Neraka, mungkin kata yang tepat untuk menyebut dunia yang gelap dan berselimutkan api. Memiliki awan yang terlihat kemerahan, menahan cahaya api agar tidak tertelan kegelapan langit. Tepat di bawah gunung berapi yang terus memuntahkan lelehan lava, kekacauan terjadi. Ribuan roh api berkerumun. Makhluk berupa gumpalan api berbentuk manusia dengan sepasang mata merah menyala.
"Manusia?" suara berat keluar dari mulut iblis api, makhluk yang sama dengan roh api, namun memiliki cakar tajam dan bagian wajah yang lengkap dan menakutkan. Para roh api menjaga jarak darinya, namun ada seorang manusia di depannya.Pemuda berumur 20 tahunan, jaket kulit hitam yang ia kenakan telah berlubang di berbagai tempat, namun tidak ada luka sedikitpun pada tubuhnya. Memiliki wajah tenang tanpa ekspresi, dengan rambut panjang yang disisir satu arah ke samping hingga menutupi jidat dan telinganya. Ia telah memasang kuda-kuda, sambil menggenggam sepasang pedang kayu hitam yang sudah mengkristal. Tanah yang ia pijak begitu gersang, bahkan diselimuti oleh api, namun tidak membakar tubuhnya sedikitpun."Akara, lebih baik menghindar, energiku sudah habis!" bisik seekor Drake, makhluk bertubuh layaknya Naga Eropa tanpa sayap, dengan barisan duri tajam dari kristal ungu di punggung hingga ekornya. Ukuran tubuhnya hanya sebesar tokek, bertengger di pundak tuannya."Apa yang kau lakukan Komo?" gumam Akara saat menyadari ada aliran energi melewati belakang punggungnya hingga menyentuh tanah."Bersiap kabur saja!"Akara lalu melirik perlahan ke samping, mencari celah di antara para roh api yang terlihat ketakutan. Sedangkan Iblis api sedikit memiringkan kepalanya ke kanan dan kiri, mengamati pemuda di depannya dengan seksama. Matanya kemudian menemukan sebuah titik kecil yang diselimuti kobaran api di dalam dada Akara."Energi yang begitu murni..." Ia terpukau hingga menjulurkan tangan, seakan ingin meraihnya. Akan tetapi...Jleg!... Tanah di bawahnya mencuat, bongkahan kristal keunguan menelangkup tubuhnya dari tiga sisi seperti kerucut. Momen itu digunakan Akara dengan baik, ia langsung melesat menjauh, meninggalkan hembusan angin yang menggulung api.Sedangkan Komo seakan sedang mengejan, menahan kristalnya agar tidak hancur. Dengan suara tertahan, ia berseru."Cepat pergi ke puncak gunung berapi! Energi di sana terlihat lebih pekat!""Aku juga tau!" Akara menatap lurus dan serius ke arah puncak gunung berapi, namun tidak kehilangan fokus akan lautan roh api yang ada di depannya. Makhluk yang hanya mengandalkan insting layaknya zombie, melesat dan menerjang ke arahnya. Pedang kayu hitamnya ia ayunkan begitu luwes, membelah tubuh roh api seperti sebuah roti.Krek!... Kristal yang menahan iblis api mulai retak, membuat Komo panik dan berteriak."Cepat Akara!"Namun beberapa saat kemudian... Crang!... Kristal hancur sepenuhnya, dibarengi tubuh Komo yang terkulai lemas di pundak tuannya. Iblis api mengaum, dengan serpihan kristal di sekitarnya yang berjatuhan dan bergetar akibat aumannya. Setelah itu ia menyapu pandangan, mencari keberadaan mangsanya. Melihat Akara yang