Ruangan dengan sofa dan televisi layaknya ruang tamu di dunia tekhnologi modern, sepasang kekasih sedang bercanda ria di sana. Suara gelak tawa keduanya mengisi ruangan yang cukup kecil itu, namun tiba-tiba terhenti. Getaran terjadi.
Merasakan tanda-tanda layaknya gempa, mereka langsung bergegas keluar. Karena terburu-buru, mereka tidak menyadari adanya portal yang berada tepat di depan pintu. Walau sempat berpegang pada gagang pintu, namun daya hisap portal begitu kuat, membuat tangannya tergelincir dan terhisap portal. Tidak ada yang bisa keduanya lakukan selain saling memeluk agar tidak terpisah.Begitu sadar, sang gadis sudah berada di sebuah tempat yang sepenuhnya berwarna putih. Karena tidak menemukan keberadaan kekasih di sampingnya, ia langsung berdiri, menoleh dengan cepat ke segala sisi."Al?... Al!... Al!?" teriaknya beberapa kali namun tak kunjung mendapatkan jawaban. Tidak hanya dirinya sendiri, di sana ada 4 orang wanita lainnya dan 5 laki-laki. Kondisi dan pakaian yang mereka kenakan berbeda-beda, seakan berasal dari zaman dan peradaban yang berbeda. Dari salah satu wanita, ada yang terduduk lemas dengan mata terbelalak dan air mata mengalir di pipinya. Gadis berambut putih, kekasih dalam ingatan Akara, namun mengenakan pakaian yang begitu lusuh.Wanita ketiga sangatlah cantik, mengenakan pakaian tertutup berwarna hitam, dengan rambut hitam keunguan. Raut wajahnya nampak serius dengan garis mata yang tajam, namun ia hanya duduk diam penuh ketenangan.Gadis keempat tidak kalah cantiknya, mengenakan gaun merah muda layaknya seorang putri, namun ada sepasang pedang kayu hitam di punggungnya. Matanya melebar begitu melihat para gadis lainnya, bahkan mengulurkan tangan seakan ingin memanggil mereka. Sedangkan gadis kelima mengenakan gaun putih sederhana, dengan bercak darah dan gaunnya yang berlubang di perut serta punggungnya. Walaupun begitu, tidak ada luka di perut dan punggung mulusnya. Ia berjalan perlahan mendekati gadis keempat sambil mengulurkan tangannya dan berkata."Alice?"***Kembali pada altar di dalam kawah gunung. Wanita itu lalu bangkit dari singgasananya, tatapannya begitu tajam dan menakutkan, ditambah lagi seekor ular Naga yang kepalanya berada tepat di atasnya, bergerak mengikutinya."Ahaha aku mirip dengan ibumu ya?" Ia malah tersenyum begitu riang. Hawa menakutkan di sekitarnya seketika berubah menjadi begitu ramah dan bersahabat, bahkan ular Naga api raksasa menghilang begitu saja. Akara hanya bisa diam mematung, dengan mulut sedikit terbuka dan alis yang mengkerut ke dalam."Komo sudah bercerita tentang dirimu, Regera. Namaku Rani, walau nama dan penampilanku sama dengan ibumu, tapi kami berbeda. Hahaha, aku belum punya anak, bahkan terpisah dengan kekasihku..." keceriaannya berubah cepat menjadi kesedihan, namun segera menggelengkan kepala pelan dan tersenyum kembali.Glekg... Batu yang mengunci kaki dan tangan Akara pada altar terbuka, membuatnya terjatuh hingga bersimpuh di lantai."Maaf karena mengikatmu, energi api di dalammu begitu kuat, akan sangat menyulitkan jika kehilangan akal seperti roh api di luar sana." Rani melambaikan pelan jari-jari tangan ke atas, membuat energi api menyelimuti Akara dan membantunya berdiri."Terima kasih!" ucap Akara. "Tempat apa ini sebenarnya?" lanjutnya sembari kembali menyapu