"Bagaimana ini bisa?" tanya Rusly panik.Dia sudah mengacak-acak sprey berwarna hijau. Bantal juga dilempar begitu saja ke sembarang tempat."Tidak ... Argh ...!" teriak Rusly. Dia tidak menyangka kalau rencana bisa gagal."Ada apa, Pak?" tanya perawat yang baru saja lewat dari lorong. Perawakannya tinggi semampai. Hidung mancung dan berlesung pipi."Pa-pasien di kamar ini kapan out dari ruangan sini?" tanya Rusly tergugu. Dia memejamkan mata lalu membukanya. Wajahnya kusut seperti pakaian yang tidak disetrika."Baru saja ... hm, maksud saya, baru tiga jam yang lalu," jawab perawat sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.Rusly mencium aroma yang tidak sedap. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan perawat dari gelagatnya."Ka-kamu tidak berbohong 'kan?!" cecar Rusly dengan mengarahkan wajah perawat itu bertentangan tepat di mukanya. Manik matanya kini sudah saling adu pandang dengan sorot mata tajam.Perawat itu menghela napas lalu membuangnya dengan kasar. Dia hanya menggeleng
Penguna jalan raya yang melintas ada yang peduli sebagian tidak peduli. Mobil yang ada di depan Ririn kini penyok karena ditabrak Ririn."Cepat kamu turun dari dalam mobilmu!" paksa pengemudi yang baru saja ditabrak Ririn.Ririn bersembunyi di bawah setir kemudi. Dia sangat takut kalau dirinya dihajar sama pria yang memiliki tubuh six pack dan memiliki wajah rupawan.'Waw ... sepertinya dia bisa jadi mangsa baruku. Tidak ... aku harus menemukan ide biar bisa lolos dari amukannya dan bisa memeluk tubuhnya yang sangat didambakan,' ucap Ririn dalam hati."Kalau kamu tidak mau keluar dengan baik-baik. Aku tidak akan segan-segan memecahkan kaca mobilmu. Kamu kira aku main-main!" seru pria itu.Ririn mencoba menenangkan pikiran. Dia duduk tegak lalu memejamkan mata untuk sekedar berdamai dengan keadaan. Setelah perasaannya merasa aman. Dirinya membuka mata lalu menatap ke arah jendela yang dari tadi digedor-gedor.Ririn menekan tombol menurunkan lacak jendela. Dia menatap ke arah pria itu.
Ririn mendengus kesal. Ternyata Prasetyo tidak seperti yang dulu bisa dimanfaatkan.'Aku tahu kamu mau memangsamu,' ucapnya dalam hati. Prasetyo melihat penampilan Ririn dari ujung kaki sampai ujung rambut. Nafsunya bergerilya untuk menikmati tubuh mantannya itu."Kenapa kamu mentapku seperti itu?" tanya Ririn.Pakaian Ririn memang kurang bahan. Dia tidak sadar hal itu.Kamu bertanya? Kamu bertanya-tanya?" tanya Prasetyo sambil mengukir senyum. Dia sudah tidak tahan lagi menahan gejolak asmara yang sudah menggebu."Dasar pria tidak tahu malu. Kamu kira semudah itu untuk mendapatkan diriku!" Ririn menonjol perut Prasetyo. Pria yang ingin menikmati tubuhnya Ririn meringis kesakitan.Ririn masuk ke dalam mobil lalu menyalakan mobil. Dia sangat cepat memasang sabuk pengaman lalu menekan tuas gas. Dia memundurkan mobil sedikit lalu pergi membelah jalan melarikan diri. Untung saja mobil yang dibawa matic. Jadi tidak perlu naik turun gigi.Ririn merasa aman dari terkaman nafsu Prasetyo. Kal