menyerang roh api dan berlari menuju gunung, mata merahnya sontak melotot tajam dan kobaran api seketika menyelimuti tubuhnya."Jangan pergi ke tempat itu!" teriaknya sambil melompat lurus ke atas dan mengayunkan kepalan tangannya.Jwush!... Ia meluncur ke arah Akara bagaikan bola api. Menyadari iblis api mengejarnya, Akara menyentil tubuh kecil Komo hingga terlempar masuk ke tudung kepalanya, lalu melompat dan berlari di atas roh api. Walau pergerakannya jadi semakin cepat, namun tidak lebih cepat dari iblis api.Bomb!... Iblis api menghujam, membuat ledakan cukup besar hingga membuat para roh api terlempar. Wush, hembusan energi menerpa kepulan asap dan debu, memperlihatkan cekungan tanah dari serangannya. Akan tetapi, ternyata Akara berhasil meloloskan diri, ia berlari semakin dekat menuju lereng gunung. Hal itu membuat iblis api geram sekaligus resah, ia langsung berlari seperti orang panik dan berteriak."Jangan mendekatinya!"Pemuda itu tidak menggubrisnya, sedangkan Komo kembali merangkak perlahan di pundaknya. Akan tetapi... Wush!... Ada gelombang energi begitu kuat menerpa, hingga membuat Komo kembali terlempar."Portal?" ucap Akara seraya menoleh ke samping, tepat di pusat munculnya gelombang energi. Sebuah portal layaknya pusaran air yang gelap, dengan retakan kehampaan di sekitarnya. Ia langsung mengubah haluan, begitu juga dengan para roh api."Portal milikku!" Iblis api berteriak, dengan satu hentakan kuat membuatnya melesat lebih cepat. Hal itu membuat Komo yang kembali merangkak keluar jadi panik dan berteriak."Cepat bocah!""Berisik!" Ia melirik sekilas, melihat iblis api yang begitu cepat mendekat dan langsung mempercepat langkahnya. Portal kurang dari 10 meter di depannya, begitu juga iblis api di belakangnya yang sudah mengepalkan tangan."Portal itu..." Iblis api mengayunkan tangan ke belakang, membuat kobaran api berpusat di tangannya. "Milikku!" Ia memukul ke arah depan, mengincar Akara, namun pemuda itu sudah menyentuh portal.Brak!... Tanpa disangka, Akara terhentak seakan menabrak dinding transparan pada portal. Hal itu membuat pukulan yang dilayangkan iblis api, melesat tepat di pipinya. Ia langsung terpelanting, terlempar belasan meter menjauhi portal.Sedangkan Iblis api mendarat tepat di depan portal, mengusap pelan portal di depannya, lalu menoleh ke arah pemuda yang kesulitan berdiri di tanah tandus dan berkata."Aku ingin mengambil esensi pada jiwamu, namun portal kebebasan menungguku!" Ia lalu menoleh ke arah puncak gunung berapi dan berkata."Yang Mulia, saya persembahkan esensinya untuk anda!" Ia langsung melesat masuk dan portal segera mengecil hingga akhirnya lenyap.Kepergian iblis api ditambah kondisi Akara yang melemah, membuat para roh api segera melesat ke arahnya. Walaupun tertatih-tatih, pemuda berjaket hitam itu berusaha berjalan menuju gunung berapi. Pukulan tadi tidak menyebabkan luka bakar di pipinya, namun masih ada darah yang merembes di ujung bibirnya. Baru beberapa langkah, tubuhnya terhuyung dan pandangannya mulai kabur. Mengetahui ada yang aneh dengan tuannya, Komo langsung berteriak."Akara! Bertahanlah!" Ia terus memanggil namanya, namun lama kelamaan suaranya tidak terdengar lagi hingga akhirnya matanya menutup dan...Bruk!...