Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 58: Alergi BedakDi belahan bumi lain, Ririn teringat kepada Rusly. "Aku kok kangen menikmati belaian hangat, Rusly."Ririn meraih ponselnya di atas nakas. Perlahan dia mencari kontak Rusly di ponselnya. Tidak berapa lama, Ririn memanggil. Suara dering terdengar. Sesekali Ririn menoleh ke arah jendela kamar.Sinar mentari masuk ke dalam kamarnya membuat Ririn menyipitkan mata. "Astoge ... ternyata sudah siang." Ririn bergelayut manja bangkit dari atas dipan. Panggilan telepon yang dia lakukan tidak ada membuahkan hasil. "Yes! Aku ada ide."Ririn merasa senang ketika ide itu terlintas di dalam benaknya. Perlahan dia melangkah menuju kamar mandi. Misinya kali ini harus jelas dan tidak boleh gagal.Tidak butuh waktu lama, dia sudah usai membersihkan tubuhnya dari bau yang menyengat. Segera dia membungkus tubuhnya dengan handuk kimono. Setelah itu keluar dari kamar mandi menuju meja rias. Baru beberapa saat mengeringkan rambut dengan hair dryer, po
"Kamu tidak bercanda 'kan?!" tanyaku dengan penuh selidik. Aku sudah trauma terlalu percaya kepada orang. Meskipun itu orang dekat. Suamiku saja bisa berkhianat, konon orang jauh.Alunan musik mengiri makan malam. Sesekali aku menyapu pandangan ke arah sembarang. Tidak tahu kenapa, pikiranku terasa tidak tenang. "Ya," jawabnya sekenanya. Manik matanya menyimpan sejuta makna. Aku terus menerka dan menelaah apa maksud dari semua gerak-geriknya. "Syukurlah kalau begitu."Aku membersihkan bibirku dari bekas makanan. Suasana hening. Seketika aku mencoba memainkan ponselku. Terlihat sebuat status baru. Mataku hampir saja mau keluar dari sarang.Kucoba memperbesar status itu sambil nge-pause untuk menelaah narasi yang ada di dalam status WhatsApp itu.'Aku harus mencari tahu siapa biang kerok dari semua ini. Jangan kamu kira aku kalah dengan wajahku yang sudah rusak gara-gara alergi bedak yang kamu kirim. Aku tidak bodoh!'Sebuat caption yang tertera dengan sangat jelas. Di akhir status di
"Silakan dicatat nomor rekeningku," bisik Sarah dengan mata melotot. Dia tidak terima dengan perbuatanku."Maaf aku tidak ada waktu lagi." Aku melepaskan tangannya sambil merapikan baju. "Silakan kirim ke nomor WhatsApp-ku!" Aku pergi melangkah dengan cepat.Tidak berapa lama sampai di parkiran. Aku merogoh kunci mobil di dalam tas yang aku kenakan. Kutekan tombol unlock lalu kuletakkan kunci mobil di lubangnya. Setelah pintu mobil terbuka. Aku masuk ke dalam lalu kututup kembali pintunya.Aku menghela napas lalu merogoh kotak persegi. Kuperhatikan status WhatsApp itu dengan seksama. Sedikit aku lega dan senang. 'Semoga dengan apa yang dirasakan Ririn bisa membuat dirinya taubat dan kembali ke jalan yang diridhoi-Nya!' pintaku dalam hati.Aku mengedarkan pandangan. Tiba-tiba, aku mengernyitkan dahi melihat Ririn baru saja turun dari mobil. 'Ririn?!' tanyaku dalam hati. Aku mengucek mata lalu melihat ke arah kanan di mana aku melihat Ririn keluar dari dalam mobil dengan memakai gaun be
