Langit tampak menguning saat Pak Iwan kembali ke rumah. Kepala Dusun Cigeutih itu melepas peci setelah pantat mendarat di kursi. Helaan napasnya terdengar berat. Meski rumah dalam keadaan sepi, tetapi suara-suara ketakutan dan ketidaknyamanan warga saat rapat kampung tadi masih terngiang hingga sekarang.
Tak jauh berbeda dengan Cimenyan, Cigeutih bereaksi saat kabar penemuan potongan kepala itu tersiar. Saat pulang dari pertemuan, warung dan toko warga sudah tertutup rapat. Jarang sekali Pak Iwan melihat warga atau anak-anak berkerumunan di luar. Pria tambun itu hanya mendapati seorang wanita yang tengah memarahi anaknya saat ketahuan main di halaman.
Pak Iwan menarik napas panjang, lantas mengembuskan perlahan. Ia sandarkan punggung ke kursi kayu. Langit sudah bersolek lembayung. Tak berselang lama, hujan mengguyur deras. Jutaan rintik air itu ikut memboyong petir dan guntur.
Dari halaman, seorang wanita berciput merah berlari ke arah rumah dengan langkah
Dua jam kemudian, balai desa sudah disesaki para warga yang berdatangan. Pak Dede sudah duduk di antara kerumunan. Hidangan belum satu pun disentuh. Pisang, ubi dan kacang rebus itu dibiarkan menumpuk di piring. Tak biasanya kumpulan sepi dari obrolan. Kebanyakan warga memilih menutup mulut, hanya sebagian yang mengobrol meski dengan suara berbisik.“Mana Rojali?” tanya Pak Dede yang langsung memecah suasana kumpulan. Matanya seketika menyisir orang-orang.Sosok yang dicari nyatanya baru muncul melalui pintu aula. Rojali tidak datang sendiri. Ada Reza dan juga Aep yang membuntuti dari belakang. Tatapan orang-orang seketika tertuju pada tiga pria itu. Namun, yang menjadi fokus mereka adalah Aep, salah satu korban peristiwa kemarin.“Kenapa Aep ada di sini?” Pertanyaan tersebut bersarang di masing-masing benak hadirin. Wajah pucat pria itu timbul-tenggelam karena terus diperhatikan.“Punteun¸ kami telat,” u
Desa Ciboeh, 1985“Ketemu! Ketemu!”Makhluk hitam itu bertepuk tangan beberapa kali. Ia melompat-lompat dengan satu tangan menggenggam kayu jendela. Matanya tertuju pada Romlah yang sudah terbaring pingsan di lantai.Makhluk hitam itu tertawa, melompat-lompat dengan gerakan memutar. Tangannya kirinya menyelinap masuk melalui celah jendela, lantas menyimpan satu keresek hitam berisi beberapa buah delima di lantai. Sosok itu menggeram beberapa kali dengan lidah menjulur. Setelahnya, ia pergi ke arah pekatnya persawahan.Makhluk setinggi pria dewasa itu berjalan di pematang sawah. Perjalanannya ditemani tawa tak berkesudahan. Terkadang, ia melompat di licinnya tanah, dan saat terjatuh, ia buru-buru bangkit, lalu kembali tertawa sembari memukul-mukul perut.Cahaya bulan menjadi satu-satunya sumber penerangan. Suasana tampak hening, yang terdengar suara katak sawah, nyanyian burung hantu yang b
Pria berikat kepala merah itu memberikan kode pada pria yang menjambak Ujang agar menghentikan aksinya. “Maneh harus jadi anggota Kalong Hideung,” ujar pria itu seraya berjongkok dan menaikkan dagu Ujang.“Saya ... belum tau siapa kalian,” sahut Ujang.Pria yang menjambak Ujang tadi bersiap memberi tendangan. Namun, pria berikat kepala merah itu memberi kode dengan tangannya. Pria tadi kembali mundur.Pria berikat kepala merah itu kembali berdiri. “Sejujurnya, kami adalah orang yang sudah menyelamatkan maneh dari kematian. Kami juga yang sudah merawat luka-luka maneh selama ini.”“Di mana saya?” Ujang bertanya. Matanya memindai sekeliling.“Maneh sedang berada di markas Kalong Hideung,” jawab pria berikat kepala merah. Ia memutari Ujang beberapa kali. “Bagaimana, Maneh bersedia?”“Bagaimana kalau saya menolak?” Uja
