Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 69: Senjata Makan Tuan"Bagaimana kabar pasien, Dok?" sapa Ririn dengan wajah datar. Dia berharap Bu Aisyah bisa lenyap secepatnya dari muka bumi ini. Dia tidak mau kalau semua kebenaran terbongkar. Bisa-bisa dirinya kena imbasnya."Kita masih melakukan yang terbaik buat pasien agar bisa diselamatkan," jawabnya datar. Walau bagaimana pun itu, sumpah seorang dokter untuk menolong pasien harus tetap dijalankan. Walaupun terkadang ada oknum jahat untuk meminta mereka tidak melakukan kewajiban sebagaimana mestinya."Bu-bukannya pasien sudah koma dan tidak ada harapan tertolong?" tanyanya lirih dengan terbata. "Soalnya informasi yang aku dengar beliau sudah kehabisan darah.""Ya, benar. Namun, kita tidak bisa menantang kehendak Tuhan Pencipta Alam."Ririn menautkan kedua alis sembari berpikir bagaimana caranya agar dokter bisa diajak kerja sama dengannya. Namun, dari jawaban beliau dia merasa sudah untuk melanjutkan aksinya."Baik kalau begitu. Aku tu
"Kenapa bisa kalian percaya begitu saja dengan Nesya?!" tanya Ririn tidak terima kalau dia sudah ditangkap polisi. Dia dan anak buahnya masih di dalam mobil dan menuju kantor polisi."Aku juga tidak tahu. Ini pasti gara-gara dia yang tergiur dengan uang lebih banyak dari apa yang bos berikan kepada kita," ucap Bernat dengan polos. Dia anak buahnya Ririn yang tidak banyak cerita. Kali ini dirinya buka suara."Aku sudah bilang jangan gegabah!" ucap Ririn kesal. Nasi sudah jadi bubur. Tidak ada gunanya menyesal."Bos pula tidak mau memberikan uang yang sudah dijanjikan. Ada tawaran lebih besar, kenapa tidak ditampung," jawabnya lagi dengan datar tanpa merasa bersalah.Tiba sudah di kantor polisi. Mau tidak mau mereka bertiga harus mempertanggung jawabkan apa yang mereka perbuat. Namun, Ririn masih bersikeras tidak mau dipenjara. Itu bukan salahnya, dia hanya pesuruh dan tidak terlibat secara langsung."Lepaskan aku! Aku tidak bersalah!" racaunya terus meronta. Sehingga pihak polisi meras
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 70: Lupa Ingatan"Aa-aku ada di mana?" ucap Bu Aisyah terbata. Dia baru saja sadar dari pasca operasi.Aku langsung terbangun setelah mendengar ucapannya. Sengaja kutekan tombol bel untuk memberi tahu tim medis kalau beliau sudah sadar. "Alhamdulillah ibu sudah sadar." Aku berdiri lalu menatap wajahnya yang pucat pasi. "Ka-kamu siapa?! Dan kenapa aku ada di sini?" tanyanya kembali dengan pertanyaan tidak beraturan. Aku menghela napas lalu membuangnya dengan kasar.Jarum infus melekat di tangan sebelah kanan. Aku takut kalau jarum itu terantuk. Tidak berapa lama, tim medis datang dan langsung memeriksa keadaan Bu Aisyah. "Alhamdulillah beliau tidak kenapa-napa," ucap Rio seorang dokter muda. Namanya jelas tertaut di name tag-nya."Bo-boleh saya bicara dengan ibu sebentar di luar," ucapnya setelah selesai memeriksa keadaan beliau."Bo-boleh, Dok," jawabku terbata. Aku grogi ketika menjawab pertanyaannya. Tidak tahu kenapa itulah yang aku alami.
