“Hai.” Hanna menyapa penduduk kelasnya dengan wajah datar disambut gumamam yang tak begitu dia pahami. “Silahkan, lanjutkan apa yang sudah kalian kemarin dan sebelum-sebelumnya,” lanjut Hanna tak tertarik melainkan duduk di kursi reyot yang menjadi hak miliknya saat ini.
“Bu, kumaha ieu teh?” tanya Ujang, si ketua kelas, setelah mengacungkan tangan.
“Aku ge da butuh bantuan di pelajaran ini,” celetuk anak perempuan di belakang Ujang. Seketika kelas riuh dengan nada ‘iya’ membenarkan apa yang dikatakan Ujang dan anak perempuan tadi.
“Aaah, sudah! Kalian calon ilmuan bukan?” Sahut Hanna mengonfrontasi, melakukan permainan psikologis bersama mereka. Anak-anak hanya bisa melongo dan bertanya-tanya satu sama lain, jengkel pada Hanna.
Hari kelima ini pikiran dan perasaan Hanna masih berkabut dalam kebingungan. Dia merasa sama sekali tidak punya keahlian apapun di bidang ini apalagi berniat untuk terjun ke dunia pendidikan.
Mereka tak butuh aku, menyakinkan diri.
Yang Hanna lakukan hanya menghabiskan waktu membaca bukunya, sekedar menuntaskan hukuman. Tidak ada yang spesial untuk Hanna di sini. Semua sibuk dengan kegiatannya masing-masing dan Hanna pun tidak bermaksud untuk menghentikan itu semua.
Hanna kembali pada lembar-lembar buku kesukaannya yang sengaja dia bawa dari rumah. Diliriknya jam di tangan kirinya, angka menunjukan jam sembilan lebih dua puluh menit yang berarti 10 menit lagi dia akan bebas dari kukungan dinding berbentuk bujur sangkar ini serta tatapan aneh anak-anak. Hanya Ujang saja yang paling Hanna ingat namanya, siswa lainnya masih masuk daftar tunggunya.
“Ehhmmm..” Hanna berdeham untuk menarik perhatian anak-anak. Semuanya masih dalam alamnya masing-masing atau mungkin sengaja tidak memerdulikannya. “EEHHHMMM,” kembali dicobanya.
Anak-anak menatap Hanna dengan terheran-heran. Tidak memahami apa yang diinginkan Hanna.
“Hari ini kalian ada kelas seni kan? Jam berapa?” tanya Hanna menyidik.
“Jam sembilan, Bu” jawab anak perempuan manis dengan polio di tangannya.
Hanna menyeringai. YES!!! Hanna melakukan selebrasi dengan mengangkat tangannya tinggi. Hari Jum’at memang sudah dinantinya, saat Hanna mengetahui bahwa guru penanggungjawab kelas punya waktu kosong karena kelas seni memiliki guru khusus. Waktunya dia bebas menikmati deretan musik-musik di telpon genggam miliknya seraya berselonjor ria di salah satu sudut perpustakaan mungil namun padat dengan buku.
“Kunaon, Bu?” Celetuk tidak biasa keluar dari salah satu mulut mungil penghuni kelas. Hanna menggeleng. Berjalan kembali meja lusuh di depan kelas. Mencoba untuk meredam kegirangannya.
Kelas seni, pikir Hanna, tapi tidak ada satupun trofi atau piala seni yang bertengger pada rak piala dekat pintu masuk sekolah ini. Berbagai piala yang berhubungan dengan akademik memang berjejer rapi dan cantik di dalamnya.
Kurasa memang ilmuan sejati tidak memiliki gen seni mengalir dalam diri mereka, lanjut Hanna dalam hati.
“Bu.” Ujang melihat guru barunya bengang-bengong menatap langit-langit kelas
“APA?!” Hardik Hanna, mata melotot dan wajah judes menatap wajah Ujang yang sekarang mengurungkan pertanyaannya. Anak-anak lain tanpa komando langsung kembali bergelut dengan buku dan kegiatannya masing-masing.
