Edwin masih asik mengobrol dengan lusi, lusi pun sangat antusias ketika Edwin mulai mengenang masa kecil bersamanya. Lusi adalah teman kecilnya yang tahu kalau Edwin punya penyakit psikologi yang takut untuk dikagumi dan disukai orang lain. Lusi tidak pernah jujur dengan perasaannya karena penyakit yang diderita Edwin waktu itu.
Lusi juga takut ketika Edwin tahu perasaannya waktu itu dia akan otomatis membencinya.
"Gila! Berapa tahun coba kita nggak ketemu?"Kata Edwin sangat ceria dan dia lupa dengan Piona.
"Hampir 6 atau 7 tahun ya? Aku juga sampai lupa?"Kata Lusi sambil menyerutup es teh di tangannya.
"Btw, gimana kuliahmu? Udah selesai?"Tanya Lusi
"Udah dong.kamu gimana ?" Tanya Edwin.
"Aku juga baru selesai?" Kata lusi
"Kok kamu tahu aku disini?" Tanya Edwin penasaran.
"Kebetulan aja sih, kemarin aku sempet telpon tante Marta. Aku kangen sama dia terus tahu aku ada di LA. Dia ngasih tahu aku buat nemuin kamu." Kata Lusi menjelaskan
" Ohh mama yang ngasih tahu? astaga pasti dia girang banget waktu kamu telpon" Kata Edwin.
"Pastinya dong, ngomong-ngomong penyakit kamu gimana ?" Tanya Lusi penasaran.
" Aku dinyatakan dokter sembuh udah lama ada tiga tahun yang lalu mungkin" Jelas Edwin.
Mendengar hal itu lusi menjadi begitu bahagia. Seperti ada kesempatan emas ada didepan matanya.
"Oh ya, bagus dong. Selamat ya Win" Lusi berbasa- basi dan memberi Edwin ucapan selamat.
"Oh iya sekarang pasti banyak cewek-cewek nih yang ngantri?" Lusi menyindir Edwin sambil sedikit tersenyum.
"Nggak ada kok, oh iya aku mau kenalin...." Edwin tiba-tiba terkejut ketika menoleh ke arah meja yang diduduki Piona dan melihat Piona tidak ada disana, dia tersadar sedari tadi dirinya asik mengobrol dengan Lusi dan mengabaikanya Edwin menjadi gelisah.
"Kenapa Win?" Tanya Lusi yang sebenarnya tahu apa yang dia pikirkan.
"Aku mencari istriku? Aku ingin mengenalkan kamu dengannya. Dia dimana ya ? Kok nggak ada dimeja?" Edwin masih terlihat kebingungan.
"Hah istri? Kamu sudah menikah?" Lusi terkejut tanpa sadar menaikkan nada suaranya.
"Iya, aku sudah menikah." Edwin masih kebingungan dan mencoba menelpon Piona.
"Kok Bisa?" Tanya Lusi tapi Edwin tidak peduli lagi.
Lusi tiba- tiba kesal dan melipat tanganya lalu menoleh kearah yang lain.
Edwin semakin gelisah, dia sadar kesalahannya. Edwin menulis nomor telponnya di sebuah tisu dan meletakkan sejumlah uang dimeja.
"Lusi ini nomor telponku, Aku pergi" kata Edwin sambil terburu-buru untuk mencari istrinya itu.
Piona mencoba tidak peduli dengan perasaannya, melihat Edwin begitu asik mengobrol dengan wanita itu. Dia sengaja membiarkannya. Dia pergi keluar dari restoran itu melewati pintu belakang, air matanya rasanya tertahan dan Piona berusaha untuk tersenyum seolah tidak terjadi apapun. Dia berjalan mengikuti langkah kakinya dan sekarang langkah itu membawanya ke sebuah jalan yang terbuat dari kayu dan terbentang sampai ketengah laut. Piona menentang gejolak emosi didadanya, berulang kali memukul bagian dadanya untuk sekedar menghilangkan rasa sesak yang membuatnya sulit untuk bernafas.
Kenapa rasanya seperti ini? Kenapa aku rasanya ingin marah?Kenapa rasanya aku ingin menangis? Kenapa aku kesal?
Piona masih tidak mengerti dengan perasaannya sendiri,kakinya terhenti lalu Piona terduduk menghadap kelautan luas. Dia tidak menggubris darah segar mengalir dari kedua kakinya ada sedikit lebam juga disana. Piona meletakkan hanphonenya yang sedari tadi berdering dan tidak ada niat sedikitpun untuk melihat siapa yang menelponnya. Dia sama sekali tidak ingin peduli dengan siapapun saat itu. tapi badannya semakin lemas, matanya mulai berkunang-kunang dan bibirnya mulai pucat. Kemudian Piona tiba-tiba pingsan. Banyak orang akhirnya berbondong-bondong mendekati Piona dan segera membawanya kerumah sakit terdekat.
