Di kampus kening Ardan berkerut, ia yang sedang memantau keberadaan istrinya merasa hera ketika gps tak berada di rumahnya.
"Bukankah harusnya sudah sampai ya?"
"Woi, kenapa loe?" tanya Bayu yang melihat sahabatnya gusar sedari tadi.
"Kita masih ada kelas nggak hari ini?"
"Nggak ada sih, " jawab Bayu dengan heran.
Tiba-tiba Ardan pergi begitu saja tanpa penjelasan, Bayu yang khawatir memilih mengikuti Ardan.
Ardan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, ia masih terus memantau keberadaan istrinya lewat ponsel pintarnya. Sedang Bayu yang merasa heran hanya bisa terdiam mengikuti ke mana Ardan pergi.
Tak lama mobil berhenti di depan mall ternama, Bayu menatap heran mall yang ada di depannya bergantian dengan menatap sahabatnya.
"Kita ngapain ke mall?"
Namun Ardan tak menyahutinya, ia berjalan begitu saja meninggalkan Bayu di belakangnya. Bayu semakin di buat kebingungan ketika keduanya sampai di pu
Hari ini keluarga Ardan bertolak ke Jakarta, Lecy begitu bahagia ketika tiba di kota tersebut. Wajah gadis itu tak hentinya tersenyum menatap sepanjang jalan, dan itu semua tak luput dari pandangan Beno yang tengah mengemudi. "Om Beno, kita langsung ke rumah kak Ardan atau ke mana dulu ini?" "Kamu mau nya ke mana dulu?" "Dih, di tanya malah balik tanya." gerutunya dan kembali menikmati pemandangan di jalan. Sedang ketiga orang lainnya hanya bisa tertawa mendengar gerutuan gadisnya. Namun Beno memang tak benar-benar mengantarkan ketiganya langsung ke rumah Ardan, ia mengantarkan mereka ke apartemen miliknya. "Sebaiknya beristirahat dulu di sini, setahu saya jam seperti ini mereka masih kuliah."... Sedang orang yang di fikir kuliah malah sedang terlibat perang dingin, sejak semalam Ardan maupun Tian sama-sama memilih diam. Tian masih sangat kesal dengan sikap Ardan yang berubah aneh menurutnya, sedang Arda
Malam ini terasa begitu indah, rumah yang biasanya sepi itu kini berubah meriah dengan kehadiran orang-orang tersayang. Ardan yang ingin menjahili istrinya menceritakan jika Tian membuat perjanjian yang begitu posesif padanya, pengakuan itu sontak membuat gelak tawa bahagian di antara mereka. Namun sayang, bertepatan dengan tawa bahagia itu ada wajah bahagia lainnya juga. Bahagia yang sangat berbeda maknanya dengan tawa yang sama. "Gimana semuanya?" "Sudah semua, kita bisa pulang ke rumah sekarang." "Bagus, lebih cepat sampai lebih baik. Tubuhku sudah remuk redam dalam perjalanan." "Kemarilah honey, biarkan aku membantumu." Keduanya pun segera melaju menuju kediamannya dengan begitu tenang, tak ada iring-iringan bahkan tak ada sambutan selamat datang kembali ke negaranya. Alih-alih membiarkan Lecy tidur dengan istrinya, Ardan malam memilih tidur bersama di luar dengan kasur lantai yang begitu sederhana. "Kalian yakin ma
Tian melepas kepulangan Lecy dengan penuh kesedihan, ia masih sangat merindukan saudarinya itu terutama Bunda juga Ayahnya. "Kita bisa main lagi ke sini, jangan sedih gini." memeluk erat tubuh menantunya. "Bunda harus sehat ya, Ayah juga dan kamu juga." seru Tian dengan berkaca-kaca. Waktu terus berjalan, kini saatnya bagi ketiga orang itu untuk segera pergi. Ardan memeluk keluarganya, ia juga memeluk adik yang selalu di jahilinya itu. Selepas mengantar mereka kembali, Ardan hendak masuk kembali ke mobil ketika dering ponsel Tian bunyi. Tian mengerutkan keningnya menatap layar ponselnya. "Halo?" "-----------". Tubuh Tian mendadak membeku, wajah ayu itu mendadak pucat seketika. Dengan buru-buru ia pun segera menutup panggilan itu, membuat Ardan menatapnya penuh dengan rasa curiga. "Masuk mobil, kita pulang." putus Ardan. Sesampainya di rumah Tian buru-buru masuk ke dalam kamarnya, kamar yang berbeda
Ardan mengendarai mobilnya dengan begitu santai, selama dalam perjalanan ia terus memikirkan sang istri yang di tinggalkan nya di rumah seorang diri. "Harus cepat kelar langsung pulang." Dan tak lama ia pun tiba di cafe, di sambut pelayan Ardan berjalan menuju tempat yang sudah di pesannya. Betapa terkejutnya ia ketika sampai di sana, pemandangan pertama yang ia pandang adalah tubuh seksi seorang gadis. "Hai Ardan," sapa Sarah dengan senyum manisnya. Ardan tak bergeming, ia masih tetap terdiam di tempatnya. Langkahnya seakan begitu berat hingga memaksanya tetap diam tak berpidah, hal itu membuat Sarah begitu yakin jika saat ini Ardan tengah terpesona dengan dirinya. "Kenapa diam aja, sini dong Ar." ucapnya dengan nada begitu halus, jauh sekali dengan nada bicara Sarah sehari-harinya. Ardan masih diam, dalam hatinya ia merutuki pilihannya kali ini. Malam semakin dingin, sedingin suasana di antara kedua anak manusia yang te