Part 53: Bu Aisyah CurhatUsahaku sudah cukup sekuat tenaga untuk mencegah agar Bu Aisyah tidak memberikan hartanya begitu saja sama Rusly. Walaupun itu aku tahu, kasih seorang ibu sepanjang galah. Namun, kalau anak seperti dia tidak pantas mendapat harta warisan. Apalagi dia anak pungut."Aku tahu kamu pasti kecewa. Cuma aku mau memberikan itu kepadanya. Kehadirannya selama ini sudah cukup bagiku. Bahkan aku tidak bisa membayar kesalahan yang selama ini kuperbuat kepadanya. Kalau Rusly mengetahui kalau dirinya ...," ucap Bu Aisyah pelan dan tiba-tiba terjeda sambil terisak pilu.Aku heran kenapa beliau bisa tergugu bahkan meratap tanpa sebab. Aku mengelus punggung tangannya. Hati ini tidak sanggup untuk melihat beliau diusia senja bersedih."Aku sudah melakukan kesalahan besar dan bahkan aku tidak yakin kalau Rusly mau memaafkanku ketika dia tahu kalau dirinya aku rebut paksa dari ibu dan ayah kandungnya."Bu Aisyah memeluk tubuhku. Aku membalasnya dengan sigap. Kuelus punggungnya de
Aku menggeleng. Hatiku menjerit ketika mendengar curhatan ibu mertuaku. Rasanya sangat miris ketika mengingat-ingat kelakuan yang dia lakukan."Kalau kamu tidak mau menemaniku, aku bisa sendiri kok. Lagi pula ... ini salah dan dosa yang pernah kuperbuat. Mau tidak mau, aku harus menyelesaikannya dengan sendiri.""Apa ibu sudah memikirkan semua konsekuensinya?"Ya.""Apa ibu tidak takut dipenjara? Atau dihujat warga kalau ibu tidak punya hati?""Itu sudah konsekuensi yang harus kuterima. Sudah terlalu lama aku hidup dalam lumuran dosa. Mungkin ini saatnya aku menggugurkan dosa-dosa itu secara perlahan."Bu Aisyah mencoba bangkit dari atas kursi rotan. Dirinya mencoba melangkah, tubuhnya masih belum kuat menopang untuk berdiri di kaki sendiri. Akhirnya beliau timbang. Untung saja aku sigap menolongnya sebelum terjerembab ke lantai."Ibu belum sehat betul. Kenapa memaksa kehendak untuk pergi sendirian mencari tahu ayah kandungnya Rusly?" ucapku sembari memapah beliau."Mau sampai kapan d
Rusly tidak tahu harus bagaimana lagi untuk menyelamatkan Ririn. Dia sudah gelisah memikirkan untuk mendapat tanda tangan ibunya agar harta warisan jatuh ke tangannya. Malah ditambah lagi masalah Ririn diculik dan mau disentuh pria lain.Tidak tahu belakangan ini Rusly sangat mencintai dan menyayangi Ririn. Padahal dia hanya sebagai wanita pelengkap untuk melampiaskan hasratnya pada kali itu ketika bertengkar di dalam bahtera rumah tangganya.Sebuah pesan chat mendarat di ponsel milik Rusly. Dia tersadar akan nada dering dan getaran notif itu. Tanpa buang-buang waktu, dirinya mengambil gawainya di atas dashboard lalu membuka pesan itu.[Jika istrimu tidak mau kusentuh, cepat tebus rasa bersalahnya dengan mengganti rugi mobilku secepatnya! Aku akan memberimu waktu lima belas menit dari pesan ini terkirim dan sudah terbaca olehmu. Jika tidak, aku akan menikmati lekukan setiap inci pada tubuhnya.][Berapa banyak uang yang akan harus kekekuarkan untuk menebus kesalahan istriku?!]Rusly me
Part 54: Pengakuan Berakibat FatalAku merasa curiga melihat Bu Aisyah pergi melangkah ke belakang rumah. Gelagatnya seperti maling yang sedang berusaha sembunyi agar tidak ketahuan sama pemilik rumah.'Angkat dulu panggilanku, Rusly!' ucap Bu Aisyah dalam hati. Sudah berkali-kali dirinya mencoba menghubungi, tapi hasilnya nihil.Aku terus memantau pergerakan ibu mertuaku. Kubiarkan dirinya berkembang sesuai usia dan semamunya.[Ini siapa?!] jawab pria setelah sambungan telepon terhubung.Bu Aisyah merasa senang setelah panggilan telepon tersambung. Dia masih gagok untuk menjawab pertanyaan lawan bicaranya lewat sambungan telepon.[Kalau tidak ada perlu, nggak usah mengangguku dengan cara memiskol-miskol!] ketus Rusly dengan memasang wajah kecewa.Bu Aisyah memastikan keadaan rumah aman atau tidak. Dengan sorot mata pelan menyapu ke arah pintu. Tidak ada sama sekali orang lain yang menguping atau mengintip. Bu Aisyah menghela napas lega. Dia memejamkan mata lalu mencoba berpikir jerni
