Kain Basahan Basah di Kamar MandiPart 71: Arlan atau Rusly?Masalah sudah terbongkar semua. Aku hanya memikirkan nasib badanku mau ke arah mana untuk ke depannya. Berpikir lebih matang untuk menentukan langkah kaki hendak melangkah. Aku pergi pulang menuju rumah. Sudah beberapa hari ini aku tidak memanjakan tubuh walau hanya sebatas merebahkan tubuh dibatas kasur empuk. 'Aku rindu ranjangku,' ucapku sembari melangkah cepat.Aku lupa kalau kemari naik mobilku dan disetir oleh Pak Sudrajat. Aku bingung pulang naik apa. Nomor teleponnya tidak ada samaku membuat aku panik. Ditambah ponselku tidak tahu di mana rimbanya. Lengkap sudah penderitaanku."Mau pulang? Tumben sendiri?" suara khas baritone seorang pria membuat aku terkesima. Aku langsung mengarahkan pandangan ke asal suara itu. "Ka-kamu siapa?" tanyaku terbata."Mungkin Penguasa Alam mempertemukan kita kembali agar niat suci yang terbengkalai bisa tersegerakan," jelasnya membayarkan lamunanku. Aku menerka-nerka siapa pria yang ada
Sang arunika menyapa bumi begitu mesranya. Aku menggeliat karena sudah terlalu tinggi mentari menyinari ruang kamarku dari pentilasi. Aku merasa malu terhadap diri sendiri. Walaupun tidak ada tugas dan kewajibanku sebagai ibu rumah tangga untuk menyiapkan makanan atau sekedar sarapan pagi. Aku tidak boleh malas-malasan atau pun enggan untuk bangun pagi. Walaupun hanya sekedar salat dua rakaat. Ya ... aku baru teringat kepada penguasa alam.Baru saja aku beranjak berjalan menuju kamar mandi. Suara bel terdengar berbunyi. Aku bergegas mencuci muka sebentar agar tamu tidak terlalu lama menunggu. Sesampainya di dalam kamar mandi, kubasuh wajahku dengan air dan rasa ngilu lahir di dalam pipi. Tanpa buang-buang waktu, aku mengeringkan wajah lalu melangkah menuju pintu utama.Suara bel kembali terdengar. Aku langsung membuka pintu. Ternyata Rusly datang dengan pakaian yang tidak biasanya. Aku pangling dibuatnya dengan kostum seperti itu. "Maaf kalau aku datang terlalu pagi dan menganggu akt
Sudah lima belas menit Rusly terus mendobrak pintu sambil menggedor-gedor. Aku tidak luluh dan tidak mau membuka pintu lagi. Cukup sudah aku menderita atas kebahagiaannya. Kuputuskan pergi menjauh dari daun pintu menuju kursi yang ada di ruang tamu. Aku menghubungi kantor polisi kalau rumahku diteror seseorang dan membuat aku tidak nyaman. Ini aku lakukan demi kenyamanan dan ketentramanku."Halo ... Pak polisi. Ini aku Nesya warga dukun Salak Gang Keramat Jati Luhur. Rumahku sedang diteror mantan suamiku untuk minta rujuk dan nikah sekarang. Aku merasa terganggu atas perilaku yang dia lakukan pada saat ini. Aku harap bapak bisa datang kemari untuk mengamankan sekitar rumahku dan dari segala macam ancaman serta gangguan yang dia lakukan," ucapku panjang kali lebar setelah sambungan telepon terhubung.Terimakasih atas laporannya. Mohon tunggu dan segera waspada dari hal yang tidak diinginkan!" nasihat seorang pria yang menjawab panggilanku. Aku saja tidak tahu siapa namanya. Aku merasa l
