Toni tidak banyak bicara, dia menurut saat Darren membawanya ke kamar mandi. Malam ini, pria paruh baya itu tidur di kamar tamu. Darren berjanji akan menceritakannya besok, katanya sekalian menunggu Nadia. Toni hanya bisa mengangguk pasrah, dia bergegas memejamkan mata berharap agar segera pagi.•Keesokan paginya.Darren menyewa perawat khusus yang ditugaskan untuk merawat Toni, perawat itu yang akan mendampingi ayah mertuanya selama dia tinggalkan bekerja."Makan yang banyak, Yah. Semua ini makanan kesukaan Ayah," ucap Darren.Semua sudah berkumpul untuk sarapan di meja makan, Nadia tidak melepaskan genggaman tangannya. Sejak bertemu dengan ayahnya pagi tadi, dia seolah tidak mau jauh-jauh."Kapan hari aku minta Ryan dan Dokter Erlan, dokter spesialis saraf, untuk ke rumah menyamar sebagai pegawai kesehatan dari desa. Ryan mengatakan ke Ibu kalau mereka ada program pemeriksaan gratis, jadi Dokter Erlan diizinkan masuk ke kamar Ayah. Saat itu Dokter Erlan langsung ambil sampel darah
Darren mendorong kursi roda Nadia dan membawanya ke ruang kerja, tangannya langsung mengunci pintu dan menyalakan alat kedap suara. Membuat Nadia semakin bingung."Gimana maksudnya, Kak?" tanya Gadis itu langsung. "Kakak tahu sendiri kondisiku masih seperti ini, jalan saja harus pakai kursi roda."Darren mendudukkan dirinya di sofa, sementara Nadia masih diam di kursi rodanya dengan tatapan bingung."Kau bisa melakukannya dari sini, Nad. Rumah peninggalan mendiang Ibumu yang sekarang sertifikatmya sudah atas namamu. Kalau kau minta kuasa hukum untuk mengusir Ibu dan Tania, kuasa hukum bisa dengan mudah melakukannya," jelas Darren.Nadia masih terdiam dengan tatapan bingung, otaknya belum mengerti maksud Darren."Apa kau tidak membenci mereka berdua? Ibu dan saudara tirimu?" tanya Darren dengan sebelah alis terangkat naik.Nadia menunduk. Mana mungkin tidak membenci? Tania adalah penyebabnya gagal menikah. Mella selalu menghinanya dan juga mendiang ibunya."Balaskan rasa sakit hatimu,
Raka pulang dari Jakarta dan langsung mampir menemui Tania karena wanita itu terus merengek sejak semalam."Papa hilang, Rak. Tadi sore aku sudah lapor polisi, tapi baru bisa dilakukan pencarian besok. Malam ini mereka bilang akan menyebar pamflet, aku sebenarnya kesel banget karena polisi kerjanya lelet!" gerutu Tania.Dia ingin ayahnya segera ditemukan keberadaannya, tetapi polisi tidak bisa langsung bergerak."Sabar dulu, Tan. Besok aku bantu cari. Lagian nggak mungkin ayah pergi jauh, ayah saja lagi sakit. Pasti masih di sekitar sini," kata Raka.Tubuhnya lelah sekali, pria itu agak menyesal telah menuruti ucapan Tania untuk mampir."Kamu jangan pulang dulu, ya. Janji, deh, nanti aku temenin tidur. Mama lagi nyari di luar sekarang, aku takut sendirian di rumah." Tania menyandarkan kepalanya pada bahu kokoh itu.Membuat Raka semakin mendengus kasar.Pria itu hanya bisa mengangguk tanpa dapat melakukan apa-apa, kunci mobilnya saja dipegang Tania.Sebenarnya dia bisa merampas dan seg