Edwin kebingungan mencari Piona, dia sadar telah melupakan Piona sedari tadi dan mungkin Piona telah salah paham terhadapnya. Hanphonenya berdering tapi sama sekali tidak diangkat. Berulang kali mengirim pesan tapi tidak ada satupun yang dibuka, Edwin berlari ke pinggir pantai dan meminta tolong juga kepada tour guidenya untuk mencari istrinya tapi hasilnya masih nihil. Edwin berlari ke Restoran lagi berharap istrinya sudah kembali tapi tidak juga ditemukan, sampai akhirnya ada salah seorang penjaga pantai melihat ciri-ciri wanita yang disebutkan Edwin.
"Looks like this woman is over there, Sir!"Pria itu menunjuk kearah jalan berkayu yang panjang sampai ke tengah laut.
"Thanks a lot" jawab Edwin dan berlari ketempat itu.
Perasaannya mulai tidak karuan, khawatir, merasa bersalah, bingung semua berkecambuk dipikirannya. Edwin berjalan mencari dan menanyakan kepada setiap orang yang berada di jalan berkayu itu tapi masih belum juga ditemukan. Sampai akhirnya ada sekelompok pemuda yang mengetahui keberadaan Piona.
"Oh ya, I remember this woman who just fainted here and they took her to the nearest hospital." kata pemuda itu sambil menunjukkan letak Rumah sakit.
"Ok, thanks." Jawab Edwin.
Perasaannya semakin kacau, kakinya terus berlari dan sesegera mungkin mendapatkan taxi.
"Stop,help me!" Kata Edwin memaksa taxi berhenti.
Edwin masuk ke taxi itu.
"Where are you going Sir?" Tanya supir taxi itu.
"To nearest hospital. I don't know hospital's name." kata Edwin masih terlihat panik.
Supir taxi itu mengerti harus membawa Edwin kemana. Supir itu mencoba mempercepat jalanya untuk segera sampai kerumah sakit.
Sayang kamu kenapa? Aku sangat berharap kamu baik-baik saja, Edwin bertanya didalam benaknya. Mukanya terlihat takut dan sangat panik.
"Thank you, Sir."Edwin memberikan sejumlah uang dan berlari masuk kerumah sakit.
Dia bertanya ke resepsionis dan seorang perawat mengantar Edwin ke ruang UGD.
Setelah Piona ditemukan Hatinya lega sekaligus terkejut istrinya itu terbaring lemah dengan wajah yang pucat dan melihat dokter sedang mengobati luka di kakinya. Edwin mendekat mencium kening istrinya yang belum sadar dari pingsannya.
"Piona, bangun!"Kata Edwin debgan lembut tanpa terasa Edwin meneteskan sedikit air mata lalu mengusapnya lagi.
Perawat menjelaskan kejadiannya dan ternyata Piona terkena Tetanus karena luka akibat paku berkarat yang tidak segera di bersihkan. Perawat itu menjelaskan beruntung segera dibawa kerumah sakit, jika tidak akan fatal akibatnya.
Maafkan aku Piona, aku telah mengabaikanmu? Kumohon cepatlah sadar!Aku Mohon Piona! Edwin menggengam tangan Piona sambil terus bergumam di hatinya.
Sekitar pukul 16.00 perawat memindahkan Piona ke ruang rawat inap. Dilantai 2 rumah sakit itu.
Sudah 2 jam berlalu, Piona belum juga membuka matanya. Entah mengapa hari itu tante Marta atau mama Edwin menelpon.
Edwin mengangkat telpon itu dan kebingungan bagaimana harus menjelaskan ketika tante Marta bertanya.
"Halo ma." Edwin menjawab dengan lirih.
"Gimana bulan madu kalian sayang?" Tanya tante marta.
"Baik ma, t-tapi..."Edwin terdiam seketika.
"Tapi apa? Aku menelponmu karena mama Piona sedari tadi khawatir dan perasaannya tidak tenang. Maaf sayang jika aku mengganggu bulan madu kalian." Jelas tante Marta.
"Piona masuk rumah sakit ma." Jelas Edwin.
"Apa masuk rumah sakit? Piona kenapa sayang?"Tante Marta terkejut dan sangat khawatir.