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 59: Rekaman CCTV"Selamat datang di neraka," bisik Ririn tepat di daun telingaku. Aku baru saja membuka mata. Langit-langit kamar terlihat buram dan samar-samar. Aku berpikir keras di mana dan apa yang sedang terjadi kepada diriku?Suara bisikan terus menghantuiku membuat diri ini menggeleng mencari asal suara itu. Sebuah wajah yang sangat seram tepat di depan wajahku sebelah kanan. Hampir saja jantungku mau copot melihat muka yang selalu menjelma di mana pun berada.Roh dan batinku sudah menyatu. Aku sangat kesal ketika wajahku papasan dengan mukanya, Ririn. 'Kenapa dia ada di sini? Terus apa yang terjadi pada diriku?' tanyaku bermonolog. "Kamu kira permainanmu sudah bisa mengalahkanku?!" ucap Ririn. Raut wajahnya sangat jelek akibat alergi bedak. Dia membuka masker yang menutupi wajahnya."Apa maksudmu?!" bentakku seolah tidak mengerti apa yang sedang terjadi kepad Ririn. Aku buang muka ke sebelah kiri. Otakku traveling memikirkan kenapa Ririn
"Kamu tidak apa-apa 'kan?" tanya Rusly penuh khawatir. Dia memeriksa leherku. Aku sebenarnya sangat merindukan momen seperti ini. Namun, aku sudah tidak boleh baper. Aku tidak mau jatuh ke dalam lobang yang sama.Manik matanya, Rusly tersirat sejuta penyesalan. Aku mencoba buang muka untuk mengalihkan perhatiannya kepadaku. Aku tidak mau kalau Rusly terlalu lama memandang retinaku. Walaupun masih ada sedikit rasa benih cinta melekat pada hati kecilku."Nak, Nesya ...," ucap wanita paruh baya. Aku mendongak dan mencari asal suara itu. Ternyata ada Bu Aisyah dan Bu Larasati. Aku berpikir kenapa mereka berdua tiba di sini? Siapa yang mengasih tahu kalau aku berada di rumah sakit ini? Otakku terus mencerna untuk mencari jawabannya. "Aku mohon dengan sangat dan tanpa mengurangi rasa hormat. Silakan ikuti kata hatimu walaupun masih bertentangan dengan logika," seru Bu Aisyah kepadaku sambil mengelus punggung tanganku dengan lembut dan mesra. Aku mengerutkan dahi. Tidak mengerti apa maksud
"Bukan." Aku mengukir senyum walaupun sebenarnya masih ada rasa cinta kepadanya. Namun, aku tidak mau memberi secercah harapan kepadanya. Lagi pula sudah lama kami bercerai, dia malah tidak ada sama sekali berubah. Itu alasanku tidak mau menerimanya kembali."Apa aku tidak salah dengar, Nesya?!" jawab Bu Aisyah kaget. Harapannya tidak sesuai dengan kenyataan."Tidak, Bu!" tegasku tidak bertele-tele. Tiba-tiba, Bu Aisyah sesak napas. "Aku tidak merasa kasihan atau apapun itu. Paling cuma akting doang," sindirku sambil bersandar di dinding. Aku sudah lelah dan capek rebahan terus. "Dasar menantu kurang aja!" bentak Bu Aisyah tidak terima kalau aku mengetahui kedoknya. Aku mengukir senyum."Aku heran dengan ibu. Kenapa masih saja berusaha untuk menyatukan kaca yang retak. Ibu tahu sendiri 'kan, pasti tidak bisa bersatu walaupun sudah dilem atau diusahakan dengan berbagai cara." Aku menatap retina Rusly. Dia langsung menunduk dan tidak berani menatap bola mataku. "Lagi pula, susuk apa
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 60: TerorDi belahan bumi yang lain. Ririn duduk termenung di pojok kanan di sel tahanan. Ada sedikit rasa menyesal lahir di dalam jiwanya. 'Kita lihat saja nanti Nesya! Aku bakalan mencabut nyawamu dengan tanganku sendiri,' ucapnya bermonolog dengan sejuta amarah."Ririn," panggil penjaga sel tahanan. Ririn mendongak lalu menatap ke arah suara itu. "Ya," jawabnya terkejut. "Ada tamu yang ingin membesuk kamu." Penjaga sel tahanan membuka gembok dengan lihainya. Silakan berdiri dan mari ikut saya," ucapnya dengan tegas sambil memperlihatkan borgol. Ririn melangkah pelan menghampiri penjaga sel tahanan. "Kalau boleh tahu, siapa ya, orang yang ingin membesukku?" tanya Ririn lirih. Retinanya masih saja mencari celah agar bisa kabur dari balik jeruji besi."Jangan coba-coba untuk mencari celah melarikan diri! Seluruh ruangan dan tempat ini dikawal ketat," seru penjaga sel tahanan membuat Ririn ciut dan mengurungkan niatnya untuk kabur."Siapa juga ya