pandangan."Domain api, dimensi yang berdampingan dengan dunia nyata, dunia makhluk roh yang tidak memiliki tubuh fisik. Portal yang muncul di luar merupakan satu-satunya jalan menuju dunia fisik," jelas Rani."Kalau begitu, kenapa masih di sini!?" seru Akara seakan membentak, membuat Rani tersenyum tipis dan menurunkan alisnya sebelum berkata."Portal memiliki ukuran yang berbeda, aku tidak bisa keluar dengan portal biasa...." Kesedihan di wajahnya kembali berubah dengan cepat dan berkata dengan senyuman. "Sebaiknya kau menyesuaikan diri dengan energi di sini sebelum menuju dunia fisik..." Ia terdiam saat menyadari pemuda itu terpaku oleh penampilannya, raut wajah ceria kembali berubah menjadi tajam dan berkata dengan pelan namun mencekam."Apa yang kau lihat!?"Akara tersenyum sambil berkata. "Di tempat yang seperti neraka ini, tidak aku sangka ada kilauan berlian yang sangat inda..."Jwesh!... Rani telah berdiri tepat di depannya, membuat gaun apinya merumbai begitu indah terhembus lembut oleh angin. Senyum menyeringai mengembang di bibir merahnya, disusul sorot cahaya merah dari pupil matanya yang berubah bentuk layaknya mata naga. Raut wajahnya datar, namun dengan sorot mata yang tajam, ia kembali berkata."Perhatikan ucapan dan pandanganmu, percayalah aku dapat membunuhmu hanya dengan menjentikkan jariku!"Akara terhentak, dia menunduk dan mengamati dada kirinya sendiri. Matanya ikut bercahaya, berubah menjadi mata naga dan nampaklah isi dadanya. Belenggu energi api dengan untaian pola rumit telah menyelimuti jantungnya. Mata naganya kembali padam saat ia menoleh ke depan, melihat Rani yang telah membelakanginya dan sudah berada beberapa meter di depannya. Dengan ayunan lembut jari telunjuknya, wanita itu membuat tubuh Komo melesat ke arah Akara dan kembali berjalan dengan begitu anggun."Tunggu!" seru Akara setelah menangkap tubuh Komo, membuat Rani menghentikan langkahnya."Di mana tempat untuk istirahat dan adakah makanan?"Dengan masih membelakanginya, Rani menjawab. "Tidak ada apapun selain Magma dan tanah gersang, kita hanya perlu menyerap energi alam tanpa memerlukan makanan."Akara tersenyum sambil menjentikkan jarinya. Beberapa kotak kayu muncul, berisikan penuh dengan gading, sayur dan buah-buahan. Rani langsung menoleh dengan cepat, sekilas ia terbelalak kagum, namun dengan cepat berubah menjadi tatapan tajam ke arah Akara.Swush!... Ia seketika berada di depan pemuda itu, bagaikan hembusan angin dengan kobaran api tipis yang mengusap gaunnya."Regera..." Ia memainkan jari-jari di salah satu tangannya dengan kobaran api merah yang menggeliat. "Pertukaran apa yang kau inginkan?"Akara masih tersenyum, berdiri tenang beberapa jengkal di depannya lalu menjawab dengan ramah. "Aku hanya ingin berterima kasih."Walaupun begitu, Rani masih menatapnya dengan tatapan datar, tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Mengetahui dirinya tidak dipercaya, Akara menghilangkan senyuman di bibirnya dan kembali berkata."Aku telah kehilangan ibuku, aku tidak akan berbuat buruk dengan seseorang yang mengingatkan kerinduanku kepadanya."Api yang berkobar di tangan Rani padam, lalu berbalik badan dan berkata. "Sepasang pedang kayumu masih berada di tempatmu pingsan." Ia lalu melangkah maju dan memeriksa bahan makanan yang ada."Terima kasih!" Akara