Hanna kembali asyik dengan imajinasi santainya. Membayangkan lagu yang akan didengar sambil membaca, tidak lupa membeli cemilan di kantin, meminjam bantal UKS kemudian menyusup di pojokan perpustakaan dan menyeruput minuman yang sudah dibawanya dari rumah.
Nikmat tuhan manalagi yang kau dustakan, sahut Hanna geli. Tidak dihiraukannya padangan bingung anak-anak.
Jam dinding menunjukan pukul 08.55, berarti lima menit lagi akan ada yang mengetuk pintu kelas ini. Hanna mentap pintu dengan lekat, menunggu-nunggu ketukan bernada cantik berbunyi.
Pintuk terketuk tiga kali. Hanna terlonjak dari kursinya.
“Bu Hanna, aku mau jemput anak-anak ya,” kata seorang wanita muda dengan tahi lalat di kanan pipinya.
“Baik, Bu Risma, silahkan. Ayo anak-anak.” Hanna melebarkan senyumnya. Dengan gesit membantu anak-anak bersiap dan membariskan anak-anak. Sejurus itu, Hanna meminta Ujang untuk memandu teman-temannya dan membantu Bu Risma di kelas seni. “Sampai jumpa lagi besok.” Dilambaikannya kedua tangannya dengan ceria.
“Toodledoo…,” seru Bu Risma melambaikan jemari jentiknya seraya mendampingi anak-anak menuju ruangan. Beberapa anak-anak membawa alat musik yang akan dimainkannya nanti sementara yang lain mendapat peran menyanyi.
“Doo…” Hanna mengekor ungkapan Bu Risma.
***
Karpet bersih, bantal empuk, cemilan cek, minum ada, handphone, Hanna merogoh kantongnya hendak menemukan benda yang selalu menjadi teman setianya, “Ketemu,” seru Hanna kegirangan.
Disentuh layar telepon genggam miliknya mencari aplikasi musik yang selalu digunakannya lalu dipilih beberapa lagu yang akan menemaninya membaca buku favoritnya. Setelah dirasakan posisinya nyaman, Hanna menyelipkan earphone pada telinga kirinya bersiap memutar salah satu single milik Adele.
Melambung jauh terbang tinggi
Bersama mimpi
Terlelap dalam lautan emosi
Setelah aku sadar diri
Kau tlah jauh pergi
Tinggalkan mimpi yang tiada bertepi
Sebuah lirik syahdu milik Anggun terdengar merdu disuarakan oleh seseorang tepat di balik dinding tempat Hanna berada.
Suara siapa itu? tanya Hanna dalam hati.
Syair bernada itu berlanjut, suara lembut milik si penyanyi tidak kalah indah dengan suara pemilik lagu aslinya. Jendela tua milik perpustakaan ini memang sedikit berongga, sehingga suara lembut itu terdengar dengan jelas meskipun tidak dinyanyikan dengan lantang.
Siapa ya? Hanna kembali bertanya-tanya dalam benaknya.
Digapainya pinggiran jendela yang beruas-ruas mencoba mengintip pemilik suara yang membuai Hanna. Punggung tegap milik seorang anak berkemeja biru muda terlihat di sela-sela ruas. Anak itu masih asyik meresapi lagu yang dinyanyikannya. Tanpa menyadari sepasang mata milik Hanna menyermati setiap bagian dari diri si anak.
Akhirnya wajah si suara merdu terlihat jelas setelah Hanna mencoba beberapa kali menerka, berpindah-pindah posisi hingga menemukan posisi yang tepat untuk melihat wajahnya. Pemilik suara tersebut berkulit pucat, hidung bangir, bibirnya merona lebih merah di atas kulitnya yang putih, tampan. Hanna masih terhanyut dengan nada-nada indah yang keluar dari mulutnya, dia sudah tidak tertarik lagi mendengar wishlist dalam telepon genggamnya. Mendengarkan ini lebih membuat Hanna nyaman.