Aku terdiam memikirkan perkataan Rusly pada saat itu. 'Dia benar-benar jahat dan sungguh tega kalau dirinya benar untuk mengganggu hidupku,' ucapku dalam hati. Aku sangat malas dan enggan bangkit dari atas dipan.Aku teringat kepada Arlan. "Apakah aku menerima Arlan secepat mungkin agar bisa bebas dan lepas dari ancaman dan gangguan Rusly?" tanyaku. Aku bangkit dari dari atas ranjang lalu duduk di kursi meja riasku. Kuperhatikan wajah dan tubuhku di depan cermin. "Sepertinya aku tidak jelek-jelek amat dan tidak tua," imbuhku kembali.Aku mencari ponsel milikku untuk segera menghubungi dirinya. Setelah mendapat benda pipih itu. Kuotak-atik lalu ingin kutekan tombol call. Namun, aku sontak berdiam diri dan mengurungkan panggilan itu. "Di mana harga diriku jika menghubungi pria terlebih dahulu? Tidak ... aku tidak boleh gegabah dan mengemis kepada lelaki."Aku meletakkan ponsel itu ke atas nakas lalu melangkah menuju kamar mandi. Kubasuh seluruh anggota tubuh di bawah shower. Aroma sabun
Part 73: Akhirnya Jadi JugaAku membuang muka. Malas sekali berurusan dengan Rusly. Andai saja Arlan tidak membatalkan janji makan siang hari ini. Mungkin aku tidak merasakan kesal seperti ini."Aku tidak mau tahu alasan apa pun itu. Kamu harus mau menikah denganku. Tolong jangan menghindar atau pun itu berkelit!" bentak Rusly dengan wajah memerah. Larva emosinya siap tempur untuk dimuntahkan."Apa kamu sudah gila!" berangku pertanda tidak setuju. Aku melepaskan genggaman tangannya di lenganku. "Kamu tidak ada hak memaksa orang agar menjadi istrimu kembali," imbuhku lalu masuk ke dalam rumah. Aku memanfaatkan situasi itu dengan cepat menutup pintu. Akhirnya aku bisa lepas dari terkaman buasnya."Sial! Kenapa aku bisa lengah!" racaunya tidak terima. Rusly terus menerus menggedor daun pintu. Tidak ada sama sekali kugubris.***Satu Minggu setelah di penjara. Di sudut kamar empat kali tiga jeruji besi. Ririn meratapi nasib malang yang menimpa dirinya. Dia masih saja tidak terima akan hal
Air matanya akhirnya sebak menjulur ke bawah. Panas begitu terasa ketika cairan bening itu mengalir begitu saja. "Aku tahu air matamu yang baru saja jatuh hanya air mata buaya. Itu bukan murni karena kamu menyesali apa yang telah terjadi," sindirku dengan mengangkat dagunya agar kedua bola mata kami bersirobok.Ririn menepiskan pandangannya. Dia merasa terhina atas perlakuan yang kuciptakan. Aku tidak peduli bagaimana pun itu perasaannya saat ini. Perasaan senang kini lahir di dalam jiwa dan ragaku."Kumenyesali apa yang telah melanda diriku," ucapnya parau. Ririn terisak pilu seolah dia yang paling terzalimi atas apa yang telah menimpa dirinya. "Bo-boleh kah aku meminta tolong kepadamu, Nesya?" tanyanya memberanikan diri.Aku menatap sorot matanya yang sendu. Walau bagaimana pun itu, raut wajahnya yang terpahat. Aku tidak boleh sama sekali merasa kasihan apa yang dialaminya. Ketika dia merebut suamiku dan datang sebagai tamu tak diundang ke dalam surga yang sedang kubina. Dia tidak a
"Aku tahu dia hanya akting. Segala macam cara dia lakukan demi kepuasan dan kesenangannya."Aku mendelik seolah tidak paham apa maksud dari tujuan perkataan Pak Sudrajat."Ma-maksudnya, Pak?" tanyaku melahirkan wajah heran."Kamu lupa atas kasus pemalsuan kata matiku dia buat. Nah, ini juga pasti akal-akalannya untuk berbuat gila atau sekarat.""Masalahnya kenapa ke aku imbasnya. Buat apa dia berbuat seperti itu untuk mengorbankan orang lain. Sama halnya Rusly. Menjandakan istri sah demi seorang wanita janda." Pak Sudrajat mengukir senyum tipis. Aku tidak menyangka seribet ini urusannya."Aku tidak habis pikir pola pikir beliau ntah bagaimana. Masa dia ingin terbebas dan melihat orang lain bahagia, akan tetapi mengorbankan orang lain. Itu sudah jalan yang salah, Pak," imbuhnya tidak terima apa pun itu keputusan yang ditempuh Bu Aisyah."Sudah aku katakan. Segala macam cara dia lakukan. Jalan pantas dianggap pantas. Jadi ... kamu harus berhati-hati terhadap mereka semua!"Aku menghela
