Kini Beno terlihat tengah menundukkan kepalanya kepada seseorang yang ada di depannya, entah kepada siapa kali ini Beno memberikan hormatnya.
"Bagaimana?"
"Sesuai dengan rencana tuan, sementara semua berjalan dengan keinginan kita."
"Bagus, bagus sekali kamu Beno. Nggak salah kamu aku tempatkan di sisiku," terdengar gelak tawa yang begitu menggelegar.
"Anda terlalu memuji saya tuan."
Dan setelahnya Beno terlihat keluar dari rumah yang begitu mewah itu, laki-laki itu keluar dengan sesak di dadanya. Ada sesuatu yang kini tengah menghantam dada juga jantungnya.
.
..Sarah begitu happy hari ini, ia datang dengan dandanan yang begitu menyala dengan lipstik merah memenuhi bibir tebalnya. Tak jarang anak-anak kampus menatap geli dengan dandanan Sarah kali ini.
"Pasti mereka terlalu kagum dengan kecantikan gue," batinnya dengan begitu percaya diri.
Kakinya tetap berlengak-lenggok menyusuri koridoor, ia deng
Ardan yang masih tak siap bertemu dengan Tian memilih mengunjungi cafe yang sudah buka di pagi hari, duduk seorang diri dengan coffee di tangannya membuat Ardan sejenak merasa rileks dibuatnya. Beno yang pagi ini berencana bertemu kliennya di sebuah cafe sudah datang lebih dulu, namun saat baru memasuki lahan cafe matanya menatap sesosok wajah yang di kenalinya. "Sendirian aja nih?" "Eh om, sama siapa?" "Sendiri. Boleh duduk nggak nih?" tanya Beno basa-basi. Beno yang melihat Ardan seorang diri segera menghampiri dan menyapanya. "Kenapa? Kusut banget wajahnya, ada masalah?" tanya Beno dengan tebakannya. Ardan hanya bisa menganggukan kepalanya dengan lemah, matanya kini sedang menatap coffee didepannya namun hati juga pikirannya sedang berada pada istrinya. "Ada apa? Kamu bisa cerita sama om, anggap saja kita best friend Ar." tawar Beno. Ardan mulai menceritakan masalah yang di hadapinya di kantor dengan salah sa
Sarah tiba di bastmen, ia melangkah dengan begitu seksi memasuki loby apartemen di mana ia tahu Ardan tinggal. Dan dengan percaya dirinya ia melangkah menembus orang-orang yang sedang lalu lalang di sekitarnya. "Unit 104, milik kekasihku." gumamnya begitu bersemangat. Berkali-kali Sarah menekan bel dan berkali-laki pula ia mengetuk pintu namun tak kunjung ada sahutan dari dalam. "Apa Ardan keluar ya? Tapi nggak mungkin deh, dia kan suka menghabiskan waktu di apartemen kalo libur." gumamnya berfikir. Dengan terpaksa ia pun turun kembali dan hendak bertanya pada petugas resepsionis. Dan betapa terkejutnya dia saat mendengar bahwa Ardan sudah pindah dan menjual unit miliknya itu. Dengan rasa kecewa Sarah kembali pulang, pupus sudah harapannya bertemu dengan Ardan hari ini. "Kalau Ardan menjual unitnya, lalu dia sekarang tinggal di mana ya?" Sarah pun berniat menghubungi Bayu untuk menanyakan soal kepindahan Ardan, namun kembal
Tak terasa sudah pagi, namun keadaan Tian masih tetap sama. Terlihat Ardan terpejam di sebelah istrinya dengan masih menggenggam tangannya. "Ehmm," lenguh Tian dengan mata terpejamnya. Ardan yang terkejut mendengar suara segera memaksa matanya untuk terbuka, dan betapa bahagianya ia saat melihat perlahan kelopak mata istrinya bergerak dan perlahan terbuka. "Tian, kamu bisa dengar aku?" tanya Ardan dan Tian mengangguki itu. Ardan segera menghubungi dokter dan tak lama dokter datang dengan beberapa suster di belakangnya. Semua baik-baik saja, panas di tubuh Tian juga sudah turun namun dokter masih belum mengijinkan Tian untuk meninggalkan rumah sakit terlebih dahulu. "Baik Dok, terima kasih." "Sudah tugas saya, kalau begitu saya permisi dulu. Cepat sembut nona," senyum dokter tampan itu sebelum menghilang. Ada rasa tak suka dalam diri Ardan saat melihat laki-laki lain dengan terang-terangan tersenyum di depan istrinya. Terl
