Dahan pohon persik retak hingga patah seketika. Sepertinya, batang sebesar paha Pangeran Han Yuze itu tidak sanggup menahan bobot dua lelaki muda yang terus bergerak tanpa henti. Patahan itu menimbulkan bunyi 'krak' dan langsung menjatuhkan kedua pemuda yang tengah asyik bercanda di atasnya. Meskipun tidak terlalu tinggi, tetapi patahan dahan pohon persik itu berhasil membuat mereka berdua terbanting jatuh tak terkendali di atas rerumputan dengan sangat keras. Pangeran Han Yuze cukup beruntung, karena dia jatuh menimpa tubuh kakaknya. Namun, tetap saja pemuda itu sangat ketakutan saat melihat Pangeran Han Yujie meringis kesakitan setelah sempat menjerit dan mengaduh. "Aawwh! Tanganku!" Pangeran Han Yujie mendesis, menahan sakit yang tiada tara. Wajah Pangeran Han Yujie terlihat tegang dan pias. Matanya lalu turun, memejam dengan kepala jatuh terkulai di atas dahan yang ditimpanya. "Kakaaaaak!" Pangeran Han Yuze menjerit sambil berusaha bangkit dari atas badan sang kakak yang ja
Di dalam ruang keluarga, Mantan Kaisar Han Yuwen sedang asyik membicarakan masalah kompetisi tahunan yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat. "Sepertinya tahun ini akan ada banyak peserta yang mengikuti kompetisi ini, Ayah. Menurut kabar, sudah ada seratus dua puluh pendaftar dari keluarga terpandang dan lebih dari empat puluh perguruan seni bela diri yang akan mengirimkan para murid terbaiknya." Han Yuxuan berkata seraya menyesap teh hangat beraroma mawar nan lembut. "Maka itu akan sangat bagus. Kita bisa melihat berapa banyak para jenius muda yang akan muncul tahun ini." Mantan Kaisar Han Yuwen berucap seraya menyesap tehnya secara perlahan. "Kuharap juga, aku bisa melihat penampilan terbaik para cucuku. Aku ingin melihat sejauh mana perkembangan mereka." "Oh ya, bagaimana dengan pelatihan Yujie dan Yuze?" Mantan Kaisar Han Yuwen bertanya. Pangeran Han Yuxuan menjawab, "Menjawab pertanyaan Ayah, keduanya selalu giat berlatih. Meskipun Yuze masih saja nakal, tetapi dia s
"Kakak membohongiku. Jelas-jelas Kakak kesakitan seperti itu." Pangeran Han Yuze berkata dengan nada sedih. Dia semakin merasa bersalah dalam hati atas kejadian yang menimpa kakaknya ini. "Hanya sedikit nyeri saja dan tidak akan membuatku mati," timpal Pangeran Han Yujie dengan suara masih lemah. "Tetap saja itu artinya Kakak kesakitan dan menderita. Kak, maafkan aku. Akulah yang sudah membuat Kakak cedera, tapi aku sungguh tidak sengaja." Han Yuze meneteskan air mata yang berderai tanpa terasa. Perasaan bersalah terus menggerayangi hatinya. Andai waktu dapat diputar, dia akan bersikap baik dan tidak akan menggoda kakaknya. Jika semua dapat diminta, maka dia akan lebih memilih dirinya saja yang jatuh terlebih dahulu dan mengalami patah tulang. Pangeran Han Yujie berusaha tersenyum sambil menahan sakit. Tangan kiri lemahnya bergerak, menggapai air mata yang menetes di pipi adiknya, lalu mengusapnya dengan lembut. "Sudahlah, jangan menangis. Kamu ini calon pendekar tombak
