Part 54: Pengakuan Berakibat FatalAku merasa curiga melihat Bu Aisyah pergi melangkah ke belakang rumah. Gelagatnya seperti maling yang sedang berusaha sembunyi agar tidak ketahuan sama pemilik rumah.'Angkat dulu panggilanku, Rusly!' ucap Bu Aisyah dalam hati. Sudah berkali-kali dirinya mencoba menghubungi, tapi hasilnya nihil.Aku terus memantau pergerakan ibu mertuaku. Kubiarkan dirinya berkembang sesuai usia dan semamunya.[Ini siapa?!] jawab pria setelah sambungan telepon terhubung.Bu Aisyah merasa senang setelah panggilan telepon tersambung. Dia masih gagok untuk menjawab pertanyaan lawan bicaranya lewat sambungan telepon.[Kalau tidak ada perlu, nggak usah mengangguku dengan cara memiskol-miskol!] ketus Rusly dengan memasang wajah kecewa.Bu Aisyah memastikan keadaan rumah aman atau tidak. Dengan sorot mata pelan menyapu ke arah pintu. Tidak ada sama sekali orang lain yang menguping atau mengintip. Bu Aisyah menghela napas lega. Dia memejamkan mata lalu mencoba berpikir jerni
Hening ... tidak ada suara sama sekali kecuali deru napas yang membuyarkan keheningan. Aku menajamkan pendengaran. Aku takut kalau Bu Aisyah sudah mengetahui keberadaanku. Kucoba menyapu tempat beliau berdiri. Ternyata tidak ada. Padahal aku masih terjaga dan tidak ada sama sekali memejamkan mata. 'Kemana ibu mertuaku pergi?' gumanku dalam hati."Nggak usah terlalu mencampuri urusanku dengan Rusly, Nesya. Aku mau taubat dan ingin sekali menebus kesalahan besar yang pernah aku perbuat."Aku terkejut ketika mendengar suara itu. Kuedarkan pandangan ke asal suara itu. Ternyata beliau sudah berdiri tepat di belakangku. "Bu-bukannya aku mau ikut campur, Bu. Namun, aku khawatir masa depan ibu bakalan carut-marut untuk membiayai hidup. Apalagi Rusly mengetahui kalau ibu membelinya dengan terpaksa.""Aku tahu konsekuensi yang harus kuterima. Mau sampai kapan aku harus menanggung dosa memisahkan seorang anak dengan ibu dan ayah kandungnya?"Aku menghela napas lalu memeluk tubuh ringkihnya. B
Bu Aisyah tidak menyangka kalau aku bisa berkata seperti itu. "Ka-kamu tidak salah 'kan berkata seperti itu?" tanyanya lirih.Aku melangkah pergi begitu saja. Padahal niatku mau bicara empat mata dengannya makanya aku membawa beliau kemari. Ternyata itu semua sia-sia dan sudah terlanjur basah.Aku berkata seperti itu karena sudah sakit hati. Seolah-olah aku ini laksana orang lain yang mau menjerumuskannya jatuh ke dalam jurang nan nista. Ternyata menyesal selalu datang terlambat. Kalau di awal itu namanya pertemuan.****Di sudut pojok kamar Ririn menggeliat. Sang arunika sudah menyapa bumi begitu lembut dan mesra. Dia merasa nyaman dengan tidur begitu nyenyak. Sudah lama dirinya tidak merilekskan tubuhnya seperti ini. Biasanya dia tidur di atas jam dua puluh tiga lewat. Kalau kemarin malam lebih cepat dari biasanya dan lebih lama bangun."Kamu sudah bangun?" tanya Prasetyo sambil mengulum senyum simpul. "Silakan sarapan terlebih dahulu," imbuhnya kembali.Ririn meregangkan tubuhnya