"Aku tadi bertemu Lusi ma dan aku sempat mengabaikan Piona, dia pergi tanpa pesan dan aku sangat kebingungan lalu ada yang berkata Piona pingsan dan dibawa kerumah sakit akhirnya aku segera menuju ke Rumah sakit dan melihat kakinya terluka mukanya begitu pucat kata dokter Piona terkena tetanus."
"Ya Tuhan semoga piona baik-baik saja, Piona hanya salah paham sayang. Mama yakin dia akan memaafkanmu.Bagaimana keadaannya sekarang?"Tanya tante Marta mencoba menenangkan Edwin.
"Masih belum sadar ma, Edwin merasa bersalah coba tadi aku memperhatikanya." Kata Edwin dengan nada penyesalan.
"Sudah sayang jangan menyalahkan dirimu lagi, sekarang fokus dengan kesembuhan istrimu. Aku akan berbicara dengan mama Piona yang sedari tadi tidak berhenti menangis mendengar kabar ini. Kabari mama lagi ya jika Piona sadar!" kata tante Marta.
"Iya, ma." Edwin menutup telponnya.
Akhirnya 1 jam kemudian Piona sedikit demi sedikit membuka matanya. Rasanya berkabut dan berat. Piona melihat kesekeliling ruangan itu, dia bertanya-tanya
aku dimana ? Piona menoleh ke samping kanan dan melihat Edwin yang sedang berdoa disampingnya.
Edwin terkejut ketika doanya selesai, Edwin melihat Piona membuka mata. Piona sama sekali tidak bisa berkata-kata, Piona mulai merasakan sakit di kedua kakinya, Piona hanya merintih sambil meneteskan air mata. Piona seperti tidak ingin menatap mata suaminya itu. Dia menatap kearah lain,
"Sayang,kamu sudah sadar," Kata Edwin dengan lembut.
Piona tidak mengatakan sepatah katapun, dia hanya mampu menangis. Edwin yang melihat hal itu mulai bingung.
"Piona mungkin aku keterlaluan, karena aku mengabaikanmu tadi tapi..."Kata-kata Edwin terhenti ketika piona meremas tangannya.
"Bisakah tinggalkan aku sendiri!!"Piona berkata pelan sambil menoleh menatap Edwin.
Edwin terdiam melihat tatapan mata itu, ada emosi yang tergambar di wajah Piona dan ada rasa kecewa juga disana, seperti marah yang tertahan. Edwin kebingungan dirinya merasa bersalah tapi tidak mampu berbuat apa-apa.
"Tapi piona..."Dia masih bingung menghadapi Piona, ketika menatap mata Piona lagi dia berfikir memang harus keluar untuk membuatnya tenang.
"Baiklah aku keluar, panggil aku jika membutuhkan sesuatu ya, sayang." Edwin berjalan keluar dan menutup pintu ruang rawat itu. Hatinya mencoba untuk tenang.
Piona menangis dikamar itu sendirian,entah merasakan sakit didalam hatinya atau perih di kakinya. Dia terus memukul bantal mencoba berdamai dengan dirinya sendiri.
Edwin diluar mendengar luapan kemarahan dan kesedihan Piona, hatinya semakin diliputi rasa bersalah. Edwin hanya bisa terduduk di depan ruang rawat Piona dengan kegelisahan.
Piona melegakan hatinya sendiri, Piona sadar cepat atau lambat harus membicarakan masalah ini. Ketika Piona terlelap karena pengaruh obat yang diberikan seorang perawat.
Edwin diam-diam masuk keruangan itu dan menjaga Piona sepanjang malam. Edwin sama sekali tidak bisa makan ataupun tidur, sampai akhirnya dia terduduk disamping Piona dan menggenggam tangannya lagi. Edwin berdoa tanpa henti, hatinya kacau dan penuh dengan rasa bersalah.
"Maafkan aku Piona, aku salah. Aku tahu kamu pasti marah. Aku mengabaikanmu saat aku bersama Lusi. Dia hanya teman kecilku Piona hanya sebatas itu.kamu pasti salah paham. Disaat aku ingin mengenalkanmu dengannya kamu tidak ada disana. Aku minta maaf Piona. Tolong maafkan aku!" Jelas Edwin mengulang kata-katanya beberapa kali.
Piona perlahan membuka matanya. Dia sudah mendengar apa yang dikatakan Edwin, mungkin hatinya memang terluka tapi suaminya itu benar-benar tulus untuk mengucapkan maaf padanya. Piona mencoba menerima walaupun masih terasa sakit ketika Edwin mengabaikannya.
Piona menggerakkan tangannya, Edwin tersadar kalau Piona sudah bangun. Edwin tak mampu melihat kearah Piona karena rasa bersalahnya.
