Waktu menunjukkan Pukul 12.30 siang.
Edwin dan Piona meminta ijin dengan keluarganya itu untuk persiapan pesta malam ini.
"Ma, Edwin dan Piona pergi dulu ya?Besok kita akan jemput mama ke sini untuk pulang ke rumah Edwin nggak sabar."kata Edwin mencium pipi mamanya dan mencium tangan papanya.
"Iya sayangku, hati-hati dijalan. Jagain Piona baik-baik ya!" kata tante Marta.
"Iya ma, pasti!" jawab Edwin.
Mereka berdua turun ke parkiran untuk naik mobil dan bergegas untuk pulang.
Lima belas menit kemudian
Mereka sampai di rumah, Edwin dan Piona mempersiapkan untuk Viting baju. Mereka sama-sama memilih warna Putih dan hitam saat itu. Edwin keluar dari ruang ganti dan terlihat begitu tampan dengan setelan jas yang didesain dari Eropa itu. Giliran Piona dia hanya mencobanya di ruang ganti dan tidak memakainya saat keluar ruangan.
"Aku pas sekali memakai gaun ini." Piona memberikan kepada salah satu desainer.
"Loh sayang, aku mau
Dari luar rumah Edwin, satpam tertidur pulas di posnya. Ada seseorang menyelinap kerumah Edwin menggunakan pakaian serba hitam. Orang itu mendekati pintu depan rumah Edwin dan meninggalkan kotak hitam didepan rumahnya lalu orang itu segera pergi dari tempat itu.Keesokan harinya Piona meminta ijin Edwin untuk berangkat kuliah karena semalam dapat pemberitahuan ada pembagian jadwal sidang."Sayang aku berangkat dulu ya!"kata Piona."Tunggu!!" kata Edwin menghentikan langkah Piona."Ada apa Win?" kata Piona menghela nafas."Aku akan mengantarmu sekalian menjemput mama pulang dari rumah sakit! Tunggu aku ambil dompet dan kunci mobilku." kata Edwin."Aku tunggu di depan ya Win!"kata Piona berjalan ke ruang depan.Sepertinya aku ingin keluar duluan. Piona membuka Pintu depan lalu merenggangkan kedua tangannya dan menarik nafas dalam lalu membuangnya.
Edwin menyembunyikan surat itu di dalam tasnya, perasaanya di liputi rasa gelisah. Karena disaat penjagaan tidak terlalu ketat Surat Ancaman itu datang lagi. Piona melihat Edwin yang gelisah jadi ikut khawatir ada apa dengan suaminya. Piona berjalan menghampiri suaminya diruang tengah."Sayang, kamu kenapa? Wajahmu terlihat gelisah?" kata Piona sambil membawakan secangkir kopi"Nggak papa kok sayang, kayaknya aku lelah sayang. Sudah dari kemarin banyak sekali masalah kantor dan aku masih sedikit khawatir jika Surat acaman itu datang lagi. Apalagi sekarang perutmu sudah semakin membesar." kata Edwin membelai perut istrinya.'Maafkan aku Piona, aku tidak ingin kamu khawatir.' kata Edwin dalam hati."Semua akan baik-baik saja sayang, Aku yakin." kata istrinya membelai suaminya itu yang bersandar di perut piona."Papa janji sayang akan selalu melindungimu apapun yang terjadi." kata E
Piona naik keatas panggung untuk menerima Penghargaan. Berjajar rapi dengan semua peserta wisuda dan berfoto bersama. Wajahnya terlihat begitu bahagia dan sangat puas ketika penghargaan sudah berada ditangannya. Edwin yang melihat langsung mengabadikan momen itu dengan hanphonenya. Ketika Edwin ingin memotret seperti ada cahaya laser menuju ke dada Piona. Edwin curiga lalu melihat kearah laser itu berasal. Tiba-tiba Edwin berlari menuju ke atas Panggung,'Aku tidak boleh kehilangan kalian berdua.' kata Edwin dalam hatinya."DDAAAAAAAAARRRR!!" suara tembakan tak terelakkan.Semua orang riuh untuk segera bubar dari tempat itu. Banyak orang berlarian kesana kemari. Dina dan Gandi berteriak mencari bantuan. Semua yang berada diruangan itu panik. Tante Marta tiba-tiba pingsan, mama Piona menangis hiteris melihat kejadian itu.Piona meneteskan air matanya, melihat Edwin bersimpuh di tubuhnya. Punggung kana