"Orang ini, bisakah dia tidak mengeluarkan jarumnya?" Pangeran Han Yuze menjerit dalam hati. Kepanikan itu membuat wajah tampannya memucat dan tampak menyedihkan. Pangeran Han Yuze segera berkata, "Kakak Tabib, sepertinya tidak ada yang perlu diperiksa lagi. Keadaanku sangat baik sekarang. Aku sepuluh kali lipat lebih kuat dari siapa pun. Katakan saja pada ibu kalau aku baik-baik saja." "Maaf, Pangeran. Hamba tidak berani. Hamba hanya menjalankan tugas saja. Mohon kiranya Pangeran untuk tidak menyulitkan tugas hamba. Dan hamba juga melihat kalau wajah Anda sedikit pucat, hamba khawatir kalau ada hal yang tidak baik terjadi di dalam tubuh Yang Mulia." Tabib Xue berkata lembut, dan suaranya ini seperti dibuat bernada rendah dan berwibawa. "Jika Anda terus menolak untuk diperiksa, lalu ibunda Yang Mulia dan juga keluarga Pangeran bertanya, bagaimana hamba harus menjawabnya? Bisa jadi kepala hamba dipertaruhkan untuk menjadi gantinya. Tidakkah Pangeran merasa kasihan kepada nasib tabib
Tak lama kemudian, mantan kaisar dan Pangeran Han Yuxuan tiba di ruangan tersebut dengan wajah cemas. Mereka langsung menghampiri Qu Yilin yang tengah menunggui Pangeran Han Yuze di depan pintu dengan gelisah dan terlihat mondar-mandir semacam setrika arang, atau alat penghalus kain dari logam kuningan. Qu Yilin sibuk berjalan hilir-mudik tanpa henti. Wanita itu sesekali meremas punggung tangannya sendiri, sampai ia tak begitu menyadari akan kehadiran suami dan ayah mertuanya. "Semoga saja anak itu tidak mengalami cedera serius yang menghambat pelatihannya nanti," bisik Qu Yilin dalam hati dengan jantung berdebaran. Suara langkah kaki bersepatu milik kedua orang penting terdengar seperti sangat terburu-buru. Qu Yilin segera menyambut kedatangan kedua orang pria berstatus mulia itu dengan memberi hormat. Tangannya teratur di depan perut dan lututnya sedikit menekuk. "Salam Yang Mulia Ayahanda, salam, Yang Mulia Pangeran." Akibat rasa panik, keduanya sampai tak dapat menya
Dalam cekalan tangan kokoh para prajurit, tabib muda itu hanya bisa pasrah. Meskipun hatinya sangat tidak terima, tapi Tabib Xue saat ini tidak berdaya. "Ayah, tolong lepaskan Tabib Xue!" Pangeran Han Yuze memohon dengan suara lirih, napasnya sedikit tersengal. "Sebenarnya, dia baru saja menyelematkan aku." "Menyelamatkanmu?" Pangeran Han Yuxuan terlihat bingung. Ruang di antara alis matanya bahkan sampai berkerut ketika pria itu menatap tubuh kurus Tabib Xue yang berlutut di lantai. Pangeran Han Yuze menyeka keringat yang mengalir di wajahnya, lalu menganggukkan kepala dengan gerakan lemah. "Benar, Ayah. Jadi, tolong lepaskanlah tabib itu, Ayah." Pangeran Han Yuxuan melihat ke arah Pangeran Han Yuze untuk memastikan kalau ucapannya dapat dipercaya. Ada kecurangan kuat dalam hati pria itu tentang Tabib Xue yang menurutnya sangat aneh. Sementara itu, Mantan Kaisar Han Yuwen lebih memilih untuk memerhatikan keadaan cucunya dari jarak dekat dan merasakan aakwn adanya kejanggala
Qu Yilin berjalan mendekati jendela sambil meremas-remas punggung tangannya sendiri. Kulit putih nan lembutnya pun menjadi memerah akibat remasan-remasan yang seakan menjadi pelampiasan suatu perasaan. "Tujuh belas tahun yang lalu, ayahmu pergi mengembara selama bertahun-tahun. Dia ditugaskan untuk mencari obat penawar racun guna menyembuhkan penyakit nenekmu. Dan di dalam perjalanannya, ayahmu menemukan pecahan kepala tombak aneh di Puncak Gunung Naga." Qu Yilin mulai bercerita. Pangeran Han Yuze diam mendengarkan, meskipun di dalam hati dirinya merasa ada suatu kejanggalan. "Ayah pergi mencari obat untuk nenek, bukankah saat itu kakek masih menjadi kaisar? Selain tabib istana, apakah kakek tidak mengundang tabib terbaik di negara ini untuk menyembuhkan penyakit nenek?" Pangeran Han Yuze tak bisa untuk menahan pertanyaannya. "Tentu saja semua sudah dilakukan dan tidak ada yang berhasil sama sekali. Penyakit nenekmu bukanlah penyakit biasa saja, melainkan karena diracuni seseorang