****Di sebuah gua yang seluruh sisinya berupa gletser es kebiruan, seorang pria bertubuh kekar berlari terbirit-birit."Yang Mulia! Yang Mulia!" teriaknya sembari menoleh ke belakang dengan ketakutan. Akan tetapi, beberapa saat kemudian...Gleng!... Sesuatu menghantam tubuhnya dengan kuat, menyebabkan getaran hebat pada gua hingga membuat kristal es berjatuhan. Diselimuti kepulan kabut es yang perlahan mulai menghilang, berdirilah seseorang di tempat pria tadi. Tubuh kekar pria sebelumnya telah terbenam di dalam es, tepat di bawah kaki pemuda yang muncul. Seorang pemuda yang tengah menggendong gadis berpipi tembem. Jaket kulit hitam yang ia kenakan telah berlubang di beberapa tempat, memperlihatkan luka bakar pada tubuhnya. Darah segar bahkan menetes di bawahnya, bukan dari luka di tubuhnya, namun dari gadis di gendongannya. Gaun putihnya yang sederhana telah ternodai oleh darah dan dengan sebuah lubang besar, tepat di punggung hingga menembus perutnya.Tatapan mata Akara yang penuh amarah sekaligus kesedihan, tiba-tiba terbelalak saat melihat sosok yang ada di depannya. Tubuhnya gemetaran, bahkan sempat terhuyung dan kehilangan tenaga sesaat, namun segera berdiri tegap kembali dan mempererat pelukannya. Di depan sana ada seorang gadis cantik berambut putih, mengenakan gaun berwarna putih kebiruan. Dengan raut wajahnya yang terlihat acuh tak acuh, ia sedang memandangi wanita yang terangkat dalam cekikan tangan kanannya. Wanita yang juga berambut putih, namun mengenakan gaun layaknya api yang menyelimuti tubuhnya. Wajahnya pucat dan sama seperti gadis dalam pelukan pemuda itu, tidak ada tanda-tanda kehidupan darinya. Bibir pemuda itu berkedut, lalu terdengar suara yang bergetar saat ia mengucap."Sayang, apa yang kamu lakukan kepada Mama?"***"Hhaahh hahhh hahh!" Akara terbangun dengan napas yang tak beraturan dan keringat bercucuran di wajahnya. Tubuhnya terlentang, kedua tangan dan kakinya terikat pada altar batu berbentuk lingkaran dengan posisi berdiri. Setelah napasnya kembali teratur, ia lalu menyapu pandangan ke sekelilingnya. Ia berada di atas altar melingkar, tepat di atas kawah. Beberapa meter di depannya sudah kawah magma dengan api yang menari-nari, sedangkan lebih jauh lagi ada dinding tinggi layaknya tebing dan ketika melihat ke atas, nampaklah langit gelap dengan rona merah. Saat ia masih mencerna apa yang terjadi, tiba-tiba altar batu yang mengikat tubuhnya bergerak.Gleg!... Altar memutar dan berubah haluan. Ia begitu terbelalak saat melihat seekor ular Naga raksasa yang melingkar di pusat altar, mengelilingi sebuah singgasana yang diselimuti oleh api. Duduklah seorang wanita cantik yang mengenakan gaun merah panjang merumbai dan diselimuti oleh api. Tangan kirinya melipat di depan, menggenggam Komo si naga tanpa sayap. Tidak menyakitinya, bahkan tangan kanannya mengusap lembut kepala Komo.Sedangkan di sisi lain, Akara masih terbelalak, bahkan air mata mengalir di pipinya. Melihat