Melihat seorang kakek di sebuah panti jompo bersama seorang suster bermain dengan kedua anak kembar satu laki-laki dan satu perempuan. Mereka masih kecil tapi begitu cantik dan begitu tampan. Mereka suka sekali memakan buah pisang."Suster, mereka membuatku ingin hidup seribu tahun lagi." kakek itu berkata sambil bermain dengan anak- anak yang sudah dianggapnya sebagai cucunya sendiri."Aku suka kakek sekarang sudah lebih ceria." kata Suster itu sambil memperhatikan kakek menyuapi pisang untuk kedua anak itu."Kapan wanita yang ada di dalam itu terbangun dari tidurnya? Bukankah ini sudah terlalu lama suster, sudah setahun dia berbaring di sana." jelas kakek itu."Wanita itu akan segera sadar kek, menurut dokter kondisinya semakin membaik."kata suster itu.Di Kantor PolisiEdwin sampai di kantor kepolisian untuk menemui Gandi. Mereka menunjukkan rekaman CCTV y
Satu Jam kemudian Piona bangun dari tidurnya. Dia terkejut ketika ada seorang pria memandangnya sedari tadi."Sayang, kamu sudah bangun?" Edwin meneteskan air matanya lalu mengusapnya lagi. Edwin membelai rambut istrinya itu.Piona terpaku masih berfikir dan mengingat'Siapa orang ini?"Tiba-tiba ingatannya kembali melihat kenangan bersama Edwin tapi tetap wajahnya tidak jelas.Piona memegang kepalanya dan menyingkirkan tangan itu. Sakit kepala itu kambuh lagi."Suster!! Kepalaku sakit!!" Piona terus mengerang kesakitan.Suster segera datang ke kamar Piona dan memberikan obat di infusnya lagi. Edwin terkejut ketika istrinya itu menyingkirkan tangannya seperti orang lain. Tapi Edwin mencoba tidak menggubris dan kembali membelai rambutnya."Siapa kamu?" Piona yang sudah dalam posisi duduk ketakutan dan terus mundur.
Dina dan Gandi bermain bersama Wibi dan Wiska di taman depan rumah mereka, Gandi mengayun-ayunkan Wibi dan Dina menggendong Wiska untuk melihat ikan di kolam dekat taman. Gandi menggendong Wibi lalu mendekati Dina.“Kamu nggak mau, punya anak seperti mereka?” tanya Gandi.“Siapa yang bakal nolak punya anak selucu ini?” Dina tersenyum melirik Gandi di sebelahnya seraya memberikan kode.Aku tahu kamu mikir apa, Gan? Pikir Dina yang mencoba serius menatap Wiska yang tersenyum melihatny sejak tadi.“Ya, udah. Nikahnya dipercepat, gimana sayang?” Gandi terlihat bahagia sambil memainkan tangan Wibi untuk mencolek hidung Wiska.Dina menoleh ke arah Gandi, “Mau nggak ya?” Dina mencoba menggoda Gandi.“Ih, pake mikir segala sih. Tinggal bilang iya aja kok susah!” Gandi terlihat geram dan sangat tidak sabar.“Iya, iya deh. Yuk Nikah! Segitu ngebetnya pingin nikah sama aku?” Dina menyenggol lengan Gandi dengan lengannya.“Emang k