Pak Hikam memutar rekaman yang dikirimkan oleh Nadia, di depan petugas interogasi dua wanita itu hanya bisa diam terpaku. Wajah mereka memucat, menunduk diam dengan tangan gemetar.Tania yang paling tidak menyangka, dari mana mendapatkan rekaman itu? Setahunya hanya Darren yang tahu, karena mantan suaminya yang memasang kamera tersembunyi di kamarnya."Nggak mungkin 'kan Mas Darren? Tadi Pak Hikam bilang yang bikin laporannya Nadia," batinnya.Dua wanita itu tidak bisa berkutik di hadapan petugas interogasi, mereka dimasukkan ke dalam sel sambil menunggu persidangan guna penetapan hukuman. Karena Pak Hikam menuntut atas kasus pembunuhan berencana.***Di sisi lain, Nadia mengucap syukur saat ibu dan kakak tirinya telah ditangkap. Dia menceritakannya kepada Darren, membuat pria itu tidak kalah bahagia. "Sekarang kita fokus pada penyembuhan Ayah, Nad. Ayah butuh support," kata Darren."Iya, Kak. Sebelumnya ... terima kasih banyak."Darren menggeleng. "Ini belum selesai, jadi jangan be
Pagi ini Darren sudah rapi dengan setelan jasnya, pria itu berencana datang ke rumah kakeknya untuk memberi penjelasan. "Kakak mau kerja? Nggak sarapan dulu?" tanya Nadia yang baru jalan-jalan bersama perawatnya. Darren memang menyewakan perawat khusus, tidak mungkin terus-terusan merepotkan Arabella karena pernikahannya dengan Renaldy tinggal beberapa minggu lagi. "Ada sesuatu yang harus ku urus. Aku pergi dulu." Pria itu melenggang pergi, tidak memberi penjelasan lebih kepada Nadia dan meninggalkan tanda tanya besar di dalam benak gadisnya. Nadia merasa sikap cuek Darren telah kembali. Rasa perhatian yang biasanya dia dapatkan, pagi ini tidak diterimanya. Helaan napasnya terdengar kasar, Nadia mencoba memahami dan memilih masuk rumah untuk menemui Ayahnya. Di sisi lain, mobil mewah Darren sudah berhenti di halaman luas kediaman kakeknya setelah menempuh perjalanan yang tidak seberapa lama. "Kakek ada di dalam?" tanyanya kepada salah satu penjaga. "Ada, Tuan Muda. Tuan Besar b
Kediaman Toni | Ruang Keluarga Semua orang duduk melingkar di sofa panjang mengitari meja oval yang terletak tepat di tengah-tengah ruang keluarga, lampu kristal yang tergantung di atas membuat suasana semakin mewah. "Tinggal di sini saja, Mita. Paman sudah mengembalikan hak Leon kepada kalian, maaf kalau sebelumnya paman malah menjadikan rumahnya Leon sebagai panti sosial," jelas Gilbert.Rumah megah milik Leon yang sebelumnya ditinggali oleh Mita dan Embun memang dijadikan panti sosial, semua itu Bukan tanpa alasan. Gilbert takut rumah itu terbengkalai dan kotor karena tidak kunjung menemukan Mita dan Embun, mangkanya memanfaatkan agar pahala juga mengalir untuk almarhum Leon."Aku sama sekali tidak masalah, Paman. Aku malah senang rumah suamiku bermanfaat untuk orang lain, itu artinya pahalanya juga akan mengalir untuk suamiku," jawab Mita.Wanita paruh baya berhati lembut itu terus menampilkan senyum, bersyukur akhirnya takdir mempertemukan kembali dengan keluarga mendiang sua
Berbeda dengan Raka yang telah kembali kepada cinta pertamanya, kini Tania harus merasakan kesengsaraan karena mendekam di penjara. "Aku semalaman nggak bisa tidur, Ma. Banyak nyamuk di sini, terus kita cuma pakai tikar tipis yang sudah bolong-bolong!" gerutu Tania.Satu sel diisi enam orang, tidak semuanya tidur dengan tenang. Ada yang mendengkur dan kaki ke mana-mana, hingga Tania harus dilindungi oleh mamanya agar tidak terkena kaki orang lain. Takut bayi dalam kandungannya kenapa-napa. "Mau gimana lagi, Tan? Kalau kamu ngomel Mama jadi makin stres. Mama juga nggak mau di sini, tapi sudah nasib kita."Tania mendorong kasar nampan berisi nasi sayur bening dan tempe goreng, dia tidak selera melihat sarapan seperti itu. "Makanan kayak gini nggak ada gizinya, Ma. Yang ada anakku nggak bisa tumbuh dengan baik di dalam perut. Aaargh ...!""Diam!" sentak seorang wanita berambut panjang berwajah kumal yang sudah muak mendengar keluhan Tania sejak semalam. Empat tahanan lain cukup baik