Hening ... tidak ada suara sama sekali kecuali deru napas yang membuyarkan keheningan. Aku menajamkan pendengaran. Aku takut kalau Bu Aisyah sudah mengetahui keberadaanku. Kucoba menyapu tempat beliau berdiri. Ternyata tidak ada. Padahal aku masih terjaga dan tidak ada sama sekali memejamkan mata. 'Kemana ibu mertuaku pergi?' gumanku dalam hati."Nggak usah terlalu mencampuri urusanku dengan Rusly, Nesya. Aku mau taubat dan ingin sekali menebus kesalahan besar yang pernah aku perbuat."Aku terkejut ketika mendengar suara itu. Kuedarkan pandangan ke asal suara itu. Ternyata beliau sudah berdiri tepat di belakangku. "Bu-bukannya aku mau ikut campur, Bu. Namun, aku khawatir masa depan ibu bakalan carut-marut untuk membiayai hidup. Apalagi Rusly mengetahui kalau ibu membelinya dengan terpaksa.""Aku tahu konsekuensi yang harus kuterima. Mau sampai kapan aku harus menanggung dosa memisahkan seorang anak dengan ibu dan ayah kandungnya?"Aku menghela napas lalu memeluk tubuh ringkihnya. B
"Apa?!" tanya Rusly tidak sabaran. "Jangan sesekali memberikan harapan palsu kepadaku," imbuhnya dengan menahan emosi."Siapa juga yang memberikan harapan palsu?" ucapku dengan sedikit menaikkan nada. Aku pergi melangkah. Walaupun sebenarnya aku sok jual mahal. Itu semua aku lakukan agar dia merasa sadar dan terpukul."Kamu mau ke mana?!" tanyanya mendongak. Fokusnya gagal mengirim doa. Dia bangkit lalu berlari mengejarku."Itu bukan urusanmu!" jawabku membentak. "Lepaskan tanganku!" jelasku kembali.Aku pergi begitu saja. Cuaca hari ini sangat panas sehingga aku takut hitam terbakar oleh sinar sang mentari."Lebih baik aku mati bunuh diri daripada lama-lama mati tersiksa untuk mendapatkan cinta dan kasihmu yang ke dua kali.""Silakan kalau kamu tidak punya iman dan Tuhan!" jawabku datar. Walaupun aku sudah jauh dari tempat dia berpijak.Argh!Rusly mengacak-acak rambutnya kembali. Lelah?! jelas dirinya pasti lelah. Kecewa?! Jelas sekali. Sudah berulang kali dia menelan kekecewaan. Na
Wajahnya Rusly berubah masam mendengar perkataanku. Aku tersenyum bahagia setelah dia berubah pias."Sungguh terlalu kamu, Nesya!" rutuknya tidak terima. Aku ini mantan suamimu dan akan menjadi suamimu lagi sebentar lagi," imbuhnya menjelaskan. Dia mengepalkan tangan hendak menamparku. Namun, tangannya hanya mengambang di udara."Kenapa tidak jadi memukulku!" bentakku dengan menatapnya menyalang. "Ayo pukul sebelum Pencipta Alam Semesta mengutuk kamu benar-benar seonggok bangkai," imbuhku kembali."Kalau bukan kamu itu perempuan yang hendak akan kuperjuangkan, tangan ini pasti sudah landing di wajahmu itu," jawab Rusly dengan nada kesal. Dia berkacak pinggang lalu membuang napas kasar. "Aku tidak habis pikir kamu bisa berkata seperti itu," jelasnya dengan memijit kening yang tidak gatal."Maaf aku harus pergi dari sini." Aku melangkah meninggalkan dia sendiri di plataran parkiran.Silakan!" balasnya dengan kesal. Sangking kesalnya, dia memukul udara begitu saja. Argh! Dia berpikir s
