Bulan menoleh ke arah yang ditunjuk Langit. Sebuah pemandangan yang membuatnya ingin tertawa. Seekor monyet sedang menari menggunakan topengnya.“Terus? Kamu samakan aku dengan monyet itu?”“Nggak, aku cuma mau menunjukkan padamu bagaimana kamu kalau pas lagi tantrum, persis seperti itu.”“Damn you!”Langit tertawa terbahak-bahak, puas melihat istrinya kesal. Namun lama-lama Bulan ikut tertawa juga saat terus-terusan melihat atraksi demi atraksi yang dilakukan si monyet.Mereka berdua tertawa terbahak-bahak menikmati hiburan pagi ini.Sampai di kantor keduanya memasang wajah datar. Meski terdengar bisikan-bisikan saat mereka masuk ke dalam lift. Keduanya menulikan telinga.Ada yang mengatakan kalau Langit sekarang menjadi sopir Bulan demi bisa mendapatkan kemurahan hatinya. Lain pula ada yang mengatakan kalau Bulan sengaja menjajahnya seperti biasanya.“Jangan dengarkan omongan-omongan mereka.”“Untuk apa? Bukankah aku sudah biasa mendengarnya,” ucap Langit yang selama ini m
Meskipun kadang Bulan menggerutu kesal dan bersikap seolah tak peduli dengan suaminya, kini dia merasa aneh saat suaminya tidak berada di sisinya.Lamunan tentang Langit membuatnya mengingat alamat yang sudah Langit berikan padanya dipesan yang dia kirimkan.Apartemen yang berada pada jantung kota yang dia ketahui cukup mahal harganya. Selama ini Langit benar-benar menaruh uang yang dia kumpulkan untuk berinvestasi, bukan untuk berfoya-foya.Sampai di basemen, Bulan menelepon Langit. Sebab tak sembarangan orang bisa masuk ke apartemen miliknya. Mereka harus punya kartu pengunjung, itu pun harus disetujui oleh pemilik unit.“Ribet,” keluhnya saat Langit membukakan pintu unitnya.Langit mengembangkan senyum. Justru aneh jika Bulan tak menggerutu karenanya. Artinya istrinya itu dalam keadaan yang sedang tidak marah dengannya. Kebalikannya, Bulan akan mendiamkan Langit kalau dia sudah berada diambang batas kemarahannya.“Duduklah. Aku ambilkan minum untukmu.”Bulan duduk, matanya m
Bulan mengeluarkan sumpah serapahnya. Memukul kepalanya yang akhir-akhir ini sering berpikir lebih lambat dari biasanya.“Langiit... i hate you!”“I love you to.”Bulan yang mendengarnya makin kesal dibuatnya. Dia mengentak kakinya bebersa kali.“Bulan dengar, itu bukan salahku. Kamu memang sedang bermimpi, jadi lupakan saja. Cepatlah keluar sebelum makanannya dingin.”Selesai membasuh muka dan mencuci tangan Bulan keluar dari kamar mandi. Dia memasang raut wajah masam.“Marah-marah terus, kamu nggak takut cepat tua?”Bulan bersungut-sungut, mengabaikan ucapan Langit dan langsung duduk di kursi makan. Dilihatnya spaghetti carbonara kesukaannya. Matanya berbinar cerah, moodnya yang tadi berantakan kembali membaik.“Dasar wanita.”Bulan mendelik ke suaminya.Langit mengembangkan senyum. Melihat istrinya bahagia dengan hal sederhana, rasanya dia ingin menghentikan waktu dan menikmati keindahan ciptaan Tuhan yang ada di depannya. Rasanya dia sedang memiliki dunia seisinya.“Mak
Dengan suara berapi-api Bulan membalas ucapan suaminya.“Langiit...tt, aku mau pulang!”Langit yang tak mau mengganggu penghuni lainnya memilih membungkam mulut istrinya.“Lepas Langit! Lepas!”Bulan memberontak, dia menyikut perut suaminya hingga mengaduh. Langit melepaskan telapak tangannya yang membungkam mulut istrinya.“Ini apartemen Bulan.”“Iya, ini apartemen, aku tahu pasti ada peredamnya, Langit.”Langit menggaruk-garuk tengkuknya. Bagaimana dia bisa lupa kalau apartemennya memiliki peredam.“Dasar bodoh!”“Mulutmu itu sepertinya memang butuh diberi pelajaran.”Langit mendekati istrinya, Bulan menatap Langit tak berkedip. Mendadak bulu kuduknya berdiri. Dia takut melihat Langit yang menatapnya tak berkedip seraya menampilkan smirk di sudut bibirnya. Bulan terus bergerak mundur.“Laaa..ngit, jangan macam-macam,” ucapnya memasang kedua telapak tangannya di depan tubuhnya. Berusaha melindungi dirinya dari Langit yang terus berjalan mendekatinya.“Kenapa? Kamu takut?
