“Berhubung malam mulai gelap, dan kamu juga harus mengembalikan gelas ke bawah, lebih baik kita akhiri obrolan kita sekarang. Aku mengantuk. Besok kita harus bertarung dengan kejamnya dunia.”Langit tersenyum tipis. Jelas sekali kalau Bulan tak ingin membahas tentang hubungan mereka bertiga. Walau begitu, Langit menurut. Dia mengembalikan gelas-gelas mereka ke dapur.Saat dia kembali, dilihatnya Bulan yang masih belum tidur, dia bersandar pada headboard.“Bukannya kamu mau tidur? Ini hampir pagi, Bulan.”“Entahlah, rasa kantukku tiba-tiba hilang.”“Apa kamu mau aku ninaboboin, biar tidurmu pulas? Atau kamu mau aku memelukmu sampai kamu tertidur?”Bulan melempar bantal miliknya. Langit tergelak, dia berhasil mengelak dari lemparan Bulan. Dia memungut bantal yang jatuh di lantai dan membawanya naik ke atas ranjang.“Mau ngapain?” tanya Bulan melotot.“Tidur. Atau kamu mengharapkan yang lain? Mau olahraga denganku malam ini?”Langit yang sudah duduk di atas ranjang pun menerima
Bulan menoleh ke arah yang ditunjuk Langit. Sebuah pemandangan yang membuatnya ingin tertawa. Seekor monyet sedang menari menggunakan topengnya.“Terus? Kamu samakan aku dengan monyet itu?”“Nggak, aku cuma mau menunjukkan padamu bagaimana kamu kalau pas lagi tantrum, persis seperti itu.”“Damn you!”Langit tertawa terbahak-bahak, puas melihat istrinya kesal. Namun lama-lama Bulan ikut tertawa juga saat terus-terusan melihat atraksi demi atraksi yang dilakukan si monyet.Mereka berdua tertawa terbahak-bahak menikmati hiburan pagi ini.Sampai di kantor keduanya memasang wajah datar. Meski terdengar bisikan-bisikan saat mereka masuk ke dalam lift. Keduanya menulikan telinga.Ada yang mengatakan kalau Langit sekarang menjadi sopir Bulan demi bisa mendapatkan kemurahan hatinya. Lain pula ada yang mengatakan kalau Bulan sengaja menjajahnya seperti biasanya.“Jangan dengarkan omongan-omongan mereka.”“Untuk apa? Bukankah aku sudah biasa mendengarnya,” ucap Langit yang selama ini m
Meskipun kadang Bulan menggerutu kesal dan bersikap seolah tak peduli dengan suaminya, kini dia merasa aneh saat suaminya tidak berada di sisinya.Lamunan tentang Langit membuatnya mengingat alamat yang sudah Langit berikan padanya dipesan yang dia kirimkan.Apartemen yang berada pada jantung kota yang dia ketahui cukup mahal harganya. Selama ini Langit benar-benar menaruh uang yang dia kumpulkan untuk berinvestasi, bukan untuk berfoya-foya.Sampai di basemen, Bulan menelepon Langit. Sebab tak sembarangan orang bisa masuk ke apartemen miliknya. Mereka harus punya kartu pengunjung, itu pun harus disetujui oleh pemilik unit.“Ribet,” keluhnya saat Langit membukakan pintu unitnya.Langit mengembangkan senyum. Justru aneh jika Bulan tak menggerutu karenanya. Artinya istrinya itu dalam keadaan yang sedang tidak marah dengannya. Kebalikannya, Bulan akan mendiamkan Langit kalau dia sudah berada diambang batas kemarahannya.“Duduklah. Aku ambilkan minum untukmu.”Bulan duduk, matanya m