Beno begitu panik, anak buah dari Tuannya mengabarkan jika ada kerabat dari Tian yang tiba di Jakarta. Berbagai fikiran buruk mulai memenuhi otaknya, berbagai prasangka buruk juga muncul seiring dengan ketakuatnnya. "Harus mengamankan posisi nona muda terlebih dahulu, jangan sampai kalah dari mereka." gumamnya. Sudah tiga hari ini Beno juga tak bertukar informasih dengan Tuannya, sudah tiga hari ini pula sang Tuan berada di luar negeri entah sedang apa. Beno kembali mengamati struktur dalam perusahaan yang sedang Ardan pimpin saat ini, ia tak ingin kecolongan kali ini. Ia tak ingin kecolongan dengan membiarkan mata-mata berada di sekitar nonanya. Beno juga tak bisa gegabah mengambil tindakan kali ini, salah langkah saja itu bisa membahayakan nona mudanya. "Gue nggak bisa bergerak sebelum mereka bergerak dahulu. Sialan!" Beno teringat dengan permintaan Tian tempo hari padanya, ia pun akhirnya menghubungi guru terbaik untuk membimbing no
Setelah kejadian tadi malam, Ambar sama sekali tak menghubungi Sarah. Ada rasa kesal jika mengingat bagaimana kasarnya sikap Sarah juga menusuknya setiap perkataan yang di lontarkannya membuat Ambar enggan kembali menghubunginya. Pagi ini ia memang membuat janji dengan Bayu untuk jogging bersama di sebuah taman, namun saat tengah beristirahat tanpa sengaja mata Sarah menangkap sosok yang sangat di kenalinya. "Ardana? sama Tian?" Begitu syoknya Ambar hingga ia tak menyadari jika Bayu sudah berdiri di sebelahnya. Bayu menatap heran Ambar yang terdiam dengan mulut yang menganga, ia pun mengikuti arah pandang Ambar hingga membuat gadis itu terkejut. Dan Bayu yang paham pada akhirnya mengajak Ambar menghampiri keduanya. "Eh mau kemana Bay?" Antara terjekut juga panik, Ambar hanya mampu mengikuti ke mana Bayu menarik dirinya pergi. Tanpa permisi Bayu mendudukkan dirinya tepat di depan Tian dan tersenyum manis dengannya, melihat
2 bulan kemudian, Hari ini seperti biasa Tian akan berlatih dengan Mark di halaman belakang, selepas kelas akhir Tian buru-buru pulang demi bisa cepat latihan. Namun tanpa sengaja saat berlari ia menyenggol tubuh Ardan hingga keduanya terjatuh bersama. Bugh, Semua mata tertuju pada keduanya, jantung Tian seakan tengah meninggalkan tubuhnya saat kini matanya terkunci dengan mata suaminya. Keduanya terjatuh dengan posisi Tian menindih tubuh Ardan, tak hanya itu saja sebab ada yang lebih membuat satu kampus heboh. Bibir Tian mendarat dengan sempurna di bibir Ardan, keduanya bahkan hanya terdiam saling mengunci tatapan dan menikmati momen langkanya. Ardan tertegun, ia tahu kini semua mata sedang menatap ke arahnya namun ia tak ingin mengacaukan suasananya. Menatap paras cantik istrinya membuat pusaka miliknya tiba-tiba saja bangkit dari pertapaan, Ardan begitu kalang kabut di buatnya. Dengan sengaja Ardan melumat sejenak bibir
Dor..Dor..Dor.. Letupan senjata begitu terdengar nyaring bunyinya, dengan beraninya Tian kembali mengarahkan pistolnya pada papan sasarannya. Dor..Dor.. Kembali Tian menarik pelatuknya, ia dengan semua amarahnya juga kekecewanya membuat seakan gelap menggelilinginya. Namun saat ia kembali mengarahkan pistolnya ada sebuah tangan yang menutup lubang pelurunya. "Bahkan peluru bisa tak mengenali sasarannya jika sang penarik pelatuk tak bisa mengontrol dirinya." Tubuh Tian luruh kebawah, air matanya sudah tak bisa di bendung lagi. Sungguh kini ia hanya butuh bahu suaminya, ia hanya ingin menangis dan mengadu dengan laki-laki pemilik dirinya itu. Namun tak bisa, ia tak ingin suaminya masuk lebih bahaya lagi karena dirinya. Tian hanya ingin suaminya baik-baik saja. Ingin sekali Mark merengkuh tubuh lemah itu, ingin sekali tangannya terulur menghapus setiap buliran yang keluar membasahi wajahnya. Namun ia kembali mengingat st