"Tolong lindungi aku, Bu. Jangan katakan ini kepada siapa-siapa, apalagi sampai Ayah tahu," bisik Tania.
Mella diam terpaku, bingung harus menjawab apa. Mana mungkin dia tega melihat putrinya disalahkan orang lain? Mau bagaimanapun, dia akan tetap membela Tania."Kamu tenang saja, Tan. Ibu akan menjaga rahasia ini dan menutupi kesalahanmu. Sekarang kamu harus tenangkan diri, jangan sampai kamu stress dan mempengaruhi kandunganmu," bisik Mella.Tania mengangguk dan kembali memeluk ibunya, setidaknya masih ada rasa aman yang bisa menjamin keselamatannya barang sesaat."Tunggu, Tan." Mella melepaskan pelukan putrinya. "Lalu anak siapa yang kamu kandung?"Tania menunduk dengan bahu bergetar, kemudian dia menjawab, "aku tidak tahu, Bu. Aku juga ragu ini anaknya Mas Darren atau Raka."Mella tidak kalah terkejut mendengar hal itu."Ah, ya sudahlah, tidak usah dibahas lagi. Yang penting kamu harus pastikan kalau Darren mengaku"Siapa kau bisa seenaknya menyuruhku?!" tanya Darren sambil menaikkan dagunya.Tatapan elang itu membuat tubuh Nadia mengkeret. "Tidak seharusnya seperti ini, Kak. Tidak akan baik membalas kejahatan dengan kejahatan, kita tidak ada bedanya sama mereka."Darren berdecih seraya membuang muka, detik berikutnya kembali menatap Nadia dari atas ke bawah dengan pandangan remeh."Jangan karena aku baik padamu, kau bisa menyuruhku sesukamu. Aku mau melakukan apapun itu bukan urusanmu, Nad," bisik Darren.Dia paling benci ada yang mencoba-coba ikut campur urusannya, sekalipun itu adalah wanita yang disayanginya."Ada cara lain untuk membalas mereka, Kak," ucap Nadia.Darren masih mempertahankan raut datarnya. "Apa?""Kita ... k-kita bisa memaafkan mereka dan membiarkan karma yang bekerja. Karma tidak akan salah tempat, Kak," sahut gadis cantik itu dengan suara lirih. Membuat Darren kembali melepaskan tawa sumbangnya, tan
Seharian ini Darren mengurung dirinya di dalam unit apartemen, pria itu asyik berperang dengan hacker suruhan Steve. Jemarinya menari lincah di atas keyboard, sudah setengah jam lamanya dia mengotak-atik agar virus yang dikirimkan ke dalam komputernya bisa dia kembalikan. "Done!" pekiknya saat sudah berhasil mengembalikan virus itu kepada si pengirim. Data-datanya sudah bisa diakses kembali, dengan cepat Darren mengupload penggalan video dan beberapa foto Raka dan Tania. Pria itu tergelak hebat di dalam unitnya, dirinya sangat puas bahkan hingga bertepuk tangan sendiri saat menyadari virus itu sudah mengobrak-abrik data si pengirim. "Hacker apes mana yang harus berhadapan denganku?" gumam Darren sambil menyeringai puas.Tangannya mengambil secangkir kopi dan menyesapnya, seluruh beban pikiran langsung sirna saat cairan hitam pekat itu memasuki tenggorokannya. Darren sengaja tidak masuk kantor hari ini, tanpa dia tahu di luar
Malam ini Darren kembali melancarkan aksinya menyebar foto dan video yang berdurasi agak panjang dari penggalan sebelumnya, tidak lupa dia memblokir akun media sosial Nadia agar tidak ketahuan. "Sekarang tidak ada lagi tameng yang menghalangiku untuk kembali beraksi," ucapnya.Pria itu menarik napas dalam setelahnya. Bohong kalau hatinya tidak sakit, melihat foto mesra istrinya bersama pria lain, rasanya ingin sekali membumihanguskan dua orang itu. "Lama sekali menunggu dua bulan, aku ingin segera melakukan tes DNA dan mengurus perceraian," gumamnya.Darren bersandar pada sandaran kursi kerjanya dengan mata terpejam, memikirkan apa kekurangannya selama ini hingga Tania harus mencari kepuasan pada pria lain. Padahal Tania yang menginginkan LDR, wanita itu tidak mau diajak ke ibukota dan meyakinkan Darren untuk bekerja sendirian, karena dirinya beralasan harus menjaga ibu dan ayah di rumah.Di tengah lamunan itu, Darren mendenga