Secepat kilat Hanna keluar menuju tempat si empu suara. Dilewatinya beberapa ruang kelas, menuju dinding belakang ruang perpustakaan. Hanna berlari sekuat tenaga, ada sesuatu yang membuatnya begitu.
“Bu Han…,” teriak Pak Rudy saat Hanna melewatinya. Dibalasnya seruan itu dengan mengangkat tangan kanannya seagai isyarat ‘nanti kita akan bicara’
Hanna terus berlari hingga lenyap tenggelam dalam dinding yang menjadi titik akhir menuju belakang perpustakaan. Si penyanyi menghentikan nadanya saat menyadari keberadaan Hanna di dekatnya.
“Siapa namamu?” tanya Hanna dengan nafas memburu. Sudah lama dia tidak berolah raga hingga lari kecil sepanjang sepuluh meter sudah membuatnya terengah-engah.
Telunjuk si anak menunjuk dirinya sendiri. Hanna mengiyakan. Pandangan mata Hanna kembali mempertanyakan nama si anak.
“Saya Affan, Bu,” jawab anak beralis tebal itu. “Ibu Hanna, ada perlu dengan saya?”
Dia tahu namaku, kata Hanna dalam hati. Pastilah! Aku kan sempat diperkenalkan pada makan siang pertamaku bersama seluruh penduduk sekolah ini waktu itu, Hanna menertawakan kebodohannya sendiri.
“Suaramu indah,”
Si anak tersipu. Senyumnya mengembang sebagai tanda terima kasih.
“Kelas mana?” ucap Hanna ragu-ragu.
“Kelas Pak Habban, Bu. Kelas 4 A” tegasnya.
“Namamu?”
“Affan. Tadi kan sudah, Bu”
“Oh iya.. iya…” Hanna Kikuk.
Tawa renyah kini keluar dari mulut Affan dan Hanna.
“Kamu harus ikut lomba,” celetuk Hanna setelah tawanya mereda.
“Lomba?”
“Iya. Lomba menyanyi. Kamu pasti bias jadi juara.”
Kedua bibir mungil Affan muncung. “Ininya, Bu.” Jari telunjuk dan jari tengahnya saling bergesekan, menandakan symbol uang. “Lagian di sini banyak yang suaranya bagus. Bu Risma aja yang gak tahu,”
“Oh ya?” tanya Hanna. “Pak Faisal?”
“Menurut Pak Faisal, kami bias ikut lomba jika kami memiliki klub berpelatih.” Jelas Affan. “Dan Bu Risma, bukan pilihan”
“Oooh…”
“Nyanyi-nyanyi begini saja paling,”
Suasana hening menyeruak. Pembicaraan tadi tidak seharusnya dilakukan oleh Hanna. Dia tidak bermaksud untuk ikut andil dan berhubungan dengan siswa-siswa juga guru-gur sekolah ini. Hanna tidak mau terikat.
“Bu?”
Hanna masih terdiam. Pandangannya masih terpaku pada Affan. Suara nyanyian yang baru didengar tadi juga masih berputar-putar ditelinga.
“Bu?” Affan panik.
“Ayo, kita buat klub bernyanyi. Aaah, bukan, bukan, bukan, tapi klub paduan suara,” sahut Hanna bersemangat. Kalimat itu terucap seketika tanpa dipikirkannya terlebih dahulu. Aneh rasanya, Hanna pun tak begitu paham mengapa dirinya menjadi super semangat ingin bekerjasama dengan Affan. “Ayo,” Hanna mengulurkan tangannya menggapai Affan.
Affan diam, tidak paham dengan Hanna.
