ini.
"Kalo begitu hubungi saja langsung lewat ponsel mu nona." Dengan senyum seperti mengejek resepsionist itu menunjuk ponsel yang berada di genggamannya.
Savana mendelik kesal, rencanannya gagal ternyata. "Saya akan menelponnya! Tamat riwayat mu setelah dia menjawab telpon ku!" Sebenarnya ia hanya menakut-nakuti saja, tapi kenapa wajah mereka menunjukan seakan Savana serius.
"Habislah..." Savana mendongak menatap resepsionist di depannya yang menunduk takut, dan apa tadi, 'Habislah?' Kenapa dia biapng begitu.
Savana jadi tak enak karena mengancamnya tadi. Apa dia perlu minta maaf?
"Umh... itu, tadi aku sama sekali tidak ser-" ucapannya terpotong saat seseorang menyentuh pundaknya.
"Sedang apa kau disini?" Savana berbalik badan dengan segala harapan yang ada di fikirannya itu tidak benar.
Deg!
Arka, harapannya tak terkabul. Orang itu memang Arka, tunangannya yang menikah dengan teman dekatnya.
"Saya ada urusan disini! Kalo tak ada hal serius, saya duluan." Savana menunduk kecil lalu melewatinya tanpa menatap wajahnya.
Kenapa harus sekarang? Kenapa harus bertemu dengan pria itu. Sungguh Savana sedang ingin fokus terhadap pekerjaannya.
Bruk!
Saking kalutnya dengan keadaan tanpa sadar ia terus menunduk dan tak fokus berjalan. "Ah... sorry aku tak se-- kau?!"
Pria di depannya hanya menatap Savana tegas. Savana menoleh ke belakang, dan disana masih ada Arka dengan tak tau dirinya, pria itu malah berjalan mendekat ke arah Savana dan pria di depannya.
"Bolehkah aku meminta bantuan mu lagi, pak Penolong?" Tanya Savana takut-takut.
"Call me Aiden!" Tegas Aiden karena gadis di depannya ini masih juga belum menyebut namanya.
"Aiden, bolehkah aku memeluk mu?" Jelas itu pertanyaan yang membuat Aiden kaget. Tapi saat melihat tatapan memohon gadis itu, Aiden langsung paham apa penyebabnya. Apalagi pria di belakang Savana terus meneriakinya.
"Berpelukan saja tidak cukup nona." Aiden tersenyum kecil lalu menarik pinggang ramping Savana mendekat. Tarikan tiba-tiba itu membuat jantung Savana hampir loncat.
"And then?" Savana mengangkat sebelah alisnya bingung.
Biasa, Savana emang good looking tapi kapasitas otaknya masih rendah.
Aiden semakin merapatkan tubuhnya, pria itu memiringkan wajahnya tepat di depan rahang gadis itu. Sekilas dari belakang mereka terlihat tengah berciuman.
"Kita harus mengulang saat di lorong itu." Bisik Aiden di depan bibir Savana.
Jantung Savana semakin berdegup kencang, apalagi saat tiba-tiba ia mengingat kilasan saat di lorong Club. Matanya membulat sempurna. Itu salah satu kebiasaan buruknya setelah mabuk, ingatannya muncul sedikit demi sedikit.
