Share

19

Penulis: Ramdani Abdul
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-21 18:41:21

Kedatangan Ilham ke Ciboeh nyatanya membuka secarik rahasia yang semula terkunci rapat. Informasi mengenai sejarah desa serta siapa sosok misterius yang penduduk desa panggil sebagai Mbah Atim mulai sedikit terkuak.

Masih di kediaman Ki Udin, di tengah hujan yang kian mengganas, dua pemuda itu makin larut dalam informasi yang disampaikan Ilham. Baik Rojali dan Reza sontak berbagi pandangan saat mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Ilham. Rona keterkejutan dengan jelas terpahat di paras mereka.

“Alasan kenapa Mbah Atim datang dan menjadi penjaga makam di desa ini tak lain karena permintaan Ki Udin,” jelas Ilham.

Pandangan Rojali dan Reza kembali menumbuk. Dua pemuda itu belum mampu bicara. Mulut mereka terbuka, tetapi bibir seakan enggan bicara.

“Dan permintaan itu tentunya ada bukan tanpa sebab,” lanjut Ilham, “permintaan itu ada setelah Ki Udin mendengar cerita dari Mbah Atim mengenai sesuatu yang tersembunyi di desa in

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kafan Hitam   20

    Reza pulang ke rumahnya dengan membawa beragam pertanyaan. Seharian ini, pemuda itu menghabiskan waktu di dalam kamar. Masalah bengkel dan toko, ia serahkan pada bawahannya. Ia hanya keluar kamar hanya untuk urusan perut.Sebenarnya, kecurigaan Reza pada Ilham timbul saat ajakan Rojali untuk berjemaah di masjid ditolak pria itu. Ia sedikit tahu bagaimana keluarga Ki Udin. Keluarga itu bisa dibilang taat terhadap perintah agama. Jadi, aneh rasanya kalau Ilham sampai menolak ajakan tersebut. Toh, Ki Udin saat itu sudah dalam kondisi bangun.Lamunan Reza seketika buyar begitu mendengar teriakan bapaknya di pintu kamar. Pak Dede memelotot dengan tangan yang sudah berkacak pinggang. Tak ada raut ramah saat Reza bangkit dari kasur.“Aya naon, Pak?”“Aya naon, aya naon?” sentak Pak Dede, “Bapak panggil dari tadi malah cicing wae (diam aja)! Tuli kamu?”Reza segera duduk di bibir kasur, mengaca

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-21
  • Kafan Hitam   21

    Ucapan Ilham terjeda beberapa saat. Angin malam menerobos ketegangan yang sempat terjadi di antara ketiga pemuda itu.“Perlu kalian tahu kalau ... saya ini adalah anak dari pria yang kalian sebut sebagai Mbah Atim,” ungkap Ilham.Rojali dan Reza saling berpandangan. Mimik keterkejutan hadir meski tak berlangsung lama.“Saya sudah tahu itu,” ungkap Rojali.Ilham pikir kedua pria di depannya akan terkejut dengan penuturannya, tetapi nyatanya justru ia sendiri yang dibuat terperangah. Pria itu lalu tersenyum. “Saya teu ngira kalian bisa tau sejauh itu.”“Saya menemukan foto ini di kamar Ki Udin saat subuh tadi,” tunjuk Rojali dengan secarik kertas di tangan, “butuh beberapa waktu bagi saya untuk bisa menyimpulkan kalau ini foto Mbah Atim sewaktu muda. Selain itu, saya sudah bertanya pada salah satu saudara Ki Udin di kampung ini. Mereka mengatakan kalau Ki Udin sama sekali tidak memiliki c

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-21
  • Kafan Hitam   22

    “Sebenarnya sudah lama bapak saya memperhatikan kamu, Rojali,” ucap Ilham setelah hening beberapa saat, “bapak saya percaya kalau suatu saat kamu bisa membantunya untuk menyelamatkan desa ini. Dan ternyata, penilaian bapak saya benar. Kamu punya pengetahuan, ilmu agama, tenaga, kepercayaan dari warga, juga mampu mengendalikan emosi.”Pikiran Rojali seketika melayang pada beberapa kali perjumpaannya dengan Mbah Atim. Penjaga makam itu sering kali menatapnya dengan pandangan yang seakan mengulitinya dari atas hingga bawah. Ia juga teringat dengan mimpi beberapa hari lalu tentang pesan yang dikirim sosok pocong berkafan hitam mengenai kondisi desa yang sedang dalam bahaya.Rojali menoleh sesaat pada Reza yang tertunduk lesu. “Saya tidak sesempurna itu. Kalau bukan tanpa bantuan Reza, saya tidak mungkin bisa sampai sejauh ini. Bagaimanapun juga, untuk menjaga desa ini saya tidak bisa melakukannya seorang diri.”Reza seketika mendo

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-21
  • Kafan Hitam   23

    “Itu ....” Rojali berusaha menggali ingatan. Otaknya dipaksa membuka kilasan memori masa lalu. Ia cukup yakin kalau dirinya pernah bertemu dengan pria itu di suatu tempat. Namun, saat otaknya dipaksa bekerja lebih keras, hanya kebuntuan yang ia dapat.Rojali sontak menoleh begitu bahunya ditarik Reza. Sahabatnya memberi kode agar ia segera menjauh dari lokasi. Rojali dengan gerakan senyap segera mengikuti Reza dan Ilham.Ketiga pemuda itu berjibaku dengan pekatnya hutan. Serangga malam serta desir angin di dedaunan menjadi musik pengiring kala ketiganya menyusuri Legok Kiara. Bangunan di atas bukit itu perlahan mengecil. Kini, ketiganya sudah berada di gerbang pemakaman.“Saya harus pulang hari ini,” ujar Ilham sembari menyapu bulir keringat di dahi dengan punggung tangan.“Kenapa?” tanya Rojali.“Kalau saya tetap berada di desa ini, cepat atau lambat warga akan sadar siapa say