"Piona kamu sudah bangun? Maaf aku masuk tanpa ... , a-aku akan segera keluar."Edwin benar-benar tidak bisa fokus, sepertinya hanya itu yang bisa dia lakukan, Edwin berbalik untuk keluar dari kamar itu.
Piona meraih tangan Edwin seolah memintanya untuk tetap tinggal.
Edwin mengusap air matanya yang tiba-tiba mengalir.Menjadi pria yang rapuh ketika terlalu khawatir dan sadar bahwa menjadi pria baik tanpa satu pun kesalahan itu tidak mudah. Edwin menoleh ke arah Piona, hatinya begitu bahagia ketika Piona tidak lagi mengusirnya seperti tadi.
"Duduklah!" Kata Piona dengan suara parau.
Edwin hanya menurut.
Piona menggenggam tangan Edwin.
"Edwin maafkan aku membuatmu khawatir, dan kamu pasti lelah mencariku, aku hanya emosi dan tidak mengerti perasaanku. Maaf jika aku mengulangi kesalahan yang sama."Kata Piona masih dengan suara yang parau.
"Ini bukan kesalahanmu piona, kalau bukan karena aku, kamu tidak akan masuk keruangan ini,kamu juga tidak akan melakukan kesalahan yang sama, kamu juga tidak akan pernah terluka. Maaf jika aku mengabaikanmu dan membuatmu kecewa. Aku sangat mencintaimu sayang, aku takut kamu akan pergi meninggalkanku. Maaf!" hanya kata-kata itu yang terbersit di pikiran Edwin.
Piona menyandarkan tubuhnya di pinggiran tempat tidur dan menarik tangan Edwin lalu memeluknya, dia masih mencoba memaafkan Edwin yang telah mengabaikannya.
"Maafkan aku jika hal ini terlambat aku sadari." kata Piona.
"Aku mencintaimu Edwin."
Pelukan itu semakin erat, perasaan bahagia menyelimuti hati mereka berdua. Edwin mengecup pundak Piona dengan lembut.
"Terimakasih Piona, kamu mau memaafkan aku." Edwin masih memeluknya dengan erat.
"Dan terimakasih juga sayang karena kamu cemburu melihatku dengan Lusi." Kata Edwin sambil tersenyum.
"Siapa yang Cemburu? Nggak aku nggak cemburu..." Piona mencubit perut edwin karena dia sangat malu. Piona mencoba mengelak kalau dia benar-benar cemburu
"Aww, kenapa kamu suka sekali mencubit perutku. Sakit Piona! Tapi kamu memang Cemburu kan?" kata Edwin sambil tersenyum menghoda Piona dan memegangi perutnya yang lumayan nyut-nyutan.
"Itu juga tanda sayangku buat kamu win. Habis kamu selalu saja menggodaku bahkan disaat seperti ini." Kata Piona.
"Tanda sayang? Kalau kamu sayang kamu kan bisa menciumku bukan mencubit lihat perutku merah kan?" Edwin membuka bagian perutnya dan melihat hasil cubitan Piona.
"Kalau kamu sayang tuh, ini aja!"Edwin menunjuk bibirnya dan berharap Piona menciumnya.
"Ini di Rumah sakit Edwin banyak orang." Kata Piona clingak clinguk memastikan memang banyak orang disana.
Tiba-tiba Edwin menutup tirai kamar itu, Piona terkejut dan mematung ketika Edwin mendekati wajahnya menatap bola matanya cukup lama, seperti magnet yang menarik dalam bayangan itu. Edwin begitu menggunakan rasa, jantung mereka berdetak seperti waktu yang terdengar cukup nyaring ketika adrenalin mulai bermain dalam setiap detik gerakan itu.Piona seakan memundurkan tubuhnya ketika tatapan itu mendorongnya kebelakang untuk membentur dinding. Edwin seakan tahu keadaan itu. tangannya meraih kepala Piona agar tetap terjaga...