****
Aiden menarik tengkuk Savana pelan. Bibir mereka bertemu. Tanpa memperdulikan pekikan sekitar Savana sibuk menetralisir degup jantungnya. Ini terlalu tiba-tiba, dan sedikit mengagetkan. Dan ingat, selama berpacaran dengan siapapun ia tak pernah berciuman. Paling jauh ya hanya pegangan tangan. Bukan masalah pemikiran kolot, hanya tak ingin saja. Buktinya ia tak menolak saat Aiden menciumnnya.Benar, Aiden mengambil first kiss-nya. Tapi di dalam dirinya sama sekali tidak ada rasa marah. Aneh."Umhh... begitu ya? Ternyata hanya aku yang terus berharap. Maaf dan terimakasih sudah melupakan ku." Suara Arka menyadarkannya, bahkan ia sempat ingin menoleh. Tapi Aiden menahannya."Kau ingin melupakannya bukan?" Bisik Aiden. Savana hanya mengangguk ragu. Benar, ia ingin melupakan pria itu, tapi kenapa saat Arka mengatakan itu, rasanya berat sekali. Rasanya ia ingin berbalik dan mengatakan hal sebaliknya.Setelah kepergian Arka, Aiden melepaskan pangutannya. Ia memberi jarak dianataranya. Dan
"Bagaimana rasanya bibir milik seorang Aiden Faeyza huh? Kau tau, kau adalah satu-satunya wanita yang di perlakukan oleh Aiden istimewa." Savana yang tadinya menghiraukan ucapan Megan- sepupunya, memfokuskan sebentar saat mendengar kata istimewa.Benarkah?Isi kepalanya semakin penuh dengan dukungan bahwa pria itu menyukainya. "Aku tak peduli." Bohong, jelas Savana berbohong.Mega berdecak kesal, "kau ingin melupakan Arka bukan?" Savana mengangguk kecil. "Mulai dari Aiden, lihat pria itu. Buat dia sejatuh mungkin ke dalam pesonama mu." Megan sangat mengebu menghasut Savana."Tidak, aku tak ingin memanfaatkan orang lain demi kepuasan ku." Benar ia tak akan melakukan itu, tapi ia ingin mencobanya. Tapi bukan memanfaatkannya. Melainkan mencoba untuk menerimannya.Mungkin ia akan melupakan Arka, si mantan yang berhasil mengobrak-abrik hidupnya... juga hatinya."Dasar wanita bodoh! Pantas saja sahabat mu dengan mudah menikung tunangan mu!" Megan kesal karena Savana mengabaikan sarannya."B
"Kau tak mau menurutinya huh? Ini permintaan anak mu kalo kau lupa!" Sentak Jenni, merenggut kesal ke arah Arka.Pria yang berstatus suaminya itu menghela nafas kasar, kepalanya rasanya ingin pecah seharian di rumah meladeni wanita hamil ini. Niat ingin menghindari wartawan, eh... ternyata di rumah lebih membuatnya pusing."Mau apa?" Tanya Arka pada akhirnya ia akan menuruti wanita hamil ini agar diam.Jenni mendengus kecil, pria di depannya ini tetap tidak bisa bersikap sewajarnya. Irit bicara dan bermuka datar. "Ck! Aku tadi melihat di televisi anak kecil tengah memakan ice cream." Meskipun masih kesal tapi Jenni tetap mengutarakan keinginannya."Lalu?" Ucapan Jenni terlalu berbelit Arka kurang menangkap maksudnya."Aku ingin menyentuh pipi gembul anak itu!!" Pekik Jenni dengan rengekan. Arka melongo di tempat."K-kau tak ingin ice creamnya saja?" Tawar Arka. Ayolah... anak kecil yang Jenni maksud itu seorang artis cilik yang sekarang tengah berlibur di Jepang. Kenapa ia tau? Jela