Bayu memainkan ponselnya sembari menunggu Tian yang masih terlelap di tidurnya. Hari sudah siang namun Ardan belum juga menampakkan batang hidungnya, Bayu menjadi sedikit resah jika saja Tian terbangun dan menanyakan keberadaan suaminya. Suara pintu terbuka, Bayu sempat lega saat mengira jika itu adalah Ardan sahabatnya. Namun begitu sosok itu masuk malah membuat Bayu cemas seketika. "Kamu di sini?" tanyanya. "I-iya om." "Lalu di mana Ardan? Kenapa kamu yang menjaga Tian?" "Ehm, tadi Ardan keluar om. Katanya mau ketemu sama clientnya sebentar." "Di hari minggu ketemu client?" bingung Beno yang tak mendapati keberadaan Ardan. "Jangan-jangan Ardan ketemu sama kaket peot itu," batinnya tak suka. Suara lenguhan membuyarkan obrolan keduanya, Beno segera mendekat dan melihat langsung keadaan Tian. Ia sangat bersyukur ketika melihat Tian tersenyum saat melihatnya, rasanya segala kecemasan menguap begitu saja. "Kamu har
Hari ini Tian sudah di ijinkan untuk pulang, Ardan yang sudah membereskan biaya administrasi segera membawa istrinya untuk kembali ke rumah mereka. Hanya butuh waktu 20 menit hingga keduanya tiba di depan rumahnya, Ardan dengan hati-hati membawa tubuh istrinya berjalan masuk hingga terbaring di atas ranjangnya. "Kamu istirahat dulu, aku siapin makan siang buat kita." Tian hanya diam mengangguki keinginan suaminya. Sedang di dapur Ardan menatap sekilas isi di dalam kulkas miliknya, dengan mengusap tengkuknya ia menatap nanar ke dalam kulkasnya. Bagaimana tidak, rencana memasaknya harus sedikit tertunda ketika melihat kulkasnya hanya menyisakan satu buah tomah di sana berteman dengan sebutir telur. Memperihatinkan bukan nasib kulkasnya? Terlalu sibuk mengurus Tian di rumah sakit membuat Ardan mengabaikan urusan lainnya, termasuk urusan kulaihnya yang tanpa di sadari ia sudah absen dua hari. Namun beruntung masih ada Bayu yang denga
Keduanya terkejut ketika mendapati ada Bayu yang sudah duduk menunggu di meja makan, terlebih Tian yang tak mengetahui kedatangan sahabat dari suaminya itu. "Kak Bayu di sini juga?" tanya Tian yang mendudukkan dirinya di depan Bayu. "Gue kira loe masih molor di sana." sahut Ardan. "Ya gue ada di sini karena suami loe ini, dia habis nyuruh gue belanja buat dia masak. Dan gue udah bangun karena gue udah sangat-sangat kelaparan." jawabnya dengan menatap keduanya. Hingga akhirnya ketiganya menikmati makan siangnya dengan begitu nikmat, sebab memang tangan terampil Ardan menghasilkan masakan dengan cita rasa lezatnya. Setelah makan siang dan memastikan Tian meminum obatnya, Ardan turun menemui sahabatnya. "Ar, " panggil Bayu. "Ehm." "Besok loe harus masuk kampus, ada kuis pagi." "Thanks ya udah back up gue dua hari ini." "Sarah nanyain loe kemarin, dia udah tahu kalau loe pindah." Ardan sempan m
Pagi ini keduanya sarapan dalam diam, Tian yang melihat raut wajah suaminya mengurungkan niatnya untuk mengajaknya berbicara. Biarlah seperti ini dahulu, bagi Tian keduanya kini juga butuh waktu untuk berfikir. Ardan yang sudah menyelesaikan sarapannya tiba-tiba bangkit dan berlalu begitu saja meninggalkan Tian di meja makan. "Apa kak Ardan marah ya? Kalau kak Ardan berangkat nanti aku berangkat sama siapa?" gumamnya bertanya-tanya. Di saat Tian bertarung dengan semua pertanyaannya, tiba-tiba masuklah seorang pria berumur ke dalam rumah mengejutkannya. "Bapak siapa ya?" "Maaf non, saya Heri. Saya supir yang di tugaskan tuan Ardan untuk mengantar nona." Ada rasa lega saat mengetahui jika Ardan tak benar-benar meninggalkannya, paling tidak ia masih perduli dengan mendatangkan supir khusus untuk istrinya. Dan sesampainya Tian di kampus, ia melihat jika suaminya kini tengah bercengkrama dengan teman-temannya termasuk juga Sarah jug
Brak! Ardan memukul keras meja tempat Tian berada, beruntung saat ini kantin sedang sepi. Hanya ada para penjual yang menatap heran pada Ardan juga Tian. "Kakak apa-apaan sih? Bikin kaget aja, " ucap Tian mengusap dadanya. "Kenapa bisa di usir? Apa yang kamu lakukan sampai di usir?" Tian pun menceritakan sosok teman laki-laki di kelas yang mengganggunya, Tian bagai menuang bensi di tengah bara api. Ardan yang masih panas dengan ucapan Nico kini bertambah panas dengan cerita istrinya. "Pulang sekarang juga," serunya. "Mana bisa kak, nanti kalau aku di cariin gimana?" "Aku bilang pulang ya pulang. Kamu pilih pulang sendiri atau aku seret kamu pulang sampai rumah." Tian tak mengerti dengan jalan fikiran suaminya itu, ia benar-benar bingung sekaligus kesal dengan itu semua. Ingin sekali ia membantahnya, namun tatapan tajam itu membuatnya memilih bungkam. "Pulang Ratian." "Permisi non, ini jusnya." "S