PLAKK!"Aaargh ...!" Sebuah tamparan mendarat di pipi Tania membuat Mella menjerit histeri sambil memeluk tubuh putrinya, Toni benar-benar marah atas banyaknya foto yang tersebar di media sosial. "Tania ...!" pekik Mella seraya memeluk tubuh putrinya yang terjerembab ke lantai. Tania memegangi perutnya yang terasa nyeri, tetapi raut wajah kesakitan itu sama sekali tidak mengundang simpati dari Toni."Sekarang kamu mau mengelak apa lagi, Tania?! Foto itu jelas-jelas wajahmu, bahkan di video tersebut Raka menyebut namamu dan juga nama Nadia. Ya Tuhan, Tania ... bagaimana bisa kamu setega ini sama adikmu sendiri?! Padahal Ayah sudah membagi dengan adil kasih sayang kepada kalian, Ayah tidak pernah membeda-bedakan. Bahkan, sering membela kamu dihadapan Nadia. Tapi kamu sangat tega sama anakku!" teriak Toni.Suara isak tangis terdengar bersahutan dari mulut Tania dan Mella, mereka juga terkejut dengan foto-foto yang beredar semakin
Tania terus menelpon nomor Raka, tetapi sudah berulang kali dicoba nomor selingkuhannya itu tetap tidak aktif. Tanpa dia tahu bahwa Raka baru saja terbang ke Jerman bersama Kakeknya, meninggalkan Anton dan Anita dalam kesedihan yang mendalam. "Argh ...! Gimana, sih, ini nggak bisa dihubungin. Aku harus minta tolong siapa kalau begini?" gerutu Tania.Satu-satunya harapan adalah Raka, saat pria itu tidak dapat dihubungi, Tania sangat kalang kabut. Wanita itu melemparkan ponselnya ke ranjang, tubuhnya terus mondar-mandir sambil menggigit kuku runcingnya.Ceklek! Pintu kamar terbuka.Mella masuk dan lekas menutup pintu kembali. "Bagaimana? Apa Raka sudah bisa dihubungi?" Tania menyahut dengan gelengan kepala yang langsung membuat Mella lemas. "Lalu bagaimana?" "Aku juga nggak tahu, Bu. Raka itu satu-satunya harapanku, mana mungkin aku bisa memecahkan masalah ini sendiri," ujar Tania, kedua netranya kembali basah dengan genangan ai
Darren menyalami Galang yang lebih dulu sampai, pria paruh baya itu tak kalah sopan dan langsung mengangguk hormat di hadapan kliennya."Bagaimana, Pak Darren? Ada masalah apa?" tanya Galang."Saya mau bercerai dengan Tania, tolong Bapak urus berkas-berkas perceraiannya, ya."Galang mengernyit sambil terus menatap lurus ke dalam dua manik legam Darren, seakan mencari keseriusan di dalam sana."Saya sudah menyiapkan semua barang bukti perselingkuhan, tapi ada satu lagi dan sepertinya itu menyusul. Oh, iya, Pak ... saya juga melampirkan berkas perjanjian pranikah tentang pisah harta," jelas Darren.Galang mengangguk sambil berdehem, pikirannya masih berusaha memahami maksud kliennya."Apa sudah tidak bisa mediasi, Pak?" Darren menggeleng sambil tersenyum, seakan tidak ada beban berat di wajahnya. Raut mukanya menggambarkan bahwa dia benar-benar rela melepas Tania."Baik kalau begitu, saya akan mengurus hari ini j