Ujang, batin Rojali.Rojali seketika menahan napas. Pemuda itu berusaha menggeser tubuh tanpa suara. Meski begitu, ekor matanya masih terpusat pada dua orang di dalam rumah. Dugaannya tepat. Pria yang ia lihat tempo hari di rumah tua di Legok Kiara itu sama persis dengan lelaki yang tengah bersama Romlah saat ini.Syukur, Rojali terbantu dengan sedikit cerita dari Aep mengenai pertemanannya dengan Ujang, juga foto yang ia temukan barusan. Besar kemungkinan bila Ujang adalah salah satu anggota Kalong Hideung.Namun, ada yang hal ganjil dari dari penjelasan Aep. Pria itu mengatakan bila Ujang masih belum ditemukan keberadaannya hingga saat ini. Hidup dan matinya pun masih dalam tanda tanya. Itu berarti Aep tidak mengetahui jika Ujang masih hidup dan saat ini justru bergabung dengan komplotan Kalong Hideung.Rojali masih berada di posisi sama selama beberapa menit. Punggungnya menempel di dinding bilik, sementara kakinya dalam posisi siaga. Hujan ma
Pagi di Ciboeh kembali dibuka dengan kabar penemuan potongan jari manusia di aula desa. Seorang warga yang merupakan petugas kebersihan di sana tampak tak sadarkan diri saat diangkat oleh beberapa orang. Warga sudah berkerumun tak jauh dari lokasi kejadian. Raut cemas mereka begitu tampak dari hari ke hari. Dari seberang jalan, mobil polisi terlihat di jalanan desa. Debu-debu berterbangan ke kanan-kiri tersapu angin.Tiga orang aparat polisi mengembus napas panjang begitu turun dari mobil. Tak jauh berbeda dengan Pak Dede dan warga lain. Raut letih mereka tampak jelas saat harus menangani kasus yang tak jauh berbeda dari hari kemarin.Polisi langsung mengadakan penyelidikan. Saksi mata yang adalah Soleh, salah satu aparatur desa, langsung diinterogasi. Berdekatan keterangan saksi, petugas kebersihan itu sudah ditemukan tak sadarkan diri. Begitu melihat hal itu, Soleh langsung memukul kentongan hingga para warga berdatangan.“Saya harap ini yang
Realitanya, apa yang ditakutkan oleh sebagian besar warga Ciboeh tak terjadi. Syukur dipanjatkan, tak ada penemuan potongan tubuh manusia lagi selama tiga hari ini di desa. Warga yang beberapa hari ke belakang seringkali diselimuti ketakutan akhirnya bisa bernapas lega.Kehidupan warga mulai kembali normal. Para petani pergi ke sawah ditemani cangkul dan kerbau dengan perasaan tenang. Madrasah kembali dipenuhi tawa anak-anak laki-laki yang bermain kelereng, anak perempuan yang asyik bermain lompat tali, juga obrolan para guru di ruangan pengajar.Mobil dari kecamatan atau desa lain kembali terlihat keluar-masuk jalanan Ciboeh, membawa keperluan warga untuk diantar ke warung dan toko-toko. Pangkalan ojek ramai oleh beberapa pria yang tengah bermain kartu. Baik Cigeutih maupun Cimenyan mulai berbenah.Kabar mengenai penemuan potongan tubuh itu nyatanya tersebar lebih cepat dibanding barang-barang yang tengah diturunkan dari bak mobil di sebuah toko oleh dua orang
