'Akankah aku mereguk warisan ini dengan mengikhlaskan kehidupanku berpisah dengan ibu kandung?' Rusly meratapi nasibnya yang malang. Netranya kini berembun seolah akan turun hujan lebat dari tepi sudut retinanya."Aa-aku tidak akan menandatangani surat ini. Aku akan melaporkan kamu kepada pihak berwajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu, Aisyah!" amuk Rusly dengan wajah memerah."Kalau kamu mau menjebloskanku ke dalam jeruji besi, silakan!" balas Bu Aisyah dengan tegar. Dia meneguk salivanya dengan berat. Kalau kamu mau mengikuti amarahmu, aku juga bisa menuntutmu balik dengan cara memaksa kamu untuk mengembalikan semua biaya selama ini."Bu Aisyah mematikan cakapnya, Rusly. Dia terpaksa berkata seperti itu karena ulah anak yang selama ini dirawat penuh dengan kasih sayang."Rusly –," tegur perempuan tua renta itu terjeda. Dia hendak memeluk tubuh anaknya, malah ditepis Rusly dengan sigap. "Aku tahu kamu pasti membenciku dan Bu Aisyah. Aku melakukannya karena bukan tanpa alasa
"Apa pun itu keputusan yang kamu lontarkan ... itu hakmu. Aku hanya bisa pasrah untuk menerima taqdir yang ada."Perempuan itu membasahi bibirnya lalu meneguk salivanya. "Rusly –," ucap Bu Aisyah lirih. Pria yang selama ini dirawat dengan penuh kasih sayang menyapu ke arahnya. "Aku sudah tidak tahu lagi harus berkata apa. Semua permasalahan yang dijelaskan ibu kandungmu sudah jelas dan itulah kenyataannya yang ada. Tidak ada yang ditutup-tutupi ataupun dimanipulasi."Tiba-tiba, Rusly mengayunkan langkah kakinya menghampiri Bu Aisyah."Aku merawatmu penuh kasih sayang. Bahkan sudah mengangggap dirimu sebagai anak kandung walaupun bukan terlahir dari rahimku. Janganlah kamu berpikiran aku atau pun Bu Larasati –," ucapnya terjeda."Siapa Larasati?!" potong Rusly dengan menatap manik mata Bu Aisyah tajam."Te-tega bahkan sampai hati untuk memisahkanmu dengannya," imbuhnya melanjutkan pembicaraannya yang sempat terjeda tanpa menjawab pertanyaan Rusly."Tolong katakan siapa Larasati!" bent
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 57: Terpaksa Melakukan ItuRusly sudah tidak tahu harus bagaimana. Kehidupannya sangat miris jika diingat. "Lebih bagus aku nggak usah ketemu sama ibu kandungku daripada seperti ini," ucap Rusly spontan. Sorot matanya menyalang."Kenapa kamu bisa berkata seperti itu?" seruku. Aku tidak terima kalau pria yang terlahir dari rahim seorang wanita berkata seperti itu. Walaupun perempuan yang telah melahirkannya seperti itu, tidak selayaknya dan sepantasnya laki-laki itu berkata kepada ibu kandungnya. Dadaku bergemuruh, larva emosi kini membara di dalam jiwa."Aku tidak sudih dilahirkan seorang wanita pengecut seperti dia!" amuk Rusly tidak terima."Kalau aku tahu kehidupanku seperti ini. Aku juga tidak mau memilih jalan hidup yang menerpa tanpa perasaan." Larasati buka mulut, dia tidak terima perkataan anaknya seolah memojokkan Larasati sebagai akar permasalahan yang dihadapinya. "Nggak usah sok suci dan naif! Aku tahu kamu pasti senang dalam derita
Bukan ada niat mau mengungkit ataupun menyindir. Dia berkata agar Rusly paham kondisi ibu kandungnya pada saat itu. Ternyata praduga yang terlahir di dalam benaknya salah besar."Aku rasa tidak ada seorang ibu yang sampai hati memisahkan buah hatinya yang masih merah karena keadaan ekonomi." Rusly tidak terima apapun itu alasannya atau apa pun itu. Walau bagaimanapun itu keadaannya, dia tetap tidak terima."Kalau kamu tidak sanggup menafkahi buah hatimu. Nggak usah kamu nikah dan buat anak!" cecar Rusly dengan sorot mata menyalang.Bu Aisyah dan Larasati tercengang mendengar perkataan Rusly. Sementara aku hanya mampu mengelus dada sambil mengucap istighfar berkali-kali dalam hati."Asal kamu tahu. Tidak ada seorang manusia terlahir seperti ini," cibirku mencoba mematikan cakap Rusly. Rusly mengarahkan pandangannya kepadaku dengan mata menyalang. "Siapapun itu orang. Aku pasti jamin tidak akan ada yang mau," imbuhnya dengan menantang pandangan mantan suaminya itu."Itu sebabnya sebelu