"Nggak mungkin!" pekik Tania.Tidak! Raka tidak mungkin meninggalkannya. Raka memang tidak menginginkan anak dalam kandungannya, dan saat ini dia juga dipenjara sehingga tidak bisa melayani Raka.Namun, bagaimana bisa tiba-tiba Raka dijodohkan. Ini terlalu mendadak, Tania hampir tidak percaya."Aku sudah dijodohkan, kedatanganku ke sini sekaligus untuk memutuskan hubungan kita." Ucapan Raka langsung menyentak relung hari terdalam Tania.Apa ini? Apa dia dibuang?"Aku mengandung anakmu, Raka. Bisa-bisanya kamu mau menikah sama wanita lain!" desis Tania sambil melirik Embun, berharap Embun mundur setelah tahu.Namun, Embun terlihat biasa saja. Juga Raka yang hanya mampu tersenyum tipis. "Lahirkan anakmu, aku dan Embun yang akan merawatnya." Pria itu menatap calon istrinya. "Dia ... Embun, sudah bilang akan merawat anakmu. Itu lebih baik daripada kamu titipkan ke panti asuhan."Tania terpaku di tempatnya, kilatan matanya memerah memancarkan kemarahan.Sungguh! Menurutnya dunia sangat ti
Hari-hari berlalu begitu cepat, berganti minggu dan bulan. Kehidupan Darren dan Nadia dipenuhi dengan kebahagiaan. Mereka menikmati setiap momen bersama, membangun bisnis bersama, dan merencanakan masa depan mereka. Suatu pagi, Nadia terbangun dengan perasaan yang berbeda. Perutnya terasa sedikit mual, dan dia merasa lebih sensitif terhadap bau. Dia langsung menuju kamar mandi dan mengambil test pack yang sudah dia beli beberapa hari sebelumnya. Dengan tangan gemetar, Nadia melakukan tes. Dia menahan napas, jantungnya berdebar kencang. Beberapa saat kemudian, hasil tes muncul. Dua garis merah terang muncul di layar test pack. Nadia terdiam, matanya berkaca-kaca. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya. Dia tak percaya, dia hamil. Dia akan menjadi seorang ibu. Wanita cantik itu langsung berlari keluar dari kamar mandi dan menuju kamar tidur. Darren masih tertidur pulas di ranjang. Nadia duduk di tepi ranjang, matanya menatap Darren dengan penuh kasih sayang. "Kak," bisik Nadi
Minggu-minggu berlalu begitu cepat. Nadia sudah beberapa kali kontrol ke dokter untuk memeriksa kondisi tulang pahanya setelah operasi pelepasan pen. Dokter mengatakan bahwa tulang pahanya sudah pulih dengan baik dan dia sudah bisa beraktivitas seperti biasa."Kak, aku sudah bisa jalan normal lagi, lho!" seru Nadia, matanya berbinar gembira.Darren tersenyum, matanya memancarkan kebahagiaan. "Aku senang mendengarnya, Sayang," jawabnya. "Kamu sudah bisa kembali ke butik."Nadia mengangguk, matanya berbinar-binar. "Aku sudah tidak sabar untuk kembali bekerja," katanya. "Aku ingin membantu kamu mengembangkan butik."Darren mencium kening Nadia dengan lembut. "Aku tahu kamu bisa, Nad," kata Darren. "Kamu akan jadi desainer yang berbakat."Nadia kembali bekerja di butik milik Darren. Dia sangat antusias dalam berbagai hal, mulai dari mendesain baju, memilih bahan, hingga melayani pelanggan. Kehadiran Nadia di butik membuat suasana di sana semakin hidup dan ceria."Kak, aku punya