Part 74: KembaliBu Aisyah memang pura-pura drop. Dia tidak mau mendekam di penjara di usia senjanya. "Lihat saja nanti Sudrajat! Aku akan membalas kembali perbuatanmu setelah keluar dari jeruji besi ini."Perawat dan dokter sudah angkat tangan menangani pasien atas nama Bu Aisyah. Segala macam cara dia lakukan agar bisa lepas dan bebas dari tahanan. Belum lagi dia selalu ingin melukai dirinya sendiri. Seperti pada saat itu, dia mencabut jarum infus lalu diarahkannya kepada ke dua bola matanya. Dokter dan perawat tidak tahu lagi harus berbuat apa."Ibu tolong jangan berbuat yang aneh-aneh!" seru perawat dengan nada hati-hati. Dia tidak mau kalau pasien mencelakai dirinya. "Aku tidak gila! Aku ini sehat dan waras!" bentak Bu Aisyah dengan wajah memerah.Memang tubuh dan jiwanya beliau tidak sedang sakit. Namun, pikirannya saja yang bermasalah karena impiannya untuk membuat Sudrajat lenyap dari atas muka bumi ini. Semua yang dia harapkan tidak sesuai. Itu sebabnya pikirannya tidak sang
"Apa?!" tanya Rusly tidak sabaran. "Jangan sesekali memberikan harapan palsu kepadaku," imbuhnya dengan menahan emosi."Siapa juga yang memberikan harapan palsu?" ucapku dengan sedikit menaikkan nada. Aku pergi melangkah. Walaupun sebenarnya aku sok jual mahal. Itu semua aku lakukan agar dia merasa sadar dan terpukul."Kamu mau ke mana?!" tanyanya mendongak. Fokusnya gagal mengirim doa. Dia bangkit lalu berlari mengejarku."Itu bukan urusanmu!" jawabku membentak. "Lepaskan tanganku!" jelasku kembali.Aku pergi begitu saja. Cuaca hari ini sangat panas sehingga aku takut hitam terbakar oleh sinar sang mentari."Lebih baik aku mati bunuh diri daripada lama-lama mati tersiksa untuk mendapatkan cinta dan kasihmu yang ke dua kali.""Silakan kalau kamu tidak punya iman dan Tuhan!" jawabku datar. Walaupun aku sudah jauh dari tempat dia berpijak.Argh!Rusly mengacak-acak rambutnya kembali. Lelah?! jelas dirinya pasti lelah. Kecewa?! Jelas sekali. Sudah berulang kali dia menelan kekecewaan. Na
Wajahnya Rusly berubah masam mendengar perkataanku. Aku tersenyum bahagia setelah dia berubah pias."Sungguh terlalu kamu, Nesya!" rutuknya tidak terima. Aku ini mantan suamimu dan akan menjadi suamimu lagi sebentar lagi," imbuhnya menjelaskan. Dia mengepalkan tangan hendak menamparku. Namun, tangannya hanya mengambang di udara."Kenapa tidak jadi memukulku!" bentakku dengan menatapnya menyalang. "Ayo pukul sebelum Pencipta Alam Semesta mengutuk kamu benar-benar seonggok bangkai," imbuhku kembali."Kalau bukan kamu itu perempuan yang hendak akan kuperjuangkan, tangan ini pasti sudah landing di wajahmu itu," jawab Rusly dengan nada kesal. Dia berkacak pinggang lalu membuang napas kasar. "Aku tidak habis pikir kamu bisa berkata seperti itu," jelasnya dengan memijit kening yang tidak gatal."Maaf aku harus pergi dari sini." Aku melangkah meninggalkan dia sendiri di plataran parkiran.Silakan!" balasnya dengan kesal. Sangking kesalnya, dia memukul udara begitu saja. Argh! Dia berpikir s