Pernikahan itu selesai, lelah dirasakan sepasang pengantin baru yang duduk di sofa masih di Gedung Serbaguna itu. Tamu undangan satu persatu sudah pulang, tinggal mereka berdua, kru acara dan sahabat mereka yaitu Edwin dan Piona.“Capek, ya?” tanya Piona yang mengambilkan minum untuk Dina dan Gandi.“Iya, capek banget. Makasih ya, beb.” Tanpa menunggu Dina langsung meneguk minuman itu sampai habis.“Makasih Piona, ternyata perjuangan ya buat nikah aja. Belum juga malam pertama kok engos-engosan gini, yah?” Gandi ikut meneguk minuman itu sampai habis.“Lihat!Baru kaya gini aja udah ngeluh, apalagi entar udah punya anak. Masih mau ngeluh juga?”Edwin yang menidurkan Wibi dipelukannya mulai berkomentar melihat Gandi.Setelah keduanya menghabiskan minuman di gelas itu, bersamaan langsung memberikannya kepada Piona.“Enggak deh Win, nggak jadi ngeluh deh. “ ucap Gandi yang masih merebahkan tubuhnya di sofa.Edwin mengambil sebuah voucher di
Perasaan tidak menentu mulai menyelimuti pikiran Edwin, bagaimana tidak, seorang yang ada di telepon adalah saudara kembarnya. Banyak hal yang belum diceritakan ke Piona, walaupun papa Edwin sudah tahu semuanya, karena perasaan orang tua tidak bisa di bohongi. Mereka tahu perbedaan antara Edwin dan saudara kembarnya itu. Secepat kilat Edwin melajukan mobilnya untuk sampai di perusahaan, setelah membuka pintu ruangan kantornya. Dia mendudukkan dirinya di sofa yang ada di ruangannya itu, dia berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya memutuskan untuk menelpon saudara kembarnya itu. “Kring, Kring, Kring.” Suara handphone berdering, saudara kembar Edwin sudah otomatis menerima panggilan dari Edwin yang merupakan adik kembarnya itu. “Lama sekali kamu menjawab pesanku?” suara yang tidak asing menyapa di telinga Edwin. “Aku harus menjauh dari istriku dulu, baru aku bisa menghubungimu.” Jawab Edwin sambil membetulkan posisi duduknya. “Salah sendiri ka
Perasaan tidak menentu mulai menyelimuti pikiran Edwin, bagaimana tidak, seorang yang ada di telepon adalah saudara kembarnya. Banyak hal yang belum diceritakan ke Piona, walaupun papa Edwin sudah tahu semuanya, karena perasaan orang tua tidak bisa di bohongi. Mereka tahu perbedaan antara Edwin dan saudara kembarnya itu. Secepat kilat Edwin melajukan mobilnya untuk sampai di perusahaan, setelah membuka pintu ruangan kantornya. Dia mendudukkan dirinya di sofa yang ada di ruangannya itu, dia berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya memutuskan untuk menelpon saudara kembarnya itu. “Kring, Kring, Kring.” Suara handphone berdering, saudara kembar Edwin sudah otomatis menerima panggilan dari Edwin yang merupakan adik kembarnya itu. “Lama sekali kamu menjawab pesanku?” suara yang tidak asing menyapa di telinga Edwin. “Aku harus menjauh dari istriku dulu, baru aku bisa menghubungimu.” Jawab Edwin sambil membetulkan posisi duduknya. “Salah sendiri ka
Setelah pertengkaran kecil yang terjadi di meja makan, mereka mulai menyelesaikan makan malam itu dengan lahap. Hari itu Papa dan Mama Piona tidak menginap di rumah Edwin dan Piona. Mereka memutuskan untuk pulang karena ada kepentingan yang harus mereka selesaikan. "Sayang, besok nenek akan kesini lagi ya, baik-baik dirumah sama mama dan papa," mama Piona memegang kedua pipi cucu kembar itu. Mereka berdua tersenyum memandang neneknya. "Kalian ini memang sangat menggemaskan," komentar mama Piona. "Win, Piona, papa sama mama pulang dulu ya. Buat kamu Edwin hati-hati dijalan saat keberangkatanmu ke Eropa!" jelas papa Piona. "Makasih pah, pasti!papa sama mama juga hati-hati dijalan!" ucap Edwin sambil bersalaman dan memberi hormat kepada mertuanya itu. Mama dan papa Piona juga berpamitan juga dengan papa Edwin. Akhirnya mereka keluar dan masuk ke dalam mobil. Mobil mereka sudah keluar dari gerbang, Piona yang masih kesal dengan Edw