"Ya.""Aku menelan ludah terasa getir. Apakah tidak ada sedikit kata maaf kepada beliau?" tanyaku memberanikan diri."Tidak," balasnya cepat."Aku mohon berilah rasa belas kasihan kepadanya. Aku kasihan karena beliau dalam keadaan tidak sehat. Kalau dia sehat seperti sebelumnya. It's ok! Namun, ini beda konteks," jelasku memohon agar beliau berubah pikiran. Ternyata apa yang aku katakan tidak ada respon baik. Aku hanya bisa pasrah.****Dua Minggu setelah kejadian itu, Bu Aisyah mulai sehat seperti biasa. Ingatannya mulai pulih kembali. "Mas, maafkan aku yang telah melukai hati dan perasaanku. Aku sungguh amat menyesal atas perbuatan yang kulakukan kepadamu."Bu Aisyah memulai percakapan di tengah heningnya suasana di dalam kamarnya. Pak Sudrajat sebenarnya tidak tega ingin mengintrogasi beliau dalam keadaan seperti ini. Namun, perasaannya terus bergejolak dengan hati nuraninya. Dia masih belum ikhlas menerima apa yang telah diperbuat Bu Aisyah kepada dirinya beberapa tahun yang sila
Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 71: Arlan atau Rusly?Masalah sudah terbongkar semua. Aku hanya memikirkan nasib badanku mau ke arah mana untuk ke depannya. Berpikir lebih matang untuk menentukan langkah kaki hendak melangkah. Aku pergi pulang menuju rumah. Sudah beberapa hari ini aku tidak memanjakan tubuh walau hanya sebatas merebahkan tubuh dibatas kasur empuk. 'Aku rindu ranjangku,' ucapku sembari melangkah cepat.Aku lupa kalau kemari naik mobilku dan disetir oleh Pak Sudrajat. Aku bingung pulang naik apa. Nomor teleponnya tidak ada samaku membuat aku panik. Ditambah ponselku tidak tahu di mana rimbanya. Lengkap sudah penderitaanku."Mau pulang? Tumben sendiri?" suara khas baritone seorang pria membuat aku terkesima. Aku langsung mengarahkan pandangan ke asal suara itu. "Ka-kamu siapa?" tanyaku terbata."Mungkin Penguasa Alam mempertemukan kita kembali agar niat suci yang terbengkalai bisa tersegerakan," jelasnya membayarkan lamunanku. Aku menerka-nerka siapa pria yang ada
Sang arunika menyapa bumi begitu mesranya. Aku menggeliat karena sudah terlalu tinggi mentari menyinari ruang kamarku dari pentilasi. Aku merasa malu terhadap diri sendiri. Walaupun tidak ada tugas dan kewajibanku sebagai ibu rumah tangga untuk menyiapkan makanan atau sekedar sarapan pagi. Aku tidak boleh malas-malasan atau pun enggan untuk bangun pagi. Walaupun hanya sekedar salat dua rakaat. Ya ... aku baru teringat kepada penguasa alam.Baru saja aku beranjak berjalan menuju kamar mandi. Suara bel terdengar berbunyi. Aku bergegas mencuci muka sebentar agar tamu tidak terlalu lama menunggu. Sesampainya di dalam kamar mandi, kubasuh wajahku dengan air dan rasa ngilu lahir di dalam pipi. Tanpa buang-buang waktu, aku mengeringkan wajah lalu melangkah menuju pintu utama.Suara bel kembali terdengar. Aku langsung membuka pintu. Ternyata Rusly datang dengan pakaian yang tidak biasanya. Aku pangling dibuatnya dengan kostum seperti itu. "Maaf kalau aku datang terlalu pagi dan menganggu akt