Helaan nafas panjang mengiringi langkah gadis berambut ikal hitam legam. Wajahnya putih bersih dengan pipi kemerahan menantang matahari pagi yang mulai tersenyum menyapa hari. Langit berwarna menyaingi megahnya lautan, membiru indah. Bangunan tua milik kejaksaan agung berdiri megah dan tak menampakan sedikitpun keriput tuanya. Ini merupakan kunjungan keempat, rasa bosan mulai timbul bila harus datang kesini kelima kalinya secara prosedural. Jika bukan karena Anggun “si jidat lebar”, aku itu tentu sudah pergi menemani Nazri ke Belgia, pikir si gadis ketus. Berlama-lama di tempat ini dan bukan karena sebuah kasus tentunya akan menjadi sebuah piknik yang menyenangkan. Anginnya segar, sesegar hijaunya pinus-pinus yang menjulang tinggi di antara gedung-gedung bercat putih gading ini. Langkahnya gontai menuju ruangan berukuran 6 x 4 yang hanya tinggal beberapa meter lagi. Hari ini hanya Pak Iffat saja yang bisa menemani, semua orang punya jadwalnya masing-ma
Awan kelabu beriak tenang, matahari malu-malu menampakan wajahnya. Angin semilir menerpa gadis pemilik wajah porcelain. Hanna menjuruskan pandangannya berkeliling. Tanah merah basah bekas hujan, pepohonan hijau rindang menebarkan harum pinus segar. Beberapa orang terlihat sedang berkumpul di sebuah warung sayuran, mirip seperti kampung tempat nenek tinggal seru Hanna dalam hati. Mendung tidak menyurutkan aktivitas orang-orang kampung ini. Dilihatnya kembali secarik kertas yang diberikan Pak Iffat kemarin malam.Habban Mutarokiba, Kampung Babakan Mantri Desa Pinggirsari Kecamatan Arjasari, patokan rumah bercat kuning, desisku. Great! Dipikirnya rumah bercat kuning itu hanya ada satu-satunya.Kembali pandangannya menebar berharap menemukan rumah kuning yang dituju tanpa harus bersusah payah. Satu, dua, tiga, dan benar saja, sepanjang pengelihatannya rumah berwarna matahari itu berjumlah lebih dari satu. Hanna memaksakan dirinya untuk bertanya a
Hanna terengah-engah kehabisan napas saat dia tiba di serambi sekolah. Kabut turun agak pekat hari ini, mentari nampaknya masih enggan menceriakan hari-harinya di sini. Dingin! Desis Hanna. Ditarik tas postman yang terombang-ambing, mencari-cari sweater tipis satu-satunya hadiah dari nenek saat dia merayakan ulang tahun ke tujuh belas.Sial! runtuknya dalam hati.Hanna melupakan semua, tasnya hanya terisi satu buah pulpen biru dan handphone. Pikiran kusut setelah Nazri menghubungi membuat dia sulit untuk tidur malam kemarin. Mata yang didaulat untuk bercengkrama dengan mimpi tetapi malah berubah menjadi lamunan tak bertepi. Belum lagi derai gerimis yang mendendangkan sebuah simfoni indah, sahabat yang pas menemani kegalauan. Satu kata untuk mendeskripsikan hasilnya, telat. Telat mandi, telat makan, dan otomatis telat pula datang ke sekolah. Tidak ada baju hangat, buku-buku bacaan, permen untuk membuang waktu dan melenyapkan sepi.