"Tolong bebaskan aku dari sini, Nesya!" rengek Lala ketika aku sedang membesuknya di kantor polisi. Aku merasa kasihan setelah melihat keadaannya. Padahal baru tiga hari dia dikurung penampilannya sudah tidak terurus laksana orang gila."Hukum tetap berlaku. Aku tidak akan mengeluarkanmu dari sini sebelum jatuh tempo." Aku harus berkata sejujurnya. Tidak ada manusia yang rela anaknya mati tanpa salah. Apalagi kepergian Dhea masih membekas di dalam ingatan. "Belum lagi bahtera rumah tangga yang selama ini aku idamkan hancur karena kedatanganku ke dalam istana surgaku," jelasku dengan nada datar. "Aku berkata jujur atas semua perbuatanku," serunya dengan mengeluarkan cairan bening dari sudut retinanya. "Aku tidak mau berakhir usiaku di sini, Nesya," imbuhnya menjelaskan dengan raut wajah menyesal. Suasana di ruang besuk hening. Hanya dentuman jarum jam dinding yang terdengar."Aku mohon, Nesya!" pintanya mengiba. Aku tidak merasa kasihan apa yang yang terjadi kepada dirinya. Selama in
Suasana mulai reda. Dia melihatku dengan sorot mata tajam. Namun, aku mencoba santai dan terus memperhatikan setiap gerak yang dia lakukan. Aku tidak boleh lengah apalagi jatuh ke dalam perangkapnya."Jangan kamu merasa menang dalam pergulatan ini!" ucapnya menyindir. Ekor retinanya terus memantau."Mau kalah, mau menang itu urusan Allah." Aku menjawab begitu saja. Kulirik ke arah sekitar tidak ada sama sekali yang mau melerai. Padahal sudah adu mulut dengan nada tinggi. Bahkan hampir saja jambak-jambakan. "Apa aku harus menguburmu hidup-hidup biar kamu tidak bisa lagi menggangguku?" imbuhku menyindirnya."Apa aku tidak salah dengar?!" jawabnya sinis. Dia merasa menang. Idenya kini muncul. "Buktinya saja, aku mampu mengirim Dhea ke alam kubur dalam durasi satu bulan."Deg!Hatiku merasa tersayat bahkan teriris."Apakah kamu tidak curiga atas kepergian buah hatimu dengan Rusly?"Aku berpikir sejenak. Dan ingin menjebaknya kembali."Aa-apa?" tanyaku terbata pura-pura. Aku merogoh ponsel
Hari terus berlalu. Aku merenungi nasib malang yang tidak pernah aku bayangkan. 'Apakah aku harus menerima Rusly kembali? Atau menjanda selamanya?'Tidak tahu harus berbuat apa. Aku semakin bingung dan frustasi. Aku memejamkan mata sejenak untuk sekedar menghilangkan rasa resah dan gelisah."Mau sampai kapan kamu menjanda, Nesya?" tanya Rusly setengah membentak. Pertanyaannya sangat tidak enak didengar telingaku. Aku hanya bisa diam dan membisu dikala pertanyaan saat itu terlontar dari tepi bibirnya.Sakit, perih dan bahkan ngilu begitu kentara ketika aku mengingat semua sifat buruk mantan suamiku.Daripada aku takut putus asa membuat otak tidak bisa mencerna mana yang baik dan mana yang buruk. Aku beranjak dari atas dipan lalu menaut wajah di depan cermin lemari hias."Aku butuh healing sepertinya," ucapku setelah melihat rias wajahku sudah pas dan netral. Aku mengambil nakas di atas nakas yang sedang di cas. Kucopot chatger-nya lalu memesan transportasi online dengan semangat. Ti
"Seharusnya kamu tidak berbuat seperti itu, Rusly!" sindirku dengan nada naik dua oktaf."Rasa empati dan simpatiku sudah hilang semenjak kamu bermesraan dengan pria lain dan disaksikan oleh kedua bola mataku!" kilahnya seolah mau menang sendiri. Aku saja muak mendengar ucapannya. Seolah-olah dirinya lah yang paling suci di atas muka bumi ini."Kalau kamu hilang rasa empati ataupun simpati. Kenapa masih berdiri di situ!" ejekku dengan melipat ke dua tangan lalu diletak sejajar dengan dada. "Bilang saja kamu masih kangen dan ingin berusaha agar kembali ke dalam pelukanmu," imbuhku menyindir.Kepalanya mulai nyut-nyutan dan tidak bisa diajak kompromi untuk mencari jawaban. 'Sial! Bisa saja dia mengetahui apa yang sedang aku alami,' ucapnya bermonolog."Kalau kamu memang tidak suka dan merasa jijik melihatku. Aku rasa kamu tidak akan kembali menemui ku laksana seperti sekarang ini," kilahku sembari mengejek dirinya.Aku memastikan kalau dirinya pasti sudah mati kutu. Buktinya saja, dia