Ternyata Sarah yang selama ini kuanggap sahabat sejati dan baik, dia malah mengkhianati semuanya. 'Aku sungguh tidak percaya atas pengkhianatannya kepadaku,' ucapku bermonolog sambil memikirkan solusi yang tepat dalam masalah yang aku hadapi. Kesenjangan selalu datang silih berganti. Membuat aku jenuh dan terkadang putus asa."Nesya," sapa Bu Aisyah lembut sambil memegang bahuku. Aku terkejut kehadirannya. Dia datang dan pergi sesuka hati laksana jelangkung. "Ii-ibu," jawabku gugup.Belum selesai mendapat solusi darinakar permasalahan yang kuhadapi, kini otakku sudah disuguhi permasalahan baru. "Dari mana Bu Aisyah masuk ke dalam?" tanyaku sekenanya. Aku melirik ke arah luar. 'Perasaanku pintu utama kukunci. Permasalahanya, kenapa beliau bisa masuk? Apakah ini hantu atau aku berhalusinasi?' tanyaku tiada henti.Kamu tidak usah risau dan gelisah tentang keberadaanku," jawabnya polos. Dia melangkah menghampiriku. Masa ibu mertuamu datang tidak dipersilakan duduk terlebih dahulu. Walaupu
"Apa?!" tanya Rusly tidak sabaran. "Jangan sesekali memberikan harapan palsu kepadaku," imbuhnya dengan menahan emosi."Siapa juga yang memberikan harapan palsu?" ucapku dengan sedikit menaikkan nada. Aku pergi melangkah. Walaupun sebenarnya aku sok jual mahal. Itu semua aku lakukan agar dia merasa sadar dan terpukul."Kamu mau ke mana?!" tanyanya mendongak. Fokusnya gagal mengirim doa. Dia bangkit lalu berlari mengejarku."Itu bukan urusanmu!" jawabku membentak. "Lepaskan tanganku!" jelasku kembali.Aku pergi begitu saja. Cuaca hari ini sangat panas sehingga aku takut hitam terbakar oleh sinar sang mentari."Lebih baik aku mati bunuh diri daripada lama-lama mati tersiksa untuk mendapatkan cinta dan kasihmu yang ke dua kali.""Silakan kalau kamu tidak punya iman dan Tuhan!" jawabku datar. Walaupun aku sudah jauh dari tempat dia berpijak.Argh!Rusly mengacak-acak rambutnya kembali. Lelah?! jelas dirinya pasti lelah. Kecewa?! Jelas sekali. Sudah berulang kali dia menelan kekecewaan. Na
Wajahnya Rusly berubah masam mendengar perkataanku. Aku tersenyum bahagia setelah dia berubah pias."Sungguh terlalu kamu, Nesya!" rutuknya tidak terima. Aku ini mantan suamimu dan akan menjadi suamimu lagi sebentar lagi," imbuhnya menjelaskan. Dia mengepalkan tangan hendak menamparku. Namun, tangannya hanya mengambang di udara."Kenapa tidak jadi memukulku!" bentakku dengan menatapnya menyalang. "Ayo pukul sebelum Pencipta Alam Semesta mengutuk kamu benar-benar seonggok bangkai," imbuhku kembali."Kalau bukan kamu itu perempuan yang hendak akan kuperjuangkan, tangan ini pasti sudah landing di wajahmu itu," jawab Rusly dengan nada kesal. Dia berkacak pinggang lalu membuang napas kasar. "Aku tidak habis pikir kamu bisa berkata seperti itu," jelasnya dengan memijit kening yang tidak gatal."Maaf aku harus pergi dari sini." Aku melangkah meninggalkan dia sendiri di plataran parkiran.Silakan!" balasnya dengan kesal. Sangking kesalnya, dia memukul udara begitu saja. Argh! Dia berpikir s
