Hari ini Tian sudah di ijinkan untuk pulang, Ardan yang sudah membereskan biaya administrasi segera membawa istrinya untuk kembali ke rumah mereka.
Hanya butuh waktu 20 menit hingga keduanya tiba di depan rumahnya, Ardan dengan hati-hati membawa tubuh istrinya berjalan masuk hingga terbaring di atas ranjangnya.
"Kamu istirahat dulu, aku siapin makan siang buat kita."
Tian hanya diam mengangguki keinginan suaminya.
Sedang di dapur Ardan menatap sekilas isi di dalam kulkas miliknya, dengan mengusap tengkuknya ia menatap nanar ke dalam kulkasnya.
Bagaimana tidak, rencana memasaknya harus sedikit tertunda ketika melihat kulkasnya hanya menyisakan satu buah tomah di sana berteman dengan sebutir telur. Memperihatinkan bukan nasib kulkasnya?
Terlalu sibuk mengurus Tian di rumah sakit membuat Ardan mengabaikan urusan lainnya, termasuk urusan kulaihnya yang tanpa di sadari ia sudah absen dua hari. Namun beruntung masih ada Bayu yang denga
Keduanya terkejut ketika mendapati ada Bayu yang sudah duduk menunggu di meja makan, terlebih Tian yang tak mengetahui kedatangan sahabat dari suaminya itu. "Kak Bayu di sini juga?" tanya Tian yang mendudukkan dirinya di depan Bayu. "Gue kira loe masih molor di sana." sahut Ardan. "Ya gue ada di sini karena suami loe ini, dia habis nyuruh gue belanja buat dia masak. Dan gue udah bangun karena gue udah sangat-sangat kelaparan." jawabnya dengan menatap keduanya. Hingga akhirnya ketiganya menikmati makan siangnya dengan begitu nikmat, sebab memang tangan terampil Ardan menghasilkan masakan dengan cita rasa lezatnya. Setelah makan siang dan memastikan Tian meminum obatnya, Ardan turun menemui sahabatnya. "Ar, " panggil Bayu. "Ehm." "Besok loe harus masuk kampus, ada kuis pagi." "Thanks ya udah back up gue dua hari ini." "Sarah nanyain loe kemarin, dia udah tahu kalau loe pindah." Ardan sempan m
Pagi ini keduanya sarapan dalam diam, Tian yang melihat raut wajah suaminya mengurungkan niatnya untuk mengajaknya berbicara. Biarlah seperti ini dahulu, bagi Tian keduanya kini juga butuh waktu untuk berfikir. Ardan yang sudah menyelesaikan sarapannya tiba-tiba bangkit dan berlalu begitu saja meninggalkan Tian di meja makan. "Apa kak Ardan marah ya? Kalau kak Ardan berangkat nanti aku berangkat sama siapa?" gumamnya bertanya-tanya. Di saat Tian bertarung dengan semua pertanyaannya, tiba-tiba masuklah seorang pria berumur ke dalam rumah mengejutkannya. "Bapak siapa ya?" "Maaf non, saya Heri. Saya supir yang di tugaskan tuan Ardan untuk mengantar nona." Ada rasa lega saat mengetahui jika Ardan tak benar-benar meninggalkannya, paling tidak ia masih perduli dengan mendatangkan supir khusus untuk istrinya. Dan sesampainya Tian di kampus, ia melihat jika suaminya kini tengah bercengkrama dengan teman-temannya termasuk juga Sarah jug
Brak! Ardan memukul keras meja tempat Tian berada, beruntung saat ini kantin sedang sepi. Hanya ada para penjual yang menatap heran pada Ardan juga Tian. "Kakak apa-apaan sih? Bikin kaget aja, " ucap Tian mengusap dadanya. "Kenapa bisa di usir? Apa yang kamu lakukan sampai di usir?" Tian pun menceritakan sosok teman laki-laki di kelas yang mengganggunya, Tian bagai menuang bensi di tengah bara api. Ardan yang masih panas dengan ucapan Nico kini bertambah panas dengan cerita istrinya. "Pulang sekarang juga," serunya. "Mana bisa kak, nanti kalau aku di cariin gimana?" "Aku bilang pulang ya pulang. Kamu pilih pulang sendiri atau aku seret kamu pulang sampai rumah." Tian tak mengerti dengan jalan fikiran suaminya itu, ia benar-benar bingung sekaligus kesal dengan itu semua. Ingin sekali ia membantahnya, namun tatapan tajam itu membuatnya memilih bungkam. "Pulang Ratian." "Permisi non, ini jusnya." "S