Sesuai yang direncanakan, hari ini Darren mengajak Nadia untuk pulang ke kota asal adik iparnya itu. Mobil berhenti di hotel tepat jam sepuluh pagi, Nadia langsung menuju kamar yang bersebelahan dengan Darren.Ada connecting door, Darren bisa dengan mudah mengecek keadaan Nadia."Aku bertemu kolega di jam makan siang, kamu aku tinggal sebentar nggak papa 'kan?" tanya Darren."Nggak papa, Kak. Aku nanti di dalam kamar saja, nggak akan ke mana-mana." Pria itu mengangguk. "Jangan buka pintu sebelum lihat dari layar monitor. Kalau ada apa-apa langsung hubungi aku, Nad.""Iya, Kak.""Ya sudah, aku mau ke ruanganku dulu, ada beberapa dokumen yang harus dicek. Nanti malam baru kita ketemu ayah," ucap Darren.Nadia hanya mengangguk singkat, netranya menatap datar ke arah Darren yang berjalan menuju kamarnya sendiri."Deg-degan banget rasanya mau ketemu ayah," gumam Nadia setelah menutup pintu.Langkahnya menuj
"Ba-Bagaimana maksudnya?" tanya Nadia sambil menatap bergantian Darren dan ayahnya.Bukannya menjawab, pria paruh baya itu malah terkekeh. "Sudahlah enggak usah dipikirkan, nanti kamu juga akan paham sendiri. Sekarang kita nikmati saja pertemuan ini, Nak."Gadis itu juga tidak mau ambil pusing, dia kembali duduk bersama ayahnya. Toni terus menggenggam tangan Nadia, seakan benar-benar takut putrinya kembali hilang. "Maaf kalau Ayah terlambat percaya," kata Toni seraya menatap lurus ke dalam manik mata Nadia. "Ayah nggak percaya saat kamu bilang Raka dan Tania selingkuh, tapi semenjak video mereka tersebar, Ayah sadar kalau kamulah korbannya."Gadis itu melirik ke arah Darren. "Ini semua berkat bantuan Kak Darren, Yah.""Iya, Ayah tahu. Ayah juga lega saat Darren bilang, kamu tinggal di apartemennya. Pokoknya kamu harus baik-baik di sana, Nad. Ayah nggak akan bilang sama siapa-siapa, kamu harus hidup tenang di sana, ya," ucap Toni dengan m
Hari-hari berlalu begitu cepat, berganti minggu dan bulan. Kehidupan Darren dan Nadia dipenuhi dengan kebahagiaan. Mereka menikmati setiap momen bersama, membangun bisnis bersama, dan merencanakan masa depan mereka. Suatu pagi, Nadia terbangun dengan perasaan yang berbeda. Perutnya terasa sedikit mual, dan dia merasa lebih sensitif terhadap bau. Dia langsung menuju kamar mandi dan mengambil test pack yang sudah dia beli beberapa hari sebelumnya. Dengan tangan gemetar, Nadia melakukan tes. Dia menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Beberapa saat kemudian, hasil tes muncul. Dua garis merah terang muncul di layar test pack. Nadia terdiam, matanya berkaca-kaca. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Dia tak percaya, dia hamil. Dia akan menjadi seorang ibu. Wanita cantik itu langsung berlari keluar dari kamar mandi dan menuju kamar tidur. Darren masih tertidur pulas di ranjang. Nadia duduk di tepi ranjang, matanya menatap Darren dengan penuh kasih sayang. "Kak," bisik Nadi
Minggu-minggu berlalu begitu cepat. Nadia sudah beberapa kali kontrol ke dokter untuk memeriksa kondisi tulang pahanya setelah operasi pelepasan pen. Dokter mengatakan bahwa tulang pahanya sudah pulih dengan baik dan dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa."Kak, aku sudah bisa jalan normal lagi, lho!" seru Nadia, matanya berbinar gembira.Darren tersenyum, matanya memancarkan kebahagiaan. "Aku senang mendengarnya, Sayang," jawabnya. "Kamu sudah bisa kembali ke butik."Nadia mengangguk, matanya berbinar-binar. "Aku sudah tidak sabar untuk kembali bekerja," katanya. "Aku ingin membantu kamu mengembangkan butik."Darren mencium kening Nadia dengan lembut. "Aku tahu kamu bisa, Nad," kata Darren. "Kamu akan jadi desainer yang berbakat."Nadia kembali bekerja di butik milik Darren. Dia sangat antusias dalam berbagai hal, mulai dari mendesain baju, memilih bahan, hingga melayani pelanggan. Kehadiran Nadia di butik membuat suasana di sana semakin hidup dan ceria."Kak, aku punya