Sudah lima belas menit Rusly terus mendobrak pintu sambil menggedor-gedor. Aku tidak luluh dan tidak mau membuka pintu lagi. Cukup sudah aku menderita atas kebahagiaannya. Kuputuskan pergi menjauh dari daun pintu menuju kursi yang ada di ruang tamu. Aku menghubungi kantor polisi kalau rumahku diteror seseorang dan membuat aku tidak nyaman. Ini aku lakukan demi kenyamanan dan ketentramanku."Halo ... Pak polisi. Ini aku Nesya warga dukun Salak Gang Keramat Jati Luhur. Rumahku sedang diteror mantan suamiku untuk minta rujuk dan nikah sekarang. Aku merasa terganggu atas perilaku yang dia lakukan pada saat ini. Aku harap bapak bisa datang kemari untuk mengamankan sekitar rumahku dan dari segala macam ancaman serta gangguan yang dia lakukan," ucapku panjang kali lebar setelah sambungan telepon terhubung.Terimakasih atas laporannya. Mohon tunggu dan segera waspada dari hal yang tidak diinginkan!" nasihat seorang pria yang menjawab panggilanku. Aku saja tidak tahu siapa namanya. Aku merasa l
Aku terdiam memikirkan perkataan Rusly pada saat itu. 'Dia benar-benar jahat dan sungguh tega kalau dirinya benar untuk mengganggu hidupku,' ucapku dalam hati. Aku sangat malas dan enggan bangkit dari atas dipan.Aku teringat kepada Arlan. "Apakah aku menerima Arlan secepat mungkin agar bisa bebas dan lepas dari ancaman dan gangguan Rusly?" tanyaku. Aku bangkit dari dari atas ranjang lalu duduk di kursi meja riasku. Kuperhatikan wajah dan tubuhku di depan cermin. "Sepertinya aku tidak jelek-jelek amat dan tidak tua," imbuhku kembali.Aku mencari ponsel milikku untuk segera menghubungi dirinya. Setelah mendapat benda pipih itu. Kuotak-atik lalu ingin kutekan tombol call. Namun, aku sontak berdiam diri dan mengurungkan panggilan itu. "Di mana harga diriku jika menghubungi pria terlebih dahulu? Tidak ... aku tidak boleh gegabah dan mengemis kepada lelaki."Aku meletakkan ponsel itu ke atas nakas lalu melangkah menuju kamar mandi. Kubasuh seluruh anggota tubuh di bawah shower. Aroma sabun
"Apa?!" tanya Rusly tidak sabaran. "Jangan sesekali memberikan harapan palsu kepadaku," imbuhnya dengan menahan emosi."Siapa juga yang memberikan harapan palsu?" ucapku dengan sedikit menaikkan nada. Aku pergi melangkah. Walaupun sebenarnya aku sok jual mahal. Itu semua aku lakukan agar dia merasa sadar dan terpukul."Kamu mau ke mana?!" tanyanya mendongak. Fokusnya gagal mengirim doa. Dia bangkit lalu berlari mengejarku."Itu bukan urusanmu!" jawabku membentak. "Lepaskan tanganku!" jelasku kembali.Aku pergi begitu saja. Cuaca hari ini sangat panas sehingga aku takut hitam terbakar oleh sinar sang mentari."Lebih baik aku mati bunuh diri daripada lama-lama mati tersiksa untuk mendapatkan cinta dan kasihmu yang ke dua kali.""Silakan kalau kamu tidak punya iman dan Tuhan!" jawabku datar. Walaupun aku sudah jauh dari tempat dia berpijak.Argh!Rusly mengacak-acak rambutnya kembali. Lelah?! jelas dirinya pasti lelah. Kecewa?! Jelas sekali. Sudah berulang kali dia menelan kekecewaan. Na
Wajahnya Rusly berubah masam mendengar perkataanku. Aku tersenyum bahagia setelah dia berubah pias."Sungguh terlalu kamu, Nesya!" rutuknya tidak terima. Aku ini mantan suamimu dan akan menjadi suamimu lagi sebentar lagi," imbuhnya menjelaskan. Dia mengepalkan tangan hendak menamparku. Namun, tangannya hanya mengambang di udara."Kenapa tidak jadi memukulku!" bentakku dengan menatapnya menyalang. "Ayo pukul sebelum Pencipta Alam Semesta mengutuk kamu benar-benar seonggok bangkai," imbuhku kembali."Kalau bukan kamu itu perempuan yang hendak akan kuperjuangkan, tangan ini pasti sudah landing di wajahmu itu," jawab Rusly dengan nada kesal. Dia berkacak pinggang lalu membuang napas kasar. "Aku tidak habis pikir kamu bisa berkata seperti itu," jelasnya dengan memijit kening yang tidak gatal."Maaf aku harus pergi dari sini." Aku melangkah meninggalkan dia sendiri di plataran parkiran.Silakan!" balasnya dengan kesal. Sangking kesalnya, dia memukul udara begitu saja. Argh! Dia berpikir s