tersenyum lebar, lalu mengangkat Komo dalam genggamannya."Apa maksudnya Regera!?" bisiknya dengan sedikit geram."Tidak mungkin aku sebutkan nama aslimu bukan?" jawab Komo ngotot, lalu mengibaskan ekornya hingga Akara melepaskan genggamannya. Begitu lolos, ia langsung melompat di atas pundak tuannya.Akara hanya bisa menghela napas, lalu mengulurkan tangannya ke salah satu sisi dan energi segera menyelimutinya. Beberapa saat kemudian terdengar hembusan angin dari arah tangannya menunjuk, bahkan membuat Rani yang sedang jongkok menoleh. Sepasang pedang kayunya melesat begitu cepat, hingga menciptakan suara gesekan udara dan mendarat di tangan pemiliknya.Melihat Akara yang memeriksa sepasang pedang kayunya, Rani berdiri dan mendekat sambil berkata. "Apa hubunganmu dengan pemilik pedang itu?"Akara cukup terkejut dan cukup bersemangat ketika berseru. "Ma... Ratu Api kenal dengan Lisa!?""Yah, beberapa kali bertemu," jawabnya seraya mengulurkan jari-jari lentiknya ke arah kedua pedang kayu.Cllrrrt!... Kilatan listrik merah muda keluar dari pedang, menyambar tangan Rani. Walau tidak melukainya, namun menghalaunya menjauhi pedang."Reaksi gadis itu sangat mirip denganmu saat pertama kali kami bertemu," ucap Rani sembari menarik kembali tangannya, membuat Akara mengerutkan keningnya merasa bingung.Tepat di tengah altar yang dikelilingi oleh kawah, Akara duduk bersila di sana. Energi bagaikan selendang sutra yang begitu lembut, mengalir dari sekitar gunung menuju ke tengah kawah. Seluruh energi itu berkumpul pada sebuah tungku Alkimia, berbentuk oval dengan ukiran dan ornamen yang indah menyelimutinya. Tungku yang terbuat dari kristal hitam keunguan itu berdiri di atas kobaran api hitam pekat layaknya bayangan yang bergejolak. Pemuda berjaket hitam itu nampak begitu fokus mengendalikan aliran energi dan kobaran api dengan kedua tangannya yang menjulur ke depan. Tidak berselang lama, aliran energi yang tenang bagaikan selendang sutra menyebar, seakan ditahan agar tidak memasuki tungku. Beberapa saat kemudian, pilar energi mencuat dari tungku, menyeruak awan merah di atas sana, bahkan menghembuskan gelombang energi ke segala arah. Energi yang menggetarkan seluruh benda yang dilewatinya, disusul menyusutnya pilar energi dengan cepat, menyisakan lubang pada awan merah dan menampakk
Matahari telah tenggelam sepenuhnya di dalam cakrawala, namun masih menyisakan cahaya semburat merah yang mewarnai langit. Pantulannya cukup untuk memperlihatkan genangan darah yang sudah mulai mengering di tanah yang hancur. Daratan lapang yang cukup luas sudah tak karuan, mayat para prajurit berserakan dengan kondisi yang mengenaskan. Berbagai senjata tajam masih setia menemani pemiliknya, menjadi saksi bisu kengerian peperangan yang sebelumnya terjadi. Di antara lautan mayat, terlihat beberapa pergerakan. Bermodalkan obor untuk penerangan, mereka menarik pakaian dari salah satu mayat prajurit. Kain yang sudah berlumuran darah itu ia kepalkan di tangan, lalu mencelupkannya pada genangan darah di sekitarnya. Bagaikan kuas untuk melukis, ia menggunakan tanah layaknya kanvas. Simbol yang rumit terlukis satu persatu, berjejer di pinggir garis yang membentuk lingkaran sempurna. Kini giliran yang lainnya, ia berdiri di samping simbol, melakukan beberapa segel tangan dan memulai ritual.