"Tolong bebaskan aku dari sini, Nesya!" rengek Lala ketika aku sedang membesuknya di kantor polisi. Aku merasa kasihan setelah melihat keadaannya. Padahal baru tiga hari dia dikurung penampilannya sudah tidak terurus laksana orang gila."Hukum tetap berlaku. Aku tidak akan mengeluarkanmu dari sini sebelum jatuh tempo." Aku harus berkata sejujurnya. Tidak ada manusia yang rela anaknya mati tanpa salah. Apalagi kepergian Dhea masih membekas di dalam ingatan. "Belum lagi bahtera rumah tangga yang selama ini aku idamkan hancur karena kedatanganku ke dalam istana surgaku," jelasku dengan nada datar. "Aku berkata jujur atas semua perbuatanku," serunya dengan mengeluarkan cairan bening dari sudut retinanya. "Aku tidak mau berakhir usiaku di sini, Nesya," imbuhnya menjelaskan dengan raut wajah menyesal. Suasana di ruang besuk hening. Hanya dentuman jarum jam dinding yang terdengar."Aku mohon, Nesya!" pintanya mengiba. Aku tidak merasa kasihan apa yang yang terjadi kepada dirinya. Selama in
Suasana mulai reda. Dia melihatku dengan sorot mata tajam. Namun, aku mencoba santai dan terus memperhatikan setiap gerak yang dia lakukan. Aku tidak boleh lengah apalagi jatuh ke dalam perangkapnya."Jangan kamu merasa menang dalam pergulatan ini!" ucapnya menyindir. Ekor retinanya terus memantau."Mau kalah, mau menang itu urusan Allah." Aku menjawab begitu saja. Kulirik ke arah sekitar tidak ada sama sekali yang mau melerai. Padahal sudah adu mulut dengan nada tinggi. Bahkan hampir saja jambak-jambakan. "Apa aku harus menguburmu hidup-hidup biar kamu tidak bisa lagi menggangguku?" imbuhku menyindirnya."Apa aku tidak salah dengar?!" jawabnya sinis. Dia merasa menang. Idenya kini muncul. "Buktinya saja, aku mampu mengirim Dhea ke alam kubur dalam durasi satu bulan."Deg!Hatiku merasa tersayat bahkan teriris."Apakah kamu tidak curiga atas kepergian buah hatimu dengan Rusly?"Aku berpikir sejenak. Dan ingin menjebaknya kembali."Aa-apa?" tanyaku terbata pura-pura. Aku merogoh ponsel
Hari terus berlalu. Aku merenungi nasib malang yang tidak pernah aku bayangkan. 'Apakah aku harus menerima Rusly kembali? Atau menjanda selamanya?'Tidak tahu harus berbuat apa. Aku semakin bingung dan frustasi. Aku memejamkan mata sejenak untuk sekedar menghilangkan rasa resah dan gelisah."Mau sampai kapan kamu menjanda, Nesya?" tanya Rusly setengah membentak. Pertanyaannya sangat tidak enak didengar telingaku. Aku hanya bisa diam dan membisu dikala pertanyaan saat itu terlontar dari tepi bibirnya.Sakit, perih dan bahkan ngilu begitu kentara ketika aku mengingat semua sifat buruk mantan suamiku.Daripada aku takut putus asa membuat otak tidak bisa mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Aku beranjak dari atas dipan lalu menaut wajah di depan cermin lemari hias."Aku butuh healing sepertinya," ucapku setelah melihat rias wajahku sudah pas dan netral. Aku mengambil nakas di atas nakas yang sedang di cas. Kucopot chatger-nya lalu memesan transportasi online dengan semangat. Ti
"Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu, Rusly!" sindirku dengan nada naik dua oktaf."Rasa empati dan simpatiku sudah hilang semenjak kamu bermesraan dengan pria lain dan disaksikan oleh kedua bola mataku!" kilahnya seolah mau menang sendiri. Aku saja muak mendengar ucapannya. Seolah-olah dirinya lah yang paling suci di atas muka bumi ini."Kalau kamu hilang rasa empati ataupun simpati. Kenapa masih berdiri di situ!" ejekku dengan melipat ke dua tangan lalu diletak sejajar dengan dada. "Bilang saja kamu masih kangen dan ingin berusaha agar kembali ke dalam pelukanmu," imbuhku menyindir.Kepalanya mulai nyut-nyutan dan tidak bisa diajak kompromi untuk mencari jawaban. 'Sial! Bisa saja dia mengetahui apa yang sedang aku alami,' ucapnya bermonolog."Kalau kamu memang tidak suka dan merasa jijik melihatku. Aku rasa kamu tidak akan kembali menemui ku laksana seperti sekarang ini," kilahku sembari mengejek dirinya.Aku memastikan kalau dirinya pasti sudah mati kutu. Buktinya saja, dia
