Sebuah ruangan yang terlihat seperti gua batu, duduklah pemuda di atas altar. Pemuda yang telah bertelanjang dada dengan bekas luka tebasan, dari pundak kanan hingga ke bawah dada kirinya.
Ia menjulurkan satu tangannya, lalu menghentakkan jari-jarinya melebar. Muncullah api hitam yang menyelimuti tangannya, tapi segera menghilang saat ia mengibaskan tangannya pelan dan menyentuh bekas lukanya."Belum bisa hilang sepenuhnya, tapi untunglah apiku tidak terpengaruhi lagi," gumamnya."Pria klan Vasto itu menyembuhkanmu, pasti ada sesuatu yang dia inginkan. Berhati-hatilah, aura ranahmu telah hancur, jika ada kesempatan langsung saja berteleport pulang." Serin masih tenang menasehatinya dan Akara berdiri sambil menjawab."Baik mama!"Kilatan listrik merah tiba-tiba menyelimuti tubuhnya, dengan luapan energi yang tak terkendali."Kenaikan aura naga?" Serin bertanya dengan ragu dan Akara segera mengangguk. Di atasnya muncul empat liMagma menyelimuti dinding ruangan berbentuk kubah, seakan ada pembatas transparan hingga cairan panas itu tidak tumpah. Ruangan dengan sebuah ranjang, terlihat begitu terang karena magma merah yang terus bergejolak. Salah satu sisi magma bergerak, memberikan sebuah lorong kecil dan muncullah Adlar bersama Akara. "Ambillah!" Pria itu melemparkan lempengan kartu logam kepada Akara dan kembali berkata. "Kartu itu tidak hanya untuk masuk ke ruangan ini, tapi juga semua tempat di kota Laut Panas. Tidak ada yang bisa menyinggungmu jika menunjukkan kartu itu. Jika ingin lebih bersantai, pergilah ke atas." Ia menunjuk ke arah sebuah lubang tepat di atas kubah ruangan. "Baiklah!" jawab Akara sambil menyapu pandangan. Sedangkan Adlar mulai melangkah pergi, tapi segera terhenti dan berbalik sebelum berkata."Masih ada cincin seperti yang dimiliki wanita malam sebelumnya?"Tanpa basa-basi, Akara menjentikkan jarinya dan meluncurlah sebuah cincin yang langsu
Akara mengikuti Adlar, memasuki ruangan dengan altar batu yang sangat luas. Bukan sekedar ukiran batu, namun magma merah menyala mengalir di sela-selanya, membuatnya terlihat seperti lingkaran formasi yang menyala. Ia menyapu pedangan, melihat magma yang juga menyelimuti segala sisi dan akhirnya tertuju ke tengah altar, ada pancuran magma yang bertingkat seperti pagoda. "Jika tidak ada aura Alkemis, bagaimana cara kalian menempa?" Pria abu-abu bertubuh tinggi kurus mengibaskan tangannya, seketika pancuran magma berubah bentuk, menjadi sebuah tungku pembakaran. "Kami memanfaatkan altar. Aliran energi kita saat melakukan pembakaran akan ikut mengalir dengan magma. Aliran ini yang akan menjaga formasi tetap menyala," jawab Adlar sembari menunjuk magma yang mengalir di sekitarnya. "Oh?" Akara lalu berjalan ke samping dan menjulurkan tangannya. Ia merenggangkan jari-jarinya perlahan, namun bilah dimensi terbentuk sangat lebar. Altar rusak, membuat