Sangkar api yang sebelumnya dipenuhi oleh kekacaun dan suara bising, kini nampak tenang dan hanya terdengar suara gemuruh dari air terjun magma. Genangan magma mengalir cukup tenang, tanpa adanya riak yang begitu berarti. Tepat di ujung sangkar, pemuda bermata gelap duduk jegang dan bersandar pada jeruji api. Genangan magma tidak bisa menjangkaunya, seakan ada benteng transparan yang mengitarinya. Walau telah melewati pertarungan panjang semalaman, tidak ada luka sedikitpun di tubuhnya, bahkan kemeja hitamnya masih begitu rapi layaknya orang kantoran.Saat itulah wanita bergaun api muncul di atas sangkar dan menjentikkan jari lentiknya. Jeruji api memudar, melebur dengan udara terhembus angin lembut saat tubuhnya turun perlahan-lahan.Karena sandarannya menghilang, pemuda itu berdiri dan menatap kedatangan sang Naga api. Sebelum memijakkan kakinya di atas magma, Rani berkata dengan suara lembut nan tegasnya."Jika memperlihatkan kekuatanmu dari awal, dirimu tidak akan berada dalam ke
Akara yang sudah sangat lemas, ditambah dengan tekanan dari aura Naga yang begitu besar, membuat dirinya tersungkur memeluk lantai. Komo juga tidak jauh beda kondisinya, bahkan segera mengecil kembali. Akan tetapi, pemuda bernama Sin masih berdiri dengan tenang, ia tak bergeming sama sekali. Melirik Akara yang sudah tak berdaya, ia menyeringai dan menjentikkan jarinya. Sebuah portal muncul di lantai, tepat di bawah tubuh Akara dan menelannya beserta Komo. "Oii! blubp blubp blubp," teriakan Akara terdengar sekilas, disusul suara aneh seperti orang tenggelam.Rani yang masih duduk di singgasana seketika mencengkram erat sandarannya dan mengulurkan tangan lainnya ke depan. Ia mencengkram udara dan berkata."Kembalikan Regera!" Belenggu api di jantung Sin mulai mencengkram, namun … Crang!... Belenggu hancur, sontak membuat Rani berdiri. Naga api di atasnya seketika menyemburkan api, begitu besar bagaikan mesin roket hingga mencapai jauh di bawah gunung. Bisa dipastikan Sin tidak bisa ka
Kekaisaran Gletser AbadiSebuah tata surya dengan 3 planet yang tidak mendapatkan cahaya sedikitpun. Jika tata surya pada umumnya mengorbit pada suatu bintang (Matahari adalah nama sebuah bintang), Gletser Abadi mengelilingi sebuah lubang hitam kecil. Sebuah titik dengan gaya magnet yang sangat luar biasa, membuat ketiga planet tetap pada jalur orbitnya.Planet berwarna putih bersih, namun jika dilihat lebih dekat, itu bukan warna aslinya. Badai salju menyelimuti seluruh permukaan planet, dengan ketinggian ratusan meter dan dengan kecepatan angin ratusan kilometer per jam. Suhu dingin yang sangat ekstrim tanpa adanya cahaya, tidak mungkin ada kehidupan di permukaan planet. Namun jika masuk ke dalam planet yang sepenuhnya berupa gletser berwarna biru, dapat ditemukan sebuah gua raksasa. Pemukiman penduduk berada di sana, bangunan dan seluruh tempat terbuat dari Gletser es. Sama seperti di alam roh air, gletser es di sana bercahaya, menerangi seluruh sisi. Tidak ada tanah, namun tumbuh