Bulan mengeluarkan sumpah serapahnya. Memukul kepalanya yang akhir-akhir ini sering berpikir lebih lambat dari biasanya.“Langiit... i hate you!”“I love you to.”Bulan yang mendengarnya makin kesal dibuatnya. Dia mengentak kakinya bebersa kali.“Bulan dengar, itu bukan salahku. Kamu memang sedang bermimpi, jadi lupakan saja. Cepatlah keluar sebelum makanannya dingin.”Selesai membasuh muka dan mencuci tangan Bulan keluar dari kamar mandi. Dia memasang raut wajah masam.“Marah-marah terus, kamu nggak takut cepat tua?”Bulan bersungut-sungut, mengabaikan ucapan Langit dan langsung duduk di kursi makan. Dilihatnya spaghetti carbonara kesukaannya. Matanya berbinar cerah, moodnya yang tadi berantakan kembali membaik.“Dasar wanita.”Bulan mendelik ke suaminya.Langit mengembangkan senyum. Melihat istrinya bahagia dengan hal sederhana, rasanya dia ingin menghentikan waktu dan menikmati keindahan ciptaan Tuhan yang ada di depannya. Rasanya dia sedang memiliki dunia seisinya.“Mak
Dengan suara berapi-api Bulan membalas ucapan suaminya.“Langiit...tt, aku mau pulang!”Langit yang tak mau mengganggu penghuni lainnya memilih membungkam mulut istrinya.“Lepas Langit! Lepas!”Bulan memberontak, dia menyikut perut suaminya hingga mengaduh. Langit melepaskan telapak tangannya yang membungkam mulut istrinya.“Ini apartemen Bulan.”“Iya, ini apartemen, aku tahu pasti ada peredamnya, Langit.”Langit menggaruk-garuk tengkuknya. Bagaimana dia bisa lupa kalau apartemennya memiliki peredam.“Dasar bodoh!”“Mulutmu itu sepertinya memang butuh diberi pelajaran.”Langit mendekati istrinya, Bulan menatap Langit tak berkedip. Mendadak bulu kuduknya berdiri. Dia takut melihat Langit yang menatapnya tak berkedip seraya menampilkan smirk di sudut bibirnya. Bulan terus bergerak mundur.“Laaa..ngit, jangan macam-macam,” ucapnya memasang kedua telapak tangannya di depan tubuhnya. Berusaha melindungi dirinya dari Langit yang terus berjalan mendekatinya.“Kenapa? Kamu takut?
Bulan melempar tas miliknya ke sembarang tempat. Dia masih enggan melepas kacamata hitam yang sejak tadi bertengger di hidungnya. Sebuah suara yang cukup familier menyapa telinganya. Bulan menoleh, dilihatnya Mine yang sudah berdiri di depan pintu seraya melambaikan tangan padanya. “Something happen with you?” tanya Mine menggodanya. “Yea, i couldn't sleep all night.” Mine terkekeh, tanpa perlu bertanya pada sahabatnya, Mine sudah bisa menebak kalau Langit yang membuat sahabatnya itu tak bisa tidur. Mine duduk di sofa panjang yang berada di sana. Dia menepuk sisi sebelahnya meminta Bulan duduk. Bulan melepas kacamata dan duduk di sebelah Mine. Mine terbahak melihat mata panda Bulan. “Kamu memang nggak ada akhlak, berbahagia di atas penderitaanku.” Mine tak bisa menyembunyikan tawanya, sejujurnya dia merasa lucu sekaligus kasihan pada Bulan. Ditambah di melihat Bulan memijat-mijat dahinya. Mine tahu apa yang harus dilakukannya ketika Bulan sudah seperti itu. Dia meminta Bulan m
Bulan melengos, dia meminta sahabatnya untuk keluar dari ruangannya . “Keluar, keluar, kamu pikir dia barang, menyuruhku menghibahkannya padamu. Aku membayarnya cukup mahal, kalau kamu lupa.” Mine terbahak-bahak, “Nggak rela, kan?” Bulan berdecap sebal karena Mine terus-menerus menimpali perkataannya. Dia mendorong punggung Mine keluar dari ruangannya. Pagi ini dia ingin sendirian. Rasanya dia tak ingin diganggu siapa pun. Walaupun itu tak mungkin terjadi, sebab setelah kepergian Mine. Bintang datang menghampirinya. Mine yang masih menunggu lift menggoda sahabatnya dengan mengerlingkan sebelah matanya. Sontak Bulan membalasnya dengan mengepalkan tangan kirinya, mengarahkannya pada Mine yang dibalas dengan tawanya yang masih bisa ditangkap telinganya. “Sialan,” lirihnya kesal. Bintang menggelengkan kepala melihat tingkah kocak mereka berdua. “Selamat pagi,” sapanya pada Bulan. “Morning, Pak.” “Apa saya mengganggu kalian berdua?” “Saya dan Mine? Tentu saja tidak.” Bintang dud