Jing Ling bukan belum pernah datang ke mari sebelumnya, dan dia sudah tidak merasa asing dengan tempat ini. Jing Yue kemudian menyalakan dupa pengharum ruangan, serta dupa batangan yang untuk melakukan persembahan doa. Wanita itu memberikan satu batang dupa yang sudah dinyalakan kepada Jing Ling, dan menyalakan satu batang lagi untuk dirinya sendiri. Keduanya melakukan ritual tersebut untuk mendoakan dan mengenang arwah para anggota keluarga yang sudah mendahului pergi ke alam keabadian. Mereka memegang batang dupa dengan kedua tangan, lalu membungkuk sebanyak tiga kali di hadapan papan memori para leluhur. Tak bisa dipungkiri, jika hati keduanya pun merasa sangat sedih dan terluka saat mengenang kejadian tragis di masa lalu. Peristiwa berdarah itu telah membuat semua orang yang namanya tertera di papan peringatan harus meninggalkan dunia ini dengan cara sangat mengenaskan. Sesuai melakukan ritual tersebut, Jing Yue mau tak mau meneteskan air mata. Wanita itu kemudian mengelu
"Jangan takut. Aku adalah Jing Shuang, orang yang menciptakan cincin ini." Jing Ling sedikit panik, merasa bahwa pendengarannya saat ini sedang tidak normal. Pandangan matanya terus tertuju ke arah bayangan berwujud manusia yang terjebak di gumpalan sinar merah yang tampak samar. "Sudah sangat lama aku terjebak di tempat ini, menunggu seseorang dari penerusku datang dan menemukanku." Suara anggun dan lembut itu kembali terdengar dengan jelas. Jing Ling terkejut. Ternyata, sinar berwujud manusia itu bisa berbicara? Dan dia mengaku bernama Jing Shuang? Tunggu! Bukankah itu adalah nama yang disebutkan oleh Jing Yue, ibunya? "Jing Shuang?" Jing Ling luar biasa terkejut. "Jadi, Anda adalah Jing Shuang, pencipta dan pemilik Cincin Segala Ruang ini?" "Benar. Itu aku." Leluhur Jing Shuang berbalik dengan anggun, jubahnya berkibar, dan sinar merah yang menyelimutinya seketika menghilang. Sekarang, wujud asli pria muda yang sangat menawan bak seorang kaisar langit terlihat jelas. W
"Bagaimana mungkin itu adalah benda yang rusak? Kamu cobalah sekali lagi, Ah Lin!" Hua Lin mencoba memberi semangat kepada keponakannya. "Semangat!""Baiklah. Aku akan mencobanya sekali lagi." Jing Ling mengangguk, kemudian kembali memfokuskan pikiran agar dapat terhubung dengan cincin segala ruang miliknya.Namun, masih tidak ada yang terjadi meskipun ia telah mencobanya hingga berulang kali.Jing Ling menarik napas sesaat dengan perasaan kecewa. "Tetap tidak bisa.""Aneh ... mengapa tetap tidak bisa?" Hua Fei juga tak mengerti.Jing Ling tak bisa lagi menyembunyikan kekecewaan sekaligus rasa penasarannya.Ia menghadap kembali kepada sang ibu. "Ibu, aku tak bisa menggunakan cincin ini. Meskipun aku berusaha keras menyatukan pikiranku, tetapi aku tak bisa merasakan apa pun. Aku jadi berpikir kalau benda ini tidak berjodoh denganku, atau mungkin saja benda ini memang sudah rusak.""Itu tidak rusak. Tapi memang cincin milikmu itu sedikit berbeda dengan benda ruang milik Ah Fei dan Ah Li
