Pria Sheva bertanduk emas terlempar ke kepulauan awan hitam, lalu menapakkan kakinya di udara hingga awan seketika menjauh darinya. Hanya sekilas birunya langit terlihat, karena awan yang lebih tinggi segera mengepul.
Dengan satu gerakan, ia menarik kain yang menyelimuti tubuhnya, hingga bagian belakang ke depan. Ia tepuk pelan untuk memadamkan kobaran api karena laser. Tidak membekas sedikitpun."Sialan!" Baram melesat bagaikan kialatan cahaya, dengan ayunan goloknya yang meninggalkan robekan kehampaan di udara.Jleng!... Dentuman hebat saat mereka membentur, terbentuk robekan kehampaan yang luas. Sekaligus membuyarkan kepulan awan.Swash!... Bilah tajam pada golok menyala, tapi Lumpang segera melompat ke belakang.Jwush!... Pakaiannya seketika merekah, sangat luas dan mengurung keduanya. Benar-benar menjadi gumpalan kain lusuh raksasa yang terus menggeliat. Tiba-tiba, sebuah laser menyorot keluar, menembus kain, tapi segera tertutupNamun, Akara tiba-tiba menoleh ke sisi lain. Ada sesuatu yang melesat sangat cepat ke arahnya. Blarr!... Ia tertabrak hingga terpelanting, tapi segera berdiri dan terdorong di udara. "Kenapa belum pergi?!" geram pria Sheva bertanduk emas yang menabraknya, tapi segera menoleh ke arah Zurrark berpakaian emas. Lumpang sudah tak berpakaian, hanya energi hitam yang menyelimuti hampir seluruh tubuhnya. Ia juga telah membawa tongkat hitamnya. "Regera!!" teriak Baram yang muncul di sisi lain, tapi ia juga segera menoleh ke arah Zurrark. "Zurrark Fam!" lanjutnya dengan geram, membuat Lumpang cukup terkejut. "Baram, aku hanya ingin membantumu menangkapnya. Tidak perlu berterima kasih padaku," "Terserahlah, yang penting bocah itu tertangkap!" Meraka sudah terpojok, ditambah lagi luka tebasan di dada Akara yang kembali terbuka lagi. Kristal es yang menyelimutinya telah berubah warna menjadi merah. Melihat kondisinya, Lumpang segera memastikan. "Bagaimana kondisimu?" "Akan aku bangun ulan
"Adlar, cepatlah buka portalnya! Kami tidak akan menolaknya karena dia sudah menjadi muridmu!" seru Zurrark bertubuh atletis."Banyak omong kau Alltar!" geram Adlar tertahan, lalu menjulurkan sebuah bola batu transparan kepada Akara. "Jangan terlalu memaksakan dirimu!" Ia lalu berbalik ke arah kubah pelindung. Sebuah lempengan giok hijau bundar seperti jam dinding ia lempar dan langsung melesat ke pusat kubah. Layaknya puzzle, lempengan giok merenggang, dengan energi kehijauan yang masih saling terikat. Lempengan giok berputar, bagaikan sebuah tuas pintu, membuka kubah energi di salah satu sisi. Tanpa berpikir panjang, para Vasto berseru penuh semangat dan melesat. Begitupun dengan Akara, melesat sambil melempar dua butir pil ke dalam mulutnya....Sekelebat energi hitam telah sampai di wilayah klan Sheva, sebuah tebing yang tergerus di bawahnya. Menjadi sebuah kota yang dinaungi atap satu sisi tebing. Energi melesat ke sisi samping atas atap tebing, ada seorang wanita Sheva berdiri
Bayangan hutan raksasa sudah mulai menutupi kota Tunggul Tua, menyisakan cahaya kemerahan di bagian atas kota. Suasana yang sudah kembali tenang, dengan puing-puing yang sudah dibersihkan. Namun, tanpa sadar udara menjadi semakin gelap. Saat warga mengetahuinya, mereka sudah telat. Kota bergetar, bergemuruh seperti gempa. Pemukiman yang tepotong laser jadi berjatuhan, kembali dibuat berantakan. "Apa yang terjadi?! Ada apa?!" Warga berhamburan keluar penuh kepanikan, disusul dentuman gelombang energi dari atas kota. Tidak sedikit yang terjatuh dan langsung menoleh ke atas. Pria Sheva bertanduk emas telah melayang di sana, tepat di ujung bangunan menggantung. Di hadapannya, ada wanita yang juga dari klan Sheva. Wanita dengan tanduk seperti ranting bonsai."Zurrark Dila, saya sudah menunggu kedatangan Zurrark!" Lumpang sedikit membungkuk, tapi malah membuat wanita di depannya melotot tajam. "Apa maksudmu sudah menunggu?" ucapnya dengan g
"Sialan! Sudah penyakitan masih saja bisa bertahan!" Zur Allran mengeluarkan sepasang palu di tangannya. Melihat semua hak itu, gadis cantik berpakaian penuh rumbai terbelalak dan berseru. "Apa yang telah kalian lakukan kepadanya?!""Diamlah kak! Dia memang tidak layak di sini!" Gadis dengan wajah yang sama langsung menarik tangannya, jarinya mengapit cincin kakaknya."Adlea! Ayah berhutang budi kepadanya!" Adlia langsung mengibaskan tangannya hingga pegangan kakaknya terlepas. Sedangkan Zur Allran sudah mengumpulkan energi di palunya.Jlar!... "Hentikan!" Adlia langsung menembakkan energi ke arah palu yang meluncur, menciptakan ledakan, tapi tidak menghentikannya. "Apa yang kau lakukan Zur Adlia?" Zur Ashah bertanya dengan tegas. Adlia kebingungan saat mereka semua menatapnya dengan sinis, sedangkan Zur Allran kembali meluncurkan palu lainnya. "Hentikan!" Adlia melesat, menabrakkan dirinya kepada palu.Blar!... Tubuhnya terlempar hingga meluncur, menabrak reruntuhan, membuat Zur