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-21
  • Kafan Hitam   24

    Saat matahari mulai meninggi, pihak kepolisian ditemani perangkat desa sudah berada di kediaman Mak Iyah. Warga yang sebelumnya lari ketakutan, berkerumunan kembali meski melihat dari jarak lumayan jauh. Rupanya penasaran mampu mengalahkan ketakutan mereka.“Kami akan selidiki kasus ini lebih lanjut,” kata seorang polisi sambil berjalan ke arah mobil. Pak Dede, aparat desa serta tokoh masyarakat mengikuti dari belakang. Rojali dan Reza juga ikut ambil bagian. Begitu mobil polisi menghilang dari halaman, kerumunan warga bubar dan menyisakan kepulan debu yang terbang disapa angin.“Gusti Nu Agung,” ujar Pak Dede sembari melepas peci. Bulir keringat menumpuk di dahi. Kepalanya serasa ingin meledak saat kejadian menyeramkan kembali terjadi di desa yang dipimpinnya. Embusan napasnya terdengar berat.“Bagaimana ini Pak Dede?” tanya Pak Yayat dengan raut wajah khawatir. Orang yang tersisa di halaman Mak I

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-21
  • Kafan Hitam   25

    Langit tampak menguning saat Pak Iwan kembali ke rumah. Kepala Dusun Cigeutih itu melepas peci setelah pantat mendarat di kursi. Helaan napasnya terdengar berat. Meski rumah dalam keadaan sepi, tetapi suara-suara ketakutan dan ketidaknyamanan warga saat rapat kampung tadi masih terngiang hingga sekarang.Tak jauh berbeda dengan Cimenyan, Cigeutih bereaksi saat kabar penemuan potongan kepala itu tersiar. Saat pulang dari pertemuan, warung dan toko warga sudah tertutup rapat. Jarang sekali Pak Iwan melihat warga atau anak-anak berkerumunan di luar. Pria tambun itu hanya mendapati seorang wanita yang tengah memarahi anaknya saat ketahuan main di halaman.Pak Iwan menarik napas panjang, lantas mengembuskan perlahan. Ia sandarkan punggung ke kursi kayu. Langit sudah bersolek lembayung. Tak berselang lama, hujan mengguyur deras. Jutaan rintik air itu ikut memboyong petir dan guntur.Dari halaman, seorang wanita berciput merah berlari ke arah rumah dengan langkah

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-21
  • Kafan Hitam   26

    Dua jam kemudian, balai desa sudah disesaki para warga yang berdatangan. Pak Dede sudah duduk di antara kerumunan. Hidangan belum satu pun disentuh. Pisang, ubi dan kacang rebus itu dibiarkan menumpuk di piring. Tak biasanya kumpulan sepi dari obrolan. Kebanyakan warga memilih menutup mulut, hanya sebagian yang mengobrol meski dengan suara berbisik.“Mana Rojali?” tanya Pak Dede yang langsung memecah suasana kumpulan. Matanya seketika menyisir orang-orang.Sosok yang dicari nyatanya baru muncul melalui pintu aula. Rojali tidak datang sendiri. Ada Reza dan juga Aep yang membuntuti dari belakang. Tatapan orang-orang seketika tertuju pada tiga pria itu. Namun, yang menjadi fokus mereka adalah Aep, salah satu korban peristiwa kemarin.“Kenapa Aep ada di sini?” Pertanyaan tersebut bersarang di masing-masing benak hadirin. Wajah pucat pria itu timbul-tenggelam karena terus diperhatikan.“Punteun¸ kami telat,” u

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-21
  • Kafan Hitam   02 - Kafan Hitam (Part 1)

    Desa Ciboeh, 1985“Ketemu! Ketemu!”Makhluk hitam itu bertepuk tangan beberapa kali. Ia melompat-lompat dengan satu tangan menggenggam kayu jendela. Matanya tertuju pada Romlah yang sudah terbaring pingsan di lantai.Makhluk hitam itu tertawa, melompat-lompat dengan gerakan memutar. Tangannya kirinya menyelinap masuk melalui celah jendela, lantas menyimpan satu keresek hitam berisi beberapa buah delima di lantai. Sosok itu menggeram beberapa kali dengan lidah menjulur. Setelahnya, ia pergi ke arah pekatnya persawahan.Makhluk setinggi pria dewasa itu berjalan di pematang sawah. Perjalanannya ditemani tawa tak berkesudahan. Terkadang, ia melompat di licinnya tanah, dan saat terjatuh, ia buru-buru bangkit, lalu kembali tertawa sembari memukul-mukul perut.Cahaya bulan menjadi satu-satunya sumber penerangan. Suasana tampak hening, yang terdengar suara katak sawah, nyanyian burung hantu yang b

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-21

Bab terbaru

  • Kafan Hitam   09 - Kafan Hitam (Ending)

    “Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis

  • Kafan Hitam   09 - Kafan Hitam (Part 1)

    1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H

  • Kafan Hitam   166

    Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal

  • Kafan Hitam   165

    Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu

  • Kafan Hitam   164

    Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 8)

    Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 8)

    Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 6)

    Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se

  • Kafan Hitam   08 - Kafan Hitam (Part 5)

    Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status