Aliran magma yang membentuk formasi semakin lebar kerusakannya, hampir seperempat dari seluruh sisi altar. Beberapa senjata tingkat Suci sudah melayang, berselimut energi putih di sekitar tungku penempa. Sang penempa masih nampak bersemangat, bertelanjang dada dengan tubuh kurusnya yang masih terbentuk otot. Sepasang belati melayang di depannya, dengan aliran energi dari formasi di altar magma yang mengalir, masuk ke dalam belati. Merasa bosan, pemuda yang duduk di ujung ruangan segera bangkit dan berkata. "Ada ruangan untuk menempa lainnya?""Pergilah ke ruangan lainnya dengan kartu yang aku berikan!""Kabari aku jika sudah bisa mengendalikan formasi sepenuhnya tanpa bantuan altar." ucapnya seraya melangkah ke salah satu sisi dinding. Tanpa melakukan apapun, dinding magma terbuka otomatis dan kembali menutup saat ia melewatinya. Lorong luas dengan langit-langit setinggi lima meteran yang juga transparan, hingga warna merah menerangi seluruh sisi. Cukup banyak klan Vasto yang berlal
Beberapa hari kemudian, Akara telah selesai menempa, dengan beberapa pasak seperti tombak yang sudah melayang di sekitarnya. Dengan tubuh penuh keringat, ia meraih salah satu pasak dan berjalan ke arah pancuran magma di tengah altar. Begitu santai ia jatuhkan tepat di tengah pancuran, tapi pasak segera melesat memasuki aliran magma. Beberapa pasak lainnya juga menyusul. Ia lalu segera pergi, tidak ada yang berani berkomentar tentangnya lagi. Ketika berpapasan, mereka hanya menyingkir dan bergegas menghindar. Sesampainya di ruangan Adlar, bukan pria berpupil tiga yang tengah berlatih. Namun pemuda berpawakan tenang yang setengah bagian atas wajahnya bernoda hitam. Seperti habis dicelup ke dalam tinta, juga bekas tetesan turun ke pipinya. "Sepertinya kau terlalu fokus sampai tidak mendengar teriakanku dari luar!" seru Adlar yang ada di sisi samping, bersama kedua gadis yang salah satunya menatap sinis Akara. "Oh?" jawab Akara sambil mengamati pemuda di pusat altar yang masih menyempu
Pemukiman berada pada gunung-gunung batu yang mencuat, melubanginya hingga seperti deretan gedung-gedung. Karena bagian bawahnya merupakan lautan air panas, mereka membuat jembatan di atas batu pencakar langit. Ada juga beberapa pulau yang melayang di udara. Keramaian di sana sedang membicarakan satu hal yang sama. Pertandingan menempa? Iya, Zur Adlea yang mengumumkannya. Pantas saja, manusia itu yang sebelumnya menghajar tuan muda Roldan. Pergerakannya sangat cepat sekali seperti tidak terpengaruhi belenggu kota! Kabarnya manusia itu juga diangkat menjadi murid tuan Adlar. Sangat menarik! Manusia misterius yang menjadi murid tuan Adlar melawan salah satu jenius generasi ini! Di tempat lain, tepatnya di sebuah ruangan di salah satu batu pencakar langit. Adlia duduk di samping saudarinya yang sedang menyantap kue. "Adlea, apa perlu sampai seperti itu?" "Memangnya kenapa kak? Budak itu yang memulai masalah!" jawabnya dengan ketus sambil tetap menyantap kuenya, tapi Adlia masih santa
Baru sadar ternyata malah pada spam vote :") Bang Joehandi masih memimpin, disusul bang Harly89 Junior yang juga langsung spam banyak, ada bang Imron Rosid dan yang lainnya juga. Makasih banyak para pembaca lama yang masih ngikutin Akara, buat pembaca baru selamat datang. Kalau ada kekurangan silahkan hujat Author, akan Author coba perbaiki. Author sudah ada catatan sampai end mau bagaimana, nasib karakter akan jadi apa, tapi ada aja yang tanpa disengaja berasa mengendalikanku. Alur sebenarnya mau ke jalur A, tapi berubah gara-gara kemunculannya, nasib karakter lain juga berubah gara-gara dia. Padahal cuma sekedar muncul dan tindakannya gak tertuju langsung pada Akara, bahkan juga tanpa melakukan apapun. Kalau Author tetep maksa ikuti alur awal malah gak jalan, harus mengikuti kemauannya dulu. Dari awal bukan hanya mengendalikan perjalanan Akara, tapi Author sendiri berasa disetir sama dia. Keberadaannya bisa Author katakan tertinggi, tapi kok malah jadi sampai ngendalikan Author sen