"Kau benar-benar ingin mati di sini?!" Zur Allran tersenyum lebar, tapi senyumannya dengan cepat hilang saat melihat kristal darah di dada Akara meleleh. Bekas lukanya telah tertutup seperti sebelumnya?! Akara langsung menarik kuat jubah hitamnya yang telah rusak hingga terlepas, seketika jubah lain sudah terpasang di tubuhnya. Senyum penuh kepercayaan diri merekah di bibir, sambil memainkan pedang kayunya. "Kemarilah!" Jlar!... Petir merambat dari tubuhnya ke segala arah, tertahan beberapa saat bagaikan lukisan di udara. Mereka ingin melesat saat sambaran petir menghilang, tapi segera menoleh ke sisi yang sama. Hamparan gurun tandus. Suara tenggorokan reptil terdengar begitu keras, membuat Akara teringat kejadian sebelumnya. Tangan yang menenteng pedang gemetar, disusul auranya yang tertutup. Meskipun demikian, petir yang menari-nari di gelapnya awan tak kunjung sirna. "Cepat sembunyi! Sembunyikan energi kalian juga!" Zur Ashah langsung melompat turun pada deretan tembok reruntu
Mereka memang berpindah lokasi, tapi ukuran kubah gelap tidak berubah. "Jaraknya masih sangat jauh dari sini," gumam Akara dengan kilatan listrik teleportasi yang kembali menyelimuti tubuh mereka. Ia menoleh ke atas, disusul kilauan cahaya merah di matanya dan...Jwush!... Mereka berteleport sangat tinggi di luar angkasa, membuat kedua Zur terkejut saat menyapu pandangan. Hanya asap hitam sejauh mata memandang. Mata naganya ikut menyapu, tapi tidak menemukan ujung dunia, betapa besarnya planet itu. Ada lautan, pegunungan, pulau, benua dan dari semua itu, tidak ada tempat yang layak. Semuanya tandus, hanya ada reruntuhan dan air danau maupun lautnya berwarna hitam, hijau, bahkan berbagai warna karena tercemar. Ia lalu melihat ke satu titik, kembali berteleport. Jwesh!... Setelah berteleport, suara gemuruh air terdengar. Mereka berada di ujung tebing dan saat melihat ke depan, bagaikan melihat dari bulan ke bumi. Ada planet di depan sana?! Mereka berdiri di ujung pulau melayang, pul
Kini giliran Adlia yang melangkah maju memimpin jalan. Piringan yang melayang di tangannya ia julurkan ke depan saat mulai mendekat ke gerbang. Dengan otomatis piringan melayang, melesat menuju bagian tengah gerbang yang berlubang. Lagi-lagi mekanisme yang memusingkan dan menjengkelkan karena cukup lama prosesnya. Akhirnya...Gleng!... Gerbang terbuka, menghembuskan energi dan udara hingga membuat mereka menyilangkan tangan. Mengibarkan pakaian dan rambut, lalu sirna saat gerbang sepenuhnya terbuka. Begitu menyingkapkan tangan, Akara langsung menghela napas. Ada gerbang lagi di sana dan suara mekanisme roda kembali terdengar. Kresszz... Energi dingin menyebar dari tubuhnya, membuat kedua Zur melayang karena pembekuan di lantai giok. Tempat yang cerah dan kering, seketika dilapisi kristal es, bahkan salju tipis mulai berjatuhan di udara. Jwush!... Akara muncul di depan gerbang, menjulurkan tangannya dan. Blarrr!... Energi dingin meledak, seketika membekukan gerbang dan suara mekanism
"Kalian cucuku?" Dewa Penempa muncul di depan keduanya dalam posisi membungkuk, membantu mereka berdiri. "Iya kakek!" jawab keduanya dengan wajah penuh haru saat melihat kakeknya. "Menikah dengan siapa ibu kalian?" "Ayah Adlar!" Sang Dewa Penempa langsung tertunduk menyamping, memejamkan mata hingga wajahnya terlipat. "Murid sialan!" umpatnya, lalu kembali bertanya dengan tenang. "Lalu siapa lagi?""Hanya ayah Adlar," jawab Adlia membuat kakeknya terdiam menatapnya. "Ayah Adlar menikahi keduanya," lanjutnya membuat Dewa Penempa merapatkan bibirnya dan menghirup napas dalam-dalam, hingga membuat dadanya terangkat. Kemudian menghembuskan napas sambil geleng-geleng kepala dan melihat Akara kembali."Lalu pemuda ini?" "Ini tuan Regera, yang membantu ayah dan kami tidak akan bisa sampai tempat ini tanpa bantuannya," jelas Adlia. Dewa Penempa melihatnya dengan tatapan aneh cukup lama, lalu Akara berkata. "Silahkan kalian mengakrabkan diri antara cucu dan kakek. Aku ingin menaikkan