Part 55: Hari Rusly Luluh"Ternyata kamu manusia berkepala ular. Selicik-liciknya kancil, ternyata lebih licik lagi kamu," umpat Rusly tidak terima kalau Ririn telah bermain api di belakangnya."Aku seperti ini karena ulahmu. So ... jangan salahkan aku yang telah berpaling darimu."Ririn bergelayut manja di bahu Prasetyo. Melihat pemandangan yang tidak enak dipandang mata, membuat Rusly naik pitam."Ok ... ok .... Aku sudah mengerti dan paham apa maksud dan tujuanmu. Sekarang aku akan memberikan talak kepada benalu yang selalu menganggapku laksana mesin ATM pencetak uang. Aku akan memastikan dirimu menyesal setelah hati kecilmu mengetahui kalau perbuatanmu itu salah."Rusly pergi berlalu begitu saja. Selera makannya ambyar dan dadanya masih sesak.Cobaan kini datang bertubi-tubi. Rusly merasa lelah dengan semua ini. Ketika dirinya telah dibuang laksana seonggok sampah, kini dia telah menyesal menyia-nyiakan yang ada."Aku sangat merindukanmu, Nesya,' ucapnya lirih sambil terus melangk
"Karena kamu sudah mengetahui semuanya. Aku itu cuma akting dan tidak benar apa yang kamu lihat?" jawab Ririn mencoba berkelit.Masih saja kamu bisa berkata akting. Dasar wanita durjana! Semua cara kamu lakukan demi mendapatkan apa yang kamu inginkan," hardik Rusly kepada Ririn. Prasetyo hanya diam dan terus fokus menikmati sarapan pagi.Rusly melangkah pergi. Selera makannya tidak ada lagi. Di dalam otaknya hanya bertemu kepada ibunya.Sesampainya di dalam kamar. Rusly mengemasi pakaian dan barang-barangnya. Dia tidak sabar untuk bertemu dengan wanita yang merawat dan membesarkannya. Walaupun perempuan itu bukan ibu kandungnya.Tidak perlu buang-buang waktu, Rusly sudah cek out dari hotel. Namun, pikirannya masih dihantui oleh kejadian yang ada. Perempuan yang didambakan kini berpaling darinya.'Nesya ... apa kabar denganmu?' tanya Rusly dalam hati. Dia bermonolog setelah sekian lama tidak merasa nelangsa.Rusly menginjak pedal gas menuju alamat yang sesuai dikirim ibunya. Sepanjang
Aku terkejut melihat bulir bening mengalir dari sudut matanya.'Masa pria yang selama ini aku kenal tidak pernah meneteskan air mata dan nyatanya pada detik ini dia mewek. Ada apa gerangan?'Aku mencoba menampar pipiku sebelah kanan. Ternyata sakit. Berarti pemandangan yang kulihat saat ini tidak mimpi dan nyata adanya."Rusly," sapa Bu Aisyah. Ternyata mertuaku mendengar tamparanku sehingga dia keluar dan memastikan suara apa yang baru saja terdengar. Rusly melihat ke arah suara itu. Dia mengusap bulir bening itu. Rasa malu dan sedih kini bercampur menjadi satu.Rusly bergeming dan tidak mampu berkata-kata. Hanya isak tangis yang dapat dia lakukan pada saat ini."Ayo masuk," ajak Bu Aisyah. Aku melangkah mendahului Rusly masuk ke dalam rumah. Sementara Rusly masih saja mematung.Aku menghempaskan bobotku di atas kursi yang terbuat dari rotan. Kuedarkan pandangan melihat tamu yang baru saja datang. Aku tidak mengenali siapa mereka sesungguhnya.Bu Aisyah mencari keberadaan Rusly. Te
"Tenangkan pikiranmu! Aku melakukan ini bukan karena tanpa alasan.""Cukup!" sela Rusly sambil terisak cengek. Baru kali ini dia mewek seumur hidupnya. "Kalau aku ini anakmu, apa buktinya?! Terus kenapa kamu tega melakukan itu kepadaku?" tanyanya kembali dengan gemetar. Sorot matanya sangat menggambarkan emosi yang membara. Siapa pun itu orangnya pasti bakalan marah. Sejak lahir bahkan bisa dikatakan masih merah sampai usia tiga puluh dua tahun berpisah dengan ibu kandung dan ayah kandung. Hatinya mencelos tidak karuan."Pada saat itu ayahmu tidak sanggup membayar biaya operasi dan berobatku," jawabnya menunduk malu. Rasa bersalah lahir dalam dirinya. Namun, itu dia lakukan bukan juga maunya. "Lagi pula, seandainya pun kamu hidup bersama aku dan ayahmu, aku rasa kamu tidak sebahagia ini," imbuhnya menimpali"Bahagia kamu katakan?!" bentaknya seolah tidak terima. "Bahagia seperti apa yang kamu katakan?" Rusly menunjuk wajah ibunya. "Lebih bagus aku hidup apa adanya daripada bergelimang