Angkasa lepas yang seharusnya sunyi, sekarang begitu bising dengan dentuman keras tanpa henti. Robekan kehampaan seperti layar LCD yang dicakar cakar memenuhi angkasa, akibat kedua makhluk superior yang bertarung dengan sengit. Naga Es dan Ular Naga Angin saling mengejar, mengayunkan cakar, ekor dan sayap, bahkan menyemburkan kristal es dan bilah angin yang tajam. Kedua tubuh asli kedua Naga juga tidak jauh beda, mereka saling menyerang dan melesat ke arah planet Gletser Abadi. Badai salju yang menyelimuti planet telah berhamburan, tertiup menjauh hingga nampak permukaannya. Terlihat bukit-bukit rata yang diselimuti oleh salju, sedangkan pandangan langit di atasnya juga dipenuhi oleh robekan kehampaan. Seakan melukis udara dengan tinta hitam bercorak garis-garis yang tajam. Bagaikan 2 petir yang merambat di udara, keduanya melesat sangat cepat, dengan disusul ledakan saat kedua kilatan itu bertemu. Saat keduanya sibuk melayangkan serangan fisik, kristal es dan tebasan angin terus te
Friss yang sudah melesat dan hampir membelah tebalnya gletser es, tiba-tiba terhenti dan menoleh ke arah kerucut es raksasa yang dibuatnya. Ia terdiam seakan tidak yakin apa yang telah terjadi, benar seperti dugaannya, dinding es mulai retak. Dalam sekejap meledak, hancur berkeping-keping dan ledakan yang berupa amukan angin terus menyebar dengan cepat. Seakan sebuah balon yang terus membesar, menggerus gletser es yang menyelimuti planet, mencacah-cacah es layaknya sebuah agar-agar. …Gemuruh terdengar dari dalam planet, baik para warga yang terluka di pemukiman yang hancur tertimpa bongkahan es, maupun kedua belah pasukan di udara yang masih bertarung langsung mendongakkan kepalanya. Para pasukan berjubah yang sudah kelelahan, kini langsung terbelalak sangat ketakutan dan berteriak. "Tamat! Tamat sudah hidup kita!" Tepat saat itu langit seakan runtuh, menimpa mereka semua dalam sekejap. Angin telah mencacah semuanya.…Amukan angin meluas sangat cepat hingga dalam sekejap sudah me
Komo yang melihatnya langsung geleng-geleng heran dan berkata. "Beruntung kau bocah, waktu itu nona Lina saat bertemu denganmu tidak dalam kondisi prima!"Akara hanya tersenyum bangga, lalu kembali mengamati. Kepala Segoro mencair kembali, namun tubuhnya masih membeku."Kau dingin sekali, padahal sampai mengorbankan jutaan nyawa untuk memanggilku." Ia berkata sambil tersenyum penuh percaya diri. Akan tetapi, hal itu membuat Friss menatap tajam, bahkan seketika terbentuk cakar Naga dari kristal es di kedua tangannya. "Matamu buta?" ucapnya geram membuat Segoro tersenyum kecut dan bertanya. "Apa yang terjadi nona?""Zetes menyerangku, dia jadi budak para makhluk sialan itu!" Friss terlihat begitu geram, bahkan tanpa sadar energinya meluap, membuat serpihan es di sekitarnya jadi terselimuti oleh kristal es baru yang tajam. Melihat hal itu ia langsung menoleh ke arah dunia Gletser Abadi. Dari celah dunia yang terbuka, hawa dingin menyeruak masuk, membekukan pemukiman di pinggiran sana.
Tempat yang abstrak, berlatar belakang cahaya berbagai warna dari awan panas Nebula di kegelapan angkasa, Dewa Penempa membungkukkan badannya di hadapan tiga gumpalan bercahaya. Dengan sopan dan waspada, ia menjelaskan tentang pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi yang memojokkannya. "Jadi, apa maumu?" tanya salah satu leluhur. Sambil sedikit menunduk, Dewa Penempa menjawab dengan lembut. "Mohon maaf, Fraksi Cahaya Ilahi di mata warga sudah bisa dikatakan hancur, bahkan banyak masalah yang terus terjadi. Mungkin sudah seharusnya kepemimpinan Fraksi diganti.""Kondisikan klan Vasto, kami akan segera memanggilmu kembali!" ujar salah satu leluhur, dan Dewa Penempa segera melebur, digantikan dengan seorang pria bermahkota sayap emas. "Ronas memberi salam kepada leluhur!" Ia sedikit menunduk seperti yang dilakukan Dewa Penempa sebelumnya. "Ronas, tiga lentera jiwa tetua Fraksi telah padam, apa yang terjadi?!" Ronas menjawab dengan tenang.