"Terima kasih karena tidak membuat nama ayahku tercoreng." Adlia memimpin jalan dan Akara mengikutinya. Tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dari Akara, membuat pakaiannya yang penuh rumbai terlihat begitu indah. Mereka meniti jalan lantai batu yang melayang. Bukan di atas batu pencakar langit, tapi di dalam lautan magma.Beberapa saat sebelumnya, saat para penonton terkejut dengan mata naga Akara. Adlar kembali berkata. "Kita kesulitan mendapatkan bahan baku. Dengan adanya tuan Regera di sini, ada perjanjian bisnis. Jadi di masa mendatang, kita bisa menempa dengan bebas tanpa dipusingkan mencari bahan baku senjata!" Mendapatkan harapan baru, para warga bersorak gembira. Namun, membuat Adlea semakin kesal dan segera pergi. Di sisi lain, Adlar nampak ragu dan berkata kepada Akara. "Kau yakin tentang ini?" "Tergantung sikap kalian. Jika urusanku telah selesai di Alam Danirmala, aku akan kembali ke alam bawah dan menghubungkan bisnis kita,
"Ada apa? Kenapa raut wajahmu seperti ini?" Ia segera menarik cucunya untuk duduk."Ayah membawa seorang Draking, budak itu melukai teman-teman Adlea..." Gadis itu bercerita panjang lebar kepada neneknya. "Menamparmu?!" Sang Ratu mengusap pipinya dengan lembut, lalu menoleh ke arah singgasana kosong di sampingnya. "Tunggu kakek dan pamanmu selesai berlatih!"...Penyerapan energi yang Akara lakukan menarik perhatian banyak orang. Bagaimana tidak, energi meluap semakin besar, dengan munculnya benda misterius berbentuk telur bercahaya ungu. Belasan orang berkumpul termasuk Adlia, menunggu Akara keluar dari cangkangnya. Apa memang seperti itu pelatihan klan Draking? Mereka memang kuat, apalagi generasi murni sepertinya! Tapi kenapa banyak yang dijadikan budak?Mereka langsung terdiam saat Adlia menoleh ke arahnya. Tidak lama kemudian, aliran energi melebur, hembusan energi mulai normal kembali saat cahaya ungu hilang. Kubah pelindung terbuka, me
Tempat yang abstrak, berlatar belakang cahaya berbagai warna dari awan panas Nebula di kegelapan angkasa, Dewa Penempa membungkukkan badannya di hadapan tiga gumpalan bercahaya. Dengan sopan dan waspada, ia menjelaskan tentang pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi yang memojokkannya. "Jadi, apa maumu?" tanya salah satu leluhur. Sambil sedikit menunduk, Dewa Penempa menjawab dengan lembut. "Mohon maaf, Fraksi Cahaya Ilahi di mata warga sudah bisa dikatakan hancur, bahkan banyak masalah yang terus terjadi. Mungkin sudah seharusnya kepemimpinan Fraksi diganti.""Kondisikan klan Vasto, kami akan segera memanggilmu kembali!" ujar salah satu leluhur, dan Dewa Penempa segera melebur, digantikan dengan seorang pria bermahkota sayap emas. "Ronas memberi salam kepada leluhur!" Ia sedikit menunduk seperti yang dilakukan Dewa Penempa sebelumnya. "Ronas, tiga lentera jiwa tetua Fraksi telah padam, apa yang terjadi?!" Ronas menjawab dengan tenang.