Awan hitam enggan bergeser dari langit Ciboeh sejak pagi. Angin berembus melewati dedaunan dan juga ranting pohon, lalu dengan nakal bermain di kulit penduduk desa. Udara terasa lebih dingin dari biasa. Kebanyakan warga sudah kembali ke rumah sejak azan zuhur berkumandang.Hujan deras tiba-tiba mengguyur Ciboeh begitu mobil polisi memasuki jalanan desa. Warga yang masih berada di luar bergegas kembali ke rumah, meski harus menerobos hujan. Wajah ceria mereka selama beberapa hari seketika tergilas oleh beragam tanya.Di aula desa, Pak Dede, aparatur desa serta beberapa tokoh masyarakat sudah duduk melingkar untuk mendengar kabar dari pihak kepolisian mengenai hasil penyelidikan.Dua orang polisi turun dari mobil, sedikit berlari dengan tangan di atas kepala untuk melindungi serbuan hujan. Begitu masuk ke aula desa, mereka disambut dengan aksi kompak hadirin yang tiba-tiba berdiri.“Bagaimana hasil autopsi dan penyidikannya, Pak?” tanya Pak Dede
“Sosok itu mengatakan kalau desa ini dalam keadaan bahaya.”Ucapan Rojali seketika menambah ketegangan dan keheningan di wajah warga yang hadir di aula. Di sisi lain, hujan kian deras mengguyur Ciboeh. Petir menggelegar merobek lamunan. Di luar aula, tepatnya di samping aula, sebuah batang pisang jatuh ke tanah.Tak ada tanya atau sanggahan pada ucapan Rojali yang hampir satu menit yang lalu terucap. Kebanyakan hadirin menunduk, termasuk Pak Dede sekalipun. Udara dingin merambat masuk dari celah pintu yang setengah terbuka.Pak Dede tampak gemetar dari tempatnya duduk. Rokok yang sudah ada di genggaman jari jatuh ke lantai. Tak ada niatan untuk sekadar mengambil, baik yang baru atau yang sudah dicumbu kuman. Beberap akali ia menoleh pada warga lain. Mereka sepertinya kompak untuk tutup mulut.“Ya Allah,” teriak Pak Iwan memecah keheningan. Punggungnya tiba-tiba lemas hingga akhirnya tak sadarkan diri. Beberapa orang langsung
“Ini satu-satunya cara, Kang. Kita tidak punya pilihan lain.”Mbah Jaja akhirnya setuju setelah agak lama berpikir. “Aing bakal pasang pagar gaib lebih dulu.”Sebuah kubah segera melingkupi seluruh gubuk. Di pandangan orang biasa, bangunan itu akan tampak seperti halaman kosong.Mbah Atim dan Mbah Jaja dengan cepat duduk bersila di depan dan belakang orang gila itu. Mulut mereka mulai berkomat-kamit membaca mantra. Butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk bisa menggunakan ajian pengubah raga.Tubuh orang gila itu secara tiba-tiba bergetar beberapa kali. Mulutnya terbuka dengan kondisi bola mata memelotot seperti hendak meloncat. Raganya kemudian berguling-guling di lantai, dan tidak lama setelahnya, fisik pria edan itu persis menyerupai Mbah Atim.“Semoga saja si Jalu tidak sadar,” ujar Mbah Atim yang berdiri dengan wajah pucat. Keringat mulai membanjiri keningnya. Tenaganya benar-benar terkuras habis
1990Sehari sebelum kejadian penemuan jenazah tanpa kepalaCiboeh sangat panas siang ini. Debu-debu berterbangan ketika kaki melangkah dan roda kendaraan menggerus jalan. Beberapa warga tampak menyiram air ke halaman untuk mengusir panas. Meski begitu, tawa anak-anak terdengar bersahutan ketika mereka tengah mengerumuni seorang pria berpakaian kumal.“Nugelo (orang gila)! Nugelo!” Anak-anak kompak meneriaki seorang pria yang tengah berjongkok di tengah mereka.Orang gila itu melirik ke kanan dan ke kiri. Sesekali tangannya menepis ranting yang disodorkan anak-anak padanya. Bibirnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu.Seorang anak laki-laki tiba-tiba saja melempar ranting ke sembarang arah ketika melihat Rojali dan Reza tengah berjalan ke arah mereka.“Ada Ustaz Rojali,” ujar Uden, “ayo kabur sebelum kita dihukum.”“H