Hemm udah mulai masuk konflik nih... Kalau misal harus pakai koin jangan berkecil hati yah Baca terus yukk ceritanya seru banget loh... Eh jangan lupa tinggalkan komentar dan bintang yah biar author makin gercep nyelesein novelnya
Matanya beralih ke bibir kecil yang memucat itu. Piona seakan mengerti apa yang akan terjadi dan apa yang harus dia lakukan, Edwin menutup matanya lalu menyentuhnya perlahan, menggerakkan bibir atas dan bawahnya menyentuh setiap garis yang mulai basah permukaannya. Piona menutup matanya seakan mengikuti gerak yang membuatnya semakin terhanyut.Edwin menarik sentuhan bibirnya dan memandang Piona dengan wajah tersenyum, tergambar nyata bahwa dia sangat mencintai Piona. Edwin mengecup sekali lagi kening Piona dengan penuh kasih sayang dan memeluk istrinya itu ke dadanya. Hangat pelukan itu membuat Piona sangat nyaman sampai suatu ketika ada bunyi yang membuat Piona tersenyum geli” Kruyuk … ” suara itu terdengar jelas dari perut Edwin yang memang sedari tadi belum terisi apapun.Edwin benar-benar belum makan?kata Piona dalam hati sambil tersenyum.” Kamu senang suamimu kelaparan?&rdq
Edwin berdiri dengan mengepalkan tangannya, hatinya serasa tertusuk duri besar yang membuatnya sedikit terengah untuk bernafas, mukanya memerah dan matanya kembali bengis seperti harimau yang ingin menerkam mangsanya. Edwin mencoba menahan emosinya ketika kejadian itu mengganggu pikirannya. Suasana hatinya semakin kacau, Edwin mendekati mereka berdua dan menarik baju Ardi lalu melemparnya kedinding. Tangan kiri edwin yang menahan pundak ardi untuk tetap berada dalam lingkupnya, kemudian tangan kanan Edwin mengepal bersiap untuk melayangkan pukulan ke wajah Ardi. Ardi pasrah dengan keadaan itu karna punggungnya sudah terasa sakit. Kepalan itu rasanya tertahan, Edwin terus melakukan pengendalian sampai akhirnya dia melepaskan Ardi. Edwin berlalu begitu saja setelah melihat Piona disampingnya, dia masuk ke dalam kamar tanpa sepatah katapun, pintu kamar itu dibanting cukup keras membuat Piona terkejut sekaligus ketakutan." Ardi, Maafkan Edwin!" Piona hanya bisa men
" Win kamu kok senyum-senyum sendiri mikirin apa ?" tanya Piona"Emm nggak mikirin apa-apa kok." mengelak tapi masih terus tersenyumEdwin membuka kamar penginapan." Aku mandi duluan ya win!" kata Piona sambil mengambil peralatan mandi dan piama tidurnya." Iya sayang." kata Edwin sambil membaringkan tubuhnya ke ranjang.Lima belas menit kemudian Piona selesai dan gantian Edwin yang mandi." Sayang, kamu nggak mau menggosok punggungku?" tanya Edwin" Nggak." Piona tiba-tiba ketus' Dia mulai berani lagi.'" Kamu kok galak sih sayang?" kata Edwin masih mengintip dari pintu kamar mandi." Sana Mandi, Edwin!!!" Piona menaikkan nada suaranya" Iya, iya aku mandi " kata Edwin sambil menutup kamar mandi.'Apa dia tidak pernah bosan menggoda
Edwin tidak lagi menahan hasratnya yang terus memburu membanjiri setiap liuk tubuh piona di malam itu. Piona menggeliat mendesah seolah tak ada lagi lampu merah yang menghentikannya. Tangan Edwin yang terus membelai piona yang sontak bergerak membuatnya semakin bergairah lagi. Pecah sudah desahan itu ketika puncak ruang itu membuat mereka lega dan berhenti dengan senyuman.Keesokan harinya.....Edwin masih tertidur pulas, piona terbangun dari tidurnya. Kali ini sudah tidak ada canggung dan malu pada dirinya. Piona sadar pada waktunya dia akan menjalankan tugasnya sebagai seorang istri dan mau tidak mau dia harus siap.Piona mengecup kening Edwin dan beranjak dari ranjang untuk membuat kopi panas untuk suaminya itu."Sayang... bangun!" Piona membangunkan Edwin perlahan di pinggir ranjang sambil membelai rambut suaminya itu.Edwin mengusap matanya yang tidak mau terbuka karena mere