Malam itu, udara dingin menusuk tulang. Darren dan Nadia berjalan beriringan menuju kediaman Rudi, om Darren yang terkenal kejam. Nadia melangkah dengan hati-hati, tulang pahanya masih terasa nyeri setelah operasi pelepasan pen."Kamu yakin mau ke sini?" tanya Darren, sedikit ragu."Iya, sekadar berbela sungkawa sebentar."Sesampainya di depan rumah Rudi, mereka mendengar suara teriakan yang nyaring. Suara itu berasal dari dalam rumah, terdengar seperti jeritan orang kesakitan. Nadia mengernyit, jantungnya berdebar kencang."Itu suara Om Rudi," bisik Darren.Mereka mengintip dari balik jendela. Di dalam, Rudi tampak seperti orang gila, berteriak-teriak histeris. "Mama ... Ma! Kembalilah padaku, Ma. Aku mohon jangan tinggalkan Papa ...!" teriaknya histeris, memeluk foto mendiang istrinya.Nadia merasa iba melihat Rudi yang terpuruk. "Kasian, dia kayak orang kehilangan akal," gumamnya.Darren hanya diam, matanya menatap Rudi dengan dingin. "Karma," gumamnya pelan, "Karma atas semua keja
Beberapa jam berlalu. Nadia terbangun dari tidurnya, tubuhnya masih terasa lemas akibat pengaruh obat bius. Matanya perlahan terbuka, dan pandangannya langsung tertuju pada Darren yang duduk di samping ranjang, wajahnya tampak lesu. Nadia berusaha bangkit, tetapi rasa sakit yang menusuk di perutnya membuatnya kembali terbaring."Kak ...," lirih Nadia, suaranya serak dan bergetar.Darren langsung mendekat, memegang tangan Nadia dengan lembut. "Sayang, kamu udah bangun? Kamu masih sakit?"Nadia menggeleng lemah. "Sudah nggak terlalu."Darren tidak menjawab, hanya mengelus lembut rambut istrinya. Membuat Nadia berpikir macam-macam, tak biasanya suaminya murung."Kak, apa semua baik-baik saja? Ada masalah, sampai kamu murung begitu?" tanya Nadia, sambil tangannya perlahan menekan perut meredam rasa nyeri.Darren menarik napas dalam-dalam. "Iya, Sayang. Maaf membuatmu khawatir.""Ada apa?"Darren sebenarnya belum ingin cerita, tetapi Nadia sudah terlanjur curiga. "Kakek meninggal be
Darren melangkah gontai memasuki ruangan rumah sakit tempat Nadia dirawat. Ia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan di sini, setelah melakukan tindakan brutal terhadap Rahayu. Sayangnya, saat ia melihat wajah Nadia yang pucat dan terbaring lemah, rasa bersalah kembali menyergapnya."Sayang," lirih Darren, tangannya meraih tangan Nadia yang dingin. "Maafkan aku. Aku nggak bisa mencegah Tante Rahayu mengirimkan pesan itu, sehingga membuat pikiranmu terganggu."Namun, sebelum Darren bisa melanjutkan kata-katanya, bodyguard-nya, datang menghampiri. Wajahnya tampak muram, matanya berkaca-kaca."Tuan, ada kabar buruk," ucap Ryan, suaranya bergetar menahan tangis. "I-ini menyangkut Tuan Besar.""Apa?" tanya Darren, jantungnya berdebar kencang."Tuan Besar telah meninggal dunia, Dokter mengabarkan dua puluh menit yang lalu, dan saat ini jenazahnya masih ada di ICU karena menunggu Tuan," ucap Ryan, suaranya tercekat.Darren terpaku di tempat, matanya membelalak tak percaya. Ia tak
Darren melangkah tegap menuju kantornya, meninggalkan kekacauan di Atmajaya. Ia tak peduli dengan perusahaan yang kini terancam bangkrut, tak peduli dengan kekhawatiran staf-staf Atmajaya tadi, dan tak peduli dengan nasib Rudi. Ia memasuki ruangannya, sebuah ruangan mewah dengan pemandangan kota dari jendela besar. Namun, kemewahan itu tak lagi berarti apa-apa baginya. Ia duduk di kursi empuk, membuka laptop, dan mulai mengetik.Darren mengirim email kepada para investor Atmajaya, memerintahkan mereka untuk segera menarik investasi dari perusahaan milik omnya. Ia tahu, dengan kekuasaannya, para investor pasti lebih berpihak padanya.[Saya harap Anda semua sudah membaca berita terkini tentang Atmajaya. Saya sarankan Anda untuk segera menarik investasi Anda dari perusahaan ini. Atmajaya sudah tidak layak untuk Anda investasikan.] tulis Darren dalam emailnya.Ia menekan tombol "kirim" dengan penuh amarah. Ia tahu, dengan email itu, ia telah menghancurkan Atmajaya. Namun, ia tak