Saat ini Bulan ingin mencekik lehernya sendiri. Dia tak mengerti dengan pemikiran Bintang. Haruskah dia melakukannya sejauh ini? “Pak, tapi, Pak.” “Hm,” jawab Bintang tanpa menoleh ke arah Bulan. Matanya masih fokus dengan layar laptop yang menyala menampilkan email dari klien naratamanya. Bulan mengurungkan niatnya, dia memilih mengatupkan bibir dan duduk kembali ke singgasananya. Entah sejak kapan dia peduli penilaian orang lain padanya. Padahal kalau dipikir-pikir, selama ini dia tak mau ambil pusing tentang gosip yang beredar di sekitarnya. Dia memilih menulikan telinganya. Sebab baginya, orang yang lebih sibuk mengurus orang lain sering lupa bercermin. Mamanya sering mengingatkan dirinya bahwa Bulan hanya memiliki dua tangan yang tak mungkin digunakan untuk menutup semua mulut mereka, solusi terbaik demi mentalnya terjaga adalah menulikan kedua telinganya. “Kenapa tak melanjutkan kalimatmu? Apa yang ingin kamu katakan padaku?” “Apa anda membutuhkan sesuatu?” “No, thanks. Sel
Langit mendengarkan suara di seberang sana. Namun, tak butuh waktu lama, dia mengakhiri panggilan dari Baby.“Tumben?”Langit cengengesan, dia tak mau kehilangan momen bersama istrinya. Biar saja Baby marah dengannya. Kali ini dia tak mau menyesal lagi. Di saat dia sudah tahu pasti perasaan istrinya. Di tambah lagi Bulan datang jauh-jauh ke Korea hanya untuk memintanya tetap menjadi suaminya. Suaminya sebenarnya, bukan suami yang hanya tertulis di atas kertas.“Aku ingin waktu berhenti sejenak. Menikmati apa yang terjadi hari ini. Even itu hanya sebuah ekspektasi yang tidak mungkin terjadi.”“Ini bukan ekspektasi, Langit. Aku ada di depanmu. Kamu bahkan bisa menyentuhku, melakukan apa saja yng kamu inginkan dariku.”Langit tertawa dia memeluk istrinya lagi, menidurkannya kembali di sisnya sembari menaikkan selimut hingga menutupi kedua tubuh mereka berdua. Langit tak bisa tidur meski langit masih menggelap. Matahari seakan enggan menampakkan wajahnya, matahari tak ingin menggangg
Kini Bulan sudah duduk di dalam pesawat yang sebentar lagi take off. Dia meremas kedua telapak tangannya yang sedikit berkeringat. Meskipun ini bukan pertama kalinya dia pergi ke Korea, tapi entah kenapa perasaannya menjadi gugup. Dia memiliki banyak ketakutan tersendiri. Takut misinya akan gagal kali ini dan pulang dalam keadaan terluka. Walaupun sudah membulatkan tekadnya tetap saja dia hanyalah manusia biasa.Perjalanan tujuh jam dua puluh delapan menit akhirnya berhasil dia lewati tanpa kendala apapun. Pesawat mendarat dengan sempurna. Bulan keluar dari imigrasi dan langsung menuju hotel yang sudah dia booking sebelumnya.“Seoul, im in love,” gumannya sembari menuju taksi yang akan mengantarkannya ke tempat dia akan beristirahat.Sampai di hotel dan check ini, Bulan mengirimkan pesan pada suaminya. Waktu seolah berputar terlalu lambat. Hamir sepuluh menit berlau dan suaminya masih belum membaca pesan yang dikirimkannya. Entah apa yang sedang dia lakukan sekarang. Mungkinkah sua
