Larasati bangun ketika mentari sudah menerangi bumi, ia merenggangkan tubuhnya lalu bangkit untuk membersihkan diri."Dasar anak ini, udah jam segini masih aja belum bangun." gerutu Larasati menatap gadis yang masih enggan melepas selimut hangatnya.Tak ingin mengganggu, Larasati memilih untuk keluar kamar dan menuju dapur. Rencananya ia akan membuat sarapan khusus untuk cucu kesayangannya.Namun dari kejauhan ia samar-samar mendengar suara orang sedang tertawa."Tahu malu juga ternyata."Dewi serta Tian menoleh ke sumber suara, alangkan terkejutnya mereka menatap seseorang yang sedang berdiri di depannya."Ibu? Kenapa ada di sini?""Kenapa? Nggak suka kamu saya pulang ke sini. Ini rumah putra saya, jadi saya berhak pulang kapanpun saya mau." ketusnya.Dewi hanya menghela nafas panjang, sedang Tian ia memundurkan lang
Niken, gadis yang kini menjadi dokter pribadi Larasati. Pertemuan tanpa sengaja keduanya membuat hubungan mereka semakin dekat.Niken yang bertugas di salah satu rumah sakit di Yogyakarta tanpa sengaja mendapat pasien atas nama Larasati, nama yang terasa tak asing dalam ingatannya.Sejak pertemuan itulah Larasati menaruh simpati pada Niken, ia berencana menjodohkan Ardan cucunya dengan Niken. Sebab sebelum itu memang keduanya sempat terlibat hubungan asmara.**Niken terbangun, silau mentari membuat tidurnya harus terusik."Hoam, kemana ya oma?"Niken segera bangkit membersihkan dirinya, setelah itu ia berjalan keluar mencari keberadaan Larasati.Di tengah langkah kakinya, ia mendengar suara ribut-ribut yang membuat penasaran."Biar aku yang mengobatinya."Semua menatap arah datangnya
Hari sudah mulai siang, namun rombongan Bayu tak kunjung datang. Ardan berkali-kali menghubungi Tian namun sayangnya tak satupun dapat balasa,begitupun dengan yang lainnya."Kemana mereka ini, kenapa jam segini masih belum pulang juga?" gelisahnya.Ardan nampak sibuk dengan ponselnya, hingga kehadiran Dewi tak nampak di matanya."Astaga, mereka ini kemana sih." kesalnya."Ada apa, kenapa marah-marah?""Bun, ini udah siang tapi mereka semua belum balik juga. Tian harus ganti perban tangannya loh ini.""Ya itu salah kamu, kalau memang kamu perduli dan cemas dengan istrimu harusnya kamu mengikuti dia bukan malah di rumah mengiyakan wanita lainnya.""Jangan pernah menyalahkan cucuku, apa yang Ardan lakukan sudah benar dengan berada di rumah."Entah dari mana datangnya, Larasati tiba-tiba muncul dan berada di sebelah Ardan
Tian menangis, ia merasa dadanya begitu sesak seakan ada batu yang tengah menghimpitnya. Ingin ia menjerit mengeluarkan isi hatinya, namun ia tak ingin semua orang tahu tentang lukanya."Sebaiknya cari udara segar," Tian yang sedang penat memilih untuk kembali keluar sedang ia juga baru saja datang.Namun sialnya ia harus kembali merasakan sakit di hatinya, dengan mata kepalanya sendiri ia melihat Ardan tengah memeluk Niken di halaman depan."Carilah kamar, jangan menodai mata orang lain."Mendengar hal itu membuat Ardan reflek mendorong Niken hingga membuatnya terbentur pintu mobil."Awww..""Tian, kasar sekali ucapanmu itu. Kamu tahu sedang bicara dengan siapa?"Langkahnya terhenti, ia seakan di paksa menatap sesuatu yang akan melukainya."Nggak, nggak akan pernah lupa.""Lalu kenapa bicaramu se