"Tolong bebaskan aku dari sini, Nesya!" rengek Lala ketika aku sedang membesuknya di kantor polisi. Aku merasa kasihan setelah melihat keadaannya. Padahal baru tiga hari dia dikurung penampilannya sudah tidak terurus laksana orang gila."Hukum tetap berlaku. Aku tidak akan mengeluarkanmu dari sini sebelum jatuh tempo." Aku harus berkata sejujurnya. Tidak ada manusia yang rela anaknya mati tanpa salah. Apalagi kepergian Dhea masih membekas di dalam ingatan. "Belum lagi bahtera rumah tangga yang selama ini aku idamkan hancur karena kedatanganku ke dalam istana surgaku," jelasku dengan nada datar. "Aku berkata jujur atas semua perbuatanku," serunya dengan mengeluarkan cairan bening dari sudut retinanya. "Aku tidak mau berakhir usiaku di sini, Nesya," imbuhnya menjelaskan dengan raut wajah menyesal. Suasana di ruang besuk hening. Hanya dentuman jarum jam dinding yang terdengar."Aku mohon, Nesya!" pintanya mengiba. Aku tidak merasa kasihan apa yang yang terjadi kepada dirinya. Selama in
Suasana mulai reda. Dia melihatku dengan sorot mata tajam. Namun, aku mencoba santai dan terus memperhatikan setiap gerak yang dia lakukan. Aku tidak boleh lengah apalagi jatuh ke dalam perangkapnya."Jangan kamu merasa menang dalam pergulatan ini!" ucapnya menyindir. Ekor retinanya terus memantau."Mau kalah, mau menang itu urusan Allah." Aku menjawab begitu saja. Kulirik ke arah sekitar tidak ada sama sekali yang mau melerai. Padahal sudah adu mulut dengan nada tinggi. Bahkan hampir saja jambak-jambakan. "Apa aku harus menguburmu hidup-hidup biar kamu tidak bisa lagi menggangguku?" imbuhku menyindirnya."Apa aku tidak salah dengar?!" jawabnya sinis. Dia merasa menang. Idenya kini muncul. "Buktinya saja, aku mampu mengirim Dhea ke alam kubur dalam durasi satu bulan."Deg!Hatiku merasa tersayat bahkan teriris."Apakah kamu tidak curiga atas kepergian buah hatimu dengan Rusly?"Aku berpikir sejenak. Dan ingin menjebaknya kembali."Aa-apa?" tanyaku terbata pura-pura. Aku merogoh ponsel
Hari terus berlalu. Aku merenungi nasib malang yang tidak pernah aku bayangkan. 'Apakah aku harus menerima Rusly kembali? Atau menjanda selamanya?'Tidak tahu harus berbuat apa. Aku semakin bingung dan frustasi. Aku memejamkan mata sejenak untuk sekedar menghilangkan rasa resah dan gelisah."Mau sampai kapan kamu menjanda, Nesya?" tanya Rusly setengah membentak. Pertanyaannya sangat tidak enak didengar telingaku. Aku hanya bisa diam dan membisu dikala pertanyaan saat itu terlontar dari tepi bibirnya.Sakit, perih dan bahkan ngilu begitu kentara ketika aku mengingat semua sifat buruk mantan suamiku.Daripada aku takut putus asa membuat otak tidak bisa mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Aku beranjak dari atas dipan lalu menaut wajah di depan cermin lemari hias."Aku butuh healing sepertinya," ucapku setelah melihat rias wajahku sudah pas dan netral. Aku mengambil nakas di atas nakas yang sedang di cas. Kucopot chatger-nya lalu memesan transportasi online dengan semangat. Ti
"Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu, Rusly!" sindirku dengan nada naik dua oktaf."Rasa empati dan simpatiku sudah hilang semenjak kamu bermesraan dengan pria lain dan disaksikan oleh kedua bola mataku!" kilahnya seolah mau menang sendiri. Aku saja muak mendengar ucapannya. Seolah-olah dirinya lah yang paling suci di atas muka bumi ini."Kalau kamu hilang rasa empati ataupun simpati. Kenapa masih berdiri di situ!" ejekku dengan melipat ke dua tangan lalu diletak sejajar dengan dada. "Bilang saja kamu masih kangen dan ingin berusaha agar kembali ke dalam pelukanmu," imbuhku menyindir.Kepalanya mulai nyut-nyutan dan tidak bisa diajak kompromi untuk mencari jawaban. 'Sial! Bisa saja dia mengetahui apa yang sedang aku alami,' ucapnya bermonolog."Kalau kamu memang tidak suka dan merasa jijik melihatku. Aku rasa kamu tidak akan kembali menemui ku laksana seperti sekarang ini," kilahku sembari mengejek dirinya.Aku memastikan kalau dirinya pasti sudah mati kutu. Buktinya saja, dia
