Hanna terengah-engah kehabisan napas saat dia tiba di serambi sekolah. Kabut turun agak pekat hari ini, mentari nampaknya masih enggan menceriakan hari-harinya di sini. Dingin! Desis Hanna. Ditarik tas postman yang terombang-ambing, mencari-cari sweater tipis satu-satunya hadiah dari nenek saat dia merayakan ulang tahun ke tujuh belas.
Sial! runtuknya dalam hati.
Hanna melupakan semua, tasnya hanya terisi satu buah pulpen biru dan handphone. Pikiran kusut setelah Nazri menghubungi membuat dia sulit untuk tidur malam kemarin. Mata yang didaulat untuk bercengkrama dengan mimpi tetapi malah berubah menjadi lamunan tak bertepi. Belum lagi derai gerimis yang mendendangkan sebuah simfoni indah, sahabat yang pas menemani kegalauan. Satu kata untuk mendeskripsikan hasilnya, telat. Telat mandi, telat makan, dan otomatis telat pula datang ke sekolah. Tidak ada baju hangat, buku-buku bacaan, permen untuk membuang waktu dan melenyapkan sepi.
“Hanna,” teriak seseorang dari jauh.
Dipicingkan matanya, mencoba melihat jelas si pemilik suara. Lelaki bertubuh tegap dengan garis wajah yang klasik, kumis tipis, kulit sawo matang, auranya berbeda, membuat dirinya tampak lebih superior dibanding yang lain. Kemarin Hanna tidak sempat mengamati dengan baik seperti apa pemilik nama Faisal Ahmad. Lelaki yang tertarik mendirikan sekolah ini.
Suara dan wajahnya selaras, pikir Hanna.
“Hanna.” Suara itu sekarang terdengar lebih dekat.
“Pak Faisal,” jawab Hanna dengan suara terbata. Gesturnya kaku, perempuan mana yang tidak akan tertarik pada lelaki macam ini pada pertemuan pertama. Hanna menyeringai.
“Ayo, saya kenalkan pada calon-calon ilmuan istimewa di kelasmu,” ujar Faisal.
Apa dia selalu sepositif ini, sahut Hanna dalam hati mencoba memahami karakter bapak kepala sekolah para calon ilmuan.
Tepat di tengah koridor beratap plafon minimalis, Faisal berhenti, membalikan badannya tiba-tiba, tanpa sengaja bertubrukan dengan tubuh Hanna.
“Maaf, Pak,” Hanna rikuh dan jengah. Faisal hanya tersenyum sesaat dan kembali pada tujuan utamanya.
“Ini kelasmu,” sahutnya biasa seraya membuka pintu. Riuh tepuk tangan kembali terdengar seperti kemarin.
Dia memiliki banyak pengagum, gumam Hanna pelan.
“Terima kasih, anak-anak. Ada yang spesialkah hari ini?” tanyanya pada kumpulan anak-anak dengan wajah antusias.
“Hari ini, ayah Siti pulang, Pak” teriak seorang anak dengar suara sengau dan tak begitu jelas. Anak-anak yang lain menyoraki kalimat yang dilontarkannya. Terduduk pada kursi roda custom, berkaca mata sedikit tebal, juga tangan dan kaki yang tidak sempurna, Hanna bersimpati melihat keadaan anak itu.
“Alhamdulillah…syukur. Siti bisa kangen-kangenan nih sama Abah ya,” kata Faisal ikut menyambut kegembiraan yang dirasakan Siti dan anak-anak lain. “Oke, anak-anak. Superstar Bapak yang super duper keren, hari ini sudah datang guru pengganti Bu Ananda. Jangan khawatir, kalian masih bisa ketemu Bu Ananda nanti di kantor.” Faisal menjelaskan dengan seksama. Ditariknya tangan kanan Hanna hingga Hanna berdiri tepat di sebelahnya, dekat. Mau tak mau Hanna menjadi gelgapan dengan tindakan spontan Faisal. “Anak-anak, Ibu Hanna”
Penghuni kelas gaduh saling berbisik-bisik kencang sembari mengamati Hanna di depan. Entah apa yang mereka bicarakan.
“Selamat pagi anak-anak,” celetuk Hanna ragu-ragu. Tangan kanannya melambai pada kumpulan penghuni kelas. Senyumnya tidak begitu lepas. Anak-anak terdiam dan kembali riuh saat sebuah ketukan dari seorang wanita muda berambut kemerahan muncul dari balik pintu.
“Ibuu…” teriak anak-anak bersahutan. Wanita itu menenangkan dalam sekali gerakan dan senyumnya.
“Pak Faisal, tamu bapak sudah datang, pak” ucap wanita itu tersenyum pada Faisal. Jari tangan Faisal menunjukan tanda ‘ok’ padanya.