wanita yang sama dengan wanita yang ia lihat di dalam ingatannya."Mama Rani?..."Ruangan dengan sofa dan televisi layaknya ruang tamu di dunia tekhnologi modern, sepasang kekasih sedang bercanda ria di sana. Suara gelak tawa keduanya mengisi ruangan yang cukup kecil itu, namun tiba-tiba terhenti. Getaran terjadi.Merasakan tanda-tanda layaknya gempa, mereka langsung bergegas keluar. Karena terburu-buru, mereka tidak menyadari adanya portal yang berada tepat di depan pintu. Walau sempat berpegang pada gagang pintu, namun daya hisap portal begitu kuat, membuat tangannya tergelincir dan terhisap portal. Tidak ada yang bisa keduanya lakukan selain saling memeluk agar tidak terpisah.Begitu sadar, sang gadis sudah berada di sebuah tempat yang sepenuhnya berwarna putih. Karena tidak menemukan keberadaan kekasih di sampingnya, ia langsung berdiri, menoleh dengan cepat ke segala sisi. "Al?... Al!... Al!?" teriaknya beberapa kali namun tak kunjung mendapatkan jawaban. Tidak hanya dirinya sendiri, di sana ada 4 orang wanita lainnya dan 5 laki-laki. Kondisi dan pakaian yang
Tepat di tengah altar yang dikelilingi oleh kawah, Akara duduk bersila di sana. Energi bagaikan selendang sutra yang begitu lembut, mengalir dari sekitar gunung menuju ke tengah kawah. Seluruh energi itu berkumpul pada sebuah tungku Alkimia, berbentuk oval dengan ukiran dan ornamen yang indah menyelimutinya. Tungku yang terbuat dari kristal hitam keunguan itu berdiri di atas kobaran api hitam pekat layaknya bayangan yang bergejolak. Pemuda berjaket hitam itu nampak begitu fokus mengendalikan aliran energi dan kobaran api dengan kedua tangannya yang menjulur ke depan. Tidak berselang lama, aliran energi yang tenang bagaikan selendang sutra menyebar, seakan ditahan agar tidak memasuki tungku. Beberapa saat kemudian, pilar energi mencuat dari tungku, menyeruak awan merah di atas sana, bahkan menghembuskan gelombang energi ke segala arah. Energi yang menggetarkan seluruh benda yang dilewatinya, disusul menyusutnya pilar energi dengan cepat, menyisakan lubang pada awan merah dan menampakk
Matahari telah tenggelam sepenuhnya di dalam cakrawala, namun masih menyisakan cahaya semburat merah yang mewarnai langit. Pantulannya cukup untuk memperlihatkan genangan darah yang sudah mulai mengering di tanah yang hancur. Daratan lapang yang cukup luas sudah tak karuan, mayat para prajurit berserakan dengan kondisi yang mengenaskan. Berbagai senjata tajam masih setia menemani pemiliknya, menjadi saksi bisu kengerian peperangan yang sebelumnya terjadi. Di antara lautan mayat, terlihat beberapa pergerakan. Bermodalkan obor untuk penerangan, mereka menarik pakaian dari salah satu mayat prajurit. Kain yang sudah berlumuran darah itu ia kepalkan di tangan, lalu mencelupkannya pada genangan darah di sekitarnya. Bagaikan kuas untuk melukis, ia menggunakan tanah layaknya kanvas. Simbol yang rumit terlukis satu persatu, berjejer di pinggir garis yang membentuk lingkaran sempurna. Kini giliran yang lainnya, ia berdiri di samping simbol, melakukan beberapa segel tangan dan memulai ritual.