Setelah menerima telfon dari Aiden yang bertanya tentang ia bekerja, lalu setelah Savana menjawab 'iya' pria itu langsung mematikkan sambungannya. Awalnya Savana menggerutu kesal karena Aiden hanya berbasa-basi dan tak bertanya banyak hal seperti biasa.Tepat setelah Savana selesai mengatai Aiden Ben masuk dengan senyum menggodanya."Ekhem! Perjanjian dengan klien kali ini termasuk strategi si pria untuk bisa terus dekat dengan si wanita ya." Ucap Ben seolah dia tengah bercerita.Savana mengernyit mendengar itu. "Maksud mu apa? Jika tidak penting kau tau pintu keluar dimana kan?" Sungguh mood Savana sedang kesal gara-gara telfon sialan dari Aiden.Pria itu telah membawanya terbang dengan harapan tinggi, dan menjatuhkannya dengan harapan palsu.Menyebalkan.Bukannya takut mendengar usiran penuh penekanan dari Savana, Ben malah terus berjalan mendekat dengan senyum mengejek. Setelah itu ia mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan ponselnya tepat di wajah Savana.Di ponsel Ben Savana melih
Savana duduk di sofa yang ada di ruangan Aiden. Badannya bersandar di sandaran sofa. Emosinya masih belum stabil, nafas Savana masih memburu. Ia kesal, ia ingin marah. "Maafkan Diana, dia memang aku suruh untuk tidak membiarkan orang sembarangan masuk ke ruangan ku." Ujar Aiden. Ia tau wanita di depannya ini tengah kesal. Emosi Savana perlahan luruh. Kenapa barusan ia marah seperti layaknya seorang kekasih yang ingin di bujuk. Apa yang dia lakukan barusan! Savana menegakkan badannya. Dan duduk dengan benar, "Tidak. Itu salah ku. Ah ya, aku kesini membawa ini." Savana menyodorkan dokumen biru yang memerlukan tanda tangan pria itu. "Sebentar," sebelum mengambil dokumen yang Savana sodorkan, Aiden beranjak ke arah mejanya. Mungkin saja membawa pulpen. Ternyata bukan. Aiden kembali dengan Jas pria itu. "Pakai ini untuk menutupi paha mu nona." Savana menerima Jas milik Aiden. Ia sedikit salah tingkah dengan perhatian kecil Aiden. Ia kira pria itu akan mengatakan yang tidak-tidak men
Sejak dimana Savana mengantarkan dokumen biru, dan berakhir dengan mood buruk. Savana menjauhi Aiden sejak hari itu, ia harus mengantisipasi perasaannya yang berbahaya. Beruntung tidak ada yang perlu di bahas dengan pria itu. Jadi Savana menjalani hari-harinya dengan tenang. Dan sejak itu juga Aiden tak menemuinya, padahal mereka tidak janjian untuk saling jauh-jauhan. Tapi tak apa, menurut Savana itu semua adalah keberuntungan baginya. "Ben, apakah aku harus datang nanti malam?" Tanya Savana di tengah lamunannya. Ben yang tengah fokus menge- cek dokumen menoleh sekilas ke arah Savana, "ini jam kerja kalo anda lupa." Seru Ben kembali fokus dengan pekerjaannya. "Ck! Apa susahnya tinggal jawab, toh aku sendiri yang memulai!" Begini nih yang Savana kesal mengenai kesepakatan tentang teman dan kerja. Ia tak bisa leluasa berbicara santai dengan Ben. "Saya banyak pekerjaan nona, dan saya tak ada waktu untuk menemani galau- mu." Seru Ben, setelah itu ia keluar meninggalkan Savana yang
"Ambil saja nona." Savana menyerahkan dress yang Jenni inginkan dengan sedikit kasar. "And... saya bukan sahabat mu, atau teman mu atau apapun itu. So? Jangan sok dekat ya." Ucap Savana tenang, tangannya merapikan dress wanita itu yang sedikit kusut. Bahkan Ben yang notabenenya seorang pria beringsut takut melihat sikap tenang Savana, yang berkali-kali lipat lebih menakutkan daripada wanita itu meneriakinya dengn raut wajah marah. Jenni tersenyum kecil, "uhh... aku menyukai Savana yang sekarang." Setelah mengatakan itu ia beranjak pergi dengan dress pilihan Savana. "Saya memilih yang ini! Bungkuskan cepat!" Ujar Savana dingin, wajahnya datar tanpa exspresi, ia memilih dress yang pertama di rekomendasikan oleh karyawati. Ekor mata Savana tak lepas dari pergerakan Jenni yang tengah membayar hingga keluar dari butik tantenya. "Ahrggghhhhh... WANITA ITU!! Kenapa harus bertemu disini." Pekik Savana kesal yang di akhiri lirihan frustasi. Kalo sudah begini Ben tidak takut lagi, ia mende