Apa Piona telat makan ya? kok dia mual padahal makanan ini enak.'Gumam Edwin dalam hatinya."Sayang kamu telat makan?"Tanya Edwin."Uwwwk...uww. Bentar sayang aku mau ke toilet dulu. Aku sejak tadi tidak berhenti muntah." Piona menahan untuk muntah sambil berlari ke kamar mandi.Edwin cemas.Piona kenapa ya ? Semua salahku coba aku makan dari tadi pasti dia juga makan dan nggak telat kaya gini.Edwin mengikuti Piona sampai depan toilet.Beberapa menit kemudian Piona keluar dari dalam Toilet"Sayang kamu nggak papa?Wajahmu pucat sekali?"Tanya Edwin. Sambil membelai wajah istrinya."Aku nggak pap..." Piona tiba-tiba pingsan di pelukan Edwin."Sayang, kamu kenapa?" Edwin menggendongnya lalu membawanya mencari suster ataupun dokter.Mereka akhirnya membawa Piona ke ruang tindakan. Edwin cemas di dep
Edwin benar-benar tidak bisa menahannya lagi. Edwin berbalik menghadap ke Piona dan menggenggam kedua tangannya."Sayang, jangan salahkan aku. Jika aku berbuat lebih hari ini." Edwin berbicara pelan kepada Piona lalu dengan tiba-tiba menggendong Piona ke kamar mandi."Arrrhhhh, Edwin. Turunkan aku!!"kata Piona meronta tapi tetap tidak berhasil."Kan kamu yang mancing?"kata Edwin."Iya, Ampun sayang!"kata Piona masih meronta sambil memohon.Edwin hanya tersenyum menatap istrinya itu dan berjalan ke kamar mandi.Sepuluh menit kemudian.Mereka berdua selesai mandi. Edwin mengajak Piona untuk berbincang sebentar sebelum mereka tidur."Sayang, kamu ingat Gandi?" tanya Edwin."Gandi? Gandi cuma ada satu yang ku kenal. Dia kakak kelas dari tiga serangkai di SMA kita kan?." Jelas Piona."Ternyata i
Waktu menunjukkan Pukul 12.30 siang.Edwin dan Piona meminta ijin dengan keluarganya itu untuk persiapan pesta malam ini."Ma, Edwin dan Piona pergi dulu ya?Besok kita akan jemput mama ke sini untuk pulang ke rumah Edwin nggak sabar."kata Edwin mencium pipi mamanya dan mencium tangan papanya."Iya sayangku, hati-hati dijalan. Jagain Piona baik-baik ya!" kata tante Marta."Iya ma, pasti!" jawab Edwin.Mereka berdua turun ke parkiran untuk naik mobil dan bergegas untuk pulang.Lima belas menit kemudianMereka sampai di rumah, Edwin dan Piona mempersiapkan untuk Viting baju. Mereka sama-sama memilih warna Putih dan hitam saat itu. Edwin keluar dari ruang ganti dan terlihat begitu tampan dengan setelan jas yang didesain dari Eropa itu. Giliran Piona dia hanya mencobanya di ruang ganti dan tidak memakainya saat keluar ruangan."Aku pas sekali memakai gaun ini." Piona memberikan kepada salah satu desainer."Loh sayang, aku mau
Dari luar rumah Edwin, satpam tertidur pulas di posnya. Ada seseorang menyelinap kerumah Edwin menggunakan pakaian serba hitam. Orang itu mendekati pintu depan rumah Edwin dan meninggalkan kotak hitam didepan rumahnya lalu orang itu segera pergi dari tempat itu.Keesokan harinya Piona meminta ijin Edwin untuk berangkat kuliah karena semalam dapat pemberitahuan ada pembagian jadwal sidang."Sayang aku berangkat dulu ya!"kata Piona."Tunggu!!" kata Edwin menghentikan langkah Piona."Ada apa Win?" kata Piona menghela nafas."Aku akan mengantarmu sekalian menjemput mama pulang dari rumah sakit! Tunggu aku ambil dompet dan kunci mobilku." kata Edwin."Aku tunggu di depan ya Win!"kata Piona berjalan ke ruang depan.Sepertinya aku ingin keluar duluan. Piona membuka Pintu depan lalu merenggangkan kedua tangannya dan menarik nafas dalam lalu membuangnya.