Setelah Pak Bambang merogoh dompet guna untuk mencari tahu identitas korban, aku masih terus terisak dan tidak sabar menunggu hasil yang sesungguhnya. Tidak butuh waktu lama, Pak Bambang sudah mendapat dompet. Dia berdiri tegak lalu membuka dompet yang baru saja dia temukan di dalam kantong celana. "Apakah nama suami ibu bernama Anton?" tanyanya dengan sedikit menatap ke arahku.Aku tidak terlalu menyimak apa yang ditanyakan beliau. "Bo-boleh diulangi lagi?" tanyaku ragu dengan wajah mendongak. "Apakah nama suami ibu Anton?" tanyanya ke dua kalinya dengan nada sedikit kesal.Setelah kupertajam pedengaranku, aku sudah mendapat jawaban pasti. "Be-berarti ii-ini bukan suami saya," jawabku terbata. Aku baru sadar sudah menangisi jasad pria lain. Bisa saja itu suami wanita lain yang sedang menunggu kehadirannya di tengah istana syurga yang dibangun bersama wanita yang tidak lain ibu dari buah hatinya."Kalau nama suami ibu bukan Anton, berarti jasad yang sudah engkau tangis bukan suami at
Dua hari setelah kejadian itu, aku selalu teringat kepada Rusly. Resah dan gelisah kini menghantui diriku. Habis main sosial media sambil rebahan aku bangkit lalu melangkah ke arah dapur. Lapar, tetapi tidak selera makan. Kembali lagi aku ayunkan telapak kaki ke arah teras sampai aku merasa bosan dan jenuh.Ponselku yang berdering tidak aku hiraukan sangking tidak enaknya perasaan dan badanku. 'Apakah Rusly sudah memeletku?' batinku sembari menautkan wajah di cermin. Aku memperhatikan pelan-pelan mukaku di kaca. Padahal kaca itu bukan cermin melainkan kaca jendela. 'Semoga saja tidak ada sangkut pautnya dengan Rusly.' Aku mencoba mengambil handuk yang di jemur di halaman belakang. Resah dan gelisah semakin tidak karuan membuatku ingin segera mandi.Setelah kuraih handuk. Kuayunkan langkah kaki menuju kamar. Di atas dipan layar ponselku sudah kedap-kedip dan nada dering sudah terdengar jelas. Segera aku meraih kotak persegi itu lalu lamat-lamat kuamati. 'Nomor baru memanggil,' ucapku
"Maaf kalau aku sudah lancang menggendongmu dan membawa dirimu ke rumah kontrakanku," Aku terbangun dan ternyata aku hanya mimpi. Andai saja semua itu benar, aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Kusapu pandangan ke arah sekitar. Senyum simpul lahir di sudut bibirnya, Rusly."Apa yang terjadi kepadaku?! Kenapa aku ada di sini?!" amukku seolah tidak terima kalau pria yang tidak mahram itu menyentuhku."Tadi kamu pingsan di pusaranya, Dhea. Untung saja kunci mobilku ketinggalan di sana tepat di batu nisannya, Dhea." Rusly mencoba menjelaskan dengan berkata jujur. Walaupun sebenarnya dia ragu dengan kejujurannya tidak kuterima."Pasti itu semua akal busukmu 'kan?!" sergahku tidak terima."Aa-aku berkata jujur! Aku tidak ada maksud jahat walaupun terlintas di dalam otakku ide jahat untuk menjebakmu," selanya dengan spontan. Dia terkejut kenapa bisa berkata seperti itu."Maksud ide jahat itu apa?!" tanyaku mengintrogasi. Aku mulai duduk dan menyandrkan tubuh ke tepi ranjang.Rusly mulai