Di kampus kening Ardan berkerut, ia yang sedang memantau keberadaan istrinya merasa hera ketika gps tak berada di rumahnya. "Bukankah harusnya sudah sampai ya?" "Woi, kenapa loe?" tanya Bayu yang melihat sahabatnya gusar sedari tadi. "Kita masih ada kelas nggak hari ini?" "Nggak ada sih, " jawab Bayu dengan heran. Tiba-tiba Ardan pergi begitu saja tanpa penjelasan, Bayu yang khawatir memilih mengikuti Ardan. Ardan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, ia masih terus memantau keberadaan istrinya lewat ponsel pintarnya. Sedang Bayu yang merasa heran hanya bisa terdiam mengikuti ke mana Ardan pergi. Tak lama mobil berhenti di depan mall ternama, Bayu menatap heran mall yang ada di depannya bergantian dengan menatap sahabatnya. "Kita ngapain ke mall?" Namun Ardan tak menyahutinya, ia berjalan begitu saja meninggalkan Bayu di belakangnya. Bayu semakin di buat kebingungan ketika keduanya sampai di pu
Hari ini keluarga Ardan bertolak ke Jakarta, Lecy begitu bahagia ketika tiba di kota tersebut. Wajah gadis itu tak hentinya tersenyum menatap sepanjang jalan, dan itu semua tak luput dari pandangan Beno yang tengah mengemudi. "Om Beno, kita langsung ke rumah kak Ardan atau ke mana dulu ini?" "Kamu mau nya ke mana dulu?" "Dih, di tanya malah balik tanya." gerutunya dan kembali menikmati pemandangan di jalan. Sedang ketiga orang lainnya hanya bisa tertawa mendengar gerutuan gadisnya. Namun Beno memang tak benar-benar mengantarkan ketiganya langsung ke rumah Ardan, ia mengantarkan mereka ke apartemen miliknya. "Sebaiknya beristirahat dulu di sini, setahu saya jam seperti ini mereka masih kuliah."... Sedang orang yang di fikir kuliah malah sedang terlibat perang dingin, sejak semalam Ardan maupun Tian sama-sama memilih diam. Tian masih sangat kesal dengan sikap Ardan yang berubah aneh menurutnya, sedang Arda
Malam ini terasa begitu indah, rumah yang biasanya sepi itu kini berubah meriah dengan kehadiran orang-orang tersayang. Ardan yang ingin menjahili istrinya menceritakan jika Tian membuat perjanjian yang begitu posesif padanya, pengakuan itu sontak membuat gelak tawa bahagian di antara mereka. Namun sayang, bertepatan dengan tawa bahagia itu ada wajah bahagia lainnya juga. Bahagia yang sangat berbeda maknanya dengan tawa yang sama. "Gimana semuanya?" "Sudah semua, kita bisa pulang ke rumah sekarang." "Bagus, lebih cepat sampai lebih baik. Tubuhku sudah remuk redam dalam perjalanan." "Kemarilah honey, biarkan aku membantumu." Keduanya pun segera melaju menuju kediamannya dengan begitu tenang, tak ada iring-iringan bahkan tak ada sambutan selamat datang kembali ke negaranya. Alih-alih membiarkan Lecy tidur dengan istrinya, Ardan malam memilih tidur bersama di luar dengan kasur lantai yang begitu sederhana. "Kalian yakin ma
Tian melepas kepulangan Lecy dengan penuh kesedihan, ia masih sangat merindukan saudarinya itu terutama Bunda juga Ayahnya. "Kita bisa main lagi ke sini, jangan sedih gini." memeluk erat tubuh menantunya. "Bunda harus sehat ya, Ayah juga dan kamu juga." seru Tian dengan berkaca-kaca. Waktu terus berjalan, kini saatnya bagi ketiga orang itu untuk segera pergi. Ardan memeluk keluarganya, ia juga memeluk adik yang selalu di jahilinya itu. Selepas mengantar mereka kembali, Ardan hendak masuk kembali ke mobil ketika dering ponsel Tian bunyi. Tian mengerutkan keningnya menatap layar ponselnya. "Halo?" "-----------". Tubuh Tian mendadak membeku, wajah ayu itu mendadak pucat seketika. Dengan buru-buru ia pun segera menutup panggilan itu, membuat Ardan menatapnya penuh dengan rasa curiga. "Masuk mobil, kita pulang." putus Ardan. Sesampainya di rumah Tian buru-buru masuk ke dalam kamarnya, kamar yang berbeda
Ardan mengendarai mobilnya dengan begitu santai, selama dalam perjalanan ia terus memikirkan sang istri yang di tinggalkan nya di rumah seorang diri. "Harus cepat kelar langsung pulang." Dan tak lama ia pun tiba di cafe, di sambut pelayan Ardan berjalan menuju tempat yang sudah di pesannya. Betapa terkejutnya ia ketika sampai di sana, pemandangan pertama yang ia pandang adalah tubuh seksi seorang gadis. "Hai Ardan," sapa Sarah dengan senyum manisnya. Ardan tak bergeming, ia masih tetap terdiam di tempatnya. Langkahnya seakan begitu berat hingga memaksanya tetap diam tak berpidah, hal itu membuat Sarah begitu yakin jika saat ini Ardan tengah terpesona dengan dirinya. "Kenapa diam aja, sini dong Ar." ucapnya dengan nada begitu halus, jauh sekali dengan nada bicara Sarah sehari-harinya. Ardan masih diam, dalam hatinya ia merutuki pilihannya kali ini. Malam semakin dingin, sedingin suasana di antara kedua anak manusia yang te