Sangkar api yang sebelumnya dipenuhi oleh kekacaun dan suara bising, kini nampak tenang dan hanya terdengar suara gemuruh dari air terjun magma. Genangan magma mengalir cukup tenang, tanpa adanya riak yang begitu berarti. Tepat di ujung sangkar, pemuda bermata gelap duduk jegang dan bersandar pada jeruji api. Genangan magma tidak bisa menjangkaunya, seakan ada benteng transparan yang mengitarinya. Walau telah melewati pertarungan panjang semalaman, tidak ada luka sedikitpun di tubuhnya, bahkan kemeja hitamnya masih begitu rapi layaknya orang kantoran.Saat itulah wanita bergaun api muncul di atas sangkar dan menjentikkan jari lentiknya. Jeruji api memudar, melebur dengan udara terhembus angin lembut saat tubuhnya turun perlahan-lahan.Karena sandarannya menghilang, pemuda itu berdiri dan menatap kedatangan sang Naga api. Sebelum memijakkan kakinya di atas magma, Rani berkata dengan suara lembut nan tegasnya."Jika memperlihatkan kekuatanmu dari awal, dirimu tidak akan berada dalam ke
Akara yang sudah sangat lemas, ditambah dengan tekanan dari aura Naga yang begitu besar, membuat dirinya tersungkur memeluk lantai. Komo juga tidak jauh beda kondisinya, bahkan segera mengecil kembali. Akan tetapi, pemuda bernama Sin masih berdiri dengan tenang, ia tak bergeming sama sekali. Melirik Akara yang sudah tak berdaya, ia menyeringai dan menjentikkan jarinya. Sebuah portal muncul di lantai, tepat di bawah tubuh Akara dan menelannya beserta Komo. "Oii! blubp blubp blubp," teriakan Akara terdengar sekilas, disusul suara aneh seperti orang tenggelam.Rani yang masih duduk di singgasana seketika mencengkram erat sandarannya dan mengulurkan tangan lainnya ke depan. Ia mencengkram udara dan berkata."Kembalikan Regera!" Belenggu api di jantung Sin mulai mencengkram, namun … Crang!... Belenggu hancur, sontak membuat Rani berdiri. Naga api di atasnya seketika menyemburkan api, begitu besar bagaikan mesin roket hingga mencapai jauh di bawah gunung. Bisa dipastikan Sin tidak bisa ka
Kekaisaran Gletser AbadiSebuah tata surya dengan 3 planet yang tidak mendapatkan cahaya sedikitpun. Jika tata surya pada umumnya mengorbit pada suatu bintang (Matahari adalah nama sebuah bintang), Gletser Abadi mengelilingi sebuah lubang hitam kecil. Sebuah titik dengan gaya magnet yang sangat luar biasa, membuat ketiga planet tetap pada jalur orbitnya.Planet berwarna putih bersih, namun jika dilihat lebih dekat, itu bukan warna aslinya. Badai salju menyelimuti seluruh permukaan planet, dengan ketinggian ratusan meter dan dengan kecepatan angin ratusan kilometer per jam. Suhu dingin yang sangat ekstrim tanpa adanya cahaya, tidak mungkin ada kehidupan di permukaan planet. Namun jika masuk ke dalam planet yang sepenuhnya berupa gletser berwarna biru, dapat ditemukan sebuah gua raksasa. Pemukiman penduduk berada di sana, bangunan dan seluruh tempat terbuat dari Gletser es. Sama seperti di alam roh air, gletser es di sana bercahaya, menerangi seluruh sisi. Tidak ada tanah, namun tumbuh
