Kondisi Tian sudah jauh lebih baik dari awal kedatangannya, kini ia sedang sibuk mengurus kebun bunga halaman belakang.
"Bahkan bunga-bunga aja kalah cantiknya sama nyonya Ardan."
Mendengar seseorang berbicara membuat Tian menghentikan pekerjaannya, ia memutar kepalanya dan mendapati Wira tengah tersenyum ke arahnya.
"Hai," sapanya.
"Kakak nggak gabung sama yang lainnya?" tanya Tian sembari membereskan beberapa helai daun dari pakaiannya.
Wira mendudukkan dirinya di sebuah bangku sembari menatap bunga-bunga yang ada di keranjang.
"Itu bunga mau di buang?" tunjuknya.
"Enggak, itu mau di taruh di depan buat isi vas bunga."
"Oh, gue mending nemenin loe di sini aja. Males gue gabung ma yang lain."
"Kenapa?"
"Di cengin mulu gara-gara jomblo."
Tian menahan tawan
Di dalam ruangan kini hanya ada Hera juga Candra, entah mengapa Candra bernyali membawa Hera masuk ke dalam perusahaan tuannya."Katakan, ada apa lagi?""Cih, bawahan berlagak bagai majikan. Menjijikan.""Dari pada anda, majikan yang tak bertaring dan hanya bisa menggonggong."Ucapan Candra benar-benar membuatnya geram, ia begitu tertamlar oleh ucapan orang rendahan seperti Candra.Namun Hera tetaplah Hera, ia masih dengan angkuhnya bersikap dan mengatur di hadapan Candra.Tanpa mereka sadari sudah ada satu kamera yang terus menyorot semua obrolan keduanya, tanpa terkecuali....Wira membuat sebuah ide bersama Tian untuk menguji Beno, dengan persetujuan Lecy ketiganya pun mulai melancarkan aksinya."Tian, gue takut nih." bisik Lecy."U
Malam semakin dingin, Ardan membawa semua temannya berkumpul bersama di halaman belakang rumahnya. Di sana sudah ada Tian yang tengah sibuk menyiapkan bahan makanan, tak lupa ada pula Wirma yang sedang menyiapkan api unggung untuk menghangatkan diri. "Ayah, mau Tian bantu?" tawarnya. "Ini pekerjaan laki-laki Nak, kamu siapin aja minuman buat ayah." "Baik Ayah." Dengan antusias Tian pergi menyiapkan minuman untuk Wirma, di tengah kegiatannya tiba-tiba sebuah tangan melingkah di perutnya. "Ini aku sayang," bisik Ardan merasakan keterkejutan istrinya. "Kak, malu kalau ada yang lihat nanti." lirih Tian tertahan. "Sebentar aja, aku merindukan aromamu." Tubuh Tian tiba-tiba meremang, Ardan benar-benar menguji kesabarannya saat ini. Tak cukup hanya memeluk, tangan Ardan juga bergerilya menjelajahi tubuh istrinya. "Embbb," seru tertahan Tian. "Auuu," lirih Ardan ketika Tian tiba-tiba menggigit sebelah tangannya. "Kamu kanibal ya, main gigit aja." "Makanya tangan di konsikan, in
Larasati bangun ketika mentari sudah menerangi bumi, ia merenggangkan tubuhnya lalu bangkit untuk membersihkan diri."Dasar anak ini, udah jam segini masih aja belum bangun." gerutu Larasati menatap gadis yang masih enggan melepas selimut hangatnya.Tak ingin mengganggu, Larasati memilih untuk keluar kamar dan menuju dapur. Rencananya ia akan membuat sarapan khusus untuk cucu kesayangannya.Namun dari kejauhan ia samar-samar mendengar suara orang sedang tertawa."Tahu malu juga ternyata."Dewi serta Tian menoleh ke sumber suara, alangkan terkejutnya mereka menatap seseorang yang sedang berdiri di depannya."Ibu? Kenapa ada di sini?""Kenapa? Nggak suka kamu saya pulang ke sini. Ini rumah putra saya, jadi saya berhak pulang kapanpun saya mau." ketusnya.Dewi hanya menghela nafas panjang, sedang Tian ia memundurkan lang