Bulan ingin sekali pergi menjenguk mertuanya, dia sendiri masih bingung kenapa Ibu Langit bisa sampai masuk ICU.Bulan ingin bertanya pada Langit tapi dia berusaha menahan jarinya untuk tak mengirimkan pesan pada suaminya.“Nanti malam sepulang kerja bagaimana?”Bulan bertanya pada Mine, sebab dia yang tahu di mana ibu mertuanya di rawat. Lagi pula selama Langit pergi dia selalu kesepian di rumah. Rumahnya kosong. Mamanya belum pulang dari Jepang, sedangkan Mine sekarang sudah memiliki kekasih yang tiap malam selalu datang ke apartemennya.“Boleh, tapi aku tak bisa menemanimu lama-lama. Aku ada janji kencan malam ini.”Bulan melemparkan map ke arah sahabatnya. Mine tertawa, dia berhasil menghindar dan menangkap map milik Bulan lalu meletakkannya kembali ke atas meja.“Aku kembali dulu ke ruanganku, nanti aku kemari, aku ada janji dengan klien. Oiya, kalau aku jadi kamu aku akan menyusul suamimu dan membawanya pulang bersamamu. Cinta itu tak memandang gender, mau siapa pun yang m
“Good morning. Semangat, Bulan, dunia masih berputar meski tak ada Langit di sisimu. Ada langit lain yang selalu mengayomi kamu.”“Sial.”Bulan mengumpat kesal.Mine terkekeh, dia bukannya menghibur Bulan yang sedang patah hati, tapi malah menggodanya terus-menerus.“Kenapa tak membalas pesan darinya?”Bulan menghela nafas, dia teringat terakhir kali melihat Langit saat senja di tepi pantai. Dia sadar betul bahwa Langit memiliki perasaan yang sama dengannya, tapi kenapa lelaki itu mau menerima begitu saja permintaan Baby padanya. Berapa banyak uang yang Baby bakar untuknya?“Malas, untuk apa dia berbasa-basi nggak jelas, padahal dia sedang sibuk menyuapi dan meninabobokan bayinya.”Mine tak mampu menahan tawanya, dia tertawa terbahak-bahak. Di saat kesal begitu, amarah Bulan malah membuatnya tertawa terpingkal. Bulan mendesah melihat sahabatnya cukup terlihat puas dan bahagia dengan kalimatnya barusan.“Bagus, lanjutkan saja kebahagiaanmu menertawai penderitaanku. Kamu mema
Selesai makan, mereka berdua berbincang santai setelah sejak tadi berada pada kecanggungan yang hakiki. Setelah beberapa menit berlalu, Langit membuka suara kembali. “Ayo, aku akan mengajakmu ke suatu tempat.” “Ke mana?” “Nanti kamu juga akan tahu.” Mereka berdua bangkit dari duduknya dan melangkah keluar. Menggunakan mobil Langit keduanya kini sudah berada di kemacetan yang cukup panjang. Bulan menghela nafas, dia memandang keluar jendela, menatap masa depannya yang masih tampak buram. Sesekali Langit melirik istrinya yang beberapa kali terlihat menghela nafas. Seolah sedang berusaha melepaskan beban hidup yang cukup berat yang sedang dipikulnya. “Ada yang kamu pikirkan?” tanya Langit memecah keheningan di antara mereka. Bulan menggeleng pelan. Tepat di lampu merah mereka berhenti, Langit menatap lamat-lamat wajah cantik istrinya. Selama beberapa tahun terakhir, dia mengagumi perempuan itu. Dan pada akhirnya dia bisa dipersatukan oleh keadaan. Perempuan keras k
Setelah malam itu entah kenapa keduanya menjaga jarak, bahkan sudah beberapa malam langit memilih tidur di sofa meski tersiksa. sementara bulan tidur sendirian di ranjang dengan kebisuannya.Walau keduanya sama-sama tak nyaman, tak ada satu pun dari mereka yang mengubah keadaan. Langit apatis dan Bulan yang egois membuat keadaan semakin sulit.Tepat di hari yang sudah ditunggu Langit. Hari ini adalah hari kepergiannya ke Korea bersama Baby. Mungkin semuanya memang harus berjalan seperti yang takdir inginkan. Sekuat apapun Langit menunjukkan perasaannya, si keras kepala itu masih saja tak peka.“Aku pergi hari ini,” pamit Langit pada istrinya yang masih mengenakan bathrobe miliknya seraya memencet tombol remote bergantian.Ada sesak merundung dadanya tapi dia berusaha keras mengalihkannya.“Aku tak perlu mengantarkan kamu ke bandara, kan?”Langit menggeleng pelan, dia duduk menyandarkan punggungnya pada sofa yang didudukinya. Memandang ke arah istrinya yang baru saja selesai