“Hai.” Hanna menyapa penduduk kelasnya dengan wajah datar disambut gumamam yang tak begitu dia pahami. “Silahkan, lanjutkan apa yang sudah kalian kemarin dan sebelum-sebelumnya,” lanjut Hanna tak tertarik melainkan duduk di kursi reyot yang menjadi hak miliknya saat ini.“Bu, kumaha ieu teh?” tanya Ujang, si ketua kelas, setelah mengacungkan tangan.“Aku ge da butuh bantuan di pelajaran ini,” celetuk anak perempuan di belakang Ujang. Seketika kelas riuh dengan nada ‘iya’ membenarkan apa yang dikatakan Ujang dan anak perempuan tadi.“Aaah, sudah! Kalian calon ilmuan bukan?” Sahut Hanna mengonfrontasi, melakukan permainan psikologis bersama mereka. Anak-anak hanya bisa melongo dan bertanya-tanya satu sama lain, jengkel pada Hanna.Hari kelima ini pikiran dan perasaan Hanna masih berkabut dalam kebingungan. Dia merasa sama sekali tidak punya keahlian apapun di bidang in
Hanna terengah-engah kehabisan napas saat dia tiba di serambi sekolah. Kabut turun agak pekat hari ini, mentari nampaknya masih enggan menceriakan hari-harinya di sini. Dingin! Desis Hanna. Ditarik tas postman yang terombang-ambing, mencari-cari sweater tipis satu-satunya hadiah dari nenek saat dia merayakan ulang tahun ke tujuh belas.Sial! runtuknya dalam hati.Hanna melupakan semua, tasnya hanya terisi satu buah pulpen biru dan handphone. Pikiran kusut setelah Nazri menghubungi membuat dia sulit untuk tidur malam kemarin. Mata yang didaulat untuk bercengkrama dengan mimpi tetapi malah berubah menjadi lamunan tak bertepi. Belum lagi derai gerimis yang mendendangkan sebuah simfoni indah, sahabat yang pas menemani kegalauan. Satu kata untuk mendeskripsikan hasilnya, telat. Telat mandi, telat makan, dan otomatis telat pula datang ke sekolah. Tidak ada baju hangat, buku-buku bacaan, permen untuk membuang waktu dan melenyapkan sepi.
Awan kelabu beriak tenang, matahari malu-malu menampakan wajahnya. Angin semilir menerpa gadis pemilik wajah porcelain. Hanna menjuruskan pandangannya berkeliling. Tanah merah basah bekas hujan, pepohonan hijau rindang menebarkan harum pinus segar. Beberapa orang terlihat sedang berkumpul di sebuah warung sayuran, mirip seperti kampung tempat nenek tinggal seru Hanna dalam hati. Mendung tidak menyurutkan aktivitas orang-orang kampung ini. Dilihatnya kembali secarik kertas yang diberikan Pak Iffat kemarin malam.Habban Mutarokiba, Kampung Babakan Mantri Desa Pinggirsari Kecamatan Arjasari, patokan rumah bercat kuning, desisku. Great! Dipikirnya rumah bercat kuning itu hanya ada satu-satunya.Kembali pandangannya menebar berharap menemukan rumah kuning yang dituju tanpa harus bersusah payah. Satu, dua, tiga, dan benar saja, sepanjang pengelihatannya rumah berwarna matahari itu berjumlah lebih dari satu. Hanna memaksakan dirinya untuk bertanya a
Helaan nafas panjang mengiringi langkah gadis berambut ikal hitam legam. Wajahnya putih bersih dengan pipi kemerahan menantang matahari pagi yang mulai tersenyum menyapa hari. Langit berwarna menyaingi megahnya lautan, membiru indah. Bangunan tua milik kejaksaan agung berdiri megah dan tak menampakan sedikitpun keriput tuanya. Ini merupakan kunjungan keempat, rasa bosan mulai timbul bila harus datang kesini kelima kalinya secara prosedural. Jika bukan karena Anggun “si jidat lebar”, aku itu tentu sudah pergi menemani Nazri ke Belgia, pikir si gadis ketus. Berlama-lama di tempat ini dan bukan karena sebuah kasus tentunya akan menjadi sebuah piknik yang menyenangkan. Anginnya segar, sesegar hijaunya pinus-pinus yang menjulang tinggi di antara gedung-gedung bercat putih gading ini. Langkahnya gontai menuju ruangan berukuran 6 x 4 yang hanya tinggal beberapa meter lagi. Hari ini hanya Pak Iffat saja yang bisa menemani, semua orang punya jadwalnya masing-ma