Niken, gadis yang kini menjadi dokter pribadi Larasati. Pertemuan tanpa sengaja keduanya membuat hubungan mereka semakin dekat.Niken yang bertugas di salah satu rumah sakit di Yogyakarta tanpa sengaja mendapat pasien atas nama Larasati, nama yang terasa tak asing dalam ingatannya.Sejak pertemuan itulah Larasati menaruh simpati pada Niken, ia berencana menjodohkan Ardan cucunya dengan Niken. Sebab sebelum itu memang keduanya sempat terlibat hubungan asmara.**Niken terbangun, silau mentari membuat tidurnya harus terusik."Hoam, kemana ya oma?"Niken segera bangkit membersihkan dirinya, setelah itu ia berjalan keluar mencari keberadaan Larasati.Di tengah langkah kakinya, ia mendengar suara ribut-ribut yang membuat penasaran."Biar aku yang mengobatinya."Semua menatap arah datangnya
Hari sudah mulai siang, namun rombongan Bayu tak kunjung datang. Ardan berkali-kali menghubungi Tian namun sayangnya tak satupun dapat balasa,begitupun dengan yang lainnya."Kemana mereka ini, kenapa jam segini masih belum pulang juga?" gelisahnya.Ardan nampak sibuk dengan ponselnya, hingga kehadiran Dewi tak nampak di matanya."Astaga, mereka ini kemana sih." kesalnya."Ada apa, kenapa marah-marah?""Bun, ini udah siang tapi mereka semua belum balik juga. Tian harus ganti perban tangannya loh ini.""Ya itu salah kamu, kalau memang kamu perduli dan cemas dengan istrimu harusnya kamu mengikuti dia bukan malah di rumah mengiyakan wanita lainnya.""Jangan pernah menyalahkan cucuku, apa yang Ardan lakukan sudah benar dengan berada di rumah."Entah dari mana datangnya, Larasati tiba-tiba muncul dan berada di sebelah Ardan
Tian menangis, ia merasa dadanya begitu sesak seakan ada batu yang tengah menghimpitnya. Ingin ia menjerit mengeluarkan isi hatinya, namun ia tak ingin semua orang tahu tentang lukanya."Sebaiknya cari udara segar," Tian yang sedang penat memilih untuk kembali keluar sedang ia juga baru saja datang.Namun sialnya ia harus kembali merasakan sakit di hatinya, dengan mata kepalanya sendiri ia melihat Ardan tengah memeluk Niken di halaman depan."Carilah kamar, jangan menodai mata orang lain."Mendengar hal itu membuat Ardan reflek mendorong Niken hingga membuatnya terbentur pintu mobil."Awww..""Tian, kasar sekali ucapanmu itu. Kamu tahu sedang bicara dengan siapa?"Langkahnya terhenti, ia seakan di paksa menatap sesuatu yang akan melukainya."Nggak, nggak akan pernah lupa.""Lalu kenapa bicaramu se
Mobil tiba-tiba berhenti, mata Niken menatap sekelilingnya."Ini di mana? Kenapa sepi sekali?" cicitnya.Wira membuka pintu, ia nampak menarik paksa Niken untuk turun mengikuti dirinya. Bayu bahkan hanya berdiam diri melihat Wira yang hampir kewalahan."Sialan, bantuin woi. Bantengnya lagi nyerang nih," serunya.Dengan terpaksa Bayu harus turun tangan, ia menarik sisi lain dari tangan Niken hingga membuat wanita itu terjatuh dan berguling ke bawah."Wah gila loe, main dorong aja. Loe pikir dia drum ?""Biar cepat, loe lelet kerjanya."Bayu dengan santainya menuruni bukit diikuti oleh Wira di belakangnya. Keduanya perlahan berjalan mengikuti jejak Niken yang berada di atas tanah."Awww," pekiknya menghantam batu dengan cukup keras.Niken mencoba untuk bangkit, namun rasa nyeri begitu menyiksanya ke
Larasati benar-benar tak terima dengan perlakuan teman-teman Ardan pada Nikennya. Wajahnya sungguh iba melihat kondisi Niken saat ini."Keterlaluan sekali kalian ini, di mana letak nurani kalian?" bentak Larasati pada Bayu serta Ardan."Jangan memarahi mereka, andai wanita ini nggak ke gatelan mungkin dia masih baik-baik saja.""Lancang sekali mulutmu itu bocah, bahkan Niken jauh lebih terhormat dari pada kamu.""Cukup ibu! Kali ini anda benar-benar keterlaluan, bagaimanapun dia cucu kandungmu.""Sampai kapan pun aku hanya akan mengakui Ardan sebagai cucu kandungku."Hatinya sakit, luka lama itu belum sembuh dan kini sudah kembali di sayat dengan luka baru."Maaf menyela, tapi saya harus membawa Lecy pergi. Nyonya Dewi saya ijin pamit.""Pergilah, bawa pergi putriku." serunya tanpa menatap Beno maupun Lecy.&nb