"Tolong bebaskan aku dari sini, Nesya!" rengek Lala ketika aku sedang membesuknya di kantor polisi. Aku merasa kasihan setelah melihat keadaannya. Padahal baru tiga hari dia dikurung penampilannya sudah tidak terurus laksana orang gila."Hukum tetap berlaku. Aku tidak akan mengeluarkanmu dari sini sebelum jatuh tempo." Aku harus berkata sejujurnya. Tidak ada manusia yang rela anaknya mati tanpa salah. Apalagi kepergian Dhea masih membekas di dalam ingatan. "Belum lagi bahtera rumah tangga yang selama ini aku idamkan hancur karena kedatanganku ke dalam istana surgaku," jelasku dengan nada datar. "Aku berkata jujur atas semua perbuatanku," serunya dengan mengeluarkan cairan bening dari sudut retinanya. "Aku tidak mau berakhir usiaku di sini, Nesya," imbuhnya menjelaskan dengan raut wajah menyesal. Suasana di ruang besuk hening. Hanya dentuman jarum jam dinding yang terdengar."Aku mohon, Nesya!" pintanya mengiba. Aku tidak merasa kasihan apa yang yang terjadi kepada dirinya. Selama in
Suasana mulai reda. Dia melihatku dengan sorot mata tajam. Namun, aku mencoba santai dan terus memperhatikan setiap gerak yang dia lakukan. Aku tidak boleh lengah apalagi jatuh ke dalam perangkapnya."Jangan kamu merasa menang dalam pergulatan ini!" ucapnya menyindir. Ekor retinanya terus memantau."Mau kalah, mau menang itu urusan Allah." Aku menjawab begitu saja. Kulirik ke arah sekitar tidak ada sama sekali yang mau melerai. Padahal sudah adu mulut dengan nada tinggi. Bahkan hampir saja jambak-jambakan. "Apa aku harus menguburmu hidup-hidup biar kamu tidak bisa lagi menggangguku?" imbuhku menyindirnya."Apa aku tidak salah dengar?!" jawabnya sinis. Dia merasa menang. Idenya kini muncul. "Buktinya saja, aku mampu mengirim Dhea ke alam kubur dalam durasi satu bulan."Deg!Hatiku merasa tersayat bahkan teriris."Apakah kamu tidak curiga atas kepergian buah hatimu dengan Rusly?"Aku berpikir sejenak. Dan ingin menjebaknya kembali."Aa-apa?" tanyaku terbata pura-pura. Aku merogoh ponsel
Hari terus berlalu. Aku merenungi nasib malang yang tidak pernah aku bayangkan. 'Apakah aku harus menerima Rusly kembali? Atau menjanda selamanya?'Tidak tahu harus berbuat apa. Aku semakin bingung dan frustasi. Aku memejamkan mata sejenak untuk sekedar menghilangkan rasa resah dan gelisah."Mau sampai kapan kamu menjanda, Nesya?" tanya Rusly setengah membentak. Pertanyaannya sangat tidak enak didengar telingaku. Aku hanya bisa diam dan membisu dikala pertanyaan saat itu terlontar dari tepi bibirnya.Sakit, perih dan bahkan ngilu begitu kentara ketika aku mengingat semua sifat buruk mantan suamiku.Daripada aku takut putus asa membuat otak tidak bisa mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Aku beranjak dari atas dipan lalu menaut wajah di depan cermin lemari hias."Aku butuh healing sepertinya," ucapku setelah melihat rias wajahku sudah pas dan netral. Aku mengambil nakas di atas nakas yang sedang di cas. Kucopot chatger-nya lalu memesan transportasi online dengan semangat. Ti
"Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu, Rusly!" sindirku dengan nada naik dua oktaf."Rasa empati dan simpatiku sudah hilang semenjak kamu bermesraan dengan pria lain dan disaksikan oleh kedua bola mataku!" kilahnya seolah mau menang sendiri. Aku saja muak mendengar ucapannya. Seolah-olah dirinya lah yang paling suci di atas muka bumi ini."Kalau kamu hilang rasa empati ataupun simpati. Kenapa masih berdiri di situ!" ejekku dengan melipat ke dua tangan lalu diletak sejajar dengan dada. "Bilang saja kamu masih kangen dan ingin berusaha agar kembali ke dalam pelukanmu," imbuhku menyindir.Kepalanya mulai nyut-nyutan dan tidak bisa diajak kompromi untuk mencari jawaban. 'Sial! Bisa saja dia mengetahui apa yang sedang aku alami,' ucapnya bermonolog."Kalau kamu memang tidak suka dan merasa jijik melihatku. Aku rasa kamu tidak akan kembali menemui ku laksana seperti sekarang ini," kilahku sembari mengejek dirinya.Aku memastikan kalau dirinya pasti sudah mati kutu. Buktinya saja, dia