Part 56: Menebus Dosa"Coba kamu berada di posisiku! Apakah kamu bisa menerima kalau dirimu dipisahkan secara paksa dengan ibu kandung sendiri?!" bentak Rusly kepada Bu Aisyah pertanda tidak terima. Kemudian sorot matanya yang tajam kini diarahkan ke wajah wanita yang melahirkannya. Namun tidak pernah merawat dan menyusuinya sama sekali. Rusly menyapu ke arah Bu Aisyah kembali. Rasa dendam dan benci kini lahir di dalam dirinya. "Apakah kalian tidak punya hati atau perasaan sehingga tega memisahkanku begitu saja?!"Aku hanya menunduk sambil mencari ide untuk mencoba meredam emosinya, Rusly. Walau bagaimanapun itu, pasti ada alasan tersendiri kenapa tragedi yang tidak diinginkan bisa terjadi.Bu Aisyah hanya tergugu dan terisak. Retinanya yang mulai berembun melahirkan bulir bening. Hati tak kuasa untuk sekedar menahan air mata itu. Sesekali dia menghapus air matanya yang sudah terlanjur jatuh dari kedua sudut matanya."Kenapa kamu hanya diam saja?!" dampratnya seolah tidak sabar ingin
"Apa?!" tanya Rusly tidak sabaran. "Jangan sesekali memberikan harapan palsu kepadaku," imbuhnya dengan menahan emosi."Siapa juga yang memberikan harapan palsu?" ucapku dengan sedikit menaikkan nada. Aku pergi melangkah. Walaupun sebenarnya aku sok jual mahal. Itu semua aku lakukan agar dia merasa sadar dan terpukul."Kamu mau ke mana?!" tanyanya mendongak. Fokusnya gagal mengirim doa. Dia bangkit lalu berlari mengejarku."Itu bukan urusanmu!" jawabku membentak. "Lepaskan tanganku!" jelasku kembali.Aku pergi begitu saja. Cuaca hari ini sangat panas sehingga aku takut hitam terbakar oleh sinar sang mentari."Lebih baik aku mati bunuh diri daripada lama-lama mati tersiksa untuk mendapatkan cinta dan kasihmu yang ke dua kali.""Silakan kalau kamu tidak punya iman dan Tuhan!" jawabku datar. Walaupun aku sudah jauh dari tempat dia berpijak.Argh!Rusly mengacak-acak rambutnya kembali. Lelah?! jelas dirinya pasti lelah. Kecewa?! Jelas sekali. Sudah berulang kali dia menelan kekecewaan. Na
Wajahnya Rusly berubah masam mendengar perkataanku. Aku tersenyum bahagia setelah dia berubah pias."Sungguh terlalu kamu, Nesya!" rutuknya tidak terima. Aku ini mantan suamimu dan akan menjadi suamimu lagi sebentar lagi," imbuhnya menjelaskan. Dia mengepalkan tangan hendak menamparku. Namun, tangannya hanya mengambang di udara."Kenapa tidak jadi memukulku!" bentakku dengan menatapnya menyalang. "Ayo pukul sebelum Pencipta Alam Semesta mengutuk kamu benar-benar seonggok bangkai," imbuhku kembali."Kalau bukan kamu itu perempuan yang hendak akan kuperjuangkan, tangan ini pasti sudah landing di wajahmu itu," jawab Rusly dengan nada kesal. Dia berkacak pinggang lalu membuang napas kasar. "Aku tidak habis pikir kamu bisa berkata seperti itu," jelasnya dengan memijit kening yang tidak gatal."Maaf aku harus pergi dari sini." Aku melangkah meninggalkan dia sendiri di plataran parkiran.Silakan!" balasnya dengan kesal. Sangking kesalnya, dia memukul udara begitu saja. Argh! Dia berpikir s