Nadia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, matanya terpejam. Napasnya teratur, tubuhnya lemas setelah perawat menyuntikkan obat penenang. Air mata yang sebelumnya membasahi pipinya kini telah kering, meninggalkan jejak samar di kulit pucatnya. Marah, sedih, dan kecewa bercampur aduk dalam hatinya. Janin yang baru berusia dua bulan terpaksa diluruhkan, mimpi untuk menjadi seorang ibu harus ditunda.Darren duduk di kursi samping ranjang, matanya tertuju pada wajah Nadia yang tenang dalam tidurnya. Hatinya pedih melihat istrinya terbaring lemah, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa menggenggam erat tangan Nadia, berharap sentuhannya bisa sedikit meringankan beban yang sedang ditanggung istrinya. "Maaf, Sayang. Aku gak bisa ngelakuin apa-apa," bisik Darren lirih, suaranya bergetar menahan kesedihan. "Aku janji, kita bakal punya anak lagi."Darren terdiam sejenak, matanya berkaca-kaca. Ia teringat untuk menemani Brata, sang kakek, yang dirawat di ICU karena infek
Dokter itu meletakkan selembar kertas dan pulpen di hadapan Darren. Tangannya gemetar saat meraih pulpen, matanya menerawang ke arah pintu ruang operasi tempat Nadia terbaring."Ini, Pak Darren. Formulir persetujuan untuk tindakan medis. Saya sudah jelaskan risikonya, dan saya harap Anda bisa memahami keputusan ini." Dokter itu berkata dengan nada lembut, tetapi suaranya terasa berat di telinga Darren.Darren menatap formulir itu dengan tatapan kosong. Kata-kata dokter berputar-putar di kepalanya.Risiko tinggi.Kondisi kritis.Keputusan sulit. Ia mencoba mencari kekuatan di dalam diri, mencoba mencari jalan keluar dari dilemma yang menjeratnya."Dokter, apakah ... apakah tidak ada cara lain?" tanya Darren, suaranya terasa serak dan patah.Dokter menggeleng pelan. "Maaf, Pak Darren. Ini adalah pilihan terbaik yang bisa kita ambil saat ini. Jika kita tidak bertindak segera, kondisi Ibu Nadia akan semakin memburuk. Dan ris
Darren masih terpaku di depan pintu ruang operasi, matanya menerawang ke dalam ruangan. Kekhawatirannya belum juga mereda. Nadia, istrinya, masih belum sadar dari pengaruh obat bius. Operasi pelepasan pen berjalan lancar, tapi kondisi Nadia justru memburuk setelahnya. Tekanan darahnya terus meningkat, dan keadaan kandungannya juga melemah.Tiba-tiba, seorang perawat berlari menghampirinya. Wajahnya tampak panik. "Maaf, Pak Darren. Ada kabar buruk. Kakek Brata kritis."Darren tersentak. "Apa maksudnya? Kakek Brata kenapa?""Infeksi paru-parunya semakin parah, Pak. Batuknya semakin keras dan sulit bernapas. Saat ini, Kakek Brata kejang-kejang." Perawat itu mengusap keringat di dahinya. Darren langsung berdiri tegak. "Dimana Kakek sekarang?""Di ruang ICU, Pak." Perawat itu menunjuk arah. "Saya harus kembali ke sana. Maaf, Pak."Darren terdiam sejenak. Rasa cemas dan takut bercampur aduk dalam dirinya. Nadia masih belum sadar, dan sekarang Kakeknya kritis. Ia merasaka