Piona yang ikut berteriak langsung loncat dan menutupi suaminya dari pandangan mamanya yang berdiri masih terbelalak melihat kejadian yang tidak terduga ini. "Mama, kenapa nggak ketuk pintu dulu?" Piona yang sudah berdiri di depan Edwin menghalangi pandangan mamanya ke arah sana. "Apa kalian terbiasa teledor?Kenapa pintunya tidak di kunci?Aku kira tidak ada Edwin, kalau yang masuk Wibi dan Wiska gimana?" selagi mama Piona ngomel panjang Lebar, Edwin mengambil handuk yang terjatuh lalu kembali memakainya lagi. "Ma-maaf ma," Edwin tiba-tiba menyahut. "Iya, ma maaf!" Piona ikut memohon. "Ya udah, mama sama papa tunggu dibawah!" Mama Piona menutup pintu dengan segera. Kali ini mama Piona memang sangat terkejut dia juga mengelus dadanya dan ingin menghilangkan pemandangan milik menantunya itu di dalam kepalanya. Mataku benar-benar ternodai saat ini, Oh Tuhan! mama Piona langsung turun ke bawah. Piona memandang Edwin dan mem
“Nggak dong, sayang. Lagian ini sudah jam pulang kantor, biarkan saja!Yuk, aku kangen kedua anak kita,” Piona langsung menggeret lengan Edwin untuk pergi meninggalkan perusahaan saat itu juga. Edwin langsung berjalan bersama dengan istrinya itu,”Kamu memang istriku yang sangat hebat, sayang. Kamu mulai bisa seperti mama,” komentar Edwin yang membukakan pintu mobil untuknya. Piona masuk ke mobil dan disusul Edwin yang bersiap menyetir mobilnya, “Aku harus menjalankan amanat mama dengan baik, dia sudah mempercayakan perusahaan ini padaku, aku nggak mungkin kan akan menelantarkannya dan membuat perusahaan ini menurun?” “Aku terlalu bangga sama istriku yang satu ini, pinter ngurus rumah, ngurus anak, ngurus perusahaan, kamu memang nggak ada duanya sayang. Eh tadi kamu bilang kangen kedua anak kita, la kamu nggak kangen aku?” Puji Edwin membuat pipi Piona sedikit memerah dan sedikit ingin tertawa karena suaminya itu. “Jangan berlebihan!Nanti aku ngga
Nafas yang terus memburu membuat Dina dan Gandi sedikit terengah-engah sejenak mengambil nafas, menarik ciuman itu sebentar sambil saling memandang dengan begitu intens, Gandi membetulkan sehelai rambut Dina yang menutupi wajahnya, lalu menyingkirkan rambutnya ke belakang telinganya, “Bolehkah aku melakukannya sekarang?” Gandi masih memandang istrinya itu dengan intens. Dina mengangguk pelan sambil memandang suaminya yang benar-benar membuatnya terbuai saat itu juga, Gandi menyentuh bibir itu lagi. Memagutnya pelan membuat Dina menggeliat, suara desahan mulai nyaring terdengar, ketika dengan liar Gandi membuka kancing baju atas Dina dan memainkan jarinya disana. Gandi melepaskan kaosnya, kembali membuai istrinya itu dengan sentuhan yang beralih ke lehernya, Dina tak kuasa menahan desahan yang membuatnya sedikit meronta, Gandi mulai menelusuri tubuh Dina hingga ke area yang paling sensitif, perlahan segalanya terlepas dari tubuh mereka masing-masing, Gandi menar