Perasaan tidak menentu mulai menyelimuti pikiran Edwin, bagaimana tidak, seorang yang ada di telepon adalah saudara kembarnya. Banyak hal yang belum diceritakan ke Piona, walaupun papa Edwin sudah tahu semuanya, karena perasaan orang tua tidak bisa di bohongi. Mereka tahu perbedaan antara Edwin dan saudara kembarnya itu. Secepat kilat Edwin melajukan mobilnya untuk sampai di perusahaan, setelah membuka pintu ruangan kantornya. Dia mendudukkan dirinya di sofa yang ada di ruangannya itu, dia berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya memutuskan untuk menelpon saudara kembarnya itu. “Kring, Kring, Kring.” Suara handphone berdering, saudara kembar Edwin sudah otomatis menerima panggilan dari Edwin yang merupakan adik kembarnya itu. “Lama sekali kamu menjawab pesanku?” suara yang tidak asing menyapa di telinga Edwin. “Aku harus menjauh dari istriku dulu, baru aku bisa menghubungimu.” Jawab Edwin sambil membetulkan posisi duduknya. “Salah sendiri ka
Setelah pertengkaran kecil yang terjadi di meja makan, mereka mulai menyelesaikan makan malam itu dengan lahap. Hari itu Papa dan Mama Piona tidak menginap di rumah Edwin dan Piona. Mereka memutuskan untuk pulang karena ada kepentingan yang harus mereka selesaikan. "Sayang, besok nenek akan kesini lagi ya, baik-baik dirumah sama mama dan papa," mama Piona memegang kedua pipi cucu kembar itu. Mereka berdua tersenyum memandang neneknya. "Kalian ini memang sangat menggemaskan," komentar mama Piona. "Win, Piona, papa sama mama pulang dulu ya. Buat kamu Edwin hati-hati dijalan saat keberangkatanmu ke Eropa!" jelas papa Piona. "Makasih pah, pasti!papa sama mama juga hati-hati dijalan!" ucap Edwin sambil bersalaman dan memberi hormat kepada mertuanya itu. Mama dan papa Piona juga berpamitan juga dengan papa Edwin. Akhirnya mereka keluar dan masuk ke dalam mobil. Mobil mereka sudah keluar dari gerbang, Piona yang masih kesal dengan Edw
Piona yang ikut berteriak langsung loncat dan menutupi suaminya dari pandangan mamanya yang berdiri masih terbelalak melihat kejadian yang tidak terduga ini. "Mama, kenapa nggak ketuk pintu dulu?" Piona yang sudah berdiri di depan Edwin menghalangi pandangan mamanya ke arah sana. "Apa kalian terbiasa teledor?Kenapa pintunya tidak di kunci?Aku kira tidak ada Edwin, kalau yang masuk Wibi dan Wiska gimana?" selagi mama Piona ngomel panjang Lebar, Edwin mengambil handuk yang terjatuh lalu kembali memakainya lagi. "Ma-maaf ma," Edwin tiba-tiba menyahut. "Iya, ma maaf!" Piona ikut memohon. "Ya udah, mama sama papa tunggu dibawah!" Mama Piona menutup pintu dengan segera. Kali ini mama Piona memang sangat terkejut dia juga mengelus dadanya dan ingin menghilangkan pemandangan milik menantunya itu di dalam kepalanya. Mataku benar-benar ternodai saat ini, Oh Tuhan! mama Piona langsung turun ke bawah. Piona memandang Edwin dan mem
“Nggak dong, sayang. Lagian ini sudah jam pulang kantor, biarkan saja!Yuk, aku kangen kedua anak kita,” Piona langsung menggeret lengan Edwin untuk pergi meninggalkan perusahaan saat itu juga. Edwin langsung berjalan bersama dengan istrinya itu,”Kamu memang istriku yang sangat hebat, sayang. Kamu mulai bisa seperti mama,” komentar Edwin yang membukakan pintu mobil untuknya. Piona masuk ke mobil dan disusul Edwin yang bersiap menyetir mobilnya, “Aku harus menjalankan amanat mama dengan baik, dia sudah mempercayakan perusahaan ini padaku, aku nggak mungkin kan akan menelantarkannya dan membuat perusahaan ini menurun?” “Aku terlalu bangga sama istriku yang satu ini, pinter ngurus rumah, ngurus anak, ngurus perusahaan, kamu memang nggak ada duanya sayang. Eh tadi kamu bilang kangen kedua anak kita, la kamu nggak kangen aku?” Puji Edwin membuat pipi Piona sedikit memerah dan sedikit ingin tertawa karena suaminya itu. “Jangan berlebihan!Nanti aku ngga