Setelah puas melampiaskan kekesalannya, Bulan meminta maaf pada dirinya sendiri. Dia sudah menyakiti tubuhnya yang senantiasa menemaninya setiap hari.Hampir tengah malam saat dia mematikan komputer miliknya. Baru saja pintu lift terbuka, suaminya sudah berdiri di dalam sana.“Aku pikir kamu nggak pulang. Makanya aku menyusulmu ke sini.”“Aku mau pulang sekarang.”Bulan masuk ke dalam lift yang sama dengan suaminya. Mereka berdua mengatupkan bibirnya rapat. Hening, hanya ada suara helaan nafas mereka berdua. Langit memberi waktu pada Bulan menikmati kediamannya.“Naik mobilku, kamu pasti lelah, biar aku yang menyetir.”“Aku nggak capek, tenang saja, naik mobil masing-masing saja.”Bulan membantah, dengan langkah lebarnya dia berhasil mendahului Langit dan langsung masuk ke dalam mobil miliknya. Dia menghidupkan audio, memutar lagu kesukaannya, sesekali dia ikut bernyanyi melampiaskan emosinya yang sudah sejak pagi tak tersalurkan. Saat berhenti di lampu merah dia memandangi s
Bulan masih menyibukkan dirinya, seperti ucapannya sebelumnya, dia sama sekali tak ingin ikut bergabung dengan Mine dan Langit yang sekarang sedang makan malam. Walaupun Mine membujuknya dengan seribu cara, tetap saja Bulan tak berminat ikut dengan mereka. Rasanya dia terlalu kecewa dengan Langit hingga ingin sekali menjauh. Ponsel di sampingnya bergetar menampilkan gelembung chat dari suaminya dan Mine. Mereka kompak sekali bertanya pada Bulan. Bulan hanya membacanya sekilas tanpa mau membalasnya. Dia memegangi perutnya yang mulai keroncongan. Cacing-cacing di perutnya sudah meminta haknya. “Mau sampai kapan kamu begini, Bulan?” Langit sudah berdiri di depan pintu. Bulan menatapnya sekilas lalu berusaha menyibukkan dirinya kembali. Membiarkan Langit masuk ke dalam ruangannya. “Kenapa tak membalas pesanku? Ayo, makan dulu.” Langit menyiapkan makan malam untuk istrinya. Membuka paperbag yang dibawanya. “Kamu boleh marah denganku, tapi jangan menyiksa dirimu sendi
Langit melewati Bulan begitu saja, pikirnya itu lebih baik. Mungkin saat ini adalah saat yang tepat untuknya memberi jarak antara keduanya. Langit berpikir dengan begitu dia akan lebih tenang meninggalkan Bulan selama dia pergi ke Korea. Mungkin dengan memberi jarak, perempuan itu menjadi lebih tahu sisi hatinya, bagaimana keinginannya. “Kamu lihat, kan?” “Tentu saja aku melihatnya. Kamu pikir aku buta.” Bulan menghela nafas mendengar ucapan Mine. Mine menatap sahabatnya dengan tatapan penuh selidik. Melihat kelakuan sahabatnya, Bulan pun merasa jengah. “Katakan cepat!” Mine terkekeh geli, Bulan dengan cepat mengerti dengan bahasa isyarat yang diberikan padanya lewat tatapannya. “Aku tak tahu alasan pastinya, kenapa tiba-tiba dia menerima ajakan gadis bermuka dua pergi ke Korea. Dan aku juga tak ingin bertanya tentang alasannya. Titik, jangan lagi kamu sematkan koma di akhir kalimatku.” Mine mendesah pelan, mau sampai kapan keduanya salah paham terus mener