Malam itu, udara dingin menusuk tulang. Darren dan Nadia berjalan beriringan menuju kediaman Rudi, om Darren yang terkenal kejam. Nadia melangkah dengan hati-hati, tulang pahanya masih terasa nyeri setelah operasi pelepasan pen."Kamu yakin mau ke sini?" tanya Darren, sedikit ragu."Iya, sekadar berbela sungkawa sebentar."Sesampainya di depan rumah Rudi, mereka mendengar suara teriakan yang nyaring. Suara itu berasal dari dalam rumah, terdengar seperti jeritan orang kesakitan. Nadia mengernyit, jantungnya berdebar kencang."Itu suara Om Rudi," bisik Darren.Mereka mengintip dari balik jendela. Di dalam, Rudi tampak seperti orang gila, berteriak-teriak histeris. "Mama ... Ma! Kembalilah padaku, Ma. Aku mohon jangan tinggalkan Papa ...!" teriaknya histeris, memeluk foto mendiang istrinya.Nadia merasa iba melihat Rudi yang terpuruk. "Kasian, dia kayak orang kehilangan akal," gumamnya.Darren hanya diam, matanya menatap Rudi dengan dingin. "Karma," gumamnya pelan, "Karma atas semua keja
Beberapa jam berlalu. Nadia terbangun dari tidurnya, tubuhnya masih terasa lemas akibat pengaruh obat bius. Matanya perlahan terbuka, dan pandangannya langsung tertuju pada Darren yang duduk di samping ranjang, wajahnya tampak lesu. Nadia berusaha bangkit, tetapi rasa sakit yang menusuk di perutnya membuatnya kembali terbaring."Kak ...," lirih Nadia, suaranya serak dan bergetar.Darren langsung mendekat, memegang tangan Nadia dengan lembut. "Sayang, kamu udah bangun? Kamu masih sakit?"Nadia menggeleng lemah. "Sudah nggak terlalu."Darren tidak menjawab, hanya mengelus lembut rambut istrinya. Membuat Nadia berpikir macam-macam, tak biasanya suaminya murung."Kak, apa semua baik-baik saja? Ada masalah, sampai kamu murung begitu?" tanya Nadia, sambil tangannya perlahan menekan perut meredam rasa nyeri.Darren menarik napas dalam-dalam. "Iya, Sayang. Maaf membuatmu khawatir.""Ada apa?"Darren sebenarnya belum ingin cerita, tetapi Nadia sudah terlanjur curiga. "Kakek meninggal be
Darren melangkah gontai memasuki ruangan rumah sakit tempat Nadia dirawat. Ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan di sini, setelah melakukan tindakan brutal terhadap Rahayu. Sayangnya, saat ia melihat wajah Nadia yang pucat dan terbaring lemah, rasa bersalah kembali menyergapnya."Sayang," lirih Darren, tangannya meraih tangan Nadia yang dingin. "Maafkan aku. Aku nggak bisa mencegah Tante Rahayu mengirimkan pesan itu, sehingga membuat pikiranmu terganggu."Namun, sebelum Darren bisa melanjutkan kata-katanya, bodyguard-nya, datang menghampiri. Wajahnya tampak muram, matanya berkaca-kaca."Tuan, ada kabar buruk," ucap Ryan, suaranya bergetar menahan tangis. "I-ini menyangkut Tuan Besar.""Apa?" tanya Darren, jantungnya berdebar kencang."Tuan Besar telah meninggal dunia, Dokter mengabarkan dua puluh menit yang lalu, dan saat ini jenazahnya masih ada di ICU karena menunggu Tuan," ucap Ryan, suaranya tercekat.Darren terpaku di tempat, matanya membelalak tak percaya. Ia tak