"Tolong bebaskan aku dari sini, Nesya!" rengek Lala ketika aku sedang membesuknya di kantor polisi. Aku merasa kasihan setelah melihat keadaannya. Padahal baru tiga hari dia dikurung penampilannya sudah tidak terurus laksana orang gila."Hukum tetap berlaku. Aku tidak akan mengeluarkanmu dari sini sebelum jatuh tempo." Aku harus berkata sejujurnya. Tidak ada manusia yang rela anaknya mati tanpa salah. Apalagi kepergian Dhea masih membekas di dalam ingatan. "Belum lagi bahtera rumah tangga yang selama ini aku idamkan hancur karena kedatanganku ke dalam istana surgaku," jelasku dengan nada datar. "Aku berkata jujur atas semua perbuatanku," serunya dengan mengeluarkan cairan bening dari sudut retinanya. "Aku tidak mau berakhir usiaku di sini, Nesya," imbuhnya menjelaskan dengan raut wajah menyesal. Suasana di ruang besuk hening. Hanya dentuman jarum jam dinding yang terdengar."Aku mohon, Nesya!" pintanya mengiba. Aku tidak merasa kasihan apa yang yang terjadi kepada dirinya. Selama in
Suasana mulai reda. Dia melihatku dengan sorot mata tajam. Namun, aku mencoba santai dan terus memperhatikan setiap gerak yang dia lakukan. Aku tidak boleh lengah apalagi jatuh ke dalam perangkapnya."Jangan kamu merasa menang dalam pergulatan ini!" ucapnya menyindir. Ekor retinanya terus memantau."Mau kalah, mau menang itu urusan Allah." Aku menjawab begitu saja. Kulirik ke arah sekitar tidak ada sama sekali yang mau melerai. Padahal sudah adu mulut dengan nada tinggi. Bahkan hampir saja jambak-jambakan. "Apa aku harus menguburmu hidup-hidup biar kamu tidak bisa lagi menggangguku?" imbuhku menyindirnya."Apa aku tidak salah dengar?!" jawabnya sinis. Dia merasa menang. Idenya kini muncul. "Buktinya saja, aku mampu mengirim Dhea ke alam kubur dalam durasi satu bulan."Deg!Hatiku merasa tersayat bahkan teriris."Apakah kamu tidak curiga atas kepergian buah hatimu dengan Rusly?"Aku berpikir sejenak. Dan ingin menjebaknya kembali."Aa-apa?" tanyaku terbata pura-pura. Aku merogoh ponsel
Hari terus berlalu. Aku merenungi nasib malang yang tidak pernah aku bayangkan. 'Apakah aku harus menerima Rusly kembali? Atau menjanda selamanya?'Tidak tahu harus berbuat apa. Aku semakin bingung dan frustasi. Aku memejamkan mata sejenak untuk sekedar menghilangkan rasa resah dan gelisah."Mau sampai kapan kamu menjanda, Nesya?" tanya Rusly setengah membentak. Pertanyaannya sangat tidak enak didengar telingaku. Aku hanya bisa diam dan membisu dikala pertanyaan saat itu terlontar dari tepi bibirnya.Sakit, perih dan bahkan ngilu begitu kentara ketika aku mengingat semua sifat buruk mantan suamiku.Daripada aku takut putus asa membuat otak tidak bisa mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Aku beranjak dari atas dipan lalu menaut wajah di depan cermin lemari hias."Aku butuh healing sepertinya," ucapku setelah melihat rias wajahku sudah pas dan netral. Aku mengambil nakas di atas nakas yang sedang di cas. Kucopot chatger-nya lalu memesan transportasi online dengan semangat. Ti
"Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu, Rusly!" sindirku dengan nada naik dua oktaf."Rasa empati dan simpatiku sudah hilang semenjak kamu bermesraan dengan pria lain dan disaksikan oleh kedua bola mataku!" kilahnya seolah mau menang sendiri. Aku saja muak mendengar ucapannya. Seolah-olah dirinya lah yang paling suci di atas muka bumi ini."Kalau kamu hilang rasa empati ataupun simpati. Kenapa masih berdiri di situ!" ejekku dengan melipat ke dua tangan lalu diletak sejajar dengan dada. "Bilang saja kamu masih kangen dan ingin berusaha agar kembali ke dalam pelukanmu," imbuhku menyindir.Kepalanya mulai nyut-nyutan dan tidak bisa diajak kompromi untuk mencari jawaban. 'Sial! Bisa saja dia mengetahui apa yang sedang aku alami,' ucapnya bermonolog."Kalau kamu memang tidak suka dan merasa jijik melihatku. Aku rasa kamu tidak akan kembali menemui ku laksana seperti sekarang ini," kilahku sembari mengejek dirinya.Aku memastikan kalau dirinya pasti sudah mati kutu. Buktinya saja, dia