Nafas yang terus memburu membuat Dina dan Gandi sedikit terengah-engah sejenak mengambil nafas, menarik ciuman itu sebentar sambil saling memandang dengan begitu intens, Gandi membetulkan sehelai rambut Dina yang menutupi wajahnya, lalu menyingkirkan rambutnya ke belakang telinganya, “Bolehkah aku melakukannya sekarang?” Gandi masih memandang istrinya itu dengan intens. Dina mengangguk pelan sambil memandang suaminya yang benar-benar membuatnya terbuai saat itu juga, Gandi menyentuh bibir itu lagi. Memagutnya pelan membuat Dina menggeliat, suara desahan mulai nyaring terdengar, ketika dengan liar Gandi membuka kancing baju atas Dina dan memainkan jarinya disana. Gandi melepaskan kaosnya, kembali membuai istrinya itu dengan sentuhan yang beralih ke lehernya, Dina tak kuasa menahan desahan yang membuatnya sedikit meronta, Gandi mulai menelusuri tubuh Dina hingga ke area yang paling sensitif, perlahan segalanya terlepas dari tubuh mereka masing-masing, Gandi menar
Edwin dan Piona sama-sama masuk ke dalam kamar Wibi dan Wiska, mereka menangis sudah bersiap dengan tangan menengadah untuk minta di gendong.“Mama, hiks”“Papa, hiks”Piona dan Edwin tersenyum melihat anak mereka yang begitu manja,“Anak mama udah bangun, sini sayangku!” Piona berhasil menggendong Wiska.“Sini sama papa, Wibi ganteng , haus ya?” Edwin berhasil menggendong Wibi.Piona dengan cekatan membuatkan susu di dekat box mereka sembari menggendong Wiska, setelah di gendong anak kembar itu berhenti menangis, menunggu susu di dalam botol yang di buatkan oleh Piona jadi.“Dua botol sudah jadi,” Piona mengumumkan membuat anak mereka sudah siap untuk berbaring di pangkuan papa dan mamanya.Piona menyerahkan satu botol kepada Edwin, lalu dia mengambil sebotol lagi untuk di berikan kepada Wiska.Dikamar itu mereka menunggu susu yang di berikan habis di minum anak kembar mereka.“Sayang, anak kita semakin lahap saa
Perasaan tidak menentu mulai menyelimuti pikiran Edwin, bagaimana tidak, seorang yang ada di telepon adalah saudara kembarnya. Banyak hal yang belum diceritakan ke Piona, walaupun papa Edwin sudah tahu semuanya, karena perasaan orang tua tidak bisa di bohongi. Mereka tahu perbedaan antara Edwin dan saudara kembarnya itu. Secepat kilat Edwin melajukan mobilnya untuk sampai di perusahaan, setelah membuka pintu ruangan kantornya. Dia mendudukkan dirinya di sofa yang ada di ruangannya itu, dia berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya memutuskan untuk menelpon saudara kembarnya itu. “Kring, Kring, Kring.” Suara handphone berdering, saudara kembar Edwin sudah otomatis menerima panggilan dari Edwin yang merupakan adik kembarnya itu. “Lama sekali kamu menjawab pesanku?” suara yang tidak asing menyapa di telinga Edwin. “Aku harus menjauh dari istriku dulu, baru aku bisa menghubungimu.” Jawab Edwin sambil membetulkan posisi duduknya. “Salah sendiri ka
Pernikahan itu selesai, lelah dirasakan sepasang pengantin baru yang duduk di sofa masih di Gedung Serbaguna itu. Tamu undangan satu persatu sudah pulang, tinggal mereka berdua, kru acara dan sahabat mereka yaitu Edwin dan Piona.“Capek, ya?” tanya Piona yang mengambilkan minum untuk Dina dan Gandi.“Iya, capek banget. Makasih ya, beb.” Tanpa menunggu Dina langsung meneguk minuman itu sampai habis.“Makasih Piona, ternyata perjuangan ya buat nikah aja. Belum juga malam pertama kok engos-engosan gini, yah?” Gandi ikut meneguk minuman itu sampai habis.“Lihat!Baru kaya gini aja udah ngeluh, apalagi entar udah punya anak. Masih mau ngeluh juga?”Edwin yang menidurkan Wibi dipelukannya mulai berkomentar melihat Gandi.Setelah keduanya menghabiskan minuman di gelas itu, bersamaan langsung memberikannya kepada Piona.“Enggak deh Win, nggak jadi ngeluh deh. “ ucap Gandi yang masih merebahkan tubuhnya di sofa.Edwin mengambil sebuah voucher di
Dina dan Gandi bermain bersama Wibi dan Wiska di taman depan rumah mereka, Gandi mengayun-ayunkan Wibi dan Dina menggendong Wiska untuk melihat ikan di kolam dekat taman. Gandi menggendong Wibi lalu mendekati Dina.“Kamu nggak mau, punya anak seperti mereka?” tanya Gandi.“Siapa yang bakal nolak punya anak selucu ini?” Dina tersenyum melirik Gandi di sebelahnya seraya memberikan kode.Aku tahu kamu mikir apa, Gan? Pikir Dina yang mencoba serius menatap Wiska yang tersenyum melihatny sejak tadi.“Ya, udah. Nikahnya dipercepat, gimana sayang?” Gandi terlihat bahagia sambil memainkan tangan Wibi untuk mencolek hidung Wiska.Dina menoleh ke arah Gandi, “Mau nggak ya?” Dina mencoba menggoda Gandi.“Ih, pake mikir segala sih. Tinggal bilang iya aja kok susah!” Gandi terlihat geram dan sangat tidak sabar.“Iya, iya deh. Yuk Nikah! Segitu ngebetnya pingin nikah sama aku?” Dina menyenggol lengan Gandi dengan lengannya.“Emang k