Hua Fei melihat kantung di tangannya, mencoba menemukan rahasia yang tersembunyi dalam benda tersebut. Namun, tetap saja ia tak menemukan apa pun di sana."Ah Fei, kantung yang sekarang kamu pegang itu bernama Qian Cang Pao, kantung seribu ruang yang mampu memuat banyak benda-benda tanpa membebani pemiliknya." Jing Yue menjelaskan perihal kantung putih milik Hua Fei. "Selain dapat menyimpan benda-benda, kantung itu juga sangat kuat karena terbuat dari kepompong ulat sutra berusia seribu tahun."Hua Fei terkejut. "Kantung seribu ruang?""Ternyata itu adalah kantung seribu ruang yang sangat legendaris!" Hua Lin berseru disertai keterkejutan dan kekaguman. "Ah Fei, kamu sungguh beruntung bisa memiliki benda seperti itu."Hua Fei dan yang lainnya mulai berisik dengan decakan kagum. Ternyata benda yang dianggap kosong itu benar-benar merupakan benda istimewa.Wajah Hua Fei seketika secerah langit pagi. Sekarang, ia justru merasa takjub dan berterima kasih dalam hati atas pemberian Jing Yue
Dari kerutan alis matanya, jelas ada bayang-bayang kekecewaan Hua Fei yang tak bisa disembunyikan. Ekspresi wajah pemuda itu berubah muram dan matanya menyipit, seolah mencoba memahami sesuatu yang sedikit mengganggu.Tabib muda itu menarik napas panjang, perlahan mengembuskannya, mencoba menenangkan gejolak pertanyaan dalam benaknya.'Mungkin saja aku yang tidak seberuntung mereka berdua,' gumam Hua Fei, dalam hati.Ia melirik sekilas ke arah kedua keponakannya yang tengah sibuk dengan hadiahnya masing-masing. Perasaan tak menentu berkecamuk dalam dada Hua Fei.'Tapi ... mana mungkin Bibi tega mempermainkan aku?' pikir Hua Fei lagi. 'Atau mungkin ... ada sesuatu yang disembunyikan oleh Bibi?'"Paman Kecil, kamu mendapatkan ikat pinggang!" Seruan Jing Ling membuat Hua Lin tersenyum tipis.Ia segera menghampiri untuk melihat lebih dekat ikat pinggang hitam yang sederhana tapi penuh keunikan. Sorot mata Jing Ling berbinar-binar, mengagumi bentuk sabuk hitam dengan gesper perak yang rumi
Jing Ling, Hua Fei dan Hua Lin menatap kantung kain di tangan Jing Yue. 'Apakah bibi menyiapkan bekal uang lagi?' Hua Fei membatin. 'Bukankah kami sudah mendapatkan biaya dari sekte?' 'Kakak Yue memberi kami kantung parfum?' Hua Lin mengira itu adalah kantung pengharum yang biasanya dipakai untuk menyamarkan bau badan tak sedap dengan aromanya. 'Aiyaa, kakak iparku ini mengapa aneh sekali?' Jing Ling akhirnya bertanya, "Ibu, itu adalah kantung kain yang akan diberikan kepada kami bertiga?" "Benar. Ini adalah hadiah dari kami yang sudah lama dipersiapkan untuk kalian." Jing Yue mengulurkan tangannya secara perlahan, memperlihatkan tiga kantung sachet yang terbuat dari kain satin, halus dan berkilau di bawah sinar matahari pagi. "Hadiah?" Ketiga tuan muda terperangah. "Untuk kami?" Hua Lin tak mengerti. "Ya. Ini memang untuk kalian." Jing Yue kembali mengulas senyum dan berkata, "Kami mengumpulkan semua benda ini sejak lama sebagai persiapan karena kami merasa sewaktu-waktu kal
Jing Ling tercekat. Hua Fei tertegun. Keduanya menatap Hua Lin dan Hua Feng secara bergantian dengan pandangan bingung. Mereka khawatir jika Hua Lin tak bisa menahan amarahnya. "Hua Feeeeeng!" Hua Lin berteriak, suaranya meledak di udara hingga membuat banyak orang terkejut. "Hua Feng, bagaimana kamu bisa seceroboh itu?" Hua Lin merasa frustrasi, sedangkan Hua Feng memasang ekspresi wajah sebodoh keledai dungu. Hua Lin ingin menangis, tetapi ia tak mungkin menangis di hadapan banyak orang, terlebih lagi hanya soal perbekalan yang masih bisa digunakan meskipun tidak kecil kemungkinan sudah hancur. Pemuda itu hanya bisa menatap dengan tatapan yang seakan hendak memangsa Hua Feng hidup-hidup. "Ma--ma ... maaf!" Napas Hua Feng masih tersengal, dadanya naik turun, tetapi tatapan tajam Hua Lin yang menusuk itu membuatnya seolah tercekik oleh rasa bersalah. Bagi Hua Feng, pandangan mata Hua Lin terlihat sangat mengerikan hingga udara panas dan perasaan dingin terus menari-nar