Bukan ada niat mau mengungkit ataupun menyindir. Dia berkata agar Rusly paham kondisi ibu kandungnya pada saat itu. Ternyata praduga yang terlahir di dalam benaknya salah besar."Aku rasa tidak ada seorang ibu yang sampai hati memisahkan buah hatinya yang masih merah karena keadaan ekonomi." Rusly tidak terima apapun itu alasannya atau apa pun itu. Walau bagaimanapun itu keadaannya, dia tetap tidak terima."Kalau kamu tidak sanggup menafkahi buah hatimu. Nggak usah kamu nikah dan buat anak!" cecar Rusly dengan sorot mata menyalang.Bu Aisyah dan Larasati tercengang mendengar perkataan Rusly. Sementara aku hanya mampu mengelus dada sambil mengucap istighfar berkali-kali dalam hati."Asal kamu tahu. Tidak ada seorang manusia terlahir seperti ini," cibirku mencoba mematikan cakap Rusly. Rusly mengarahkan pandangannya kepadaku dengan mata menyalang. "Siapapun itu orang. Aku pasti jamin tidak akan ada yang mau," imbuhnya dengan menantang pandangan mantan suaminya itu."Itu sebabnya sebelu
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 58: Alergi BedakDi belahan bumi lain, Ririn teringat kepada Rusly. "Aku kok kangen menikmati belaian hangat, Rusly."Ririn meraih ponselnya di atas nakas. Perlahan dia mencari kontak Rusly di ponselnya. Tidak berapa lama, Ririn memanggil. Suara dering terdengar. Sesekali Ririn menoleh ke arah jendela kamar.Sinar mentari masuk ke dalam kamarnya membuat Ririn menyipitkan mata. "Astoge ... ternyata sudah siang." Ririn bergelayut manja bangkit dari atas dipan. Panggilan telepon yang dia lakukan tidak ada membuahkan hasil. "Yes! Aku ada ide."Ririn merasa senang ketika ide itu terlintas di dalam benaknya. Perlahan dia melangkah menuju kamar mandi. Misinya kali ini harus jelas dan tidak boleh gagal.Tidak butuh waktu lama, dia sudah usai membersihkan tubuhnya dari bau yang menyengat. Segera dia membungkus tubuhnya dengan handuk kimono. Setelah itu keluar dari kamar mandi menuju meja rias. Baru beberapa saat mengeringkan rambut dengan hair dryer, po
"Kamu tidak bercanda 'kan?!" tanyaku dengan penuh selidik. Aku sudah trauma terlalu percaya kepada orang. Meskipun itu orang dekat. Suamiku saja bisa berkhianat, konon orang jauh.Alunan musik mengiri makan malam. Sesekali aku menyapu pandangan ke arah sembarang. Tidak tahu kenapa, pikiranku terasa tidak tenang. "Ya," jawabnya sekenanya. Manik matanya menyimpan sejuta makna. Aku terus menerka dan menelaah apa maksud dari semua gerak-geriknya. "Syukurlah kalau begitu."Aku membersihkan bibirku dari bekas makanan. Suasana hening. Seketika aku mencoba memainkan ponselku. Terlihat sebuat status baru. Mataku hampir saja mau keluar dari sarang.Kucoba memperbesar status itu sambil nge-pause untuk menelaah narasi yang ada di dalam status WhatsApp itu.'Aku harus mencari tahu siapa biang kerok dari semua ini. Jangan kamu kira aku kalah dengan wajahku yang sudah rusak gara-gara alergi bedak yang kamu kirim. Aku tidak bodoh!'Sebuat caption yang tertera dengan sangat jelas. Di akhir status di
"Silakan dicatat nomor rekeningku," bisik Sarah dengan mata melotot. Dia tidak terima dengan perbuatanku."Maaf aku tidak ada waktu lagi." Aku melepaskan tangannya sambil merapikan baju. "Silakan kirim ke nomor WhatsApp-ku!" Aku pergi melangkah dengan cepat.Tidak berapa lama sampai di parkiran. Aku merogoh kunci mobil di dalam tas yang aku kenakan. Kutekan tombol unlock lalu kuletakkan kunci mobil di lubangnya. Setelah pintu mobil terbuka. Aku masuk ke dalam lalu kututup kembali pintunya.Aku menghela napas lalu merogoh kotak persegi. Kuperhatikan status WhatsApp itu dengan seksama. Sedikit aku lega dan senang. 'Semoga dengan apa yang dirasakan Ririn bisa membuat dirinya taubat dan kembali ke jalan yang diridhoi-Nya!' pintaku dalam hati.Aku mengedarkan pandangan. Tiba-tiba, aku mengernyitkan dahi melihat Ririn baru saja turun dari mobil. 'Ririn?!' tanyaku dalam hati. Aku mengucek mata lalu melihat ke arah kanan di mana aku melihat Ririn keluar dari dalam mobil dengan memakai gaun be