Angkasa lepas yang seharusnya sunyi, sekarang begitu bising dengan dentuman keras tanpa henti. Robekan kehampaan seperti layar LCD yang dicakar cakar memenuhi angkasa, akibat kedua makhluk superior yang bertarung dengan sengit. Naga Es dan Ular Naga Angin saling mengejar, mengayunkan cakar, ekor dan sayap, bahkan menyemburkan kristal es dan bilah angin yang tajam. Kedua tubuh asli kedua Naga juga tidak jauh beda, mereka saling menyerang dan melesat ke arah planet Gletser Abadi. Badai salju yang menyelimuti planet telah berhamburan, tertiup menjauh hingga nampak permukaannya. Terlihat bukit-bukit rata yang diselimuti oleh salju, sedangkan pandangan langit di atasnya juga dipenuhi oleh robekan kehampaan. Seakan melukis udara dengan tinta hitam bercorak garis-garis yang tajam. Bagaikan 2 petir yang merambat di udara, keduanya melesat sangat cepat, dengan disusul ledakan saat kedua kilatan itu bertemu. Saat keduanya sibuk melayangkan serangan fisik, kristal es dan tebasan angin terus te
Friss yang sudah melesat dan hampir membelah tebalnya gletser es, tiba-tiba terhenti dan menoleh ke arah kerucut es raksasa yang dibuatnya. Ia terdiam seakan tidak yakin apa yang telah terjadi, benar seperti dugaannya, dinding es mulai retak. Dalam sekejap meledak, hancur berkeping-keping dan ledakan yang berupa amukan angin terus menyebar dengan cepat. Seakan sebuah balon yang terus membesar, menggerus gletser es yang menyelimuti planet, mencacah-cacah es layaknya sebuah agar-agar. …Gemuruh terdengar dari dalam planet, baik para warga yang terluka di pemukiman yang hancur tertimpa bongkahan es, maupun kedua belah pasukan di udara yang masih bertarung langsung mendongakkan kepalanya. Para pasukan berjubah yang sudah kelelahan, kini langsung terbelalak sangat ketakutan dan berteriak. "Tamat! Tamat sudah hidup kita!" Tepat saat itu langit seakan runtuh, menimpa mereka semua dalam sekejap. Angin telah mencacah semuanya.…Amukan angin meluas sangat cepat hingga dalam sekejap sudah me
Tempat yang abstrak, berlatar belakang cahaya berbagai warna dari awan panas Nebula di kegelapan angkasa, Dewa Penempa membungkukkan badannya di hadapan tiga gumpalan bercahaya. Dengan sopan dan waspada, ia menjelaskan tentang pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi yang memojokkannya. "Jadi, apa maumu?" tanya salah satu leluhur. Sambil sedikit menunduk, Dewa Penempa menjawab dengan lembut. "Mohon maaf, Fraksi Cahaya Ilahi di mata warga sudah bisa dikatakan hancur, bahkan banyak masalah yang terus terjadi. Mungkin sudah seharusnya kepemimpinan Fraksi diganti.""Kondisikan klan Vasto, kami akan segera memanggilmu kembali!" ujar salah satu leluhur, dan Dewa Penempa segera melebur, digantikan dengan seorang pria bermahkota sayap emas. "Ronas memberi salam kepada leluhur!" Ia sedikit menunduk seperti yang dilakukan Dewa Penempa sebelumnya. "Ronas, tiga lentera jiwa tetua Fraksi telah padam, apa yang terjadi?!" Ronas menjawab dengan tenang.
"Regera, kau telah mengalahkanku!" Luce kembali terkekeh, tapi ia segera tersedak saat bilah pedang kayu mengganjal mulutnya. Sebutir pil melesat begitu saja memasuki tenggorokannya. "Tidak perlu kau sembuhkan lukaku!" seru Luce saat ganjalan di mulutnya terlepas. Namun, ia segera menyadari bahwa itu bukanlah pil penyembuhan. Segel belenggu langsung menyala di jantungnya. Melihat Luce tidak menunjukkan tanda-tanda melawan, sepasang pedang kayu segera melebur di udara. Ia lalu berteleport menuju para Dewa lainnya berada, disusul oleh kilatan cahaya emas yang membawa Luce. Ternyata kegaduhan terjadi. Pria bertanduk ranting menyandera Luwang, padahal tubuhnya telah babak belur penuh luka bakar. Cakar tajam telah melingkar di leher pemuda Sheva bertanduk emas, untung ditahan oleh bilah cakar di lengannya. Tangan lain juga menahan lengan Dilvo satunya. Dewa lain nampak ragu untuk bertindak, dan kedatangan Akara menjadi harapan untuk mereka. Namun,