Setelah Pak Bambang merogoh dompet guna untuk mencari tahu identitas korban, aku masih terus terisak dan tidak sabar menunggu hasil yang sesungguhnya. Tidak butuh waktu lama, Pak Bambang sudah mendapat dompet. Dia berdiri tegak lalu membuka dompet yang baru saja dia temukan di dalam kantong celana. "Apakah nama suami ibu bernama Anton?" tanyanya dengan sedikit menatap ke arahku.Aku tidak terlalu menyimak apa yang ditanyakan beliau. "Bo-boleh diulangi lagi?" tanyaku ragu dengan wajah mendongak. "Apakah nama suami ibu Anton?" tanyanya ke dua kalinya dengan nada sedikit kesal.Setelah kupertajam pedengaranku, aku sudah mendapat jawaban pasti. "Be-berarti ii-ini bukan suami saya," jawabku terbata. Aku baru sadar sudah menangisi jasad pria lain. Bisa saja itu suami wanita lain yang sedang menunggu kehadirannya di tengah istana syurga yang dibangun bersama wanita yang tidak lain ibu dari buah hatinya."Kalau nama suami ibu bukan Anton, berarti jasad yang sudah engkau tangis bukan suami at
Dua hari setelah kejadian itu, aku selalu teringat kepada Rusly. Resah dan gelisah kini menghantui diriku. Habis main sosial media sambil rebahan aku bangkit lalu melangkah ke arah dapur. Lapar, tetapi tidak selera makan. Kembali lagi aku ayunkan telapak kaki ke arah teras sampai aku merasa bosan dan jenuh.Ponselku yang berdering tidak aku hiraukan sangking tidak enaknya perasaan dan badanku. 'Apakah Rusly sudah memeletku?' batinku sembari menautkan wajah di cermin. Aku memperhatikan pelan-pelan mukaku di kaca. Padahal kaca itu bukan cermin melainkan kaca jendela. 'Semoga saja tidak ada sangkut pautnya dengan Rusly.' Aku mencoba mengambil handuk yang di jemur di halaman belakang. Resah dan gelisah semakin tidak karuan membuatku ingin segera mandi.Setelah kuraih handuk. Kuayunkan langkah kaki menuju kamar. Di atas dipan layar ponselku sudah kedap-kedip dan nada dering sudah terdengar jelas. Segera aku meraih kotak persegi itu lalu lamat-lamat kuamati. 'Nomor baru memanggil,' ucapku
"Maaf kalau aku sudah lancang menggendongmu dan membawa dirimu ke rumah kontrakanku," Aku terbangun dan ternyata aku hanya mimpi. Andai saja semua itu benar, aku sudah tidak tahu harus berbuat apa. Kusapu pandangan ke arah sekitar. Senyum simpul lahir di sudut bibirnya, Rusly."Apa yang terjadi kepadaku?! Kenapa aku ada di sini?!" amukku seolah tidak terima kalau pria yang tidak mahram itu menyentuhku."Tadi kamu pingsan di pusaranya, Dhea. Untung saja kunci mobilku ketinggalan di sana tepat di batu nisannya, Dhea." Rusly mencoba menjelaskan dengan berkata jujur. Walaupun sebenarnya dia ragu dengan kejujurannya tidak kuterima."Pasti itu semua akal busukmu 'kan?!" sergahku tidak terima."Aa-aku berkata jujur! Aku tidak ada maksud jahat walaupun terlintas di dalam otakku ide jahat untuk menjebakmu," selanya dengan spontan. Dia terkejut kenapa bisa berkata seperti itu."Maksud ide jahat itu apa?!" tanyaku mengintrogasi. Aku mulai duduk dan menyandrkan tubuh ke tepi ranjang.Rusly mulai