Setelah Pak Bambang merogoh dompet guna untuk mencari tahu identitas korban, aku masih terus terisak dan tidak sabar menunggu hasil yang sesungguhnya. Tidak butuh waktu lama, Pak Bambang sudah mendapat dompet. Dia berdiri tegak lalu membuka dompet yang baru saja dia temukan di dalam kantong celana. "Apakah nama suami ibu bernama Anton?" tanyanya dengan sedikit menatap ke arahku.Aku tidak terlalu menyimak apa yang ditanyakan beliau. "Bo-boleh diulangi lagi?" tanyaku ragu dengan wajah mendongak. "Apakah nama suami ibu Anton?" tanyanya ke dua kalinya dengan nada sedikit kesal.Setelah kupertajam pedengaranku, aku sudah mendapat jawaban pasti. "Be-berarti ii-ini bukan suami saya," jawabku terbata. Aku baru sadar sudah menangisi jasad pria lain. Bisa saja itu suami wanita lain yang sedang menunggu kehadirannya di tengah istana syurga yang dibangun bersama wanita yang tidak lain ibu dari buah hatinya."Kalau nama suami ibu bukan Anton, berarti jasad yang sudah engkau tangis bukan suami at
Dua hari setelah kejadian itu, aku selalu teringat kepada Rusly. Resah dan gelisah kini menghantui diriku. Habis main sosial media sambil rebahan aku bangkit lalu melangkah ke arah dapur. Lapar, tetapi tidak selera makan. Kembali lagi aku ayunkan telapak kaki ke arah teras sampai aku merasa bosan dan jenuh.Ponselku yang berdering tidak aku hiraukan sangking tidak enaknya perasaan dan badanku. 'Apakah Rusly sudah memeletku?' batinku sembari menautkan wajah di cermin. Aku memperhatikan pelan-pelan mukaku di kaca. Padahal kaca itu bukan cermin melainkan kaca jendela. 'Semoga saja tidak ada sangkut pautnya dengan Rusly.' Aku mencoba mengambil handuk yang di jemur di halaman belakang. Resah dan gelisah semakin tidak karuan membuatku ingin segera mandi.Setelah kuraih handuk. Kuayunkan langkah kaki menuju kamar. Di atas dipan layar ponselku sudah kedap-kedip dan nada dering sudah terdengar jelas. Segera aku meraih kotak persegi itu lalu lamat-lamat kuamati. 'Nomor baru memanggil,' ucapku
"Maaf kalau aku sudah lancang menggendongmu dan membawa dirimu ke rumah kontrakanku," Aku terbangun dan ternyata aku hanya mimpi. Andai saja semua itu benar, aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Kusapu pandangan ke arah sekitar. Senyum simpul lahir di sudut bibirnya, Rusly."Apa yang terjadi kepadaku?! Kenapa aku ada di sini?!" amukku seolah tidak terima kalau pria yang tidak mahram itu menyentuhku."Tadi kamu pingsan di pusaranya, Dhea. Untung saja kunci mobilku ketinggalan di sana tepat di batu nisannya, Dhea." Rusly mencoba menjelaskan dengan berkata jujur. Walaupun sebenarnya dia ragu dengan kejujurannya tidak kuterima."Pasti itu semua akal busukmu 'kan?!" sergahku tidak terima."Aa-aku berkata jujur! Aku tidak ada maksud jahat walaupun terlintas di dalam otakku ide jahat untuk menjebakmu," selanya dengan spontan. Dia terkejut kenapa bisa berkata seperti itu."Maksud ide jahat itu apa?!" tanyaku mengintrogasi. Aku mulai duduk dan menyandrkan tubuh ke tepi ranjang.Rusly mulai