“Ananda Putri, Hanna Kamila” Diperkenalkannya. Senyum wanita itu tiba-tiba hilang saat wajahnya berpaling pada Hanna. Cahaya keramahan wanita itu seketika hilang. Wajahnya berubah menjadi beringas dan datar. Hanna meringis melihatnya.
“Halo,” katanya galak.
“Hai.” Hanna menjawab, mencoba menjabat tangan si judes. Dibiarkannya tangan Hanna bergelantung, pandangannya beralih pada Faisal.
“Ayo, Pak. Sudah ditunggu.” Dikaitkan tangannya pada sela-sela tangan Faisal. Menarik paksa lelaki dengan tinggi seratus delapun puluh lima senti itu keluar dari kelas.
“Han,” seru Faisal. Kalimatnya tidak selesai, Ananda menariknya keluar dengan tenaga penuh.
“Lho, Pak?” sahut Hanna cemas.
Ini apaan? Diliriknya anak-anak di kelasnya.
Mereka terdiam mengarahkan pandangan pada Hanna. Harus apa ini, Hanna gelisah. Keringatnya menyembul di beberapa bagian rambut. Kulit yang putih kini berubah kemerahan. Sialan, FAISAL!! Dikutuknya lelaki yang tidak bertanggungjawab mengajaknya kemari lalu ditinggalkan begitu saja. Hanna tidak begitu menyukai anak-anak.
Sepuluh menit berlalu, mereka masih saling berpandangan satu dengan yang lainnya. Hanna mencoba menerka pikirkan mereka, namun otaknya kosong. Entah harus bagaimana. Di menit ke lima belas, seorang anak dengan truk penyangga maju mendekati Hanna. Dengan cakap dialihkannya perhatian teman-temannya.
“Hei, silahkan. Kegiatan yang tadi sudah berjalan teruskan. Tiga puluh menit lagi kita akan bersiap-siap menuju lapangan belakang, jangan lupa bawa yang bekal kalian”
Tingkahnya cocok sekali menjadi seorang pemimpin bahkan tongkatnya malah menambah karismanya.
“Aku, Ujang, Bu.” Disalaminya tangan Hanna yang masih terperangah dengan tindakannya. Ujang berjalan kembali ketempatnya semula, anak-anak lain kini mulai sibuk dengan kegiatannya masing-masing sebelum Hanna dan Faisal mengintervensi kelas ini. Hanna mencoba untuk berbicara namun bibirnya tak mampu mengeluarkan satu katapun. Dia hanya mematung berharap hari ini cepat selesai.
Dering bel, tanda istirahat, terdengar memecah keriuhan para pencari ilmu. Anak-anak dengan tertib merapihkan peralatan mereka di meja kemudian sibuk merogoh kantong-kantong tas mereka mengeluarkan bekal makannya dan bergegas keluar dari kelas menuju seprtinya menuju lapangan belakang seperti yang Ujang katakan sebelumnya.
Hanna mengikuti dari belakang, melihat kemana anak-anak mengarah. Sekonyong-konyong, sebuah sentuhan mendarat di bahu Hanna. Dibalikan badannya, mengarah pada sosok yang dengan berani-beraninya men’jawil’ dirinya.
Siapa lagi ini? tanyanya melihat seorang lelaki berada tepat dibelakangnya.
“Ruu..dyy… pake ‘y’ yaaa,” sambut lelaki itu. Dengan mata menyelisik dari atas hingga kebawah.
“Oooh, iya. Hanna.” Diulurkan tangannya menjabat tangan Rudy.
“Aku kebagian kelas lima. Ruangannya tuuuh di ujung kiri sana,” oceh Rudy menunjuk ke ujung akhir lorong. “Pintu warna paling ceriaaa di sekolah ini, PINK.” tandasnya kembali. Hanna mengangguk. Rudy kelihatan sangat bangga.
“Bagus”
“Ayo, sudah mau mulai,” seru Rudy mengajak Hanna berjalan bersama menuju lapangan. Gerak jalannya sungguh sangat memprovokasi.
Orang aneh lagi, gerutu Hanna.
Langkah mereka mengikuti irama langkah anak-anak yang terlihat antusias. Dipanjangkan lehernya untuk melihat kemana arah yang dituju. Ujang memimpin di depan.
Mereka tiba di sebuah lapangan yang cukup landai dikelilingi pepohonan menambah keasrian tempat ini. Sebuah danau mungil diapit dua pinus raksasa tampak menambah keindahan. Beberepa ban berubah fungsi menjadi mainan untuk dipakai bersama. Bergerak mempesona seiring hembusan angin lembut menerpa. Barisan lavender dan krisan kuning teratata rapi membatasi antara gedung dan lapangan. Bertengger pula dua buah gawang yang bisa digeser-geser.
