Senja datang, menggantikan matahari dengan temaram yang mulai menggelap. Bulan membereskan meja kerjanya sambil memandang keluar jendela. Tampak mendung menggantung di langit. Sepertinya malam ini akan hujan, begitu pikirnya. Bulan keluar dari ruangannya, tak dilihatnya Langit di sana. Sepertinya suaminya itu belum kembali sejak makan siang. Entah apa saja yang dilakukannya di luar sana. Bulan masuk ke dalam lift, pikirannya melayang pada kejadian siang tadi di mana dia begitu berani membentak Bintang. Untung saja panggilan darurat yang diterima Bintang datang di saat yang tepat, sehingga dia tak perlu melanjutkan kemarahannya atas ucapan Bintang yang menurutnya sudah banyak memprovokasinya Bulan baru saja masuk kamar, saat suaminya menegurnya. “Kamu pulang terlambat.” “Tumben kamu menungguku hanya untuk mengatakan ini.” “Sepertinya jam di pergelangan tanganmu itu tak berguna. Buktinya kamu masih tak tahu waktu dan pulang sangat terlambat.” Bulan yang lelah dan juga kepikiran La
Langit berkacak pinggang, istrinya membuatnya benar-benar dilanda ras kesal. Mendadak ide gila muncul di kepalanya.“Kalau kamu tetap pergi menemuinya, aku akan mengunggah foto kita di media sosial miliku, aku juga akan mengetagmu.”“Jangan gila, Langit. Aku hanya mau menepati janjiku pada Bintang. Kita sudah sepakat untuk tidak mencampuri urusan masing-masing, kan? Jadi tolong pikirkan kembali.”“Ada opsi kedua.”“Apa itu?’“Aku pergi denganmu menemui Bintang.”Bulan menghela nafas berat, sejak kapan suaminya itu berubah menjadi sosok yang posesif. Mungkinkah pikirannya sama dengan apa yang dipikirkan dengan Langit. “Ini sudah malam, aku tak mungkin membiarkan kamu pergi sendiri sementara aku di rumah. Bagaimana kalau mama tahu? Apa yang akan aku katakan padanya. Walaupun hubungan kita pura-pura, tetap saja aku harus bertanggung jawab menjagamu.”Langit tak kehabisan akal, dia menjual nama mama mertuanya demi bisa ikut Bulan pergi menemui Bintang. Dia tak rela membiarkan Bul
Langit melampiaskan kekesalan dengan memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Sesekali dia melirik Bintang yang begitu memuja istrinya.Sepertinya saingannya itu sudah berani bertindak terlalu jauh demi mengambil hati istrinya.Langit melihat jam di pergelangan tangannya, jam mahal dengan brand yang cukup ternama itu menunjukkan waktu hampir dini hari. Ternyata hampir dua jam lebih mereka berada di sana. Langit menghampiri Bulan, dia tak peduli dengan penilaian Bintang padanya. Bagaimanapun dia harus bisa mengajak Bulan pulang.“Ayo pulang, sudah hampir pagi.”“Sebentar lagi, Langit.”“Mama menyuruhku membawamu pulang sekarang. “Langit tahu kelemahan istrinya, dan dia harus menggunakannya. Kalau tak begitu, Bulan akan sengaja berlama-lama di sana dan membuatnya semakin kesal.Bintang yang masih ingin bersama dengan Bulan tentu saja keberatan dengan tindakan Langit."Kamu pulang saja dulu, biar aku yang akan mengantarkannya pulang. Tante tak mungkin marah jika aku yang menganta
Bulan acuh tak acuh, dia memegangi secangkir teh madu buatan suaminya meminumnya seraya duduk di balkon. Dia tersenyum-senyum sendiri mengingat perkataan Langit padanya “Jadi dia terganggu.”Bulan menyeruput teh madu, menghabiskannya lalu kembali masuk ke kamarnya. Diabaikannya permintaan Langit padanya. Masih dengan lingerienya dia tidur di atas ranjang.Lelah yang menderanya membuatnya cepat tertidur pulas. Langit yang baru saja keluar dari kamar mandi menghela nafas panjang. Melihat tampilan istrinya, dia segera menghampiri Bulan dan menutup tubuh istrinya dengan selimut. Dengan perlahan Langit menaikkan selimut, tapi detik berikutnya Bulan menendang selimutnya ke bawah. Mungkin efek dia meminum wine membuat tubuhnya panas.Langit berdecap, “Tak biasa minum, tapi sok-sokkan minum wine.”Dua kali Langit menarik selimutnya, dua kali pula Bulan menendangnya. Langit yang mulai kesal membiarkan gadis itu berbuat semaunya. Dia mengambil bantal miliknya dan tidur di sofa. Sepertin