Cukup lama awan panas Nebula memenuhi domain, hingga akhirnya, luapan energi berhenti, bahkan malah kembali ke titik ledakan. Para Dewa hanya bisa menyapu pandangan penuh kebingungan, dan dalam hitungan detik, mereka dapat melihat kegelapan lagi. Awan panas Nebula telah sepenuhnya terhisap. Seketika para Dewa tertegun melihat apa yang menghisap semua itu. Sebuah lubang hitam raksasa, yang terlihat cahaya di pinggirnya dan menggaris, membelahnya. Itu cahaya energi yang terhisap dari kesepuluh esensi surgawi. Daya hisap yang luar biasa yang dapat menelan cahaya, tidak heran jika kesepuluh esensi mulai bergerak. Mereka terhisap, membuat Akara segera melempar dua butir pil ke mulutnya dan menyalakan seluruh auranya. Aura Naga sejati, ranah Jiwa Suci dan aura Alkemis tingkat delapan. Ia langsung melakukan segel tangan. Energi pelindung segera terbentuk di sekitar Esensi surgawi, menjadi sepuluh pilar yang puncaknya mengurung Esensi surgawi. Kesepuluh pilar juga segera saling terhubung d
"Sialan kau Dilvo! Berani-beraninya kau mengusik jasad ayahku!" Luwang sangat geram saat melihat tubuh Dewa bertanduk emas setengah sabit, yang tidak lain adalah leluhur Raja Sheva. Di samping leluhur, Sheva bertanduk ranting langsung terkekeh. "Majulah kalian semua!" Dewa Farz segera mendekati Luwang dan dengan tatapan masih tertuju pada lawan mereka, ia lalu berkata. "Kau lawan Dilvo, biar aku yang menahan leluhur Raja Sheva. Tidak perlu memaksakan diri, tahan saja sampai tuan Regera menjalankan rencananya!" Farz lalu menoleh ke arah dua Dewa Fraksi lainnya. "Jika dua Dewa Sheva lainnya tidak bergerak, kalian tidak perlu ikut campur!" "Baik Dewa Farz!"Ketegangan terjadi pada kedua belah pihak, bahkan belum sempat melesat, dimensi di sekitar mereka melebar, seakan ditarik dari kedua sisi. Dalam sekejap, mereka melesat dengan kecepatan cahaya. Memasuki lubang cacing dalam kekosongan. Pertarungan tidak terlihat dari luar, ta
Dalam dimensi yang hampa dan hanya mendapatkan cahaya dari bintang neutron, titik berkumpulnya kesepuluh energi esensi surgawi. Pusaran energi berwarna emas telah menyala di belakang Akara dan di atasnya, ada lingkaran dengan ukuran lebih besar, memiliki pola rumit berwarna hitam. Aura ranah Jiwa Suci, ditambah aura Naga sejati yang menggelegar, memutar pelan hingga dimensi seakan tertarik energinya.Namun, itu tidak sebanding dengan apa yang ada di depannya. Ia bagaikan sebuah titik kecil dibandingkan sosok Naga raksasa yang tubuhnya berselimutkan cahaya. Keempat kaki berototnya melebar, dengan cakar tajam yang mencengkram dimensi. Sayapnya membentang tak terkira, dengan lekukan-lekukan yang tak kalah tajamnya. Lehernya meliuk, menurunkan kepalanya yang garang dengan deretan gigi dan tanduk tajam. Tepat di atas tulang hidungnya, Luce duduk jegang dan bersandar penuh keangkuhan. Melihat kesepuluh Esensi surgawi dan domain yang sangat luas, Dewa