Darren melangkah tegap menuju kantornya, meninggalkan kekacauan di Atmajaya. Ia tak peduli dengan perusahaan yang kini terancam bangkrut, tak peduli dengan kekhawatiran staf-staf Atmajaya tadi, dan tak peduli dengan nasib Rudi. Ia memasuki ruangannya, sebuah ruangan mewah dengan pemandangan kota dari jendela besar. Namun, kemewahan itu tak lagi berarti apa-apa baginya. Ia duduk di kursi empuk, membuka laptop, dan mulai mengetik.Darren mengirim email kepada para investor Atmajaya, memerintahkan mereka untuk segera menarik investasi dari perusahaan milik omnya. Ia tahu, dengan kekuasaannya, para investor pasti lebih berpihak padanya.[Saya harap Anda semua sudah membaca berita terkini tentang Atmajaya. Saya sarankan Anda untuk segera menarik investasi Anda dari perusahaan ini. Atmajaya sudah tidak layak untuk Anda investasikan.] tulis Darren dalam emailnya.Ia menekan tombol "kirim" dengan penuh amarah. Ia tahu, dengan email itu, ia telah menghancurkan Atmajaya. Namun, ia tak
Nadia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, matanya terpejam. Napasnya teratur, tubuhnya lemas setelah perawat menyuntikkan obat penenang. Air mata yang sebelumnya membasahi pipinya kini telah kering, meninggalkan jejak samar di kulit pucatnya. Marah, sedih, dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Janin yang baru berusia dua bulan terpaksa diluruhkan, mimpi untuk menjadi seorang ibu harus ditunda.Darren duduk di kursi samping ranjang, matanya tertuju pada wajah Nadia yang tenang dalam tidurnya. Hatinya pedih melihat istrinya terbaring lemah, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menggenggam erat tangan Nadia, berharap sentuhannya bisa sedikit meringankan beban yang sedang ditanggung istrinya. "Maaf, Sayang. Aku gak bisa ngelakuin apa-apa," bisik Darren lirih, suaranya bergetar menahan kesedihan. "Aku janji, kita bakal punya anak lagi."Darren terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia teringat untuk menemani Brata, sang kakek, yang dirawat di ICU karena infek
Dokter itu meletakkan selembar kertas dan pulpen di hadapan Darren. Tangannya gemetar saat meraih pulpen, matanya menerawang ke arah pintu ruang operasi tempat Nadia terbaring."Ini, Pak Darren. Formulir persetujuan untuk tindakan medis. Saya sudah jelaskan risikonya, dan saya harap Anda bisa memahami keputusan ini." Dokter itu berkata dengan nada lembut, tetapi suaranya terasa berat di telinga Darren.Darren menatap formulir itu dengan tatapan kosong. Kata-kata dokter berputar-putar di kepalanya.Risiko tinggi.Kondisi kritis.Keputusan sulit. Ia mencoba mencari kekuatan di dalam diri, mencoba mencari jalan keluar dari dilemma yang menjeratnya."Dokter, apakah ... apakah tidak ada cara lain?" tanya Darren, suaranya terasa serak dan patah.Dokter menggeleng pelan. "Maaf, Pak Darren. Ini adalah pilihan terbaik yang bisa kita ambil saat ini. Jika kita tidak bertindak segera, kondisi Ibu Nadia akan semakin memburuk. Dan ris
Darren masih terpaku di depan pintu ruang operasi, matanya menerawang ke dalam ruangan. Kekhawatirannya belum juga mereda. Nadia, istrinya, masih belum sadar dari pengaruh obat bius. Operasi pelepasan pen berjalan lancar, tapi kondisi Nadia justru memburuk setelahnya. Tekanan darahnya terus meningkat, dan keadaan kandungannya juga melemah.Tiba-tiba, seorang perawat berlari menghampirinya. Wajahnya tampak panik. "Maaf, Pak Darren. Ada kabar buruk. Kakek Brata kritis."Darren tersentak. "Apa maksudnya? Kakek Brata kenapa?""Infeksi paru-parunya semakin parah, Pak. Batuknya semakin keras dan sulit bernapas. Saat ini, Kakek Brata kejang-kejang." Perawat itu mengusap keringat di dahinya. Darren langsung berdiri tegak. "Dimana Kakek sekarang?""Di ruang ICU, Pak." Perawat itu menunjuk arah. "Saya harus kembali ke sana. Maaf, Pak."Darren terdiam sejenak. Rasa cemas dan takut bercampur aduk dalam dirinya. Nadia masih belum sadar, dan sekarang Kakeknya kritis. Ia merasaka