Bulan melempar tas miliknya ke sembarang tempat. Dia masih enggan melepas kacamata hitam yang sejak tadi bertengger di hidungnya. Sebuah suara yang cukup familier menyapa telinganya. Bulan menoleh, dilihatnya Mine yang sudah berdiri di depan pintu seraya melambaikan tangan padanya. “Something happen with you?” tanya Mine menggodanya. “Yea, i couldn't sleep all night.” Mine terkekeh, tanpa perlu bertanya pada sahabatnya, Mine sudah bisa menebak kalau Langit yang membuat sahabatnya itu tak bisa tidur. Mine duduk di sofa panjang yang berada di sana. Dia menepuk sisi sebelahnya meminta Bulan duduk. Bulan melepas kacamata dan duduk di sebelah Mine. Mine terbahak melihat mata panda Bulan. “Kamu memang nggak ada akhlak, berbahagia di atas penderitaanku.” Mine tak bisa menyembunyikan tawanya, sejujurnya dia merasa lucu sekaligus kasihan pada Bulan. Ditambah di melihat Bulan memijat-mijat dahinya. Mine tahu apa yang harus dilakukannya ketika Bulan sudah seperti itu. Dia meminta Bulan m
Bulan melengos, dia meminta sahabatnya untuk keluar dari ruangannya . “Keluar, keluar, kamu pikir dia barang, menyuruhku menghibahkannya padamu. Aku membayarnya cukup mahal, kalau kamu lupa.” Mine terbahak-bahak, “Nggak rela, kan?” Bulan berdecap sebal karena Mine terus-menerus menimpali perkataannya. Dia mendorong punggung Mine keluar dari ruangannya. Pagi ini dia ingin sendirian. Rasanya dia tak ingin diganggu siapa pun. Walaupun itu tak mungkin terjadi, sebab setelah kepergian Mine. Bintang datang menghampirinya. Mine yang masih menunggu lift menggoda sahabatnya dengan mengerlingkan sebelah matanya. Sontak Bulan membalasnya dengan mengepalkan tangan kirinya, mengarahkannya pada Mine yang dibalas dengan tawanya yang masih bisa ditangkap telinganya. “Sialan,” lirihnya kesal. Bintang menggelengkan kepala melihat tingkah kocak mereka berdua. “Selamat pagi,” sapanya pada Bulan. “Morning, Pak.” “Apa saya mengganggu kalian berdua?” “Saya dan Mine? Tentu saja tidak.” Bintang dud
Saat ini Bulan ingin mencekik lehernya sendiri. Dia tak mengerti dengan pemikiran Bintang. Haruskah dia melakukannya sejauh ini? “Pak, tapi, Pak.” “Hm,” jawab Bintang tanpa menoleh ke arah Bulan. Matanya masih fokus dengan layar laptop yang menyala menampilkan email dari klien naratamanya. Bulan mengurungkan niatnya, dia memilih mengatupkan bibir dan duduk kembali ke singgasananya. Entah sejak kapan dia peduli penilaian orang lain padanya. Padahal kalau dipikir-pikir, selama ini dia tak mau ambil pusing tentang gosip yang beredar di sekitarnya. Dia memilih menulikan telinganya. Sebab baginya, orang yang lebih sibuk mengurus orang lain sering lupa bercermin. Mamanya sering mengingatkan dirinya bahwa Bulan hanya memiliki dua tangan yang tak mungkin digunakan untuk menutup semua mulut mereka, solusi terbaik demi mentalnya terjaga adalah menulikan kedua telinganya. “Kenapa tak melanjutkan kalimatmu? Apa yang ingin kamu katakan padaku?” “Apa anda membutuhkan sesuatu?” “No, thanks. Sel
Senja datang, menggantikan matahari dengan temaram yang mulai menggelap. Bulan membereskan meja kerjanya sambil memandang keluar jendela. Tampak mendung menggantung di langit. Sepertinya malam ini akan hujan, begitu pikirnya. Bulan keluar dari ruangannya, tak dilihatnya Langit di sana. Sepertinya suaminya itu belum kembali sejak makan siang. Entah apa saja yang dilakukannya di luar sana. Bulan masuk ke dalam lift, pikirannya melayang pada kejadian siang tadi di mana dia begitu berani membentak Bintang. Untung saja panggilan darurat yang diterima Bintang datang di saat yang tepat, sehingga dia tak perlu melanjutkan kemarahannya atas ucapan Bintang yang menurutnya sudah banyak memprovokasinya Bulan baru saja masuk kamar, saat suaminya menegurnya. “Kamu pulang terlambat.” “Tumben kamu menungguku hanya untuk mengatakan ini.” “Sepertinya jam di pergelangan tanganmu itu tak berguna. Buktinya kamu masih tak tahu waktu dan pulang sangat terlambat.” Bulan yang lelah dan juga kepikiran La