Dengan anggun Savana berjalan melewati tangga menuju pintu utama. Tangannya di apit Ben sejak di parkiran tadi. Suara flash kamera dan juga lampu lighting berhasil ia lewati dengan dagu terangkat dan kepercayaan dirinya. "Aku tidak menyesal menjadi teman gandeng mu." Bisik Ben di sela-sela derap langkah mereka. Savana hanya memutar bola matanya malas, pasalnya Ben lah yang membuatnya malu selama berjalan di area media. Pria itu terus tebar pesona dengan gaya yang berlebihan. Sungguh Savana ingin mendorong pria itu agar menjauh tadi, tapi ia urungkan demi image ia sendiri. Publik sudah tau Ben itu teman dekat Savana jadi mereka tidak kaget lagi. Ckrek! Ckrek! Ckrek! Suara flash di belakangnya lebib heboh di banding saat ia lewat tadi. Sontak Ben dan Savana menoleh kebelakang. "Timing yang pas sekali bukan?" Kekeh Savana, sedangkan Ben yang di sebelahnya sudah bermuka masam. "Ck! Ayolah perut ku sudah meronta berteriak meminta asupan!" Seru Ben sedikit merengek. Karena ia tahu
Prita menatap layar monitor yang menampilkan seluruh ruangan pesta yang di datangi oleh Aiden. Matanya menajam- berkilat marah saat Aiden dengan mesra mengajak Savana berdansa.Tangannya mengepal. Puk!Dengan kasar Prita menutup laptopnya. Ini tak bisa di biarkan. Ia harus bergerak cepat. Sebelum benar-benar pergi dari kamar hotelnya. Prita membawa buku catatannya.Sembari berjalan, Prita membuka bukunya. Membaca deretan nama dan juga profile yang di sertakan.Telunjuknya mengarah ke salah satu foto, sekertaris ya?? Menarik. Prita menutup bukunya dengan seringaian di wajahnya. Tangan yang satunya merogoh ponselnya dan mendial nomor seseorang."Diego Dwinarta. Cari apapun yang berkaitan dengannya. Secepatnya!"'Laksanakan!' Balas seseorang di sebrang sana.Setelah masuk lift, Prita menatap pantulannya di cermin yang menjadi salah satu tembok lift. Penampilannya agak berantakan. Untuk kali ini-- ia akan menjadi seorang pelayan cantik, sexy dan mempesona. Jelas itu untuk menarik perhat
Pesta mewah di gelar untuk merayakan ulang tahun Tuan Willson-- salah satu rekan kerja Aiden. Ia di undang langsung oleh Tuan Willson. Jelas ia harus datang.Tapi--Harus bersama Savana. Jika tidak Aiden tak mau datang. Terserah orang lain mengatakannya kekanakan dan semcamnya. Aiden tak peduli. Yang ia pedulikan hanya Savana seorang."Sudah ku bilang! Kau ini sudah dalam kategori pembodohan yang kau namakan CINTA itu!" Digo terus mengomeli teman satu-satunya ini. "Ayolah.... Tuan Willson itu penting dalam perusahaan mu Aiden!!" Digo nyaris memohon agar Aiden menghadiri pesta itu.Sang pelaku tak bergeming. Tetap santai dengan wajah datarnya. Jangan lupakan piyama tidur dan sebuah buku melekat di tangannya. Ingin rasanya Digo melempar temannya ini ke bulan, tapi ia urungkan karena masih membutuhkannya. Otaknya tak sepintar milik Aiden.Jelas alasannya sang pujaan hati yang tengah merajuk dan tak ingin ikut kepada pesta malam ini. Bagi yang tahu-tahu saja, Savana merajuk karena kejadi