"Regera, kau telah mengalahkanku!" Luce kembali terkekeh, tapi ia segera tersedak saat bilah pedang kayu mengganjal mulutnya. Sebutir pil melesat begitu saja memasuki tenggorokannya. "Tidak perlu kau sembuhkan lukaku!" seru Luce saat ganjalan di mulutnya terlepas. Namun, ia segera menyadari bahwa itu bukanlah pil penyembuhan. Segel belenggu langsung menyala di jantungnya. Melihat Luce tidak menunjukkan tanda-tanda melawan, sepasang pedang kayu segera melebur di udara. Ia lalu berteleport menuju para Dewa lainnya berada, disusul oleh kilatan cahaya emas yang membawa Luce. Ternyata kegaduhan terjadi. Pria bertanduk ranting menyandera Luwang, padahal tubuhnya telah babak belur penuh luka bakar. Cakar tajam telah melingkar di leher pemuda Sheva bertanduk emas, untung ditahan oleh bilah cakar di lengannya. Tangan lain juga menahan lengan Dilvo satunya. Dewa lain nampak ragu untuk bertindak, dan kedatangan Akara menjadi harapan untuk mereka. Namun,
Cukup lama awan panas Nebula memenuhi domain, hingga akhirnya, luapan energi berhenti, bahkan malah kembali ke titik ledakan. Para Dewa hanya bisa menyapu pandangan penuh kebingungan, dan dalam hitungan detik, mereka dapat melihat kegelapan lagi. Awan panas Nebula telah sepenuhnya terhisap. Seketika para Dewa tertegun melihat apa yang menghisap semua itu. Sebuah lubang hitam raksasa, yang terlihat cahaya di pinggirnya dan menggaris, membelahnya. Itu cahaya energi yang terhisap dari kesepuluh esensi surgawi. Daya hisap yang luar biasa yang dapat menelan cahaya, tidak heran jika kesepuluh esensi mulai bergerak. Mereka terhisap, membuat Akara segera melempar dua butir pil ke mulutnya dan menyalakan seluruh auranya. Aura Naga sejati, ranah Jiwa Suci dan aura Alkemis tingkat delapan. Ia langsung melakukan segel tangan. Energi pelindung segera terbentuk di sekitar Esensi surgawi, menjadi sepuluh pilar yang puncaknya mengurung Esensi surgawi. Kesepuluh pilar juga segera saling terhubung d
"Sialan kau Dilvo! Berani-beraninya kau mengusik jasad ayahku!" Luwang sangat geram saat melihat tubuh Dewa bertanduk emas setengah sabit, yang tidak lain adalah leluhur Raja Sheva. Di samping leluhur, Sheva bertanduk ranting langsung terkekeh. "Majulah kalian semua!" Dewa Farz segera mendekati Luwang dan dengan tatapan masih tertuju pada lawan mereka, ia lalu berkata. "Kau lawan Dilvo, biar aku yang menahan leluhur Raja Sheva. Tidak perlu memaksakan diri, tahan saja sampai tuan Regera menjalankan rencananya!" Farz lalu menoleh ke arah dua Dewa Fraksi lainnya. "Jika dua Dewa Sheva lainnya tidak bergerak, kalian tidak perlu ikut campur!" "Baik Dewa Farz!"Ketegangan terjadi pada kedua belah pihak, bahkan belum sempat melesat, dimensi di sekitar mereka melebar, seakan ditarik dari kedua sisi. Dalam sekejap, mereka melesat dengan kecepatan cahaya. Memasuki lubang cacing dalam kekosongan. Pertarungan tidak terlihat dari luar, ta
Dalam dimensi yang hampa dan hanya mendapatkan cahaya dari bintang neutron, titik berkumpulnya kesepuluh energi esensi surgawi. Pusaran energi berwarna emas telah menyala di belakang Akara dan di atasnya, ada lingkaran dengan ukuran lebih besar, memiliki pola rumit berwarna hitam. Aura ranah Jiwa Suci, ditambah aura Naga sejati yang menggelegar, memutar pelan hingga dimensi seakan tertarik energinya.Namun, itu tidak sebanding dengan apa yang ada di depannya. Ia bagaikan sebuah titik kecil dibandingkan sosok Naga raksasa yang tubuhnya berselimutkan cahaya. Keempat kaki berototnya melebar, dengan cakar tajam yang mencengkram dimensi. Sayapnya membentang tak terkira, dengan lekukan-lekukan yang tak kalah tajamnya. Lehernya meliuk, menurunkan kepalanya yang garang dengan deretan gigi dan tanduk tajam. Tepat di atas tulang hidungnya, Luce duduk jegang dan bersandar penuh keangkuhan. Melihat kesepuluh Esensi surgawi dan domain yang sangat luas, Dewa