Mobil tiba-tiba berhenti, mata Niken menatap sekelilingnya."Ini di mana? Kenapa sepi sekali?" cicitnya.Wira membuka pintu, ia nampak menarik paksa Niken untuk turun mengikuti dirinya. Bayu bahkan hanya berdiam diri melihat Wira yang hampir kewalahan."Sialan, bantuin woi. Bantengnya lagi nyerang nih," serunya.Dengan terpaksa Bayu harus turun tangan, ia menarik sisi lain dari tangan Niken hingga membuat wanita itu terjatuh dan berguling ke bawah."Wah gila loe, main dorong aja. Loe pikir dia drum ?""Biar cepat, loe lelet kerjanya."Bayu dengan santainya menuruni bukit diikuti oleh Wira di belakangnya. Keduanya perlahan berjalan mengikuti jejak Niken yang berada di atas tanah."Awww," pekiknya menghantam batu dengan cukup keras.Niken mencoba untuk bangkit, namun rasa nyeri begitu menyiksanya ke
Larasati benar-benar tak terima dengan perlakuan teman-teman Ardan pada Nikennya. Wajahnya sungguh iba melihat kondisi Niken saat ini."Keterlaluan sekali kalian ini, di mana letak nurani kalian?" bentak Larasati pada Bayu serta Ardan."Jangan memarahi mereka, andai wanita ini nggak ke gatelan mungkin dia masih baik-baik saja.""Lancang sekali mulutmu itu bocah, bahkan Niken jauh lebih terhormat dari pada kamu.""Cukup ibu! Kali ini anda benar-benar keterlaluan, bagaimanapun dia cucu kandungmu.""Sampai kapan pun aku hanya akan mengakui Ardan sebagai cucu kandungku."Hatinya sakit, luka lama itu belum sembuh dan kini sudah kembali di sayat dengan luka baru."Maaf menyela, tapi saya harus membawa Lecy pergi. Nyonya Dewi saya ijin pamit.""Pergilah, bawa pergi putriku." serunya tanpa menatap Beno maupun Lecy.&nb
"Loe benar-benar nggak tahu diri emang ya, ingat loe itu cuma tamu jadi jangan banyak tingkah.""Gue memang tamu, tapi tamu loe ini jauh lebih berharga dari pada diri loe sendiri," ejek Niken."Cih, mana gue peduli sama itu semua. Bagi gue, loe nggak lebih dari seekor semut yang mengharapkan sayap bak burung.""Maksud loe apa?" kesalnya."Maksud gue loe itu kayak badut yang mengharapkan pangeran, wleeekkk.""Lama-lama mulut loe kurang aja ya, minta di kasih pelajaran emang."Duk,"Awwwww.""Upss, nggak sengaja tuh. Tapi nggak mau minta maaf," melenggang meninggalkan dapur di mana tadi dia bertengkar.Pagi yang harusnya di awali dengan senyuman kini di awali dengan pertengkaran, namun pertengkaran dengan Lecy sang pemenang.Setelah menendang tongkat Niken hingga membuat Niken t
Semua mata menatap tak percaya dengan apa yang terjadi di depan matanya, Tian yang biasanya lembut saat bersikap kini nampak jauh lebih berbeda."Kurang ajar! Berani sekali berulah di depanku," bentaknya."Bukan saya yang berulah, tapi tamu anda yang terlalu bertingkah."Dewi membulatkan matanya, Tian yang berdiri di hadapannya berani menjawab ucapan Larasati sang mertua."Tian," menyentuh lengannya."Sama halnya dengan oma yang tidak terima tamunya di perlakukan buruk, saya pun tidak terima jika Bunda saya di perlakukan dengan buruk juga.""Maksud kamu apa, mana mungkin Niken kurang aja. Kecuali jika dia di serang lebih dulu," melirik tajam Dewi di hadapannya."Maksud ibu saya menyerang Niken duluan?" dengan rasa tak percayanya."Mungkin saja, nggak ada yang nggak mungkin.""Oma benar, nggak ada