"Regera, kau telah mengalahkanku!" Luce kembali terkekeh, tapi ia segera tersedak saat bilah pedang kayu mengganjal mulutnya. Sebutir pil melesat begitu saja memasuki tenggorokannya. "Tidak perlu kau sembuhkan lukaku!" seru Luce saat ganjalan di mulutnya terlepas. Namun, ia segera menyadari bahwa itu bukanlah pil penyembuhan. Segel belenggu langsung menyala di jantungnya. Melihat Luce tidak menunjukkan tanda-tanda melawan, sepasang pedang kayu segera melebur di udara. Ia lalu berteleport menuju para Dewa lainnya berada, disusul oleh kilatan cahaya emas yang membawa Luce. Ternyata kegaduhan terjadi. Pria bertanduk ranting menyandera Luwang, padahal tubuhnya telah babak belur penuh luka bakar. Cakar tajam telah melingkar di leher pemuda Sheva bertanduk emas, untung ditahan oleh bilah cakar di lengannya. Tangan lain juga menahan lengan Dilvo satunya. Dewa lain nampak ragu untuk bertindak, dan kedatangan Akara menjadi harapan untuk mereka. Namun,
Cukup lama awan panas Nebula memenuhi domain, hingga akhirnya, luapan energi berhenti, bahkan malah kembali ke titik ledakan. Para Dewa hanya bisa menyapu pandangan penuh kebingungan, dan dalam hitungan detik, mereka dapat melihat kegelapan lagi. Awan panas Nebula telah sepenuhnya terhisap. Seketika para Dewa tertegun melihat apa yang menghisap semua itu. Sebuah lubang hitam raksasa, yang terlihat cahaya di pinggirnya dan menggaris, membelahnya. Itu cahaya energi yang terhisap dari kesepuluh esensi surgawi. Daya hisap yang luar biasa yang dapat menelan cahaya, tidak heran jika kesepuluh esensi mulai bergerak. Mereka terhisap, membuat Akara segera melempar dua butir pil ke mulutnya dan menyalakan seluruh auranya. Aura Naga sejati, ranah Jiwa Suci dan aura Alkemis tingkat delapan. Ia langsung melakukan segel tangan. Energi pelindung segera terbentuk di sekitar Esensi surgawi, menjadi sepuluh pilar yang puncaknya mengurung Esensi surgawi. Kesepuluh pilar juga segera saling terhubung d
"Sialan kau Dilvo! Berani-beraninya kau mengusik jasad ayahku!" Luwang sangat geram saat melihat tubuh Dewa bertanduk emas setengah sabit, yang tidak lain adalah leluhur Raja Sheva. Di samping leluhur, Sheva bertanduk ranting langsung terkekeh. "Majulah kalian semua!" Dewa Farz segera mendekati Luwang dan dengan tatapan masih tertuju pada lawan mereka, ia lalu berkata. "Kau lawan Dilvo, biar aku yang menahan leluhur Raja Sheva. Tidak perlu memaksakan diri, tahan saja sampai tuan Regera menjalankan rencananya!" Farz lalu menoleh ke arah dua Dewa Fraksi lainnya. "Jika dua Dewa Sheva lainnya tidak bergerak, kalian tidak perlu ikut campur!" "Baik Dewa Farz!"Ketegangan terjadi pada kedua belah pihak, bahkan belum sempat melesat, dimensi di sekitar mereka melebar, seakan ditarik dari kedua sisi. Dalam sekejap, mereka melesat dengan kecepatan cahaya. Memasuki lubang cacing dalam kekosongan. Pertarungan tidak terlihat dari luar, ta
Dalam dimensi yang hampa dan hanya mendapatkan cahaya dari bintang neutron, titik berkumpulnya kesepuluh energi esensi surgawi. Pusaran energi berwarna emas telah menyala di belakang Akara dan di atasnya, ada lingkaran dengan ukuran lebih besar, memiliki pola rumit berwarna hitam. Aura ranah Jiwa Suci, ditambah aura Naga sejati yang menggelegar, memutar pelan hingga dimensi seakan tertarik energinya.Namun, itu tidak sebanding dengan apa yang ada di depannya. Ia bagaikan sebuah titik kecil dibandingkan sosok Naga raksasa yang tubuhnya berselimutkan cahaya. Keempat kaki berototnya melebar, dengan cakar tajam yang mencengkram dimensi. Sayapnya membentang tak terkira, dengan lekukan-lekukan yang tak kalah tajamnya. Lehernya meliuk, menurunkan kepalanya yang garang dengan deretan gigi dan tanduk tajam. Tepat di atas tulang hidungnya, Luce duduk jegang dan bersandar penuh keangkuhan. Melihat kesepuluh Esensi surgawi dan domain yang sangat luas, Dewa