Di kejauhan, Jing Ling dan Hua Fei sudah berdiri menunggu di bawah pohon maple sembari menyaksikan kesibukan para pelayan. Mereka tampak siap untuk perjalanan panjang yang akan segera mereka tempuh.Sebenarnya, Hua Fei merasa ada suatu firasat aneh yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, tetapi perasaan itu terus-menerus mengganggu pikirannya. Pemuda itu larut dalam diam hingga beberapa waktu dan hal tersebut dapat segera ditangkap oleh sang keponakan.Jing Ling menyiku lengan Hua Fei. "Eh, Kakak Fei, ada apa denganmu? Apakah kamu merasa tidak tega untuk pergi dari tempat ini, atau ....""Kakak Fei sedang merindukan Yunxi, adik sepupuku yang cantik jelita itu?" Jing Ling sengaja menggoda Hua Fei dengan mengungkit masalah Jing Yunxi. "Apa kamu sudah merasa rindu padanya bahkan sebelum kamu pergi?"Mendengar nama Jing Yunxi disebutkan, seketika darah Hua Fei terasa berdesir dingin, seolah-olah puluhan jarum tajam menusuk jantungnya. Sensasi perih itu merayap cepat, menyesakkan dadan
"Bodoh!" Sambil mengumpat, Hua Lin melayangkan satu tamparan secepat lesatan anak panah yang langsung menghantam pelipis Hua Feng."Aaah!" Hua Feng terpekik keras hingga beberapa orang menoleh ke arahnya. Hua Lin tak peduli dengan tatapan orang-orang di sekitarnya. Ia lanjut mengomeli Hua Feng. "Tentu saja itu bukan jimat, melainkan sesuatu untuk menangkal bahaya kelaparan!"'Mengapa aku bertemu orang sebodoh dia?' Hua Lin merasa sial dalam hal ini.Hua Feng tak sempat mengelak. Pukulan itu tidak terlalu keras, tetapi cukup membuat tubuhnya terhuyung ke samping, hampir kehilangan keseimbangan.'Penangkal bahaya kelaparan, bukankah itu makanan?' pikir Hua Feng yang mulai mengerti maksud seniornya ini.Hua Feng mengusap pelipisnya yang sedikit memanas. Ia mengerang kesal. "Tuan Muda, kamu menyiksaku lagi!""Tuan Muda selalu saja begitu, padahal aku hanya bertanya, tapi Tuan Muda malah menindasku." Raut wajah Hua Feng berubah sedih, bibirnya mengerucut hingga ia tampak lucu. "Tuan Muda
"Maka saya akan mendesaknya!" Mu Lei tiba-tiba berkata tegas.Mu Lei adalah orang luar yang pernah diselamatkan oleh Hua Yan pada tragedi berdarah Suku Mu lima tahun lalu, saat terjadi pemberontakan salah satu kubu 'pakaian kotor' yang berselisih dengan kubu 'pakaian bersih' Suku Mu, dan itu membuatnya nyaris mati terpenggal.Namun, rupanya dewa mengirim Hua Yan pada waktu nyawanya sudah di ujung tanduk. Ia pun lolos dari kematian di mata pedang milik Mu Yan, pengkhianat Suku Mu, dan semua itu berkat pertolongan Hua Yan.Semenjak saat itu, ia bertekad untuk mengabdikan seluruh hidupnya demi membalas jasa kepada dewa penyelamatnya. Meskipun Hua Yan sudah membebaskan dan tidak mengungkit lagi tentang hal tersebut, Mu Lei tetap bersikeras untuk menjadi penjaga bagi Hua Yan dan keluarganya."Baiklah. Kita lihat saja nanti," Tetua Hua Lei yang bicara kali ini.Semua orang hanya bisa berharap kalau Hua Yan tidak keberatan dengan persiapan keamanan yang mereka lakukan kali ini.*****Sementa