Dua hari setelah kepergian Kiai, Rojali berkunjung ke Ciboeh bersama Lukman dan Ustaz Ahmad. Pemuda itu sudah mendengar kondisi desa dari keduanya yang porak poranda akibat ritual. Akan tetapi, ia berhasil dibuat terkejut ketika melihat keadaan Ciboeh secara langsung.Saat melewati gerbang desa, ia melihat gapura hancur sebagian. Lebih dekat ke arah utara, banyak rumah roboh dan hancur seperti baru diterjang badai. Kondisi lebih mengerikan tersaji ketika mobil melewati Kampung Cimenyan. Beberapa rumah tampak rata dengan tanah. Tak heran jika berita yang ditayangkan di televisi dan radio menunjukkan bahwa desa ini diserang bencana alam.Mobil menepi di depan reruntuhan kediaman Rojali. Pemuda bermata sipit itu turun bersama Ustaz Ahmad dan Lukman. Ketiganya menatap tanah kosong di mana beberapa puing bangunan masih berada di sana.“Kang Rojali,” ujar Euis yang muncul dari arah samping rumah, “apa itu benar Kang Rojali?” Rojal
Ustaz Ahmad benar-benar merasa gelisah sepanjang waktu. Pikirannya tertuju pada kondisi sang bapak yang masih berada di rumah sakit. Ia hanya duduk memandang perapian di depan, sama sekali belum menyentuh air atau makanan.“Ustaz,” panggil Lukman yang duduk di sampingnya, “sebaiknya Ustaz mengisi tenaga lebih dahulu. Setelahnya, Ustaz bisa berisitirahat.”Ustaz Ahmad mengembus napas panjang, mengangguk pelan. Ia menghabiskan makanan dengan cepat, lalu berbaring di bangku panjang yang berada tak jauh dari tempat dirinya dan Lukman duduk.Sepinya keadaan Cimayit, berbanding terbalik dengan situasi yang ada di pesantren. Tangis kesedihan begitu mendominasi para santri dan tamu yang hadir. Meninggalnya Kiai Rohmat dengan cepat tersebar. Sayang, di saat seperti ini, sang putra justru berada jauh dan belum tahu mengenai kondisi sang bapak.Para pelayat tengah mengerumuni jenazah Kiai Rohmat. Bacaan surat Yasin saling bersahutan dari mulu
Rojali, Ustaz Ahmad, Ilham dan Lukman tiba di Lancah Darah saat siang menjelang. Mobil menepi di tempat terakhir kali mereka memarkirkan kendaraan.“Sebaiknya kita berangkat sekarang,” ujar Ilham dengan pandangan menelisik sekeliling, “jika tidak bergegas, mungkin saja kita akan tiba malam hari.”Setelah memastikan kendaraan aman, keempat pria itu memulai perjalanan memasuki hutan Lancah Darah. Pemandangan indah yang ditawarkan kawasan ini tidak akan berlangsung lama ketika matahari tenggelam.Seperti apa yang dikatakan orang-orang, Lancah Darah menjadi tempat yang “haram” untuk dikunjungi orang. Tak hanya kisah mistis yang melekat, tetapi tentang sekelompok orang yang susah disentuh, termasuk aparat sekalipun.Rombongan beristirahat di pinggiran sungai untuk melaksanakan salat, juga untuk menyantap bekal. Mereka sudah mencapai setengah perlajanan saat langit mulai bersolek lembayung. Kumpulan burung-burung terban