Savana menatap pantulan dirinya di cermin, dress yang ia kenakan saat ini bergaya sabrina. Memamerkan pundak mulusnya dan leher jenjangnya. Savana menyatukan seluruh rambutnya yang menjuntai dan menggelungnya ke atas."Perfact." Savana tersenyum puas saat melihat hasil pilihannya.Dress bergaya sabrina berwarna biru dongker yang panjangnya di atas lutut. Savana memilih ini.Dari lima dress pilihannya yang ini paling memikat dan cocok dengan seleranya.Persetan Aiden menunggunya lama. Sengaja Savana ingin membuat pria itu kesal. "Apa kau tertidur An?" Savana berdecak kesal, pasalnya Aiden menggunakan nama panggilan orang-orang terdekatnya."IYA!" Kesalnya.Sebenarnya hal yang membuat Savana malas jika membeli baju itu adalah berganti baju. Baiklah... karena malas Savana memilih memakai dress yang ia kenakan.Sret!Savana menarik tirai itu. Ia mendapati Aiden yang tengah bersandar di samping pintu masuk menuju ruang ganti."Bayar yang ini." Seru Savana membuat badan Aiden menegak.Ia t
Di balik pintu keluar itu, seorang wanita dengan tubuh tinggi dan badan ramping bak seorang model, menggeram kesal dengan kedua tangan mengepal."Kali ini tidak berhasil... tapi tidak untuk lain kali." Desis wanita itu. Memilih pergi dari pemandangan yang menyesakan itu.Kesialan begitu setia kepadanya hari ini. Rencana dari jauh-jauh hari harus gagal seketika. Harusnnya-- ia tetap menjadi bagian penting disini, lalu menjebak Savana dan mendapatkan Aiden!Itu tujuannya!Dan malah sebaliknya. Itu semua bertolak belakang dengan kenyataannya.Wanita tadi-- Prita Adisson sudah sampai di apartemennya beberapa menit yang lalau. Ia melempar semua barang bawaannya asal, dengan segera ia melangkah menuju kamarnya."Aku pulang sayang!" Pekiknya seolah ada orang lain di apartemennya selain dirinya. Aslinya ia tinggal sendiri.Prita menatap kagum semua foto-- bahkan poster besar di setiap inci ding-ding kamarnya. Dari Aiden di nobatkan menjadi CEO Faeyza hingga Aiden yang baru keluar dari bandar
Sejak pagi tadi Savana sudah di sibukan dengan berbagai macam rangkaian shooting sebuah iklan. Usai dengan berbagai macam foto beberapa BA- nya, di karenakan sukses besar... kali ini ia mengambil project besar yang di tuangkan di sebuah iklan.Tentu main utamanya tak lain Kalea Faeyza, awalnya hanya dia seorang yang mengiklankan dengan sebuah foto dan di pajang di berbgai macam bentuk. Majalah, papan reklame, poster dan lain sebagainya. Setelah Kalea, tim pemasaran membuka luas Talent untuk di jadikan BA. Dari artis yang sedang naik daun hingga selebgram.Dan sekarang... ia akan mengambil project iklan yang resmi. Iklan ini di kontrak sekitar 3 tahun di berbagai macam stasiun televisi.Hari ini, kami semua sudah berjalan setengah jalan. Dan sekarang, semua orang sedang istirahat. Tapi tidak bagi Savana.Ia sibuk memeriksa semua vidio yang baru di ambil beberapa saat yang lalu."Talent C ini menurut ku kurang bersemangat, tak sesuai dengan skrip yang kita buat." Savana menunjuk salah s
Semua orang itu hidup dengan rencananya masing-masing, dengan kesulitan dan kebahagiaan yang sudah di atur oleh tuhan. Entah itu turunan atau sebagainya, ibunya Megan menikahi ayahnya karena di jodohkan-- lalu datanglah ia ke dunia yang rumit ini. Setelah itu tepat saat dirinya lahir, ayahnya juga datang dengan seorang wanita yang membawa seorang bayi. Benar sekali, ayahnya main belakang dari ibunya. Bahkan ayahnya jarang sekali pulang ke rumah dan lebih sering pulang kepada selingkuhannya. Alasannya-- karena tidak mencintai ibunya.Brengsek! Bajingan! Segala umpatan Megan arahkan hanya untuk pria yang katanya menyandang status sebagai ayah itu. Ia mengetahui kenyataan itu saat dia memasuki Sekolah Menengah Pertama.Dan saat ia mendengar Ben-- pria yang berhasil meluluhkan hatinya, ada wanita dan seorang bayi yang mencari pria itu, jelas Megan langsung marah. Ia tak menerima apapun alasan untuk kata Perselingkuhan!"Maafkan aku... ku mohon jangan menangis seperti ini lagi... aku tak