Langit berteriak kesakitan, pasalnya istrinya yang marah dengan perlakuan Langit menggigit bibir Langit hingga berdarah.“Too much.”Langit memasang raut wajah tak terima. Tak berbeda dengan istrinya yang menatap Langit dengan sorot penuh emosi dan kebencian.“Apa! Apa menatapku seperti itu, seharusnya kamu minta maaf padaku.”Suasana menjadi sedikit tegang, keduanya sama-sama kesal dan tak mau saling mengalah. Bulan sama sekali tak takut dengan Langit. Kalaupun pertengkarannya dengan Langit membuatnya datang terlambat, dia tak peduli.Langit berusaha meredakan amarahnya. Dia menghela nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Dia tak peduli ada Bulan di depan wajahnya. Saat ini lebih baik dia mengenakan celananya dan segera keluar dari kamar demi kesehatan mental mereka berdua.Langit mengambil ponsel miliknya dan keluar. Bulan menatap nanar punggung lebar yang kini menghilang di balik pintu.“Bulan..Bulan.. Bulan setan apa yang sudah merasukimu!”Bulan kesal dengan dirinya
Langit dan Baby kini sudah berada di belakang mereka berdua. Bulan meliriknya tak suka. Dia juga tak mengerti dengan pemikiran Langit, bisa-bisanya dia menemui Bulan dengan membawa Baby. “Apa!” “Nothing, Cuma mau menyapa saja. Aku sudah membaca pesan yang kamu kirimkan padaku.” “Terus.” “Aku dan Baby cuma menonton sebentar, hanya itu.” Perempuan bernama Baby menatap Bulan tak suka, gelagatnya seolah memberitahu Bulan kalau Langit adalah miliknya. Ingin rasanya dia menendang perempuan yang sedang bergelayut manja pada suaminya. “Terserah, kamu, risiko tanggung sendiri. Aku nggak mau tahu, pokoknya aku nggak mau kamu menyulitkan aku, titik.” Bulan mengatakannya dengan ketus, pasalnya dia ingin mencabik-cabik perempuan cantik yang menyandarkan kepalanya di pundak suaminya. “Sungguh menyebalkan.” Gerutunya kesal. Mine hanya menatap obrolan mereka yang tampak canggung. Dia sendiri baru kali ini melihat Bulan tak mampu menyembunyikan perasaannya, hanya saja sepertinya Langit tak bis
Setelah obrolan panjang lebar dengan Bintang, Mine dan Bulan kini sudah berada di sebuah club malam yang biasa mereka kunjungi saat sedang jenuh dan banyak masalah.“Kamu nggak telepon, Langit?”“Nggak, malas!”“Biar aku saja yang meneleponnya. Jangan gengsi. Bagaimanapun juga dia suamimu. Benarkah kamu nggak cemburu dengannya?”Bulan memutar gelas yang berisi Margarita. Dia menghela nafas, sejatinya dia masih bimbang dengan perasaannya sendiri. Namun dia selalu saja bersikap apatis.“Haruskah aku meneleponnya setelah apa yang terjadi. Kamu tahu bagaimana perasaanku, kan? Kamu tahu pasti alasan kenapa sekarang aku berada di sini.”Mine diam tak menjawab. Dia tahu, Bulan tak akan menginjakkan kaki di tempat ini jika dia merasa baik-baik saja. Namun situasi memang cukup rumit. Mau menangis, mau mengeluh, pun percuma, sebab semua kesalahan ada pada keduanya. Takdir mengubah kegilaan mereka menjadi sesuatu yang susah dijelaskan dengan kata-kata, yang hanya mereka berdua yang tahu c
Bulan terus saja memanggil Langit. Telinga Langit risih mendengar istrinya menyebut namanya terus menerus. Dia berpikir Bulan akan muntah di mobilnya, sehingga dia memilih menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dia membuka pintu dan mendapati Bulan yang sudah terduduk dengan mata terpejam.“Kamu mau muntah?” tanya Langit pada istrinya.Walaupun Bulan tak sadar, dia tetap saja bertanya padanya. Bulan menggeleng. Dia malah melingkarkan kedua lengannya pada leher suaminya.“Kapan kita pulang?” tanyanya manja.Langit terkekeh, dia merasa terhibur dengan wajah istrinya yang tampak menggemaskan saat mabuk.“Iya, kita pulang, jadilah baik. aku akan memindahkanmu duduk di depan. Jangan berulah, mengerti?"Langit seperti seorang ayah yang sedang memberi perintah pada anaknya. Bulan mengangguk seraya mengerucutkan bibirnya. “Jangan menggodaku, Setan.”Langit menggerutu kesal, dia tak menyangka kalau ucapannya barusan membuat Bulan membuka matanya agak lebar.“Kamu memanggilku Se