Edwin dan Piona sama-sama masuk ke dalam kamar Wibi dan Wiska, mereka menangis sudah bersiap dengan tangan menengadah untuk minta di gendong.“Mama, hiks”“Papa, hiks”Piona dan Edwin tersenyum melihat anak mereka yang begitu manja,“Anak mama udah bangun, sini sayangku!” Piona berhasil menggendong Wiska.“Sini sama papa, Wibi ganteng , haus ya?” Edwin berhasil menggendong Wibi.Piona dengan cekatan membuatkan susu di dekat box mereka sembari menggendong Wiska, setelah di gendong anak kembar itu berhenti menangis, menunggu susu di dalam botol yang di buatkan oleh Piona jadi.“Dua botol sudah jadi,” Piona mengumumkan membuat anak mereka sudah siap untuk berbaring di pangkuan papa dan mamanya.Piona menyerahkan satu botol kepada Edwin, lalu dia mengambil sebotol lagi untuk di berikan kepada Wiska.Dikamar itu mereka menunggu susu yang di berikan habis di minum anak kembar mereka.“Sayang, anak kita semakin lahap saa
Perasaan tidak menentu mulai menyelimuti pikiran Edwin, bagaimana tidak, seorang yang ada di telepon adalah saudara kembarnya. Banyak hal yang belum diceritakan ke Piona, walaupun papa Edwin sudah tahu semuanya, karena perasaan orang tua tidak bisa di bohongi. Mereka tahu perbedaan antara Edwin dan saudara kembarnya itu. Secepat kilat Edwin melajukan mobilnya untuk sampai di perusahaan, setelah membuka pintu ruangan kantornya. Dia mendudukkan dirinya di sofa yang ada di ruangannya itu, dia berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya memutuskan untuk menelpon saudara kembarnya itu. “Kring, Kring, Kring.” Suara handphone berdering, saudara kembar Edwin sudah otomatis menerima panggilan dari Edwin yang merupakan adik kembarnya itu. “Lama sekali kamu menjawab pesanku?” suara yang tidak asing menyapa di telinga Edwin. “Aku harus menjauh dari istriku dulu, baru aku bisa menghubungimu.” Jawab Edwin sambil membetulkan posisi duduknya. “Salah sendiri ka
Pernikahan itu selesai, lelah dirasakan sepasang pengantin baru yang duduk di sofa masih di Gedung Serbaguna itu. Tamu undangan satu persatu sudah pulang, tinggal mereka berdua, kru acara dan sahabat mereka yaitu Edwin dan Piona.“Capek, ya?” tanya Piona yang mengambilkan minum untuk Dina dan Gandi.“Iya, capek banget. Makasih ya, beb.” Tanpa menunggu Dina langsung meneguk minuman itu sampai habis.“Makasih Piona, ternyata perjuangan ya buat nikah aja. Belum juga malam pertama kok engos-engosan gini, yah?” Gandi ikut meneguk minuman itu sampai habis.“Lihat!Baru kaya gini aja udah ngeluh, apalagi entar udah punya anak. Masih mau ngeluh juga?”Edwin yang menidurkan Wibi dipelukannya mulai berkomentar melihat Gandi.Setelah keduanya menghabiskan minuman di gelas itu, bersamaan langsung memberikannya kepada Piona.“Enggak deh Win, nggak jadi ngeluh deh. “ ucap Gandi yang masih merebahkan tubuhnya di sofa.Edwin mengambil sebuah voucher di
Dina dan Gandi bermain bersama Wibi dan Wiska di taman depan rumah mereka, Gandi mengayun-ayunkan Wibi dan Dina menggendong Wiska untuk melihat ikan di kolam dekat taman. Gandi menggendong Wibi lalu mendekati Dina.“Kamu nggak mau, punya anak seperti mereka?” tanya Gandi.“Siapa yang bakal nolak punya anak selucu ini?” Dina tersenyum melirik Gandi di sebelahnya seraya memberikan kode.Aku tahu kamu mikir apa, Gan? Pikir Dina yang mencoba serius menatap Wiska yang tersenyum melihatny sejak tadi.“Ya, udah. Nikahnya dipercepat, gimana sayang?” Gandi terlihat bahagia sambil memainkan tangan Wibi untuk mencolek hidung Wiska.Dina menoleh ke arah Gandi, “Mau nggak ya?” Dina mencoba menggoda Gandi.“Ih, pake mikir segala sih. Tinggal bilang iya aja kok susah!” Gandi terlihat geram dan sangat tidak sabar.“Iya, iya deh. Yuk Nikah! Segitu ngebetnya pingin nikah sama aku?” Dina menyenggol lengan Gandi dengan lengannya.“Emang k