Setelah Pak Bambang merogoh dompet guna untuk mencari tahu identitas korban, aku masih terus terisak dan tidak sabar menunggu hasil yang sesungguhnya. Tidak butuh waktu lama, Pak Bambang sudah mendapat dompet. Dia berdiri tegak lalu membuka dompet yang baru saja dia temukan di dalam kantong celana. "Apakah nama suami ibu bernama Anton?" tanyanya dengan sedikit menatap ke arahku.Aku tidak terlalu menyimak apa yang ditanyakan beliau. "Bo-boleh diulangi lagi?" tanyaku ragu dengan wajah mendongak. "Apakah nama suami ibu Anton?" tanyanya ke dua kalinya dengan nada sedikit kesal.Setelah kupertajam pedengaranku, aku sudah mendapat jawaban pasti. "Be-berarti ii-ini bukan suami saya," jawabku terbata. Aku baru sadar sudah menangisi jasad pria lain. Bisa saja itu suami wanita lain yang sedang menunggu kehadirannya di tengah istana syurga yang dibangun bersama wanita yang tidak lain ibu dari buah hatinya."Kalau nama suami ibu bukan Anton, berarti jasad yang sudah engkau tangis bukan suami at
Dua hari setelah kejadian itu, aku selalu teringat kepada Rusly. Resah dan gelisah kini menghantui diriku. Habis main sosial media sambil rebahan aku bangkit lalu melangkah ke arah dapur. Lapar, tetapi tidak selera makan. Kembali lagi aku ayunkan telapak kaki ke arah teras sampai aku merasa bosan dan jenuh.Ponselku yang berdering tidak aku hiraukan sangking tidak enaknya perasaan dan badanku. 'Apakah Rusly sudah memeletku?' batinku sembari menautkan wajah di cermin. Aku memperhatikan pelan-pelan mukaku di kaca. Padahal kaca itu bukan cermin melainkan kaca jendela. 'Semoga saja tidak ada sangkut pautnya dengan Rusly.' Aku mencoba mengambil handuk yang di jemur di halaman belakang. Resah dan gelisah semakin tidak karuan membuatku ingin segera mandi.Setelah kuraih handuk. Kuayunkan langkah kaki menuju kamar. Di atas dipan layar ponselku sudah kedap-kedip dan nada dering sudah terdengar jelas. Segera aku meraih kotak persegi itu lalu lamat-lamat kuamati. 'Nomor baru memanggil,' ucapku
"Maaf kalau aku sudah lancang menggendongmu dan membawa dirimu ke rumah kontrakanku," Aku terbangun dan ternyata aku hanya mimpi. Andai saja semua itu benar, aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Kusapu pandangan ke arah sekitar. Senyum simpul lahir di sudut bibirnya, Rusly."Apa yang terjadi kepadaku?! Kenapa aku ada di sini?!" amukku seolah tidak terima kalau pria yang tidak mahram itu menyentuhku."Tadi kamu pingsan di pusaranya, Dhea. Untung saja kunci mobilku ketinggalan di sana tepat di batu nisannya, Dhea." Rusly mencoba menjelaskan dengan berkata jujur. Walaupun sebenarnya dia ragu dengan kejujurannya tidak kuterima."Pasti itu semua akal busukmu 'kan?!" sergahku tidak terima."Aa-aku berkata jujur! Aku tidak ada maksud jahat walaupun terlintas di dalam otakku ide jahat untuk menjebakmu," selanya dengan spontan. Dia terkejut kenapa bisa berkata seperti itu."Maksud ide jahat itu apa?!" tanyaku mengintrogasi. Aku mulai duduk dan menyandrkan tubuh ke tepi ranjang.Rusly mulai