Sebelum peperangan dengan Dewa klan Sheva, Dewa berpakaian emas mendatangi sebuah tempat yang dipenuhi reruntuhan melayang. Lempengan-lempengan batu beterbangan, tapi tak pernah sekalipun bertabrakan. Di wilayah yang terisolir dari reruntuhan melayang, ada sebuah portal. Bukan pusaran yang gelap, tapi pusaran putih keemasan penuh cahaya yang indah. Begitu memasukinya, ia langsung menyipitkan mata, tersorot oleh cahaya yang lebih terang. Saat mulai bisa beradaptasi, terlihatlah sebuah titik seperti matahari, tapi dengan luapan energi yang sangat dahsyat. "Inti Cahaya Primordial?!" gumamnya cukup terkejut, tapi segera menemukan keberadaan seseorang dalam kekosongan penuh cahaya itu. Pemuda tampan yang sedang bersila, dengan pakaian minim dari cahaya hingga tubuh atletisnya yang bersih terlihat. Namun, di antara keindahan itu, berserakan mayat yang tak terhitung jumlahnya. Aliran energi dari tubuh mereka keluar, menuju ke dalam tubuh Luce. Ia menghisap ene
"Maaf!" Ronas hanya bisa tertunduk merasa bersalah, lalu mulai menjelaskan keadaannya. Mendengar penjelasan panjang lebar, Serin segera menanggapi. "Keputusan di tangan anakku Regera!" "Anak?" Ronas malah merasa bingung dan Serin langsung menyadari bahwa pemimpin Fraksi telah termakan rumor. "Ronas, tidak mungkin kau mempercayai rumor 'kan?" "Itu... Lalu kenapa bisa memasuki peninggalan Dewa Penempa dan bagaimana dengan jiwanya?" Serin tersenyum penuh ketenangan sebelum berkata. "Tenang saja, pak tua itu bersama kami, hanya saja dia belum menyadari identitas asliku."...Deretan pilar-pilar besar yang berlapis emas, menjaga jalan konblok yang semakin naik seperti tangga raksasa. Di puncaknya, berdiri sepasang singgasana emas dengan latar birunya langit dan lautan awan di bawahnya. Dewa Penempa dan sang Maharani duduk di sana. Dewa Vasto bertubuh besar berotot dengan armor emas. Ada pula mahkota yang melayang di atasnya,
"Akara adalah anak kelima dari enam anak ayah, tapi maaf Mama Serin, sepertinya anak Akara akan menjadi cucu kalian yang pertama." Ia tersenyum penuh haru saat meraih potongan rambut tipis nan lembut dari dalam kotak. "Selamat untuk kalian, itu juga peringatan untukmu agar lebih berhati-hati kedepannya. Ada mereka yang menunggu kepulanganmu," nasihat wanita bertubuh mungil dari dalam dimensi, yang juga kebahagiaam turut terpancar di wajahnya....Saat pembicaraan Luwang dan Pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi mulai tenang di dalam ruangan, muncul kilatan listrik yang mengantar pemuda berjubah hitam. "Tuan Regera!" Pemimpin Fraksi bangkit dari sofa, tapi kedua pria Sheva langsung melesat di depan Akara, melindunginya. "Siapa dia?" tanya Akara dan segera dihawab oleh Lumpang."Pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi!"Pandangan Akara segera menelusuri tubuh kedua Dewa Fraksi, yang bukan bertubuh dari kelima ras Dewa, tapi layaknya manusia pad
Di dalam dimensi abstrak berwarna hitam bergaris putih-putih, Fraz, Dewa Fraksi dengan jubah putih berselimut perhiasan emas mendatangi pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi. "Farz menghadap pemimpin!" Ia menelangkupkan tangan dan membungkuk ke arah lempengan emas yang melayang di atas sana. Walau tidak menunjukkan penampilannya, pemimpin Fraksi segera menjawab. "Farz, aku dengar kau berselisih dengan Raja Sheva, Dilvo.""Benar Yang Mulia! Mereka menyandera anak saya, Zurrark Fam. Mereka tertipu oleh taktik adu domba yang dilakukan Regera!""Kau sudah mendengar kabar tentang siapa sebenarnya Regera?"Dewa Farz nampak gugup dan mengangkat wajahnya, menatap lempengan emas yang berputar dan menjawab. "Saya belum bisa memastikannya, tapi informasi yang beredar sesuai dengan dugaan.""Lalu, kau ingin menyinggung dua kekuatan besar sekaligus?""Maaf Yang Mulia! Tapi setidaknya saya harus menyelamatkan anak saya!" Energi men