Setelah Pak Bambang merogoh dompet guna untuk mencari tahu identitas korban, aku masih terus terisak dan tidak sabar menunggu hasil yang sesungguhnya. Tidak butuh waktu lama, Pak Bambang sudah mendapat dompet. Dia berdiri tegak lalu membuka dompet yang baru saja dia temukan di dalam kantong celana. "Apakah nama suami ibu bernama Anton?" tanyanya dengan sedikit menatap ke arahku.Aku tidak terlalu menyimak apa yang ditanyakan beliau. "Bo-boleh diulangi lagi?" tanyaku ragu dengan wajah mendongak. "Apakah nama suami ibu Anton?" tanyanya ke dua kalinya dengan nada sedikit kesal.Setelah kupertajam pedengaranku, aku sudah mendapat jawaban pasti. "Be-berarti ii-ini bukan suami saya," jawabku terbata. Aku baru sadar sudah menangisi jasad pria lain. Bisa saja itu suami wanita lain yang sedang menunggu kehadirannya di tengah istana syurga yang dibangun bersama wanita yang tidak lain ibu dari buah hatinya."Kalau nama suami ibu bukan Anton, berarti jasad yang sudah engkau tangis bukan suami at
Dua hari setelah kejadian itu, aku selalu teringat kepada Rusly. Resah dan gelisah kini menghantui diriku. Habis main sosial media sambil rebahan aku bangkit lalu melangkah ke arah dapur. Lapar, tetapi tidak selera makan. Kembali lagi aku ayunkan telapak kaki ke arah teras sampai aku merasa bosan dan jenuh.Ponselku yang berdering tidak aku hiraukan sangking tidak enaknya perasaan dan badanku. 'Apakah Rusly sudah memeletku?' batinku sembari menautkan wajah di cermin. Aku memperhatikan pelan-pelan mukaku di kaca. Padahal kaca itu bukan cermin melainkan kaca jendela. 'Semoga saja tidak ada sangkut pautnya dengan Rusly.' Aku mencoba mengambil handuk yang di jemur di halaman belakang. Resah dan gelisah semakin tidak karuan membuatku ingin segera mandi.Setelah kuraih handuk. Kuayunkan langkah kaki menuju kamar. Di atas dipan layar ponselku sudah kedap-kedip dan nada dering sudah terdengar jelas. Segera aku meraih kotak persegi itu lalu lamat-lamat kuamati. 'Nomor baru memanggil,' ucapku
"Maaf kalau aku sudah lancang menggendongmu dan membawa dirimu ke rumah kontrakanku," Aku terbangun dan ternyata aku hanya mimpi. Andai saja semua itu benar, aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Kusapu pandangan ke arah sekitar. Senyum simpul lahir di sudut bibirnya, Rusly."Apa yang terjadi kepadaku?! Kenapa aku ada di sini?!" amukku seolah tidak terima kalau pria yang tidak mahram itu menyentuhku."Tadi kamu pingsan di pusaranya, Dhea. Untung saja kunci mobilku ketinggalan di sana tepat di batu nisannya, Dhea." Rusly mencoba menjelaskan dengan berkata jujur. Walaupun sebenarnya dia ragu dengan kejujurannya tidak kuterima."Pasti itu semua akal busukmu 'kan?!" sergahku tidak terima."Aa-aku berkata jujur! Aku tidak ada maksud jahat walaupun terlintas di dalam otakku ide jahat untuk menjebakmu," selanya dengan spontan. Dia terkejut kenapa bisa berkata seperti itu."Maksud ide jahat itu apa?!" tanyaku mengintrogasi. Aku mulai duduk dan menyandrkan tubuh ke tepi ranjang.Rusly mulai