Ada Habban dan Subhan di pinggir sana. Tenaga pendidik lainnya juga ikut bergabung. Ada pula Faisal dan si judes, Ananda, yang masih merangkul tangannya dengan mesra. Hanna bergidik. Pandangannya beralih pada anak-anak yang sudah siap dengan bekalnya masing-masing di tangan mereka.
“Hayyu atuuuh,” tukas Rudy. Berjalan menyela tengah lingkaran yang dibuat oleh penduduk sekolah ini. Hanna mengikutinya.
“Ujang, kamu yang pimpin hari ini,” teriak Faisal kencang.
“Siappp, komandan!” pekik Ujang
Hanna kembali terpaku untuk sekian kalinya mengikuti skenario hari ini. Ditengok Rudy yang dengan semangatnya bertepuk tangan, padangannya lalu beralih pada Habban, dia mengangkat kedua alis matanya pada Hanna. Kedua bahu terangkat dan memiringkan kepala sebagai tanda bahwa dia masih belum memahami semuanya. Dari kejauhan Faisal terlihat mengamati Hanna dalam diam. Rudy bertepuk tangan dengan giatnya bersama dengan yang lain saat Ujang selesai dengan doa dan harapan-harapannya.
What a day, batin Hanna.
“Hai.” Hanna menyapa penduduk kelasnya dengan wajah datar disambut gumamam yang tak begitu dia pahami. “Silahkan, lanjutkan apa yang sudah kalian kemarin dan sebelum-sebelumnya,” lanjut Hanna tak tertarik melainkan duduk di kursi reyot yang menjadi hak miliknya saat ini.“Bu, kumaha ieu teh?” tanya Ujang, si ketua kelas, setelah mengacungkan tangan.“Aku ge da butuh bantuan di pelajaran ini,” celetuk anak perempuan di belakang Ujang. Seketika kelas riuh dengan nada ‘iya’ membenarkan apa yang dikatakan Ujang dan anak perempuan tadi.“Aaah, sudah! Kalian calon ilmuan bukan?” Sahut Hanna mengonfrontasi, melakukan permainan psikologis bersama mereka. Anak-anak hanya bisa melongo dan bertanya-tanya satu sama lain, jengkel pada Hanna.Hari kelima ini pikiran dan perasaan Hanna masih berkabut dalam kebingungan. Dia merasa sama sekali tidak punya keahlian apapun di bidang in
Helaan nafas panjang mengiringi langkah gadis berambut ikal hitam legam. Wajahnya putih bersih dengan pipi kemerahan menantang matahari pagi yang mulai tersenyum menyapa hari. Langit berwarna menyaingi megahnya lautan, membiru indah. Bangunan tua milik kejaksaan agung berdiri megah dan tak menampakan sedikitpun keriput tuanya. Ini merupakan kunjungan keempat, rasa bosan mulai timbul bila harus datang kesini kelima kalinya secara prosedural. Jika bukan karena Anggun “si jidat lebar”, aku itu tentu sudah pergi menemani Nazri ke Belgia, pikir si gadis ketus. Berlama-lama di tempat ini dan bukan karena sebuah kasus tentunya akan menjadi sebuah piknik yang menyenangkan. Anginnya segar, sesegar hijaunya pinus-pinus yang menjulang tinggi di antara gedung-gedung bercat putih gading ini. Langkahnya gontai menuju ruangan berukuran 6 x 4 yang hanya tinggal beberapa meter lagi. Hari ini hanya Pak Iffat saja yang bisa menemani, semua orang punya jadwalnya masing-ma
Awan kelabu beriak tenang, matahari malu-malu menampakan wajahnya. Angin semilir menerpa gadis pemilik wajah porcelain. Hanna menjuruskan pandangannya berkeliling. Tanah merah basah bekas hujan, pepohonan hijau rindang menebarkan harum pinus segar. Beberapa orang terlihat sedang berkumpul di sebuah warung sayuran, mirip seperti kampung tempat nenek tinggal seru Hanna dalam hati. Mendung tidak menyurutkan aktivitas orang-orang kampung ini. Dilihatnya kembali secarik kertas yang diberikan Pak Iffat kemarin malam.Habban Mutarokiba, Kampung Babakan Mantri Desa Pinggirsari Kecamatan Arjasari, patokan rumah bercat kuning, desisku. Great! Dipikirnya rumah bercat kuning itu hanya ada satu-satunya.Kembali pandangannya menebar berharap menemukan rumah kuning yang dituju tanpa harus bersusah payah. Satu, dua, tiga, dan benar saja, sepanjang pengelihatannya rumah berwarna matahari itu berjumlah lebih dari satu. Hanna memaksakan dirinya untuk bertanya a