Sebelum peperangan dengan Dewa klan Sheva, Dewa berpakaian emas mendatangi sebuah tempat yang dipenuhi reruntuhan melayang. Lempengan-lempengan batu beterbangan, tapi tak pernah sekalipun bertabrakan. Di wilayah yang terisolir dari reruntuhan melayang, ada sebuah portal. Bukan pusaran yang gelap, tapi pusaran putih keemasan penuh cahaya yang indah. Begitu memasukinya, ia langsung menyipitkan mata, tersorot oleh cahaya yang lebih terang. Saat mulai bisa beradaptasi, terlihatlah sebuah titik seperti matahari, tapi dengan luapan energi yang sangat dahsyat. "Inti Cahaya Primordial?!" gumamnya cukup terkejut, tapi segera menemukan keberadaan seseorang dalam kekosongan penuh cahaya itu. Pemuda tampan yang sedang bersila, dengan pakaian minim dari cahaya hingga tubuh atletisnya yang bersih terlihat. Namun, di antara keindahan itu, berserakan mayat yang tak terhitung jumlahnya. Aliran energi dari tubuh mereka keluar, menuju ke dalam tubuh Luce. Ia menghisap ene
"Maaf!" Ronas hanya bisa tertunduk merasa bersalah, lalu mulai menjelaskan keadaannya. Mendengar penjelasan panjang lebar, Serin segera menanggapi. "Keputusan di tangan anakku Regera!" "Anak?" Ronas malah merasa bingung dan Serin langsung menyadari bahwa pemimpin Fraksi telah termakan rumor. "Ronas, tidak mungkin kau mempercayai rumor 'kan?" "Itu... Lalu kenapa bisa memasuki peninggalan Dewa Penempa dan bagaimana dengan jiwanya?" Serin tersenyum penuh ketenangan sebelum berkata. "Tenang saja, pak tua itu bersama kami, hanya saja dia belum menyadari identitas asliku."...Deretan pilar-pilar besar yang berlapis emas, menjaga jalan konblok yang semakin naik seperti tangga raksasa. Di puncaknya, berdiri sepasang singgasana emas dengan latar birunya langit dan lautan awan di bawahnya. Dewa Penempa dan sang Maharani duduk di sana. Dewa Vasto bertubuh besar berotot dengan armor emas. Ada pula mahkota yang melayang di atasnya,
"Akara adalah anak kelima dari enam anak ayah, tapi maaf Mama Serin, sepertinya anak Akara akan menjadi cucu kalian yang pertama." Ia tersenyum penuh haru saat meraih potongan rambut tipis nan lembut dari dalam kotak. "Selamat untuk kalian, itu juga peringatan untukmu agar lebih berhati-hati kedepannya. Ada mereka yang menunggu kepulanganmu," nasihat wanita bertubuh mungil dari dalam dimensi, yang juga kebahagiaam turut terpancar di wajahnya....Saat pembicaraan Luwang dan Pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi mulai tenang di dalam ruangan, muncul kilatan listrik yang mengantar pemuda berjubah hitam. "Tuan Regera!" Pemimpin Fraksi bangkit dari sofa, tapi kedua pria Sheva langsung melesat di depan Akara, melindunginya. "Siapa dia?" tanya Akara dan segera dihawab oleh Lumpang."Pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi!"Pandangan Akara segera menelusuri tubuh kedua Dewa Fraksi, yang bukan bertubuh dari kelima ras Dewa, tapi layaknya manusia pad
Di dalam dimensi abstrak berwarna hitam bergaris putih-putih, Fraz, Dewa Fraksi dengan jubah putih berselimut perhiasan emas mendatangi pemimpin Fraksi Cahaya Ilahi. "Farz menghadap pemimpin!" Ia menelangkupkan tangan dan membungkuk ke arah lempengan emas yang melayang di atas sana. Walau tidak menunjukkan penampilannya, pemimpin Fraksi segera menjawab. "Farz, aku dengar kau berselisih dengan Raja Sheva, Dilvo.""Benar Yang Mulia! Mereka menyandera anak saya, Zurrark Fam. Mereka tertipu oleh taktik adu domba yang dilakukan Regera!""Kau sudah mendengar kabar tentang siapa sebenarnya Regera?"Dewa Farz nampak gugup dan mengangkat wajahnya, menatap lempengan emas yang berputar dan menjawab. "Saya belum bisa memastikannya, tapi informasi yang beredar sesuai dengan dugaan.""Lalu, kau ingin menyinggung dua kekuatan besar sekaligus?""Maaf Yang Mulia! Tapi setidaknya saya harus menyelamatkan anak saya!" Energi men