Sebelum peperangan dengan Dewa klan Sheva, Dewa berpakaian emas mendatangi sebuah tempat yang dipenuhi reruntuhan melayang. Lempengan-lempengan batu beterbangan, tapi tak pernah sekalipun bertabrakan. Di wilayah yang terisolir dari reruntuhan melayang, ada sebuah portal. Bukan pusaran yang gelap, tapi pusaran putih keemasan penuh cahaya yang indah. Begitu memasukinya, ia langsung menyipitkan mata, tersorot oleh cahaya yang lebih terang. Saat mulai bisa beradaptasi, terlihatlah sebuah titik seperti matahari, tapi dengan luapan energi yang sangat dahsyat. "Inti Cahaya Primordial?!" gumamnya cukup terkejut, tapi segera menemukan keberadaan seseorang dalam kekosongan penuh cahaya itu. Pemuda tampan yang sedang bersila, dengan pakaian minim dari cahaya hingga tubuh atletisnya yang bersih terlihat. Namun, di antara keindahan itu, berserakan mayat yang tak terhitung jumlahnya. Aliran energi dari tubuh mereka keluar, menuju ke dalam tubuh Luce. Ia menghisap ene
"Maaf!" Ronas hanya bisa tertunduk merasa bersalah, lalu mulai menjelaskan keadaannya. Mendengar penjelasan panjang lebar, Serin segera menanggapi. "Keputusan di tangan anakku Regera!" "Anak?" Ronas malah merasa bingung dan Serin langsung menyadari bahwa pemimpin Fraksi telah termakan rumor. "Ronas, tidak mungkin kau mempercayai rumor 'kan?" "Itu... Lalu kenapa bisa memasuki peninggalan Dewa Penempa dan bagaimana dengan jiwanya?" Serin tersenyum penuh ketenangan sebelum berkata. "Tenang saja, pak tua itu bersama kami, hanya saja dia belum menyadari identitas asliku."...Deretan pilar-pilar besar yang berlapis emas, menjaga jalan konblok yang semakin naik seperti tangga raksasa. Di puncaknya, berdiri sepasang singgasana emas dengan latar birunya langit dan lautan awan di bawahnya. Dewa Penempa dan sang Maharani duduk di sana. Dewa Vasto bertubuh besar berotot dengan armor emas. Ada pula mahkota yang melayang di atasnya,
"Akara adalah anak kelima dari enam anak ayah, tapi maaf Mama Serin, sepertinya anak Akara akan menjadi cucu kalian yang pertama." Ia tersenyum penuh haru saat meraih potongan rambut tipis nan lembut dari dalam kotak. "Selamat untuk kalian, itu juga peringatan untukmu agar lebih berhati-hati kedepannya. Ada mereka yang menunggu kepulanganmu," nasihat wanita bertubuh mungil dari dalam dimensi, yang juga kebahagiaam turut terpancar di wajahnya....Saat pembicaraan Luwang dan Pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi mulai tenang di dalam ruangan, muncul kilatan listrik yang mengantar pemuda berjubah hitam. "Tuan Regera!" Pemimpin Fraksi bangkit dari sofa, tapi kedua pria Sheva langsung melesat di depan Akara, melindunginya. "Siapa dia?" tanya Akara dan segera dihawab oleh Lumpang."Pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi!"Pandangan Akara segera menelusuri tubuh kedua Dewa Fraksi, yang bukan bertubuh dari kelima ras Dewa, tapi layaknya manusia pad
Di dalam dimensi abstrak berwarna hitam bergaris putih-putih, Fraz, Dewa Fraksi dengan jubah putih berselimut perhiasan emas mendatangi pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi. "Farz menghadap pemimpin!" Ia menelangkupkan tangan dan membungkuk ke arah lempengan emas yang melayang di atas sana. Walau tidak menunjukkan penampilannya, pemimpin Fraksi segera menjawab. "Farz, aku dengar kau berselisih dengan Raja Sheva, Dilvo.""Benar Yang Mulia! Mereka menyandera anak saya, Zurrark Fam. Mereka tertipu oleh taktik adu domba yang dilakukan Regera!""Kau sudah mendengar kabar tentang siapa sebenarnya Regera?"Dewa Farz nampak gugup dan mengangkat wajahnya, menatap lempengan emas yang berputar dan menjawab. "Saya belum bisa memastikannya, tapi informasi yang beredar sesuai dengan dugaan.""Lalu, kau ingin menyinggung dua kekuatan besar sekaligus?""Maaf Yang Mulia! Tapi setidaknya saya harus menyelamatkan anak saya!" Energi men