“Hai.” Hanna menyapa penduduk kelasnya dengan wajah datar disambut gumamam yang tak begitu dia pahami. “Silahkan, lanjutkan apa yang sudah kalian kemarin dan sebelum-sebelumnya,” lanjut Hanna tak tertarik melainkan duduk di kursi reyot yang menjadi hak miliknya saat ini.“Bu, kumaha ieu teh?” tanya Ujang, si ketua kelas, setelah mengacungkan tangan.“Aku ge da butuh bantuan di pelajaran ini,” celetuk anak perempuan di belakang Ujang. Seketika kelas riuh dengan nada ‘iya’ membenarkan apa yang dikatakan Ujang dan anak perempuan tadi.“Aaah, sudah! Kalian calon ilmuan bukan?” Sahut Hanna mengonfrontasi, melakukan permainan psikologis bersama mereka. Anak-anak hanya bisa melongo dan bertanya-tanya satu sama lain, jengkel pada Hanna.Hari kelima ini pikiran dan perasaan Hanna masih berkabut dalam kebingungan. Dia merasa sama sekali tidak punya keahlian apapun di bidang in
Hanna terengah-engah kehabisan napas saat dia tiba di serambi sekolah. Kabut turun agak pekat hari ini, mentari nampaknya masih enggan menceriakan hari-harinya di sini. Dingin! Desis Hanna. Ditarik tas postman yang terombang-ambing, mencari-cari sweater tipis satu-satunya hadiah dari nenek saat dia merayakan ulang tahun ke tujuh belas.Sial! runtuknya dalam hati.Hanna melupakan semua, tasnya hanya terisi satu buah pulpen biru dan handphone. Pikiran kusut setelah Nazri menghubungi membuat dia sulit untuk tidur malam kemarin. Mata yang didaulat untuk bercengkrama dengan mimpi tetapi malah berubah menjadi lamunan tak bertepi. Belum lagi derai gerimis yang mendendangkan sebuah simfoni indah, sahabat yang pas menemani kegalauan. Satu kata untuk mendeskripsikan hasilnya, telat. Telat mandi, telat makan, dan otomatis telat pula datang ke sekolah. Tidak ada baju hangat, buku-buku bacaan, permen untuk membuang waktu dan melenyapkan sepi.
Awan kelabu beriak tenang, matahari malu-malu menampakan wajahnya. Angin semilir menerpa gadis pemilik wajah porcelain. Hanna menjuruskan pandangannya berkeliling. Tanah merah basah bekas hujan, pepohonan hijau rindang menebarkan harum pinus segar. Beberapa orang terlihat sedang berkumpul di sebuah warung sayuran, mirip seperti kampung tempat nenek tinggal seru Hanna dalam hati. Mendung tidak menyurutkan aktivitas orang-orang kampung ini. Dilihatnya kembali secarik kertas yang diberikan Pak Iffat kemarin malam.Habban Mutarokiba, Kampung Babakan Mantri Desa Pinggirsari Kecamatan Arjasari, patokan rumah bercat kuning, desisku. Great! Dipikirnya rumah bercat kuning itu hanya ada satu-satunya.Kembali pandangannya menebar berharap menemukan rumah kuning yang dituju tanpa harus bersusah payah. Satu, dua, tiga, dan benar saja, sepanjang pengelihatannya rumah berwarna matahari itu berjumlah lebih dari satu. Hanna memaksakan dirinya untuk bertanya a
Helaan nafas panjang mengiringi langkah gadis berambut ikal hitam legam. Wajahnya putih bersih dengan pipi kemerahan menantang matahari pagi yang mulai tersenyum menyapa hari. Langit berwarna menyaingi megahnya lautan, membiru indah. Bangunan tua milik kejaksaan agung berdiri megah dan tak menampakan sedikitpun keriput tuanya. Ini merupakan kunjungan keempat, rasa bosan mulai timbul bila harus datang kesini kelima kalinya secara prosedural. Jika bukan karena Anggun “si jidat lebar”, aku itu tentu sudah pergi menemani Nazri ke Belgia, pikir si gadis ketus. Berlama-lama di tempat ini dan bukan karena sebuah kasus tentunya akan menjadi sebuah piknik yang menyenangkan. Anginnya segar, sesegar hijaunya pinus-pinus yang menjulang tinggi di antara gedung-gedung bercat putih gading ini. Langkahnya gontai menuju ruangan berukuran 6 x 4 yang hanya tinggal beberapa meter lagi. Hari ini hanya Pak Iffat saja yang bisa menemani, semua orang punya jadwalnya masing-ma