Ciboeh, 1989Selesai salat subuh berjemaah, para tetua desa yang dipimpin Pak Dede memasuki kantor desa. Mereka duduk melingkar beralas tikar tanpa camilan atau air segelas pun. Dilihat dari wajah dan gestur mereka, tampak ada hal penting yang harus segera mereka diskusikan.Hujan mendadak mengguyur deras. Angin tampak menerobos di sela-sela lubang pintu dan jendela, membawa udara dingin. “Jangan sampai ada yang masuk ke kantor, Man,” ucap Pak Dede pada Eman yang berjaga di pintu.“Siap, Pak Kades.” Eman mengacungkan jempol.Ruangan hanya diterangi lampu kecil sehingga cahaya hanya menyinari tengah ruangan, sedang gelap memeluk keadaaan sekelililing. “Kalian sudah memastikan kalau Rojali tidak ada di desa?” tanya Pak Dede sembari mengamati satu per satu orang yang hadir.“Sudah, Pak Dede,” jawab Pak Yayat, “Ustaz Rojali mengabari kalau selama dua hari
Bulan purnama tampak menggantung di cakrawala, memamerkan bulatan sempurna bercahaya keperakan. Di sisi sungai, Mbah Atim dan Mbah Jaja tampak berdiri menunggu kedatangan Ujang. Sudah lewat beberapa menit dari waktu perjanjian.“Awas saja kalau si Ujang mengkhianati kita, Juned,” ucap Mbah Jaja penuh amarah, “aing tidak segan bunuh istri, mertua dan anaknya sekaligus.”“Kita tunggu sebentar lagi, Kang,” sahut Mbah Atim menenangkan. Pandangannya tertuju pada seberang sungai, di mana pekatnya hutan hanya bisa menampilkan kegelapan. Ia mulai tak enak berdiri, pasalnya Mbah Jaja bisa saja nekat, dan saat itu terjadi ia tidak bisa melakukan banyak hal.“Sampai kapan kita harus menunggu si Ujang, Juned?” tanya Mbah Jaja sembari mengeluarkan pisau kecil, memandanginya dengan lekat-lekat. “Bisa saja dia berubah pikiran dan mengkhianati perjanjian kita.”“Saya yakin Ujang pasti datang ke si
Hujan deras yang mengguyur Ciboeh beberapa hari terakhir mengakibatkan bencana longsor. Peristiwa itu terjadi bakda subuh saat para warga sudah mulai bersiap menyambut hari. Lokasi terjadinya bencana berada di perbatasan Cigeutih dan Cimenyan. Hal itu menyebabkan beberapa rumah di dua kampung rusak karena tertimbun. Untungnya tidak ada korban jiwa.Para korban yang berhasil selamat diungsikan di rumah-rumah saudara. Warga saling bergotong royong membantu membersihkan tanah yang menghalangi jalan dan menutup akses jembatan yang menghubungkan kedua kampung.Setelah jembatan dapat kembali dibuka, Rojali berinisiatif meminta bantuan pada pesantren. Syukur dipanjatkan, Kiai mengirim bantuan dengan menerjunkan lima puluh santri ke Ciboeh. Dalam waktu sehari, lokasi sekitar bencana kembali normal meski rumah tampak ambruk.Hari berikutnya, warga masih berjibaku dengan sisa tanah longsor yang masih tertimbun di beberapa bagian sudut desa. Tanpa disangka-sangka, se
Sebuah motor tampak melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Kampung Cigeutih. Gerimis tak lama kemudian berubah menjadi hujan lebat. Reza yang berada di atas kendaraan mencibir dengan penuh sumpah serapah. Ia mempercepat laju motor hingga kendaraan bergetar beberapa kali karena menorobos jalan berbatu dan berlubang.Reza berdecak, melempar rokok sembarang. Saat menoleh pada pos ronda, ia sama sekali tidak melihat teman-temannya berkumpul. Dengan terpaksa pemuda itu harus pulang ke rumah, padahal siang tadi ia bersitegang dengan bapaknya. Malas sebenarnya, tetapi ia tidak punya pilihan lain.“Ah, any*ng!” maki Reza dengan badan yang sudah mulai kedinginan. Seluruh pakaiannya basah kuyup, bahkan sampai ke dalam-dalam. Karena emosi, ia sampai melewatkan kediamannya sendiri.“Tol*l!” maki Reza setelah tahu kalau dirinya melewatkan rumahnya sendiri. Ia mendadak abai dengan keadaan di depan hingga tak bisa menghindari sebuah lubang. Alhasil,