Seluruh karyawan Val's Corp tengah ramai membicarakan Ben yang sudah memiliki seorang anak. Mereka semua merasa kasihan terhadap Megan yang telah di khianati."Waktu itu Nona Savana, sekarang sepupunya! Apakah semua keluarga Valerie akan di khianati!! Oh tuhan!! Takdir mcam apa ini." Mita sang promotor yang paling heboh membicarakan tentang rumor Ben itu."Kasihan sekali!""Ku kira menjadi keluarga Valerie mimpi indah... ternyata... semengerikan itu ya!" "Benar. Aku selalu iri terhadap Nona Savana, tapi setelah tau takdirnya.... ternyata lebih baik hidup hidup kita di banding mereka.""EKHEM!!"Semua karyawan wanita yang tengah bergosip bubar seketika. Mereka tak ingin terkena amuk Nona Megan yang siap melahap siapa saja. Merea tau tabiat Nona Megan jika sedang marah. Melebihi bos mereka Nona Valerie.Wajah Megan mengetat marah, ia tengah merancang sebuah baju, tiba-tiba saja seseorang mengirim pesan kepadanya dan mengatakan bahwa ada wanita dan juga seorang bayi yang mengaku sebagai
Negri yang sering di sebut Negri sakura ini tengah berganti musim menjadi musim gugur. Sayangnya Jenni harus melewatkan pergantian musim kali ini, ia mendorong strolernya."Neyy siap ketemu Aunty Vana??" Seru sang ibu menatap hangat kepada putrinya yang tengah tersenyum lebar."Nanana... nanan blweeee." Balas Zuney dengan bahasanya. Memang di usianya sekarang 6 bulan ini, sedang senang-senangnya mengoceh. Dan itu sudah seperti hiburan gratis bagi Jenni setelah kehadirannya. Ia jadi tak kesepian dengan ocehan sang putri.Jenni tertawa gemas mendengarnya, "baiklah... mari kita temui Aunty sombong itu!!" Jenni sedikit kesal karena Savana sudah sangat jarang menghubunginya. Padahalkan menelfonnya tak akan membutuhkan waktu yang lama. Bahkan mengerimi pesan pun tidak!Awas saja! Nanti Jenni eksekusi saat sudah sampai Indonesia."Berjanjilah... Neya tak boleh rewel selama di peswat... okey!" Zunay mengerjap bingung mengenai perkataan sang ibu.Karena kasihan melihat sang putri kebingungan,
"Maaf kami datang terlambat..." semua atensi di ruang VVIP itu menoleh ke sumber suara."Senang menunggu mu Tuan Melvino. Silahkan duduk." Dengan sopan Savana mempersilahkahkan Kei duduk.Savana melihat ada bayangan lain di belakang Kei. Seakan mengerti ia menarik wanita di belakangnya agar terlihat jelas. "Perkenalkan diri mu." Bisik Kei sembari sedikit mendorong punggung Clarissa."Saya Clarissa, sekertaris Keeno." Dengan wajah seramah mungkin Clarissa memperkenalkan dirinya.Savana menatap Clarissa sedikit terkejut, ia jadi teringat saat kematian ayahnya dan juga saat Clarissa yang mencium Aiden... Savana ingin melupakan itu. Sekarang... kenapa dia menjadi sekertaris Tuan Melvino. Seingatnya Clarissa juga mempunyai perusahaan."Baiklah... karena semua sudah berkumpul, mari kita mulai rapatnya." Savana yang memulai rapatnya.Ia mengambil beberapa dokumen dari tasnya, Ben membantunya untuk membagikan dokumen itu. Mereka semua menerimanya dengan baik, "silahkan baca baik-baik." Sava